Sampai hari ini gonjang-ganjing
politik tampaknya belum menunjukan tanda-tanda mereda. Pagi ini (31 Oktober
2014), ditemani semangkok bubur kacang ijo saya menikmati lembar pertama koran Kompas. “DPR Semestinya Bersatu” judul
besar yang memuat wawancara dengan berbagai tokoh nasional mengenai kegaduhan
di parlemen kita.
“Koalisi Merah Putih ataupun
Koalisi Indonesia Hebat seharusnya sadar, pemilu sudah usai. Masyarakat pun
sudah menerima hasil pemilu. Jadi seharusnya partai politik bersatu. Bersatunya
partai politik itu menjadi cermin kuatnya demokrasi...Sebaiknya memang Koalisi
Merah Putih membuka diri, memasukkan perwakilan Koalisi Indonesia Hebat di
pimpinan alat kelengkapan dewan....Namun, jika KMP tetap pada posisinya, KIH
harus rela menyerahkan semua posisi pimpinan di dewan ke KMP...” kata mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Jilmy Asshiddiqie.
Hal senada diungkapkan oleh
pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra yang prihatin atas kekrisruhan di
DPR yang berujung pada dibentuknya DPR
tandingan. Menurutnya, hal ini menunjukkan para politisi belum mampu
mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan kelompok dan
pribadi. Para politisi seharusnya mampu mengedepankan musyawarah dalam
memecahkan persoalan bangsa.
Dari dua ungkapan tokoh
tersebut setidaknya kita mendapat gambaran bahwa umumnya elit politik mengejar
kekuasaan bukanlah dalam semangat membesarkan bangsa, membangun masyarakat yang
lebih maju baik mental, spiritual maupun ekonomi melainkan lebih pada pemuasan
ego sektoral: pribadi, keluarga, golongan, etnis dan partainya. Kekuasaan
dipandang sebagai alat untuk membangun kebesaran diri sendiri. Maka tidaklah
mengherankan, untuk meraihnya pelbagai cara dilakukan termasuk cara-cara keji
dan kotor.
Kita menyaksikan wakil rakyat
dan para pejabat dapat melanggeng dengan ijazah palsu. Kita dapat melihat gelar
palsu pencitraan bertebaran di ranah publik. Siapa sebenarnya mereka? Mereka
adalah cermin anak bangsa yang lebih menghargai simbol kosong, status palsu,
untuk membodohi bawahan, kalau ia seorang pemimpin. Atau untuk membohongi penggemar, kalau ia
adalah seorang public figure. Atau
untuk menipu rakyat, kalau ia seorang wakil rakyat. Atau untuk memanipulasi
umat dengan ayat-ayat janji sorga, kalau ia seorang pendeta atau ustazd. Yang
ingin disampaikan lewat sandiwara kepalsuan ini adalah, “Aku manusia bodoh yang
pintar membungkus kebodohanku.” Jelas pejabat-pejabat seperti ini tidak bisa
diteladani.
Pada jaman-Nya, Yesus menegur
para elit pejabat agama Yahudi (Matius 23:1-12). Mereka adalah ahli-ahli Taurat
dan orang Farisi. Mereka hanya memiliki otoritas dalam jabatanya, tetapi tidak
memiliki integritas dan kredibilitas. Maka Yesus mengingatkan kepada para
pengikut-Nya, “Sebab itu turutilah dan
lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi kamu jangan
turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak
melakukannya.” (Mat. 23:3).
Berebut nama besar, populer
dan punya otoritas rupanya telah lama menggoda manusia. Mengapa demikian?
Tentu, kita semua memakluminya bahwa di balik itu ada sederet penghormatan,
fasilitas, keuntungan, dan yang semacam itu. Berbeda dari kebanyakan orang,
tokoh Alkitab yang satu ini tidak memaksakan diri menjadi pemimpin dan kemudian
minta dihormati. Justeru, ia memaknai bahwa kepemimpinan itu dipergunakan seluas-luasnya
agar karya Allah nyata di tengah-tengah umat-Nya. Namanya: Yosua bin Nun dari
suku Yusuf (separuh keturunan Efraim) yang lahir di Mesir. Pada waktu orang
Israel keluar dari Mesir, ia masih belia (Kel.33:11). Dia diberi nama Hosea (Ibr. Hosyea ‘keselamatan’, Bil. 13:8),
tetapi kemudian Musa memanggilnya dengan Yosua (Ibr.yehosyua, ‘Tuhan keselamatan’, Bil.13:16).Yosua dipilih Musa untuk
menjadi pembantu pribadinya dan ia hadir di gunung saat Musa menerima Taurat
(Kel. 24:13, dst). Yosua juga menjadi penjaga kemah pertemuan pada saat Musa
bertemu dengan Tuhan (Kel. 33:11). Selanjutnya Yosua diberi tanggung jawab
memimpin bala tentara Israel yang ditugaskan untuk memukul mundur serangan
Amalek di Rafidim, Gurun Sinai. Kemudian
ia menjadi salah seorang dari keduabelas pengintai tanah Kanaan, dan bersama
Kaleb, memberi laporan yang mendorong Israel untuk memasuki Kanaan. Akhirnya ia
diangkat oleh Tuhan menggantikan Musa.
Benar pada akhrinya Tuhan
sendirilah yang memberikan mandat kepada Yosua. Namun, jangan kita lupa “karier
politik” Yosua di tengah bangsanya. Mungkin, di antara teman seaangkatannya dialah
yang paling banyak dicatat dalam Alkitab sebagai seorang yang setia, penuh
dedikasi dan berpandangan positif tentang rencana Tuhan buat umat-Nya. Yosua
bukan pemimpin karbitan, ia mau dibentuk oleh Tuhan sejak masa mudanya.
Sehingga sangatlah tepat Tuhan memilih Yosua. Tuhan membesarkan namanya, “Pada hari inilah Aku mulai membesarkan
namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa dahulu Aku
menyertai Musa, demikianlah Aku menyertai engkau.” (Yosua 3:7). Pernyataan
Allah ini merupakan penegasan dari janjiNya dalam Yosua 1:5.
Dalam sejarah hidupnya, Yosua
tidak pernah berupaya mempopulerkan atau mengkampanyekan dirinya supaya menjadi
pemimpin Israel. Namun, Yosua membuka ruang agar Allah bertindak melalui
dirinya. Dari pihak Allah, wujud kepercayaan dan pengesahan terhadap
kepemimpinan Yosua dinyatakan melalui peristiwa mujizat di sungai Yordan.
Sungai itu terbelah, ini mengingatkan bangsa Israel pada peristiwa laut
Teberau, sehingga bangsa Israel dapat menyeberang di tempat yang kering.
Pengesahan dan mujizat Allah yang menyertai kepemimpinan Yosua menandakan bahwa
Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Jadi, kebesaran nama Yosua dalam kepemimpinannya
adalah manifestasi kehadiran Allah di tengah umat-Nya.
Rasanya, bagi Yosua
keberhasilan dalam memimpin bangsa Israel untuk memasuki tanah perjanjian dan
berdampak namanya semakin besar, bukanlah menjadi tujuan utama dalam hidupnya. Dengan
kata lain, Yosua tidak mencari popularitas dan kekuasaan. Melainkan, ia
menyediakan hidup sepenuhnya sebagai media agar kehadiran TUHAN di
tengah-tengah umat-Nya menjadi nyata!
Nama besar, kekuasaan,
kehormatan akan datang dengan sendirinya jika saja seseorang mau menyediakan
diri menjadi alat untuk kehadiran Allah di dunia ini. Lihatlah tokoh-tokoh
sejarah dunia seperti Bunda Teresa, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Martin
Luther King Jr, dll. Dunia menghormati
mereka bukan karena gelar, atau ambisinya dalam meraih kekuasaan. Melainkan karena
apa yang diperjuangkan dan dikerjakan mereka.
Tuhan telah memberikan kesempatan hidup bagi setiap
makhluknya. Ia memberikan kebebasan sejak awal penciptaan manusia. Apakah
kebebasan atau keleluasaan hidup yang dikaruniakan kepada kita telah digunakan dengan sebaik-baiknya? Hal
yang terindah adalah, sama seperti Yosua, ia sebenarnya bebas menggunakan
hidupnya tetapi ia memilih menyerahkan hidupnya agar dipakai seluas-luasnya
oleh Tuhan sebagai alat-Nya untuk memimpin umat-Nya dalam menggenapi
rencana-Nya sehingga umat Tuhan itu boleh leluasa hidup di negeri perjanjian.
Bagaimana dengan kita? Apakah hidup ini kita gunakan dengan leluasa untuk
memuaskan ambisi sendiri? Ataukah kita mau seperti Yosua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar