Sejak buku nyanyian Pelengkap Kidung Jemaat di pakai oleh
banyak gereja, nyanyian no. 185 dengan judul “Tuhan Menutus Kita” mendadak hit. Iramanya dinamis cenderung ceria
maka tidaklah mengherankan ketika kita menyanyikannya tanpa terasa anggota
tubuh kita ikut bergerak sesuai dengan ritme lagu itu. Namun, pernahkah kita
sejenak menelisik lirick lagu
tersebut? Saya pernah merenungkan karya Arnoldus Isaak Apituley ini. Ternyata
tidak semudah dan senyaman ketika menyanyikannya!
Tuhan mengutus kita
kedalam dunia
bawa pelita kepada
yang gelap.
Meski dihina serta
dilanda duka,
harus melayani
dengan sepenuh.
Dengan senang, dengan senang
marilah kita melayani umat-Nya.
Dengan senang, dengan senang,
berarti kita memuliakan nama-Nya
Betulkah kenyataannya seperti
itu? Meski dihina serta dilanda duka akan tetap melayani dengan senang? Anda
dapat menjawabnya sendiri!
Di balik dinamika keceriaan,
nyanyian ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mengutus kita bukan ke tempat atau
situasi yang selalu menyenangkan. Untuk itu, Tuhan juga telah membekali kita
dengan talenta agar tugas panggilan itu dapat dikerjakan dengan baik. Nah,
masalahnya apakah kita menyadari talenta yang Tuhan percayakan kepada kita?
Selanjutnya, apakah talenta itu dikelola dengan optimal?
Perumpamaan Yesus tentang
talenta (Matius 25:14-30) dapat menolong bagaimana seharusnya kita mengelolanya
dengan baik. Perumpamaan ini bercerita bahwa suatu kali seorang saudagar mempercayakan
talenta-talentanya kepada tiga orang hambanya. William Barckay mencatat bahwa
perumpamaan ini bukan mengenai uang logam, melainkan ukuran berat logam itu,
entah tembaga, emas atau perak. Logam yang paling umum dipakai adalah perak dan
nilai satu talenta perak sekitar £ 240. Nilai yang tidak sedikit. Sang tuan
memberikan masing-masing kepada hambanya: lima, dua dan satu talenta. Sang tuan
tidak bisa dikatakan tidak adil. Mengapa? Mereka diberi kepercayaan sesuai
dengan kesanggupannya lalu sang tuan pergi untuk jangka waktu lama.
Perumpamaan ini mengungkapkan
bahwa Allah memberi kepada manusia karunia yang berbeda-beda kepada setiap
orang, dengan demikian maka bukanlah jumlah talenta yang menjadi persoalan
melainkan bagaimana para hamba itu menggunakannya. Allah tidak pernah menuntut
dari seseorang kemampuan-kemampuan yang tidak ia miliki. Tetapi Allah menuntut
agar setiap orang memanfaatkan sepenuhnya semua kemampuan yang ia miliki. Apa
upahnya bagi orang yang telah melakukan tanggungjawabnya dengan baik? Apakah
kemudian disuruh beristirahat atau berleha-leha? Dalam perumpamaan itu, dua
hamba yang melakukan tugasnya dengan baik dalam tidak diganjar dengan tamasya
atau berleha-leha santai. Namun, sebuah tanggungjawab yang lebih besar sudah
menanti dalam pekerjaan tuannya!
Sekarang apa yang terjadi
dengan hamba yang diberikan satu talenta? Ia malah menguburnya! Hamba ini
kemudian dikatakan hamba yang jahat. Loo
koq bisa? Bukankah hamba ini tidak mengorupsi talenta yang dipercayakan
kepadanya. Ia tidak menggunakan talenta itu untuk berfoya-foya. Bukankah ketika
sang tuan datang ia mengembalikannya tanpa kurang sedikit pun? Lalu mengapa
disebut jahat? Jawabnya: Ia tidak berbuat apa-apa dengan talenta itu.
Seandainya ia telah melakukan sesuatu dengan satu talentanya itu, lalu hilang,
hal itu masih lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. Selalu menjadi godaan
bagi orang yang menerima satu talenta untuk berkata, “Saya hanya menerima
talenta sedikit sekali maka sedikit pula dengan apa yang bisa saya lakukan.
Benarkah bahwa sedikit talenta
kemudian menjadi alasan untuk tidak mengembangkan sebuah karya? Ataukah hal itu
hanya sekedar alasan untuk tidak melakukan apa-apa terhadap talenta itu? Anda
tahu Stephen Hawking? Setiap orang yang menekuni fisika pasti tidak asing
dengan nama ini. Ia adalah seorang fisikawan denganotak cemerlang. Hawking
lahir tahun 1942, sejak usia 21 tahun menderita Lou Gehrig atau amyotrophic lateral sclerosis, penyakit
yang menyebabkan melemahnya otot, mengakibatkan kelumpuhan dan kehilangan
kemampuan bicara. Apakah Hawking menyerah? Tidak!
Hawking menyadari, ia masih
mempunyai kekuatan berpikir. Ia tidak mau menyerah! Ia mengelola pikirannya
sehingga kekuatan pikirannya sangat luar biasa, canggih, dan visioner, daya
imajinasinya sulit dicarikan tandingan. Tahukah Anda bagaimana keseharian Hawking
menjalani kehidupannya? Ia selalu ada di atas kursi roda yang dilengkapi dengan
komputer dan sebuah pembangkit (synthesizer)
suara. Dengan menekan tombol-tombol pada sebuah keyboard kecil, ia bisa memilih kata-kata di layar komputer,
menggabungkannya menjadi kalimat yang diteruskan ke pembangkit suara. Ini
merupakan kehidupan yang sulit dan membutuhkan mental baja untuk menjalani
hidup seperti itu.
Itulah Hawking, dengan
kelemahan fisik yang serius, ia memberikan inspirasi kepada dunia tentang asal
kejadian dan nasib alam semesta. Saat serangan terhadap otot-otot motorik
mencapai puncaknya, Hawking justeru habis-habisan melakukan riset. Sebuah buku
hebat lahir dari kerja keras yang penuh semangat itu, A Brief History of Time. Hawking membuktikan bahwa kelemahan fisik
bukan kendala untuk mengobarkan semangat dalam aktualisasi diri. Hasilnya?
Sederet kontribusi pemikirannya telah membuka cakrawala ilmu pengetahuan,
termasuk temuan,yang oleh fisikawan, John Wheeler disebut sebagai Black Hole. Hawking dengan segala temuan
akbarnya telah menunjukkan sebuah daya imajinasi tiada tara dan antusia luar
biasa (Agus Santoso, A Beautiful Heart.
2013).
Kembali ke perumpamaan tentang
talenta. Kisah ini mengungkapkan suatu hukum universal; bahwa kepada orang yang
mempunyai lebih banyak akan diberi, dan orang yang tidak mempunyai akan
diambil. Artinya, jika seseorang menyadari mempunyai talenta dan
menggunakannya, ia akan semakin mampu bekerja dengan mengelola talenta itu.
Namun, jika ia mempunyai talenta dan gagal memanfaatkannya, ia sungguh-sungguh
akan kehilangan talenta itu. jika kita mempunyai kemahiran di bidang olah raga
atau seni, jika kita mempunyai karunia untuk melakukan sesuatu, semakin banyak
memanfaatkan kemahiran itu, semakin berat dan besar tugas yang dapat kita
tangani. Sementara jika kita gagal memakainya (baca: mengubur talenta) kita
akan kehilangan kemahiran itu. Hal ini juga berlaku dalam bermain golf, bermain
piano, bernyanyi, menyusun khotbah, mengukir kayu, atau memikirkan
gagasan-gagasan. Inilah pelajaran kehidupan bahwa satu-satunya jalan untuk
memelihara sebuah karunia adalah memakainya dalam pelayanan kepada Allah melalui
sesama manusia (William Barclay. 2011).
Tuhan telah mengutus kita dan melengkapinya dengan
talenta, seperti dalam perumpamaan, sang tuan pergi untuk jangka waktu lama dan
tidak seorang pun tahu kapan ia akan kembali. Meminjam pernyataan Paulus
tentang kedatangan Tuhan adalah seperti pencuri (1 Tesalonika 5:2), jadi tidak
ada seorang pun yang tahu. Selanjutnya, Paulus mengajak kita untuk senantiasa
berjaga-jaga dengan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Asahlah dan gunakanlah
terus talenta yang Tuhan percayakan pada kita, sebab semuanya itu akan diminta
pertangungjawabannya kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar