Banyak analogi yang digunakan
orang untuk memaknai sebuah kehidupan. Ada yang mengandaikan kehidupan itu
seperti jagat pewayangan. Ada wayang yang di tempatkan sebelah kiri dan ada
yang di kanan. Masing-masing menggambarkan karakter jahat dan karakter yang
baik. Adegan cerita menjadi menarik oleh karena terjadinya perjumpaan si jahat
dan si baik. Konon, jagat raya ini tidak akan rame jika yang ada hanya kekuatan
baik saja atau sebaliknya, semuanya jahat. Dan di atas semua lakon yang menarik
itu ada “sang dalang” yang mengatur lampah peran masing-masing figur wayang.
Dalam keyakinan seperti ini, manusia meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi
dalam kehidupannya merupakan suratan takdir dari Sang Sutradara Agung.
Ada juga orang yang
mengandaikan hidup ini seperti “makan gado-gado”. Dalam gado-gado, ada
kangkung, labu, pare, telor, tempe, tahu dan yang lainnya. Kadang hidup ini
pahit getir seperti makan pare. Namun. Kehidupan juga bisa menemui kebahagiaan,
seperti itulah ketika kita makan telor dalam gado-gado. Semuanya, pelbagai
jenis sayur dan telor dalam gado-gado itu akhirnya harus dikunyah dan ditelan,
demikian juga kehidupan ini; harus dihadapi baik suka maupun duka.
Tidak sedikit yang memandang
hidup ini bagaikan roda pedati. Kadang roda ada di bawah tetapi sebentar
kemudian ia akan segera naik ke atas. Hidup ini selalu berputar: kadang nasib
baik menghampiri kita. Namun, kondisi buruk pun tidak dapat dielakkan. Orang
bijak mengatakan, ketika kita berada pada puncak kejayaan, ada di atas, jangan
sombong dan takabur karena tidak mungkin posisi kita terus-menerus di puncak
kejayaan. Sebaliknya, ketika kita berada di bawah, bisa saja orang menghina dan
melecehkan, jangan putus asa dan menyerah karena posisi ini pun suatu ketika
dapat naik ke atas. Banyak contoh orang-orang besar yang jatuh dalam
kesombongannya dan tidak sedikit pula orang-orang kecil atau pinggiran mendapat
kemuliaan.
Ada juga yang memaknai
kehidupan ini sebagai sebuah perjalanan. Berangkat dari satu titik menuju
sebuah tujuan garis akhir. Seperti lazimnya sebuah perjalanan, ada kalanya
seseorang berhenti sejenak di “rest area”
untuk beristirahat. Istirahat yang cukup membuat perjalanan dapat dilakukan
kembali dengan lebih nyaman. Penghujung tahun merupakan momen yang tepat
sebagai “rest area” itu. Kita
berhenti sejenak untuk mengevaluasi, melihat kembali apa yang sudah kita lewati
sepanjang tahun yang lalu. Mungkin saja kita mendapat peran antagonis atau
protagonis. Selama satu tahun ini bisa jadi kita berada di puncak kejayaan atau
sebaliknya berada di titik nadir. Mestinya itu semua menjadi bahan refleksi
untuk melanjutkan perjalanan kita ke depan dengan lebih baik lagi.
Ada suatu momen yang
mirip-mirip “rest area” dalam
kehidupan bangsa Israel untuk berdiam diri dan merefleksikan karya Allah dalam
kehidupan mereka. Momen itu adalah hari raya Pondok Daun. Suatu ketika, Yesus
berada di Bait Allah pada Hari Raya Pondok Daun. Pada masa itu, Pondok Daun
diselenggarakan pada pertengahan tahun, saat mereka mengucap syukur atas berkat
Tuhan melalui hasil panen mereka. Nama “Pondok Daun” berasal dari kebiasaan
setiap orang Israel yang harus berdiam di pondok yang terbuat dari cabang dan
daun selama tujuh hari perayaan itu berlangsung. Kebiasaan ini mereka lakukan
untuk mengenang peristiwa Allah membebaskan mereka dari Mesir menuju tanah
perjanjian. Selama kurun waktu empat puluh tahun itu mereka hidup dalam
pengembaraan dan tinggal di pondok-pondok sementara. Jadi, mereka mengenang
peristiwa yang sudah terjadi dalam kehidupan mereka, sekaligus mengucap syukur
atas berkat Tuhan yang telah mereka terima di masa kini dengan membawa hasil
panen yang terbaik sebagai persembahan.
Selama tujuh hari perayaan
itu, umat Allah mempersembahkan korban api-apian. Lalu, pada hari kedelapan
mereka diwajibkan mengadakan pertemuan kudus dan mempersembahkan korban
api-apian kepada Tuhan. Selain itu, sesuai tradisi yang ada, Bait Allah
diberikan penerangan istimewa. Di dalam Bait Allah setiap menjelang malam, api
di kandil dengan tujuh cabang dinyalakan sampai pada hari kedelapan. Kandil itu
disebut chanukah menorah. Di Bait
Allah terdapat empat chanukah menorah
yang cukup besar. Karena itu, ketika semua chanukah
menorah dinyalakan maka seluruh ruangan Bait Allah menjadi
terang-benderang. Dalam perayaan itu juga dibacakan mazmur dan teks-teks
Perjanjian Lama yang menggambarkan karya penyelamatan Allah dengan simbol “tiang
api”, “Allah adalah terangku”, “Allah adalah penerang abadi”, “kegelapan tidak
lagi berkuasa”. Dengan demikian, tema utama dari perayaan Pondok Daun adalah
Allah sebagai terang dunia yang mengusir kegelapan!
Dalam konteks inilah, Yesus
tampil dan menyatakan diri “Akulah Terang
Dunia!” (Yohanes 8:12). Terang yang berbeda dari terang yang sedang
menyinari Bait Allah dan sekitarnya. Jika masa perayaan itu telah selesai maka
selesai pula terang itu bercahaya sebab api-api di kandil Bait Allah akan
dipadamkan. Perkataan, “Akulah Terang Dunia”
dalam bahasa Yunani berbunyi, “ego
eimi to phos tou kosmou”. Frasa “ego
eimi” menggunakan bentuk kata kerja present
indikatif, yang secara harafiah berarti “Aku ada atau hadir terus-menerus,
tanpa hendti atau dibatasi waktu.” Jadi ketika Yesus menyatakan diri-Nya
sebagai terang, bukan hanya pada waktu hari raya Pondok Daun atau selama Ia
hadir di dunia saja, melainkan selama-lamanya.
Setelah menyatakan diri-Nya sebagai
Terang dunia, Yesus menegaskan panggilan bagi para pengikut-Nya, “barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan
berjalan dalam kegelapan, melainkan akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes
8:12).
Terang yang dimaksud Yesus
memang berbeda dari terang yang sedang dinikmati orang-orang di Bait Allah yang
sedang merayakan Pondok Daun. Yesus mengisi simbol-simbol perayaan ini dengan
makna kehidupan yang sesungguhnya. Perjalanan Israel dari Mesir menuju tanah
perjanjian sudah usai, kini mereka juga harus meneruskan perjalanan kehidupan
mereka masing-masing. Untuk kehidupan yang demikian, jelas terang yang
dinyalakan pada kandil di Bait Allah tidaklah cukup, dan memang bukan itu.
Mereka memerlukan kaidah dan tuntunan nyata yang bisa dilihat dan dijadikan
panutan, dan Yesus menyatakan diri, Dia itulah Sang Kaidah dan Tuntunan nyata
di dunia ini. Dia itulah contoh kasat mata, maka Dialah terang yang
sesungguhnya itu. Maka konsekuensinya, tidak terbantahkan lagi, bahwa siapa
saja yang mengikuti-Nya pasti tidak akan berjalan dalam kegelapan!
Setiap perjalanan pasti membutuhkan terang atau panduan,
kalau tidak pasti akan tersesat. Kehidupan ini, yang kita analogikan sebagai
sebuah perjalanan niscaya memerlukan terang kalau tidak pasti kita tersesat.
Kita membutuhkan terang agar tujuan hidup ini tidak melenceng. Terang itu sudah
datang dalam diri Yesus Kristus. Kini, apakah kita menyambut terang itu dan
menjadikannya panduan bagi kehidupan kita, ataukah kita lebih suka hidup dalam
kegelapan? Andaikata, dalam setahun yang lalu hidup kita masih jauh dari terang
itu, maka marilah sekarang kita bertekad membarui hidup kita agar kita sampai
pada tujuan hidup yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar