“Nunc dimittis servum tuum, Domine!” Kalimat
pertama dari nyanyian Simeon ketika melihat bayi Yesus dibawa oleh kedua orang
tuanya untuk memenuhi syareat agama Yahudi, yakni: sunat pada usia delapan
hari, diberi nama, penebusan sebagai anak sulung, penyucian sang bunda setelah
melahirkan. (Paulus membahasakannya “takluk kepada hukum Taurat)
“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai
sejahtera,...”, kata Simeon. Pergi, kata pamitan yang dipakai oleh para
hamba yang telah menyelesaikan tugasnya dengan paripurna untuk pulang ke rumah.
Kyrios (“tuan”) tidak dipakai dalam
kalimat Simeon ini. Namun, yang ia gunakan despota,
istilah subyek untuk tuan rumah yang mempunyai banyak budak. Permohonan “pergi”
(yang bisa diartikan meninggal atau wafat) bukan dalam arti, “Sekarang saya
sudah tua, tidak berdaya dan tidak dapat melakukan apa-apa, saya sudah kenyang
dengan pahit-getirnya hidup, maka izinkanlah Engkau segera memanggil saya.”
Kalimat ini sering saya dengar ketika berkunjung kepada anggota jemaat yang
sudah tua renta, sakit-sakitan dan merepotkan anak-cucunya atau pasien rumah
sakit dalam kondisi terminal.
Bukan! Nunc dimittas-nya Simeon merupakan seruan gembira dan syukur dan
tekanan kalimat itu, menurut J.B.Boland ada pada ungkapan, “dalam damai sejahtera.” Dengan kata lain
Simeon berkata, “Sekarang aku dapat meninggal dalam damai sejahtera”. Rest in Peace! Siapa Simeon dan apa
alasannya ia menyanyikan kidung Nunc
dimittas?
Simeon, nama itu tidak setenar
nabiah Hana yang juga menyambut bayi Yesus di bait Allah. Hana jelas asal
usulnya disebutkan. Ia seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer.
Sedangkan Simeon? Lukas bungkam, tidak ada cerita leluhurnya siapa. Namun,
hanya dicatat bahwa Simeon adalah orang yang benar lagi saleh dan dengan setia
menantikan penghiburan bagi Israel (Penghiburan dapat berarti keselamatan sebagai penggenapan nubuat
dari Yesaya 40:1 dan 49:13). Kemungkinan ia telah renta, Lukas mencatat bahwa
ia ditentukan sebagai orang yang tidak akan mati sebelum melihat Mesias (Lukas
2:26). Simeon bukanlah kelompok kaum Zelot yang terang-terangan secara politis
menentang Roma dengan jalan angkat senjata. Ia juga sepertinya bukan dari
golongan imam atau orang Farisi yang pekerjaannya memelihara Taurat. Apalagi
Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan. Lalu dari tarekat manakah dia
berasal? Para penafsir menduganya bahwa ia
termasuk dalam “orang pendiam di negeri” (Mazmur 35:20). Orang yang
tidak suka memamerkan syareat atau aqidah agama. Namun, punya komitmen luar
biasa dalam melakukan kehendak ilahi. Dengan diam-diam memelira hidup kudus.
Ketika melihat Sang Bayi,
meluaplah kegembiraannya. Seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi hal terindah,
mempesona dan menakjubkan yang dapat memuaskannya. Penantiannya yang teramat
panjang dengan hidup penuh kesalehan dan ketaatan berujung manis. Kematian yang
berada di depannya bukan hal menakutkan melainkan sebuah kelegaan dan kepuasan
bahwa ia telah berjumpa dengan Sang Penebus itu. Kemudian Simeon melihat apa
yang akan dilakukan kelak oleh Sang Bayi ini.
Sang Bayi ini kelak akan
menjadi penyebab banyak orang akan jatuh.
Suatu ucapan ganjil, keras tetapi kelak orang akan melihat kebenarannya. Bukan
karena Allah menghakimi manusia, melainkan manusialah yang akan menghakimi
dirinya sendiri. Penghakiman itu sebagai konsekuensi dari reaksi terhadap Yesus
Kristus. Seandainya, ketika manusia
diperhadapkan dengan kebaikan dan kasih, hatinya tergerak untuk menjawab dengan
kasih, maka manusia itu sudah berada dalam Kerajaan Allah. Namun, sebaliknya,
jika ia tidak tergerak dan malah memberontak maka ia berada dalam hukuman. Dengan
demikian terdapat kelompok yang menerima dan menolak.
Sang Bayi kelak akan menjadi
penyebab banyak orang akan bangkit.
Seneca pernah berkata bahwa yang paling utama dibutuhkan manusia adalah tangan
yang terulur mengangakat mereka. Tepat sekali dan itulah tangan Yesus yang
mengangkat menusia dari kehidupan lama dan masuk ke dalam kehidupan baru,
keluar dari dosa dan masuk ke dalam kekudusan, keluar dari hal-hal yang
memalukan dan masuk ke dalam kemuliaan.
Sang Bayi akan menghadapi banyak perlawanan. Berhadapan dengan
Yesus Kristus tidak dapat bersikap netral. Hanya ada dua pilihan berpihak
kepada-Nya atau menjadi lawan-Nya. Inilah yang menyedihkan bahwa banyak dari
kita justeru memilih ini mau dan itu juga mau. Kita sering memilih apa yang
menguntungkan diri sendiri.
Simeon, sosok silent namun sarat makna. Kita bisa
belajar dari pribadi maupun ucapannya. Ia tidak seperti kebanyakan tokoh atau
pemuka Yahudi yang suka pamer kesalehan. Dalam pelbagai perjumpaan dengan
Yesus, para pemuka Yahudi inilah yang selalu mengajarkan ketaatan kepada
hukum-hukum Taurat. Alih-alih orang tertolong berjumpa dengan kelepasan,
hukum-hukum itu telah membelenggu, bagaikan kuk yang menekan pundak. Akibatnya,
orang tidak dengan sukacita mengerjakannya, melainkan karena takut. Simeon
adalah sosok yang tanpa pamer hidup dalam kesalehan. Ia, taat dan setia bukan
karena takut terhadap hukuman akibat pelanggaran aqidah Taurat melainkan karena
kecintaanya kepada Tuhan, Ia memegang teguh janji Tuhan dan di pennghujung hidupnya,
Tuhan menggenapi sukacitanya, ia berjumpa dengan sang Mesias itu.
Hidup kita, entah cepat atau
lambat pasti akan berakhir. Sebagian besar manusia menuliskan dalam obituari-nya dengan Rest in Peace. Betulkah apa yang tertulis itu menggambarkan
kenyataan yang sesungguhnya? Atau hanya sebagai kalimat “latah” karena semua
orang menuliskannya? Banyak keluarga, entah mengerti atau tidak kalimat itu,
ketika salah satu anggotanya meninggal menuliskan di iklan surat kabar atau di
batu nisannya dengan kalimat pembukaan “Rest in Peace”. Padahal, saat meninggal
justeru jauh dari kondisi tenang dan damai. Nah, Simeon mengajarkan Rest in
Peace yang sesungguhnya itu bisa terjadi ketika manusia berjumpa dengan Mesias!
Bagi Simeon tidak ada hal yang lebih mengagungkan, mempesona, menakjubkan, membahagiakan,
dan sederet lagi kata-kata senada dengan itu, selain berjumpa dengan Sang
Mesias! Bagaimana dengan kita? Jika ada hal lain yang lebih mengagungkan,
mempesona, memikat kita selain Kristus, berarti itu sebuah indikasi bahwa kita
belum memprioritaskan diri dan berjumpa dengan-Nya.
Simeon, mencapai klimat
bahagia dalam hidupnya oleh karena bukan saja ia melihat wujud dari Sang Bayi, mungkin
saja saat itu kemerah-merahan, kecil mungil. Simeon dapat melihat jauh ke depan
akan peran penting yang menentukan umat manusia dan dunia. Dari ucapannya kita
dapat memetik hikmat. Bagaimana kita sekarang memutuskan: Apakah kita berada
dalam barisan orang-orang yang menentang, melawan-Nya atau orang-orang yang
merespon dengan sukacita lalu mengerjakan apa yang menjadi kehendak-Nya.
Orang-orang yang dapat melihat “hidup” seperti Simeon,
pasti akan melakukan pilihan yang benar. Hidup saleh dan benar dengan sukacita
bukan karena terpaksa melainkan karena kita mencintai TUHAN, Bapa kita.
Ingatlah seperti apa yang dikatakan Paulus bahwa kita bukan lagi seperti
orang-orang Yahudi yang sebegitu rupa hidup di bawah bayang-banyak hukum
Taurat. “Tetapi setelah genap waktunya,
maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk
kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka yang takluk kepada hukum
Taurat, supaya bisa diterima menjadi anak (Galatia 4:4-5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar