Manusia sering tergoda dengan
apa yang dilihatnya secara kasat mata. Yang tampak itulah diyakini sebagai
realita sebenarnya. Kemewahan, kecantikan, keindahan dan kedasyatan yang
menakjubkan selalu dihubungkan dengan penglihatan seseorang terhadap subyek
tertentu dan dari sana kemudian manusia menyimpulkan serta memercaiyainya.
Namun, tahukah Anda bahwa tidak selamanya yang kasat mata itu menampilkan
realita dan kekuatan yang sesungguhnya? Bahkan sebaliknya, apa yang tidak
terlihat itu memegang peranan yang maha penting untuk eksistensi apa yang dapat
dilihat kasat mata. Ada hal-hal yang tidak kasat mata namun memiliki kekuatan
dasyat.
Energi listrik adalah kekuatan
yang tidak kasat mata. Paling banter kita hanya melihat kabel-kabel, tiang dan
rangkaian dalam travo, bentuk energinya seperti apa kita tidak pernah tahu.
Namun, jangan coba-coba kita memegangnya dengan tangan telanjang jika tidak
ingin tubuh kita hangus atau meledak seketika. Bagi masyarakat modern, energi
listrik adalah salah satu kebutuhan primer. Listrik mati, terhentilah aktifitas
pekerjaan.
Hal kedua yang tidak tampak
namun mempunyai kekuatan luar biasa adalah pikiran. Yang tampak, kalau pun itu
dibedah adalah gumpalan otak, tetapi tidak seorang pun dapat melihat dan
memvisualisasikan pikiran. Pikiran Anda yang sedang membaca renungan ini tidak
dapat dilihat, seperti apa wujud dan warnanya. Namun, apabila pikiran itu error, semisal karena stroke, hubungan antara neuron terganggu
dan menjadikan otak tidak dapat berfungsi, diri kita bisa menjadi mummi alias
mayat hidup. Secara fisik masih hidup tetapi pikiran sudah mati.
Ketiga, nyawa kita tidak
tampak. Tidak seorang pun dapat melihat “nyawa”, tetapi kita sepakat bahwa kita
mempunyai nyawa atau roh. Bila Allah menghendakinya, saatnya diambil oleh Sang
Pemilik, tubuh kita yang mempunyai unsur-unsur sama dengan tanah akan kembali
menjadi tanah. Secara hakekat, tubuh kita adalah tanah yang kebetulan berwujud
manusia dan diberi nyawa serta pikiran. Tanpa nyawa, manusia sama dengan tanah!
Selanjutnya, semua yang tidak
tampak pada umumnya berupa nonfisik. Dalam ilmu fisika, kalau dianalisis sampai
mendalam, materi (benda kasat mata) sesungguhnya terdiri dari struktur susunan
fisik ke nonfisik. Benda tersusun dari molekul, molekul tersusun dari atom,
atom tersusun dari partikel yang tidak tampak: energi kuanta dan virtual. Jadi,
semua benda (termasuk tubuh kita) terbuat dari yang tidak tampak, yakni energi
kuanta (quantum). Yang tidak tampak –
listrik, pikiran, nyawa, energi quanta- menduduki peran maha penting bagi
eksistensi nonfisik.
Dalam perjalanan menuju tanah
perjanjian, suatu ketika Musa naik ke gunung Sinai untuk menerima dua loh batu
yang berisi Taurat Tuhan (Keluaran 32). Kepergian Musa ke gunung itu membuat
bangsa Israel resah. Mereka berpikir Musa sedang mengulur-ngulur waktu turun
dari gunung itu. Maka bangsa itu mendesak kepada Harun, abangnya Musa untuk
segera membuat sesembahan bagi mereka. Mereka melihat bangsa-bangsa di
sekitarnya mempunyai sesembahan yang dapat dilihat kasat mata. Ada medianya,
ada wujud patungnya. Mereka menginginkan yang kasat mata ketimbang yang tidak
kelihatan. Atas desakan itu, Harun berinisiatif mengumpulkan semua perhiasan emas
yang ada pada bangsa itu lalu kemudian dibentuk menjadi anak lembu emas.
Mengapa berbentuk anak lembu emas dan bukan babi hutan, singa, gajah, banteng,
atau binatang lainnya?
Barang kali inspirasi anak
lembu emas diperoleh dari praktek-praktek penyembahan bangsa Israel pada waktu
itu. Ada beberapa bukti arkeologi yang berkaitan dengan pemujaan terhadap
hewan. Di sekitar Mesir ada bukti-bukti sejaman dengan kisah keluaran, yakni
penyembahan terhadap Horus dan anak lembu yang menjadi lambang kesuburan dan
kedigdayaan. Di daerah Kanaan ada praktek pemujaan terhadap lembu jantan atau
anak lembu sebagai Baal yang berkuasa atas alam dan juga melambangkan kesuburan
dan kekuatan. Pembuatan anak lembu emas oleh Harun rupanya menjadi praktek yang
umum di sana. Kehadiran yang tidak kasat mata dipersonalisasikan dengan yang
kelihatan. Kehadiran yang ilahi disimbolkan dengan patung. Celakanya, Harun
menyatakan bahwa anak lembu emas itu adalah TUHAN (YHWH). Lalu Harun mengadakan
upacara peresmian penyembahan anak lembu emas. Berserulah Harun, katanya: “Besok hari raya bagi TUHAN!” (Keluaran
32:5).
Kita mungkin terheran-heran, koq bisa seorang Harun, imam besar dan
kakak kandung dari Musa memakai nama TUHAN dan menerapkannya terhadap anak
lembu emas? Di mana kejernihan berpikir dan spiritualitasnya? Ada banyak
jawaban. Mungkin saja bisa kita kaitkan dengan desakan orang banyak yang
disertai ancaman agar Harun segera membuat allah yang kelihatan. Bisa juga
Harun terinspirasi kepercayaan bangsa lain dan ikut-ikutan membuat patung.
Apa yang terjadi dengan bangsa
Israel dan Harun dapat pula menimpa setiap kita. Kita sering tergoda dengan
yang kasat mata, terlihat dan logis dapat membantu mewujudkan keinginan kita.
Kita sering tertarik dengan orang-orang di sekitar kita yang tampaknya mudah
dalam menyelesaikan persoalan hidup: materi, kekayaan, kesehatan,
keberuntungan, pendeknya kesuksesan dalam hidup. Sehingga kita mudah beralih,
meninggalkan iman kita kepada TUHAN dan mengalihkannya kepada ilah-ilah yang
tampaknya kasat mata dapat membantu. Banyak cerita di mana orang rela
meninggalkan imannya hanya untuk menggapai kekuasaan dan kekayaan materi karena
hal itu dapat dianggap sebagai jaminan dalam hidupnya.
Kita telah banyak belajar
tentang kata “iman”. Iman, sederhananya adalah menyandarkan diri kepada apa
yang diyakini tidak dapat tergoyahkan kemudian mengamininya sehingga hidup
menjadi aman. Dalam iman kita diajarkan bahwa kita bersandar pada TUHAN yang
tidak kelihatan kasat mata namun diyakini mempunyai kekuatan yang Mahadasyat.
Jika alam raya ciptaan-Nya ini mempunyai energi-energi dasyat, contohnya energi
listrik yang tidak terlihat, maka sudah pastilah Sang Pencipta itu jauh lebih
dasyat! Namun, sayangnya manusia sering menukar dan menggadaikan yang
Mahadasyat itu dengan yang sementara. Tentu, ada alasan untuk itu. Dan
alasannya terkesan rasional, masuk akal: kuatir misalanya. Kuatir akan ancaman
tidak bisa hidup layak, tidak dihormati, tidak tersembuhkan dan lain
sebagainya.
Mengenai kekuatiran, Paulus
menasehati Euodia dan Sintikhe supaya tetap sehati sepikir. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa
pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam
doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”(Filipi 4:6). Allah tahu dan
mengerti apa yang menjadi kekuatiran setiap kita. Sejarah Israel keluar dari
Mesir menuju tanah perjanjian bukankah juga mengajarkan kepada kita akan
pahit-getirnya padang gurun yang harus mereka tempuh. Namun, di sana Allah
selalu ada, Ia hadir dan menolong tepat waktu.
Dalam dunia yang kita geluti sekarang ada banyak ilah
palsu. Kalau dulu bentuknya anak lembu emas, kini bisa berbentuk uang,
kekayaan, kekuasaan, hobby, orang-orang “pintar”, kekuasaan, dan semacamnya
yang bisa menggantikan kedudukan Allah. Itu semua kelihatannya dapat
menyelesaikan kekuatiran dan memenuhi keinginan kita. Namun, janganlah silau,
semua itu bagaikan anak lembu emas yang tidak akan pernah bisa menggantikan
kedudukan TUHAN yang sebenarnya. Mintalah kepada TUHAN agar kita dapat
membedakan mana ilah palsu dan mana yang sejati. Beranikanlah diri kita untuk
tetap beribadah kepada Allah yang sejati meski sulit jalan yang kita tempuh. Namun,
kelak kita akan masuk ke “negeri perjanjian” itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar