“Sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun...” (Yesaya
64:1). Tak ayal lagi kalimat ini adalah doa permohonan seorang yang sedang
putus asa atau depresi. Mungkin saja kita juga pernah mengalami situasi seperti
ini. Ketika berhadapan dengan masalah pelik, tekanan berat bertubi-tubi dan
kita dibuat tidak berdaya, lalu angan kita menerawang, “Andaikan Tuhan tidak
tinggal diam! Andaikan sedikit saja Dia bertindak, maka keadaannya tidak seperti
sekarang ini!
Di tengah ketidak berdayaan
oleh karena Bait Allah dikuasai oleh orang-orang berdosa, Yerusalem pusat kultus
Yudaisme menjadi kacau balau, ketidak-adilan, serta kehancuran moral terjadi di
mana-mana yang nyaris meluluh-lantakan eksistensi Yahudi sebagai umat pilihan
Allah. Yesaya menyadari bahwa penyebabnya bukanlah karena sesembahan orang-orang
yang menganiaya itu lebih hebat ketimbang TUHAN mereka. Yesaya menyadari bahwa
itu semua terjadi oleh karena dosa-dosa bangsanya, “... Engkau ini murka, sebab kami berdosa; terhadap Engkau kami memberontak
sejak dahulu kala.”(Yesaya 64:5b). Kalau pun ada yang berbuat baik,
kebaikan itu tidaklah tulus melainkan penuh dengan kepura-puraan “... dan segala kesalehan kami seperti kain
kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan
kami seperti daun dilenyapkan oleh angin. Tidak ada yang memanggil nama-Mu atau
yang bangkit untuk berpegang kepada-Mu; sebab Engkau menyembunyikan wajah-Mu
terhadap kami, dan menyerahkan kami ke dalam kekuasaan dosa kami.”(Yes 64:6-7)
Yesaya percaya, meskipun diri
dan bangsanya berada diujung kehancuran namun ia tahu bahwa Allahnya adalah
TUHAN yang penuh kasih sayang, laksana seorang ayah mengasihi anaknya, “Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa
kami!” Yesaya pun tahu hanya ada satu kunci untuk sebuah pemulihan, yakni bertobat
dan taat kepada kehendak Bapa, seperti tanah liat yang mau dibentuk oleh tukang
periuk, “Kamilah tanah liat dan Engkaulah
yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu” Yesaya pada
zamannya menantikan langit yang terkoyak tanda Allah mau turun dan peduli. Dalam
iman Kristiani, langit itu sudah terkoyak, Allah telah campur tangan memberikan
Putera Tungal-Nya, “..lalu terdengarlah
suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi,
kepada-Nyalah Aku berkenan."(Matius 3:17).
Hari ini kita kembali memasuki minggu-minggu Adven. Adven selalu
dihubungkan dengan penantian. Adven bermakna masa penantian. Menanti siapa dan
dengan cara bagaimana? Adven bagi umat kristiani mengandung dua pengertian.
Pertama, menyiapkan diri dalam menyambut perayaan Natal, kelahiran Tuhan Yesus
Sang Juruselamat dunia. Bersama dengan momentum ini, kita semua diingatkan kembali
akan janji Tuhan sendiri tentang kedatangan-Nya kembali. Kedatangan yang
kemudian bukan lagi berperan sebagai Juruselamat, melainkan Hakim Agung yang
akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Merayakan masa Adven berarti
kita berada dalam dua masa kedatangan Tuhan. Kedatangan-Nya pertama Ia telah
menunjukkan diri-Nya sebagai jalan keselamatan. Barangsiapa menyambut-Nya ia
akan memperoleh hidup yang kekal. Menyambut keselamatan bukan sekedar
pernyataan verbal atau perasaan percaya saja, melainkan menjalani hidup dengan
kesetiaan penuh sampai akhir kepada ajaran dan kehendak-Nya, serta yakin bahwa
Tuhan pasti menolong. Dalam bahasa Paulus, tidak bercacat pada hari kedatangan
Tuhan Yesus (I Korintus 1:8). Dengan menjalani hidup seperti itu maka sesungguhnya
kita sedang menyiapkan diri menyongsong kedatangan-Nya.
Bagaimana sebaiknya memaknai Adven kali ini? Saya teringat akan kisah yang
dituturkan oleh William J. Bausch, seorang imam pensiunan keuskupan Trenton,
New Jersey. Ia bertutur tentang tiga orang bersaudara dengan bakat khusus.
Konon, ada seorang kepala desa memiliki tiga orang putera. Masing-masing
puteranya memiliki bakat khusus. Si sulung memiliki bakat untuk menanam
pohon-pohon zaitun. Dari kepandaiannya itu, ia pun dapat menukarkan minyak zaitun
dengan pelbagai peralatan dan pakaian. Putera kedua adalah seorang penggembala.
Jika ada dombanya yang sakit, ia mempunyai kemampuan yang hebat untuk
menyembuhkannya. Ia sangat mengerti domba-dombanya. Dan si bungsu adalah
seorang penari. Jika ada hal-hal kurang menyenangkan dalam keluarga, kedukaan
atau ketika seseorang merasa jemu dengan musim dingin yang sangat menggigil,
atau terlalu lelah bekerja, putera ketiga ini punya kemampuan untuk menghibur
dengan tariannya.
Pada suatu hari, ayah mereka harus pergi untuk melakukan suatu perjalanan
yang jauh. Entah kapan akan kembali. Ia memanggil ketiga puteranya dan berkata,
“Anak-anakku, seluruh penduduk desa ini sekarang bergantung kepada kalian.
Kalian masing-masing mempunyai bakat khusus untuk menolong orang. Karena itu,
selama aku pergi, cobalah pergunakan bakat khusus kalian sebaik mungkin dengan
bijaksana, sehingga ketika aku kembali nanti, aku akan mendapati keadaan desa
kita akan jauh lebih baik dan sejahtera dari pada sekarang ini!” Ia memeluk mereka
satu per satu lalu pergi.
Semula, semuanya berjalan dengan baik. Namun, pada suatu ketika angin
dingin mulai bertiup dan muncul badai salju disertai hujan es yang begitu
dasyat. Malapetaka pertama terjadi. Pucuk-pucuk pohon zaitun patah dan untuk memulihkannya
lagi diperlukan waktu yang cukup lama. Lama- kelamaan penduduk desa itu
kekurangan kayu bakar. Karena putus asa, penduduk desa itu mulai menebangi
pohon-pohon zaitun, tanpa disadari mereka justeru menghancurkan sebagian hutan
zaitun desa itu.
Tambah lagi, salju dan es membuat para pedagang tidak dapat menyeberangi
sungai-sungai atau melewati jalan di desa itu. Akibatnya, penduduk desa saling
berbisik,”Ayo, kita sembelih dan makan domba-domba itu supaya kita tidak mati
kelaparan!” Pada mulanya putera yang kedua menolak, ia sangat menyayangi
domba-dombanya itu. Namun, akhirnya ia diperhadapkan pada pilihan yang teramat
sulit: menyelamatkan domba-dombanya atau membiarkan warga desanya mati
kelaparan dan kedinginan. Ia berkata dalam hatinya, “Untuk apa menyelamatkan
domba namun aku membiarkan saudara-saudaraku musnah binasa?”
Dengan kemurahan dan hikmat anak pertama dan kedua, penduduk desa memiliki
kayu yang cukup untuk menyalakan api dan makanan berupa daging domba untuk
dimakan. Bagaimana pun juga musim dingin yang hebat dan berkepanjangan telah
membuat penduduk desa itu patah semangat. Mereka bahkan mulai putus asa.
Sedikit demi sedikit, keluarga demi keluarga mulai meninggalkan desa itu untuk
mencari kehidupan yang lebih baik.
Kini musim semi mulai datang. Kedatangannya menghilangkan gumpalan-gumpalan
es musim dingin. Ketika itulah sang kepala desa, ayah dari tiga putera itu
kembali. Ia melihat hanya ada satu cerobong asap yang mengepulkan asap. “Apa yang
terjadi dan apa yang kalian lakukan?” katanya dengan tergopoh-gopoh begitu ia
tiba di rumahnya dan bertemu dengan ketiga puteranya. “Apa yang terjadi dengan
penduduk desa kita?”
“Oh, Ayah, maafkan saya,” kata putera pertama, “Penduduk desa kedinginan dan
mereka memintaku untuk menebang pohon-pohon zaitun untuk dijadikan kayu bakar
dan aku melakukannya. Aku kehilangan bakatku. Aku tidak pantas lagi disebut
sebagai penjaga tanaman.”
“Jangan marah, Ayah,” kata putera kedua. “Domba-domba mati kedinginan dan
penduduk desa binasa karena lapar. Aku telah memberikan domba-domba itu untuk
disembelih guna mencegah kebinasaan yang lebih parah.”
Kepala desa itu mengerti akan pengorbanan mereka dan menjawab, “Jangan
cemas, anakku. Kalian telah melakukan yang terbaik yang dapat kalian lakukan
dan kalian telah bertindak benar dan manusiawi. Kalian telah menggunakan bakat
kalian dengan bijaksana untuk menyelamatkan orang-orang lain. Tetapi coba
katakan kepadaku, apa yang terjadi dengan mereka? Di mana mereka sekarang?”
Kedua orang bersaudara itu menatap dengan cemas kepada si bungsu. Lalu si
bungsu berkata, “Selamat datang, Ayah. Ya, saat itu keadaan sangat sulit.
Makanan dan kayu bakar hanya sedikit. Aku pikir, tidak sepantasnya aku menari
pada saat penderitaan seperti itu. Lagi pula, aku harus menghemat tenaga agar
aku dapat menari jika ayah pulang.”
“Kalau begitu, menarilah, puteraku,” kata kepala desa itu, “untuk desaku
yang kosong dan begitu juga hatiku. Isilah sekali lagi dengan semangat dan
kegembiraan. Ya, ayolah menari!”
Ketika bangkit berdiri, wajah putera bungsu itu tampak meringis kesakitan dan terjatuh. Kakinya menjadi kaku dan kesakitan karena selama musim dingin, terlalu banyak duduk sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk menari. Sang ayah merasa begitu sedih, sehingga untuk marah pun ia tak sanggup lagi. Ia hanya berkata kepada si bungsu, “Desa kita merupakan sebuah desa yang kuat. Desa ini sebenarnya masih dapat bertahan terhadap kekurangan kayu dan bahan makanan serta musim dingin, tetapi tidak akan bertahan tanpa pengharapan. Karena engkau gagal menggunakan bakatmu dengan bijaksana maka penduduk desa ini menjadi putus asa. Sekarang apa? Desa ini kosong dan engkau sendiri pincang. Aku tidak menghukum, hukuman telah telah dijatuhkan dengan sendirinya kepadamu!”
Saya membayangkan, si bungsu mungkin akan mengatakan, “Andai saja waktu dapat diputar kembali, pasti aku tidak teledor.” Nada sesal seperti itu juga yang dialami bangsa Israel yang terekam dalam Yesaya 64. Pasal ini dimulai, “Sekiranya, Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun, sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu,…” M.C. Barth, menafsirkan orang-orang Israel ini sangat menderita: mereka baru saja dijajah, saudara-saudaranya dibunuh, rumah-rumahnya dibakar, dan masa depan mereka gelap. Hal itu merupakan konsekwensi dari ketidaktaatan Israel dalam sebagai bangsa pilihan di hadapan Allah.
Namun, ketika mereka berkumpul untuk berbakti, mereka ingat akan tindakan kasih setia Tuhan. Mereka ingat kembali akan perbuatan Allah di masa lampau. Mereka berharap Tuhan memberikan kemurahan dan kesempatan lagi. “Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu.” Beruntunglah Israel, masih ada kesempatan kembali ke tanah perjanjian.
Andaikan, waktu dapat diulang. Adalah kalimat penyesalan, Yesus tidak ingin murid-murid-Nya menyesali diri pada waktu kedatangan-Nya kembali. Ia mengajarkan agar setiap orang selalu berjaga-jaga dengan melakukan apa yang telah diajarkan dan ditelandankan oleh-Nya, sebab saatnya nanti tidak pernah ada orang yang tahu. “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja.” (Markus 13:32). Ayat-ayat selanjutnya, Yesus mengajarkan agar semua orang berhati-hati dan berjaga jaga.
Ketika bangkit berdiri, wajah putera bungsu itu tampak meringis kesakitan dan terjatuh. Kakinya menjadi kaku dan kesakitan karena selama musim dingin, terlalu banyak duduk sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk menari. Sang ayah merasa begitu sedih, sehingga untuk marah pun ia tak sanggup lagi. Ia hanya berkata kepada si bungsu, “Desa kita merupakan sebuah desa yang kuat. Desa ini sebenarnya masih dapat bertahan terhadap kekurangan kayu dan bahan makanan serta musim dingin, tetapi tidak akan bertahan tanpa pengharapan. Karena engkau gagal menggunakan bakatmu dengan bijaksana maka penduduk desa ini menjadi putus asa. Sekarang apa? Desa ini kosong dan engkau sendiri pincang. Aku tidak menghukum, hukuman telah telah dijatuhkan dengan sendirinya kepadamu!”
Saya membayangkan, si bungsu mungkin akan mengatakan, “Andai saja waktu dapat diputar kembali, pasti aku tidak teledor.” Nada sesal seperti itu juga yang dialami bangsa Israel yang terekam dalam Yesaya 64. Pasal ini dimulai, “Sekiranya, Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun, sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu,…” M.C. Barth, menafsirkan orang-orang Israel ini sangat menderita: mereka baru saja dijajah, saudara-saudaranya dibunuh, rumah-rumahnya dibakar, dan masa depan mereka gelap. Hal itu merupakan konsekwensi dari ketidaktaatan Israel dalam sebagai bangsa pilihan di hadapan Allah.
Namun, ketika mereka berkumpul untuk berbakti, mereka ingat akan tindakan kasih setia Tuhan. Mereka ingat kembali akan perbuatan Allah di masa lampau. Mereka berharap Tuhan memberikan kemurahan dan kesempatan lagi. “Tetapi sekarang, ya TUHAN, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu.” Beruntunglah Israel, masih ada kesempatan kembali ke tanah perjanjian.
Andaikan, waktu dapat diulang. Adalah kalimat penyesalan, Yesus tidak ingin murid-murid-Nya menyesali diri pada waktu kedatangan-Nya kembali. Ia mengajarkan agar setiap orang selalu berjaga-jaga dengan melakukan apa yang telah diajarkan dan ditelandankan oleh-Nya, sebab saatnya nanti tidak pernah ada orang yang tahu. “Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja.” (Markus 13:32). Ayat-ayat selanjutnya, Yesus mengajarkan agar semua orang berhati-hati dan berjaga jaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar