“...dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari
sarang lebah.”(Mazmur 19:11b). Sepenggal kalimat refleksi Daud terhadap
Taurat TUHAN dalam rangkaian bait yang dimulai dengan “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa;...”(Mazmur 19:8).
Banyak orang, baik secara tradisional maupun ilmu pengetahuan moderen meneliti
madu. Hasilnya, menakjubkan! Kasiat madu telah dimanfaatkan manusia dari jaman
prasejarah sampai hari ini. Dari manfaat kecantikan sampai keperkasaan. Madu kaya
akan nutrisi gizi yang diperlukan tubuh manusia. Namun demikian pengelolaan
madu agar maksimal dalam memberikan mafaatnya bukan perkara sederhana.
Sabda Allah lebih manis dari
pada madu! Artinya, bagi Daud, jika saja madu begitu manis dan bermanfaat bagi
tubuh manusia, betapa lebihnya manfaat firman TUHAN bagi kehidupan manusia.
Salah satu manfaat yang diucapakan Daud, “Lagi
pula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya
mendapat upah yang besar.”(Mazmur 19:12). Mungkin saja ada orang yang tidak
dapat mengecap manisnya Firman TUHAN malah baginya sabda TUHAN itu menjadi
penghalang untuk memuluskan keinginannya. Atau Sabda itu diputarbalikkan demi
kepentingannya. Orang Farisi begitu karib bergaul dengan Taurat. Mereka adalah
ahlinya. Namun, mereka menggunakannya untuk kepentingan dan kebanggaan
sendiri. Ketika ada yang mengingatkan,
alih-alih sadar dan berbaik dari langkah yang salah justeru mereka memberangus
orang yang mengingatkannya. Kisah perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang
penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46) terasa tepat bagi
orang-orang yang merasa pandai mengetahui kitab suci namun tidak dalam
menerapkannya. Bagi Daud, firman TUHAN atau Taurat itu bagaikan pandu dalam
langkah hidupnya. Kalau buat kita, Taurat atau Firman TUHAN itu mempunyai
fungsi apa?
Beberapa minggu ini kita belajar
dari perjalanan pengembaraan bangsa Israel di padang gurun sebelum memasuki
negeri perjanjian. Perjalanan hidup kita juga adalah sebuah pengembaraan di
dunia ini. Ada orang yang sudah sangat jelas tujuan arah hidupnya, ada yang
masih samar-samar untuk apa hidup ini dan banyak yang tidak tau ke mana arah
tujuan hidupnya. Hidup bagai sebuah perjalanan dan kita membutuhkan banyak hal
agar perjalanan yang hanya sekali ini saja tidak menjadi sia-sia.
Marilah kita andaikan bahwa
kita sekarang ada di Bandung dan merencanakan sebuah perjalanan pulang ke
Jakarta. Tidak ada alat transpotasi yang akan membawa kita sampai di rumah.
Anda harus berjalan kaki, sama seperti halnya tidaka ada alat transfortasi
menuju ke sorga. Pertanyaan pertama: jalan mana yang akan kita ambil? Jalan
melalui pegunungan, puncak lalu ke Bogor atau melalui Ciater, Subang lalu
Cikampek dan Bekasi? Anda sendirilah yang memilih jalan dan mengatur
kecepatannya, seperti halnya perjalanan ke sorga. Dalam perjalanan itu ada satu
syarat: Anda hanya bisa berjalan ke depan, Anda tidak bisa kembali menyusuri
lagi jalan yang sudah Anda lewati. Itu adalah sekali jalan untuk selamanya.
Jalan satu arah yang sangat ketat!
Tentu, Anda harus mencari
makanan di sepanjang jalan yang Anda tempuh itu, mungkin di pasar kecil, di
sebuah kedai makanan atau di rumah-rumah pedesaan yang Anda lalui.
Refleksikan: Dalam ziarah kita
menuju surga, di gereja kita memiliki sakramen. Salah satunya Perjamuan Kudus
(hari ini umumnya gereja-gereja mereyakan Perjamuan Kudus se-dunia), kita
merayakannya dengan makan roti dan minum air anggur. Sebuah simbol rohani yang
dapat dikecap untuk menyegarkan dan mengenyangkan serta memperkuat langkah para
pejalan kaki di sepanjang jalan kehidupan. Perjamuan itu mengingatkan akan
cinta kasih Allah melalui Kristus yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya.
Perjalanan dilanjutkan. Anda
pun mungkin tergores dan memar di sepanjang jalan dan bengkak-bengkak di kaki.
Anda perlu memeriksakannya di klinik terdekat. Di gereja kita menyebutnya
dengan persekutuan orang-orang yang peduli, siap melayani dan saling
menguatkan-memulihkan. Apakah kini gereja menjadi tempat yang ramah dengan
menunjukkan karakter hospitalitasnya? Ataukah semakin menutup diri dan menjadi
tempat yang tidak lagi nyaman untuk para “pejalan kaki” yang terluka dan
membutuhkan pemulihan?
Hal lain yang dibutuhkan dalam
perjalanan adalah sejenis penerangan lampu atau obor untuk menunjukkan jalan
jika Anda berjalan di malam yang dingin dan gelap. Penerangan itu adalah Sabda
Ilahi, firman TUHAN. Kitab Suci, ia juga merupakan peta, yang bisa menunjukkan
kepada kita beberapa jalan pintas dan konsekuensi-konsekuensinya ketika memilih
salah satu jalan itu. Sepuluh perintah TUHAN (Taurat) adalah
peraturan-peraturan atau marka yang menjamin bahwa kita akan tiba dengan
selamat di tempat tujuan. Ingat Taurat itu bermanfaat sebagai rambu dan marka,
oleh karena itu sebenarnya ia bukan tujuan perjalanan Anda. Benar, rambu, marka
dan petujuk sangat penting. Mengapa? Tanpa itu kita tidak tahu ke mana
melangkah, tetapi tidak boleh ia menggantikan peran sebagai tujuan. Tidak boleh
juga kita terus memegangi rambu itu di tempatnya dan ogah meneruskan
perjalanan. Dulu Rasul Paulus pun menganggap Taurat itu adalah tujuan hidup,
setidaknya kebanggaannya, hal ini terungkap dalam Filipi 3:4-6. Tetapi ketika
ia berjumpa dengan Kristus, pandangannya terhadap Taurat berubah drastis. Kini
ia mengenal tujuan hidupnya adalah Kristus! Tujuan kita pulang ke Jakarta dan
petunjuk, marka atau rambu pada gilirannya akan tetap tinggal di tempatnya. Ia
harus terus bertugas menuntun orang agar sampai ke tempat tujuan.
Sementara kita bergerak, kita
bisa berjalan atau berlari atau sekedar berjalan-jalan santai. Kita bisa
berhenti sejenak untuk mengagumi hal-hal yang ada di sepanjang jalan. Namun,
jangan terlalu lama apalagi terlena kemudian enggan meneruskan perjalanan. Ada
banyak orang terlena di tengah perjalanan malah kemudian membangun rumah dan
tinggal di tengah perjalanan itu. Kenyamanan, kenikmatan hidup telah membuai
banyak orang tidak lagi mengingat Firman-Nya. Ia lupa tujuan perjalanan hidup
itu.
Kita mungkin tergelincir, terjatuh, terantuk batu,
terluka dan berdarah-darah bahkan mungkin bisa dirampok orang. Tetapi
percayalah Anda tidak ditinggalkan-Nya sendirian. Pelbagai cara ajaib yang
mungkin tidak pernah Anda duga dapat dipergunakan-Nya untuk menopang perjalanan
Anda. Ia dapat mengolesi luka Anda dengan “madu itu” bahkan mengenyangkannya
hingga sampai di tujuan akhir perjalanan Anda. Sekarang yang dibutuhkan adalah
kesediaan Anda hidup dalam ketaatan pada firman-Nya, bukan sekedar ucapan dan
pengetahuan belaka melainkan totalitas hidup kita. Nah, ketika sampai di
tujuan, pulang ke rumah, semua letih lesu itu akan segera sirna. Di sana Sang
Bapa menyambut kita dengan senyuman, “Baik sekali anak-Ku, engkau telah setia
selama perjalanan hidupmu. Kini, masuklah bersama-sama dengan Aku di dalam
kemuliaan-Ku. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar