Selasa, 30 Desember 2014

MENIMBANG TAHUN YANG LEWAT DENGAN HATI YANG FAHAM, DAN DALAM TERANG TUHAN

Banyak analogi yang digunakan orang untuk memaknai sebuah kehidupan. Ada yang mengandaikan kehidupan itu seperti jagat pewayangan. Ada wayang yang di tempatkan sebelah kiri dan ada yang di kanan. Masing-masing menggambarkan karakter jahat dan karakter yang baik. Adegan cerita menjadi menarik oleh karena terjadinya perjumpaan si jahat dan si baik. Konon, jagat raya ini tidak akan rame jika yang ada hanya kekuatan baik saja atau sebaliknya, semuanya jahat. Dan di atas semua lakon yang menarik itu ada “sang dalang” yang mengatur lampah peran masing-masing figur wayang. Dalam keyakinan seperti ini, manusia meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya merupakan suratan takdir dari Sang Sutradara Agung.

Ada juga orang yang mengandaikan hidup ini seperti “makan gado-gado”. Dalam gado-gado, ada kangkung, labu, pare, telor, tempe, tahu dan yang lainnya. Kadang hidup ini pahit getir seperti makan pare. Namun. Kehidupan juga bisa menemui kebahagiaan, seperti itulah ketika kita makan telor dalam gado-gado. Semuanya, pelbagai jenis sayur dan telor dalam gado-gado itu akhirnya harus dikunyah dan ditelan, demikian juga kehidupan ini; harus dihadapi baik suka maupun duka.

Tidak sedikit yang memandang hidup ini bagaikan roda pedati. Kadang roda ada di bawah tetapi sebentar kemudian ia akan segera naik ke atas. Hidup ini selalu berputar: kadang nasib baik menghampiri kita. Namun, kondisi buruk pun tidak dapat dielakkan. Orang bijak mengatakan, ketika kita berada pada puncak kejayaan, ada di atas, jangan sombong dan takabur karena tidak mungkin posisi kita terus-menerus di puncak kejayaan. Sebaliknya, ketika kita berada di bawah, bisa saja orang menghina dan melecehkan, jangan putus asa dan menyerah karena posisi ini pun suatu ketika dapat naik ke atas. Banyak contoh orang-orang besar yang jatuh dalam kesombongannya dan tidak sedikit pula orang-orang kecil atau pinggiran mendapat kemuliaan.

Ada juga yang memaknai kehidupan ini sebagai sebuah perjalanan. Berangkat dari satu titik menuju sebuah tujuan garis akhir. Seperti lazimnya sebuah perjalanan, ada kalanya seseorang berhenti sejenak di “rest area” untuk beristirahat. Istirahat yang cukup membuat perjalanan dapat dilakukan kembali dengan lebih nyaman. Penghujung tahun merupakan momen yang tepat sebagai “rest area” itu. Kita berhenti sejenak untuk mengevaluasi, melihat kembali apa yang sudah kita lewati sepanjang tahun yang lalu. Mungkin saja kita mendapat peran antagonis atau protagonis. Selama satu tahun ini bisa jadi kita berada di puncak kejayaan atau sebaliknya berada di titik nadir. Mestinya itu semua menjadi bahan refleksi untuk melanjutkan perjalanan kita ke depan dengan lebih baik lagi.

Ada suatu momen yang mirip-mirip “rest area” dalam kehidupan bangsa Israel untuk berdiam diri dan merefleksikan karya Allah dalam kehidupan mereka. Momen itu adalah hari raya Pondok Daun. Suatu ketika, Yesus berada di Bait Allah pada Hari Raya Pondok Daun. Pada masa itu, Pondok Daun diselenggarakan pada pertengahan tahun, saat mereka mengucap syukur atas berkat Tuhan melalui hasil panen mereka. Nama “Pondok Daun” berasal dari kebiasaan setiap orang Israel yang harus berdiam di pondok yang terbuat dari cabang dan daun selama tujuh hari perayaan itu berlangsung. Kebiasaan ini mereka lakukan untuk mengenang peristiwa Allah membebaskan mereka dari Mesir menuju tanah perjanjian. Selama kurun waktu empat puluh tahun itu mereka hidup dalam pengembaraan dan tinggal di pondok-pondok sementara. Jadi, mereka mengenang peristiwa yang sudah terjadi dalam kehidupan mereka, sekaligus mengucap syukur atas berkat Tuhan yang telah mereka terima di masa kini dengan membawa hasil panen yang terbaik sebagai persembahan.

Selama tujuh hari perayaan itu, umat Allah mempersembahkan korban api-apian. Lalu, pada hari kedelapan mereka diwajibkan mengadakan pertemuan kudus dan mempersembahkan korban api-apian kepada Tuhan. Selain itu, sesuai tradisi yang ada, Bait Allah diberikan penerangan istimewa. Di dalam Bait Allah setiap menjelang malam, api di kandil dengan tujuh cabang dinyalakan sampai pada hari kedelapan. Kandil itu disebut chanukah menorah. Di Bait Allah terdapat empat chanukah menorah yang cukup besar. Karena itu, ketika semua chanukah menorah dinyalakan maka seluruh ruangan Bait Allah menjadi terang-benderang. Dalam perayaan itu juga dibacakan mazmur dan teks-teks Perjanjian Lama yang menggambarkan karya penyelamatan Allah dengan simbol “tiang api”, “Allah adalah terangku”, “Allah adalah penerang abadi”, “kegelapan tidak lagi berkuasa”. Dengan demikian, tema utama dari perayaan Pondok Daun adalah Allah sebagai terang dunia yang mengusir kegelapan!

Dalam konteks inilah, Yesus tampil dan menyatakan diri “Akulah Terang Dunia!” (Yohanes 8:12). Terang yang berbeda dari terang yang sedang menyinari Bait Allah dan sekitarnya. Jika masa perayaan itu telah selesai maka selesai pula terang itu bercahaya sebab api-api di kandil Bait Allah akan dipadamkan. Perkataan, “Akulah Terang Dunia” dalam bahasa Yunani berbunyi, “ego eimi to phos tou kosmou”. Frasa “ego eimi” menggunakan bentuk kata kerja present indikatif, yang secara harafiah berarti “Aku ada atau hadir terus-menerus, tanpa hendti atau dibatasi waktu.” Jadi ketika Yesus menyatakan diri-Nya sebagai terang, bukan hanya pada waktu hari raya Pondok Daun atau selama Ia hadir di dunia saja, melainkan selama-lamanya.

Setelah menyatakan diri-Nya sebagai Terang dunia, Yesus menegaskan panggilan bagi para pengikut-Nya, “barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes 8:12).

Terang yang dimaksud Yesus memang berbeda dari terang yang sedang dinikmati orang-orang di Bait Allah yang sedang merayakan Pondok Daun. Yesus mengisi simbol-simbol perayaan ini dengan makna kehidupan yang sesungguhnya. Perjalanan Israel dari Mesir menuju tanah perjanjian sudah usai, kini mereka juga harus meneruskan perjalanan kehidupan mereka masing-masing. Untuk kehidupan yang demikian, jelas terang yang dinyalakan pada kandil di Bait Allah tidaklah cukup, dan memang bukan itu. Mereka memerlukan kaidah dan tuntunan nyata yang bisa dilihat dan dijadikan panutan, dan Yesus menyatakan diri, Dia itulah Sang Kaidah dan Tuntunan nyata di dunia ini. Dia itulah contoh kasat mata, maka Dialah terang yang sesungguhnya itu. Maka konsekuensinya, tidak terbantahkan lagi, bahwa siapa saja yang mengikuti-Nya pasti tidak akan berjalan dalam kegelapan!

Setiap perjalanan pasti membutuhkan terang atau panduan, kalau tidak pasti akan tersesat. Kehidupan ini, yang kita analogikan sebagai sebuah perjalanan niscaya memerlukan terang kalau tidak pasti kita tersesat. Kita membutuhkan terang agar tujuan hidup ini tidak melenceng. Terang itu sudah datang dalam diri Yesus Kristus. Kini, apakah kita menyambut terang itu dan menjadikannya panduan bagi kehidupan kita, ataukah kita lebih suka hidup dalam kegelapan? Andaikata, dalam setahun yang lalu hidup kita masih jauh dari terang itu, maka marilah sekarang kita bertekad membarui hidup kita agar kita sampai pada tujuan hidup yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar