Taj Mahal merupakan salah satu
dari tujuh keajaiban dunia. Tahukah Anda latar belakang di balik bangunan
spektakuler ini? Berikut ini catatan wikipedia
tentang Taj Mahal. Tāj Mahal (bahasa Urdu: تاج محل, Hindi: ताज
महल) adalah sebuah monumen
yang terletak di Agra, India. Dibangun atas keinginan Kaisar Mughal Shāh Jahān,
anak Jahangir, sebagai sebuah musoleum untuk istri Persianya, Arjumand Banu
Begum, juga dikenal sebagai Mumtaz-ul-Zamani atau Mumtaz Mahal. Pembangunannya
menghabiskan waktu 22 tahun (1630-1653) dan merupakan sebuah adi karya dari arsitektur
Mughal.
Shah Jahan, kaisar dari Kekaisaran Mughal
memiliki kekayaan yang besar selama masa kejayaannya. Pada 1631 istri ketiganya
dan merupakan istri yang paling dicintainya wafat sewaktu melahirkan putrinya Gauhara
Begum, anak ke-14 mereka. Pada tahun 1983 Taj Mahal diterima sebagai Situs
Warisan Dunia UNESCO.
Ternyata Taj Mahal tidak lebih dari sebuah
makam. Tepatnya salah satu makam termewah yang ada di dunia. Makam itu sebagai
tanda cinta seorang kaisar kepada selirnya tetapi juga merupakan monumen
peringatan bahwa di sanalah dibaringkan jasad Mumtaz Mahal. Banyak orang
istimewa di dunia ini dikenang dengan cara membangun makamnya. Di Mesir, orang
mengingat dan menghormati raja-raja mereka dengan membangun piramida. Di
Uzbekistan ada Shah -i - Zinda
(artinya : raja yang hidup), monumen
makam yang paling terkenal di Asia Tengah. Mungkin kita juga punya budaya atau
cara untuk mengingat orang yang kita cintai dengan membangun makamnya. Budaya
Tionghoa dan Tapanuli, misalnya tidak asing lagi dalam hal membangun
makam-makam leluhur atau kerabat yang telah berjasa dalam kehidupannya.
Bila sebagian besar budaya mengingat dan
menghargai seseorang dengan membangun makamnya tetapi tidak dengan Israel.
Kalau ditanya siapa orang yang paling berjasa dalam sejarah Israel. Tentu kita
sepakat, jawabannya Musa. Banyak yang dikatakan mengenai Musa dalam kitab-kitab
Perjanjian Lama. Ia digambarkan sebagai pendiri peradaban Yudaisme, orang yang
mengumumkan undang-undang secara resmi. Ia seorang organisator suku-suku bangsa
Israel dalam bekerja dan beribadah. Musa juga seorang pemimpin kharismatik
dalam peristiwa pembebasan, perjanjian di gunung Sinai dan pengembaraan di
padang gurun, sampai Israel siap memasuki tanah perjanjian dari dataran Moab.
Bila Musa dihilangkan dari tradisi tersebut dan dipandang bukan sebagai tokoh
sejarah, melainkan sebagai tokoh yang ditambahkan kemudian, maka agama dan
keberadaan Israel tidak dapat dijelaskan lagi (W.S Lasor// de Vaux 1978
hlm.327-330; Bright 1981 hlm.124). Tidak
ada makam, sekalipun yang sangat sederhana buat orang yang begitu berjasa
terhadap Israel bahkan peradaban dunia!
Tidak ada kisah tentang wafat dan kuburan
Musa, kecuali catatan kecil bahwa ia sudah mati dan dikuburkan di tanah Moab. Apakah
Musa merasa kecil hati dan kecewa? Tidakkah ia juga ingin turut serta
menginjakkan kaiknya di negeri yang sudah begitu lama dijanjikan Tuhan?
Wallahualam. Mungkin juga ada kegalauan seperti itu. Namun, Alkitab bungkam
mengenai ini. Sebaliknya, Alkitab mencatat kebesaran jiwa Musa. Cobalah
banyangkan Anda seorang Musa. Sudah hampir empat puluh tahun lalu mendengar
janji Tuhan, kemudian mengerahkan segala kemampuan untuk memimpin bangsa Israel
keluar dari Mesir, berada di tengah-tengah bangsa yang tegar-tengkuk, ganasnya
padang gurun menjadi makanan sehari-hari. Kini, Anda ada diperbatas, sejengkal
lagi masuk negeri yang dijanjikan itu. Anda memandang dari atas gunung Nebo,
ternyata benar tanah perjanjian itu begitu elok dan subur. Dan...Anda tidak
diperkenankan masuk, cukup melihatnya saja! Bagaimana perasaan Anda? Bisa marah
atau kecewa! Musa tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh ketidaknyamanan. Musa
cukup puas. Ia Puas melihat tanah perjanjian itu. Baginya, dengan melihat saja
sudah jelas bahwa benar Allah itu tidak pernah ingkar janji. Janji-Nya
digenapi! Musa tidak pernah menyesal ketika hidupnya bersandarkan pada janji
Tuhan itu. Kitab Ulangan 33 mencatat bahwa sekalipun Musa sadar tidak akan
pernah menginjakkan kakinya di tanah perjanjian namun ia berkenan memberkati
bangsa itu. Sepertinya, bagi Musa, kasih setia Tuhan sudah lebih dari cukup,
kalau dia diperkenankan melihat dari kejauhan tanah perjanjian itu. Ia
bersyukur karena diberi kesempatan menghantar umat Allah sampai diperbatasan
dengan tanah perjanjian itu.
Apa yang membuat Musa bisa bersikap demikian?
Mazmur 90 dapat menjadi petunjuk jawaban itu. Musa mengakui dan menyadari bahwa
hidup manusia sejatinya hanyalah debu. Jika debu itu dipakai oleh Tuhan untuk
menjadi alat kemuliaan-Nya, maka sewajarnyalah yang berasal dari debu itu
mengucap syukur, sekaligus membekali diri dengan kelengkapan yang cukup untuk
tugas itu. Bagi Musa, kesempatan yang diberikan kepadanya tidak dipakai untuk
mengangungkan diri apalagi memanfaatkannya bagi kepuasan nafsunya. Ia terus mengasah
hatinya untuk peka terhadap suara Tuhan. Maka tidaklah heran bahwa Allah
menyebut Musa sebagai orang yang paling lembut hatinya di seluruh muka bumi.
Musa berhasil menjadikan dirinya, yang “hanya debu” menjadi bijaksana untuk
menggenapkan panggilannya. Dengan demikian, keberhasilan dalam karya memimpin
bangsa Israel semata-mata bersumber pada Tuhan. Itulah mengapa Tuhan seolah
sengaja melenyapkan kuburan Musa. Sebuah penegasan bahwa semua yang dialami
Musa berasal dari Tuhan, kepada Tuhan, dan melalui Tuhan, kiranya Tuhanlah yang
dicari oleh umat-Nya dan bukan mencari kuburan Musa!
Kita sering tegoda untuk menagih janji Tuhan.
Seolah Tuhan lupa akan janjinya. Namun, di pihak lain jarang sekali kita
menuntut diri sendiri untuk setia dan taat kepada Tuhan. Kita jarang memahami
janji Tuhan itu dari sudut pandang Tuhan. Ada standard spiritualitas yang
begitu jauh berbeda dengan Musa. Bagi Musa, ia sudah merasa puas ketika dari
kejauhan melihat negeri perjanjian itu. Namun, bagi kita rasanya Tuhan tidak
adil. Andaikan kita Musa, ya maunya mendapat bagian yang paling istimewa dan
merasakan hidup di negeri perjanjian itu. Jika itu kita biarkan menguasai diri
dan hidup kita, maka seberapa pun besarnya anugerah Tuhan tetaplah kita tidak
akan mampu melihatnya sebagai pemenuhan dari janji-Nya. Pasti selalu ada terus
yang kurang, itulah ciri manusia yang dikuasai oleh karakter egois.
Sekarang, bisakah spiritualitas Musa itu
menjadi bagian dari kehidupan iman kita? Ya, tentunya sangat mungkin. Caranya?
Belajarlah seperti Musa, belajarlah bersikap positif bahwa yang dilakukan Tuhan
kepada kita pastilah itu yang terbaik. Tinggal kita meminta kepada-Nya mata
hati yang jernih supaya dapat memandang “tanah perjanjian” itu. Ketika mata
hati kita jernih, maka sama seperti Musa, kita tidak akan menjadi marah atau
tersinggung bila seluruh jerih lelah kita tidak diingat orang. Malah kita akan
merasa bahagia kalau pada akhirnya orang bukan lagi mencari kuburan kita
melainkan mencari Tuhan sumber segala yang baik itu! Biarlah debu ini kembali
kepada debu dan kemulian Tuhan terus dikumandangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar