John McNeil, seorang pendeta
Skotlandia terkenal, pernah bercerita tentang pengalamannya di masa kecil.
Ketika masih kanak-kanak, John kecil bekerja di suatu tempat yang jauh dari
rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, ia mesti berjalan kaki menembus hutan yang
lebat dan menyeberangi ngarai yang sepi untuk pulang ke rumahnya. Kata orang,
banyak binatang liar dan penjahat yang berkeliaran di ngarai itu. Dalam
cengkeraman rasa takut, John kecil harus melintasi ngarai itu setiap hari.
Suatu hari, ia terlambat pulang
sampai larut malam. Cahaya bulan tersuruk di balik gumpalan awan hitam. Ngarai
yang sepi itu gelap-gulita, dan saat anak kecil itu melangkahkan kakinya
melintas ngarai, ketakutan yang amat sangat menghimpit jantungnya hingga
berdegup kencang. Malam yang dingin tidak dapat membendung butiran peluh yang
terus keluar dari dalam tubuhnya. Telinganya menjadi sangat peka. Ada langkah
kaki yang seolah membuntutinya, dan sayup terdengar suara dari kejauhan.
John McNeil berhenti. Lututnya
menjadi begitu lemas dan kini kakinya sulit untuk diajak melangkah lebih jauh
lagi. Ketakutan begitu memuncak, nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ya, kini
ketakutan itu telah menguasainya! Tidak lama kemudian bunyi langkah kaki itu
semakin jelas dan pada saat-saat ia tidak dapat bernafas lagi, terdengar
teriakan, “John...! John...!
John kecil terperanjat. Ia
mengenal suara itu. Tepat, itu suara ayahnya!
Menyadari bahwa anaknya
terlambat pulang, sang ayah memahami rasa takut anaknya ketika ia melintas
nyarai yang seram itu. Maka sang ayah memutuskan untuk pergi menjemput John
kecil. Menyeruak dari kegelapan, sosok penuh kasih itu muncul, dan merengkuh
John. Anak kecil itu merasa dekapan ayahnya – itulah perasaan paling nyaman,
aman dan indah dalam hidupnya! Kemudian dengan tangannya yang kokoh, sang ayah
memengang John kecil melintasi ngarai yang seram pulang menuju rumah mereka.
“Kedatangan ayah mengubah
seluruh pengalaman saya.” Kenang John McNeil kemudian. Tuhan adalah Ayah Anda
dan Ayah saya. Dalam masa penuh keputusasaan dan kegelapan, kita bisa mendengar
suara-Nya, karena Dia pasti akan mencari kita. Dia akan selalu ada, saat kita membutuhkan-Nya.
Yang menjadi bagian dan harus kita lakukan adalah benar-benar memercayainya
sepenuh hati.
Tidak mudah untuk memercayai
Tuhan terlebih ketika melewati lembah kekelaman. Dalam kisah pengembaraan
Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian, berulang kali Allah meyakinkan
kepada umat-Nya bahwa Dia sendirilah yang menuntun bangsa itu. Satu hal yang
diminta-Nya adalah mempercayakan diri kepada-Nya. Peristiwa pembuatan dan
penyembahan anak lembu emas hanyalah salah satu dari sekian banyak perilaku
ketikadakpercayaan umat akan pimpinan tangan Tuhan. Peristiwa penyembahan
patung anak lembu emas ini membuat Allah murka dan menghukum umat Israel dengan
menulahi mereka (Keluaran 32:35).
Musa merasa kecewa dan sedih,
sebab Harun, kakaknya yang menjadi tumpuan dan teman pergumulan ternyata telah
melakukan dosa dengan menuruti keinginan umat Israel membuat berhala. Dengan
tugas berat memimpin bangsa israel menuju tanah perjanjian, Musa menginginkan
sahabat lain yang akan menolong dia. Ia meminta Tuhan mengutus “teman” untuk
menemaninya dalam memimpin uamat. Untuk kerinduan itu, Tuhan menjawab bahwa Ia
sendiri, bukan malaikat-Nya yang akan membimbing dan memberikan ketentraman
kepada Musa (Keluaran 33:14). Namun, tampaknya Musa terus meminta bukti bahwa Tuhan
benar-benar menyertai dia dan bangsanya.
Musa meminta ditunjukkan jalan
Tuhan sampai meminta Tuhan memperlihatkan kemuliaan-Nya. Musa tidak berhenti
pada janji Tuhan yang akan membimbing dirinya. Ia mau Tuhan juga membimbing
umat-Nya. Musa sadar bahwa perjalanan yang masih terbentang di hadapannya
tidaklah mudah. Karenanya, ia mau agar Tuhan menyertai mereka. Tampaknya, Tuhan
memenuhi apa yang diminta Musa. Ia tetap melimpahkan kasih karunia-Nya kepada Musa
dan akan menyertai perjalanan umat-Nya. Untuk membuktikan janji Tuhan itu, Musa
kembali mengajukan permintaan sebagai konfirmasi atau penegasan, yaitu supaya
ia bisa melihat kemuliaan Tuhan, seperti yang ia kenal di masa lalu. Ketika itu
kemuliaan Tuhan menyertai dan menaungi umat-Nya dari Mesir samapi Sinai. Dengan
melihat kemuliaan Tuhan, Musa diyakinkan bahwa Tuhan tetap ada di antara
umat-Nya dan tidak meninggalkan umat-Nya.
Terkadang Tuhan mengijinkan
pengembaraan hidup kita melewati ngarai yang kelam dan seram seperti John
McNeil atau seperti Musa dan bangsanya di padang gurun. Sendirian, takut,
getir, sakit dan terasing. Keadaan seperti ini memaksa kita bertanya, “Apakah
Tuhan masih menyertaiku?” Atau “Apakah benar tangan Tuhan itu ada?” Seperti
Musa, kita pun sibuk meminta bukti. Suara-Nya mungkin saja tidak kita dengar
karena dosa dan pelanggaran kita. Seperti refleksi Yesaya 59:1-2, “Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang
panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk
mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala
kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga
Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” Dalam kisah keluaran, jelaslah
bukan TUHAN yang menjauhi umat-Nya, melainkan umat itulah yang sering
membelakangi TUHAN. Bisa saja, kita tidak merasakan tuntunan tangan-Nya oleh
karena tangan kita sibuk melakukan dan mengenggam dosa. Lepaskanlah dosa-dosa
itu, betapa pun menyenangkannya. Mengapa? Karena tidak mungkin kita mengapai
tangan-Nya yang kudus sementara tangan kita kotor!
Bisa saja TUHAN mengijinkan
kita melewati lembah air mata dengan maksud kita sedang “dilatih-Nya” menjadi
anak-anak yang matang. Anak-anak yang tidak cengeng melainkan anak-anak yang
tangguh. Iberani 12 : 7-8 mengajarkan, “Jika
kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di
manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu
bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak,
tetapi anak-anak gampang.” Jadi, lembah air mata, gurun gersang dan ganas
bisa saja menjadi “kawah candradimuka” Allah mengembleng kita. Bagaimana
setelah seseorang digembleng dengan ujian berat? Ia akan keluar menjadi anak
yang tangguh dan tahan uji!
John McNeil setelah melewati
ketakutan luar biasa dan sang ayah datang pada waktu yang tepat. Ayahnya
menuntunnya dalam kegelapan dan kengerian. Toh,
ketika sang ayah menuntunnya, gelap tidak berubah menjadi terang. Suara-suara
mengerikan tidak lenyap. Namun, ia berani melangkah oleh karena sang ayah ada
di dekatnya. Ayah memegang tangannya. Kini, setelah peristiwa itu usai, John
bisa bercerita, ia bersaksi bahwa ia dapat melewati lembah kengerian itu
bersama dengan ayahnya.
Penderitaan dan kesulitan
hidup sebenarnya dapat menjadi sebuah kesaksian yang indah. Paulus memuji
jemaat di kota Tesalonika (1 Tes.1:5-10). Paulus mengungkapkan bahwa di tengah
kesukaran dan penderitaan yang mereka alami, selain tetap menjadi penurut
Tuhan, sikap hidup mereka kemudian menjadi kesaksian yang dapat diteladani oleh
orang-orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya. Sikap mereka yang hanya
percaya kepada Tuhan, berbalik dari berhala-berhala, dan melayani Tuhan dengan
apa yang bisa mereka lakukan, rupanya menjadi kesaksian hidup yang bergema ke
mana-mana.
Mungkin saja, saat ini kita sedang berada dalam lembah
kekelaman itu. Percayalah bahwa tangan Tuhan selalu ada. Ia tidak jauh, bahkan
Ia menantikan kita mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan-Nya. Jangan
buru-buru marah dan kecewa. Siapa tahu di balik semua itu ada pelangi kasih
yang sedang menanti. Ada kemuliaan-Nya yang begitu dasyat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar