King Chin, kaisar Dinasti Chin
yang berkuasa di Tiongkok tahun 221-206 SM, konon tidak sanggup menerima
kenyataan bahwa dirinya semakin menjadi tua. Ia tidak kuasa menghadapi realita
bahwa tubuhnya tidak lagi bugar dan semakin renta. Keriput menjalari wajahnya,
rambut beruban dan sendi tulang gemeretak. Ia ingin selalu awet muda, tetap
perkasa, dan berhasrat menjadi raja abadi di Tiongkok. Lalu, Chin memerintahkan
kepala tabib istana untuk mencari ramuan obat penangkal tua. Seluruh negeri
dijelajahi, para tabib dan peramu obat dikumpulkan. Akhirnya, apa yang
diperoleh Kaisar Chin? Ia hanya menemukan kenyataan bahwa dirinya terus
bertambah tua dan, mati!
Hasrat Kaisar Chin untuk terus berkuasa melawan hukum alam
akhirnya menyerah: tidak ada yang abadi! Kekuasaan bukanlah tahta abadi.
Kekuasaan mengenal batas waktu, ada termin waktu yang membatasinya. Namun, ada
banyak pemimpin lupa diri dan takabur. Sejatinya, kekuasaan itu dilimpahkan
atau diterima karena suatu legitimasi. Sesuatu yang dilimpahkan, sewaktu-waktu tentu
saja dapat ditarik kembali, atau harus dilimpahkan kepada orang lain. Otoritas
itu suatu amanah yang dapat berpindah tangan. Satu-satunya yang layak dilakukan
oleh seorang pemimpin adalah meninggalkan goresan tinta emas. Sayang sekali,
otoritas sering membius pemimpin, menjadi alat ampuh untuk melakukan
penindasan. (Sumber : Takhta Takkan Abadi,
Agus Santoso.Gramedia, 2013).
Dalam tradisi Israel atau
bahkan di Timur Tengah, para pemimpin sering dianalogikan atau disebut gembala.
Ketika seorang pemimpin disebut gembala, maka seharusnya: menggembalakan dengan
baik, mencari yang tersesat, membalut yang terluka. Artinya, pemimpin harus
menjadi pelindung, penjaga dan mengarahkan kepada tujuan yang benar, kalau
perlu untuk tugas panggilan itu, para pemimpin akan mengorbankan segala-galanya
demi orang-orang yang dipimpinnya. Namun, apa yang terjadi pada zaman
Yehezkiel? Ternyata para pemimpin hanya sibuk memuaskan nafsu ambisinya sendiri
dengan jalan menindas orang-orang yang dipimpin mereka.
Atas keadaan itu, TUHAN Sang
empunya kuasa sesungguhnya marah. “Beginilah
firman Tuhan ALLAH : Aku sendiri akan menjadi lawan gembala-gembala itu dan Aku
akan menuntut kembali domba-domba-Ku.
Gembala-gembala itu tidak akan terus lagi menggembalakan dirinya sendiri; Aku
akan melepaskan domba-domba-Ku dari mulut mereka, sehingga tidak lagi terus
menjadi makanannya.”(Yehezkiel 34:10). TUHAN tidak sekedar menghukum para
gembala keparat itu tetapi Ia juga merancangkan sebuah masa depan baru bagi
domba-domba-Nya. Seorang Gembala yang akan mengemban tugas mulia: menjaga dan
memelihara, membalut dan menyembuhkan, memberi makan dan minum, serta
mengumpulkan dan mencari yang tersesat. Siapakah Gembala yang dimaksud? Allah
memberitahukan: “Aku akan mengangkat
seorang gembala atas mereka, yang akan menggembalakannya, yaitu Daud, hamba-Ku;
dia akan menggembalakan mereka, dan menjadi gembalanya. Dan Aku. TUHAN, akan
menjadi Allah mereka serta hamba-Ku Daud menjadi raja di tengah-tengah mereka.
Aku, TUHAN, yang mengatakannya.”(Yehezkiel 34:23-24).
Benarkah sang gembala yang
dimaksudkan adalah Daud? Bagaimana mungkin? Yehezkiel menyampaikan nubuat Allah
pada tahun-tahun awal pembuangan bangsa Israel ke Babel (593-571 SM), jauh
sesudah zaman Daud (1040-970 SM), dengan demikian pastilah nubuat ini bukan
mengacu pada sosok harafiah Daud. Kalau begitu siapa gembala itu? Jawabnya
sederhana: bisa seseorang yang mempunyai karakter kepemimpinan seperti Daud
atau seorang dari keturunan Daud. Kalau kita membaca pernyataan Yesus yang
menyatakan diri-Nya sebagai gembala yang baik (Yohanes 10:1-21) dan Wahyu 7:17 Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta
itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan.
Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” Maka kita dapat
menyimpulkan bahwa gembala yang dimaksud adalah Yesus Sang Mesias!
Yesus Sang Gembala, pemimpin
dan sekaligus Raja yang ditentukan Allah sendiri untuk menerjemahkan
kepemimpinan ilahi, “...Dengan
sesungguhnya Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan
mencarinya...Aku sendiri akan menggembalakan domba-domba-Ku dan Aku akan membiarkan mereka berbaring,
demikian firman Tuhan ALLAH. Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa
pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan
kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya.”(Yehezkiel
34:11,15,16).
Allah memahami keadaan
umat-Nya (baca: domba-domba) yang dijadikan obyek pemerasan dan ketidak adilan
oleh para pemimpin mereka (baca: para gembala) dan Allah tidak tinggal diam,
pada girilannya para gembala rakus itu dihukum dan Allah menggantikannya dengan
Gembala yang baik. Nah, sekarang jika Allah Sang pemilik kekuasaan yang
sesungguhnya itu telah memprakarsai pemulihan pada aras kepemimpinan, apa yang harus dilakukan oleh
umat-Nya? Jawabannya sederhana saja: tidak ada jalan lain kecuali taat dan
setia!
Pada dasarnya setiap orang
Kristen percaya bahwa Sang Gembala yang dinubuatkan oleh Yehezkiel ini tidak
lain adalah Yesus sendiri. Kepercayaan atau iman itu masih harus ditindaklanjuti
dengan mengikuti jalan Sang Gembala itu. Mustahil sebuah tatanan baru yang
mengarah kepada kebaikan itu akan terjadi hanya dengan modal percaya saja.
Harus ada tindakan nyata, yakni mengikuti arahan Sang Gembala itu! Pada
akhirnya, siapa saja yang teruji dalam hidupnya benar-benar mengikuti Sang
Gembala, maka dialah yang akan berjumpa dengan Sang Pemilik kekuasaan sejati
dalam kemuliaannya.
Pada akhirnya Anak Manusia,
Sang Gembala itu akan memisahkan domba dari kambing (Matius 25:31-46). Sang
gembala itu akan memilah siapa yang menjadi pengikut sesungguhnya dan siapa
yang munafik. Kriteria pemilihan itu bukan tergantung kepada pengetahuan nalar
atau ketenaran nama baik apalagi kekayaan dan harta benda, melainkan pada hal-hal
yang sangat sederhana, yakni tentang kepedulian terhadap sesama. Seperti:
memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi
tumpangan kepada orang asing, menghibur yang sakit, mengunjungi orang yang
dipenjara. Bukankah hal-hal seperti ini dapat dilakukan siapa saja? Bukankah
perbuatan-perbuatan itu merupakan ciri dari Gembala Agung, Raja Kita? Sang
Gembala tidak menuntut apa yang tidak dapat kita lakukan!
Kepedulian terhadap sesama ini
merupakan inti dari kepedulian Allah terhadap umat manusia. Bukankah baru saja
kita belajar dari para gembala zaman Yehezkiel? Jika sekarang kepedulian itu
sama sekali tidak tampak dalam hidup kita, jangan-jangan kita ini bukan domba
gembalaan-Nya tetapi kambing atau bahkan srigala berbulu domba. Kepedulian itu
tidak bisa dibuat-buat melainkan dengan tulus tidak memperhitungkan untung-rugi.
Kepedulian itu mestinya sebagai reaksi wajar dari hati yang ingin mengasihi.
Seseorang yang memiliki karekter “domba” pasti hatinya tidak akan tahan melihat
penderitaan sesamanya. Cinta kasihnya itu akan lebih besar ketimbang resiko
yang akan diterima akibat ia melakukan tindakan kasih itu. Kisah Fransiskus
dari Asisi dapat menjelaskan hal ini.
Fransiskus sangat kaya, keturunan bangsawan. Pada
suatu hari, sementara ia sedang berkuda, ia bertemu dengan seorang penderita
kusta yang sangat menjijikan dan tentu tidak disukai orang. Sesuatu bergejolak
dalam hati Fransiskus sehingga ia turun dari kudanya lalu memeluk penderita
yang malang itu dan melalui tangannya wajah penderita kusta itu berubah menjadi
wajah Kristus. Di balik wajah menjijikan itu, Fransiskus berhasil melihat wajah
Yesus! Apakah hati kita juga “bergejolak” ketika melihat atau mendengar ada
sesama kita yang menderita? Meminjan syair lagi E wada karya Franky Sahilatua, “....Ada yang menangis luluhkah hatimu,
ada yang merintih nyenyakkah tidurmu!” Setiap domba gembalaan-Nya pasti punya hati
seperti Sang Gembala! Jadi jangan berharap kelak kita termasuk orang-orang yang
dikelompokka sebagai domba kalau karakter “domba” itu tidak ada pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar