Kamis, 02 Oktober 2014

SABDA ALLAH LEBIH MANIS DARIPADA MADU

“...dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.”(Mazmur 19:11b). Sepenggal kalimat refleksi Daud terhadap Taurat TUHAN dalam rangkaian bait yang dimulai dengan “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa;...”(Mazmur 19:8). Banyak orang, baik secara tradisional maupun ilmu pengetahuan moderen meneliti madu. Hasilnya, menakjubkan! Kasiat madu telah dimanfaatkan manusia dari jaman prasejarah sampai hari ini. Dari manfaat kecantikan sampai keperkasaan. Madu kaya akan nutrisi gizi yang diperlukan tubuh manusia. Namun demikian pengelolaan madu agar maksimal dalam memberikan mafaatnya bukan perkara sederhana.

Sabda Allah lebih manis dari pada madu! Artinya, bagi Daud, jika saja madu begitu manis dan bermanfaat bagi tubuh manusia, betapa lebihnya manfaat firman TUHAN bagi kehidupan manusia. Salah satu manfaat yang diucapakan Daud, “Lagi pula hamba-Mu diperingatkan oleh semuanya itu, dan orang yang berpegang padanya mendapat upah yang besar.”(Mazmur 19:12). Mungkin saja ada orang yang tidak dapat mengecap manisnya Firman TUHAN malah baginya sabda TUHAN itu menjadi penghalang untuk memuluskan keinginannya. Atau Sabda itu diputarbalikkan demi kepentingannya. Orang Farisi begitu karib bergaul dengan Taurat. Mereka adalah ahlinya. Namun, mereka menggunakannya untuk kepentingan dan kebanggaan sendiri.  Ketika ada yang mengingatkan, alih-alih sadar dan berbaik dari langkah yang salah justeru mereka memberangus orang yang mengingatkannya. Kisah perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46) terasa tepat bagi orang-orang yang merasa pandai mengetahui kitab suci namun tidak dalam menerapkannya. Bagi Daud, firman TUHAN atau Taurat itu bagaikan pandu dalam langkah hidupnya. Kalau buat kita, Taurat atau Firman TUHAN itu mempunyai fungsi apa?

Beberapa minggu ini kita belajar dari perjalanan pengembaraan bangsa Israel di padang gurun sebelum memasuki negeri perjanjian. Perjalanan hidup kita juga adalah sebuah pengembaraan di dunia ini. Ada orang yang sudah sangat jelas tujuan arah hidupnya, ada yang masih samar-samar untuk apa hidup ini dan banyak yang tidak tau ke mana arah tujuan hidupnya. Hidup bagai sebuah perjalanan dan kita membutuhkan banyak hal agar perjalanan yang hanya sekali ini saja tidak menjadi sia-sia.

Marilah kita andaikan bahwa kita sekarang ada di Bandung dan merencanakan sebuah perjalanan pulang ke Jakarta. Tidak ada alat transpotasi yang akan membawa kita sampai di rumah. Anda harus berjalan kaki, sama seperti halnya tidaka ada alat transfortasi menuju ke sorga. Pertanyaan pertama: jalan mana yang akan kita ambil? Jalan melalui pegunungan, puncak lalu ke Bogor atau melalui Ciater, Subang lalu Cikampek dan Bekasi? Anda sendirilah yang memilih jalan dan mengatur kecepatannya, seperti halnya perjalanan ke sorga. Dalam perjalanan itu ada satu syarat: Anda hanya bisa berjalan ke depan, Anda tidak bisa kembali menyusuri lagi jalan yang sudah Anda lewati. Itu adalah sekali jalan untuk selamanya. Jalan satu arah yang sangat ketat!

Tentu, Anda harus mencari makanan di sepanjang jalan yang Anda tempuh itu, mungkin di pasar kecil, di sebuah kedai makanan atau di rumah-rumah pedesaan yang Anda lalui.

Refleksikan: Dalam ziarah kita menuju surga, di gereja kita memiliki sakramen. Salah satunya Perjamuan Kudus (hari ini umumnya gereja-gereja mereyakan Perjamuan Kudus se-dunia), kita merayakannya dengan makan roti dan minum air anggur. Sebuah simbol rohani yang dapat dikecap untuk menyegarkan dan mengenyangkan serta memperkuat langkah para pejalan kaki di sepanjang jalan kehidupan. Perjamuan itu mengingatkan akan cinta kasih Allah melalui Kristus yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya.

Perjalanan dilanjutkan. Anda pun mungkin tergores dan memar di sepanjang jalan dan bengkak-bengkak di kaki. Anda perlu memeriksakannya di klinik terdekat. Di gereja kita menyebutnya dengan persekutuan orang-orang yang peduli, siap melayani dan saling menguatkan-memulihkan. Apakah kini gereja menjadi tempat yang ramah dengan menunjukkan karakter hospitalitasnya? Ataukah semakin menutup diri dan menjadi tempat yang tidak lagi nyaman untuk para “pejalan kaki” yang terluka dan membutuhkan pemulihan?

Hal lain yang dibutuhkan dalam perjalanan adalah sejenis penerangan lampu atau obor untuk menunjukkan jalan jika Anda berjalan di malam yang dingin dan gelap. Penerangan itu adalah Sabda Ilahi, firman TUHAN. Kitab Suci, ia juga merupakan peta, yang bisa menunjukkan kepada kita beberapa jalan pintas dan konsekuensi-konsekuensinya ketika memilih salah satu jalan itu. Sepuluh perintah TUHAN (Taurat) adalah peraturan-peraturan atau marka yang menjamin bahwa kita akan tiba dengan selamat di tempat tujuan. Ingat Taurat itu bermanfaat sebagai rambu dan marka, oleh karena itu sebenarnya ia bukan tujuan perjalanan Anda. Benar, rambu, marka dan petujuk sangat penting. Mengapa? Tanpa itu kita tidak tahu ke mana melangkah, tetapi tidak boleh ia menggantikan peran sebagai tujuan. Tidak boleh juga kita terus memegangi rambu itu di tempatnya dan ogah meneruskan perjalanan. Dulu Rasul Paulus pun menganggap Taurat itu adalah tujuan hidup, setidaknya kebanggaannya, hal ini terungkap dalam Filipi 3:4-6. Tetapi ketika ia berjumpa dengan Kristus, pandangannya terhadap Taurat berubah drastis. Kini ia mengenal tujuan hidupnya adalah Kristus! Tujuan kita pulang ke Jakarta dan petunjuk, marka atau rambu pada gilirannya akan tetap tinggal di tempatnya. Ia harus terus bertugas menuntun orang agar sampai ke tempat tujuan.

Sementara kita bergerak, kita bisa berjalan atau berlari atau sekedar berjalan-jalan santai. Kita bisa berhenti sejenak untuk mengagumi hal-hal yang ada di sepanjang jalan. Namun, jangan terlalu lama apalagi terlena kemudian enggan meneruskan perjalanan. Ada banyak orang terlena di tengah perjalanan malah kemudian membangun rumah dan tinggal di tengah perjalanan itu. Kenyamanan, kenikmatan hidup telah membuai banyak orang tidak lagi mengingat Firman-Nya. Ia lupa tujuan perjalanan hidup itu.

Kita mungkin tergelincir, terjatuh, terantuk batu, terluka dan berdarah-darah bahkan mungkin bisa dirampok orang. Tetapi percayalah Anda tidak ditinggalkan-Nya sendirian. Pelbagai cara ajaib yang mungkin tidak pernah Anda duga dapat dipergunakan-Nya untuk menopang perjalanan Anda. Ia dapat mengolesi luka Anda dengan “madu itu” bahkan mengenyangkannya hingga sampai di tujuan akhir perjalanan Anda. Sekarang yang dibutuhkan adalah kesediaan Anda hidup dalam ketaatan pada firman-Nya, bukan sekedar ucapan dan pengetahuan belaka melainkan totalitas hidup kita. Nah, ketika sampai di tujuan, pulang ke rumah, semua letih lesu itu akan segera sirna. Di sana Sang Bapa menyambut kita dengan senyuman, “Baik sekali anak-Ku, engkau telah setia selama perjalanan hidupmu. Kini, masuklah bersama-sama dengan Aku di dalam kemuliaan-Ku. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar