Seekor singa mendekati seekor
badak dan bertanya, “Siapa raja hutan itu?” Badak menjawabnya, “Siapa lagi. Tentu
engkaulah raja hutan itu!” Sesaat kemudian sang singa itu menaiki punggung kuda
nil dan bertanya, “Menurutmu, siapa raja hutan itu?” Kuda nil menjawab, “Engkau!”
Sejurus kemudian singa itu
loncat menaiki punggung gajah dan mengajukan pertanyaan yang sama. Gajah itu
segera menangkap singa itu dengan belalainya, membelitnya dengan kencang, lalu
melemparkannya ke udara, kemudian menangkapnya lagi ketika meluncur ke bawah.
Singa itu menjadi bulan-bulanan sang gajah sebelum menghempaskannya ke sebuah
batang pohon besar.
Setengah pusing dan sangat
kesakitan, singa itu menggelengkan kepalanya dan bergumam, “Kalau kamu tidak
tahu jawaban yang tepat, kamu tidak perlu marah seperti ini!”
Kesombongan dan tinggi hati
banyak berujung pada penderitaan diri baik fisik maupun psikis yang sebenarnya
tidak perlu terjadi. Sayangnya banyak orang mengejar itu. Tentu ada alasan
untuk berlaku seperti itu sehingga orang rela membayar harganya. Ada rasa
bangga dalam dada, puas dan melambung tinggi manakala orang mengagumi dan
menyanjung! Banyak orang merindukan sanjungan dan pujian namun tidak menyadari
bahaya di balik itu. Dengan gaya perumpamaan yang menjadi ciri khas
pengajaran-Nya, Yesus mengingatkan para pendengarnya untuk tidak mencari
penghormatan dengan duduk di tempat terhormat.
Konteksnya jelas. Dalam sebuah
perjamuan: Yesus melihat, bahwa tamu-tamu berusaha menduduki tempat-tempat
kehormatan. Ia mengajar dengan sebuah perumpamaan, “Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan. Jangan duduk di
tempat kehormatan, sebab orang itu meungkin telah mengundang seorang yang lebih
terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan
datang kepadamu dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu
engkau dengan malu akan pergi duduk di tempat yang paling rendah. Tetapi,
apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin
tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silahkan duduk di depan.
Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang
lain. Sebab barangsiapa meninggikan
diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan.” (Lukas 14:7-11).
Sepintas ajaran Yesus ini
tampaknya hanya nasihat etis dalam tatakrama seperti kebijaksanaan para leluhur
yang terekam dalam Amsal 25:6-7. Atau mungkin orang mengartikannya sebagai
resep “jaim” (jaga imej), tujuanya supaya kehormatan itu toh akan didapati dengan berpura-pura duduk di tempat yang paling
rendah terlebih dahulu. Namun, maksud perkataan Yesus ini lebih dari sekedar itu,
lebih dakam! Ia tidak hanya mengingatkan kita untuk mempunyai tingkah laku yang
bijaksana dan sopan, tetapi yang terutama adalah mengajarkan tentang kerendahan
hati! Rendah hati yang bukan untuk menjaga imej, padahal di dalam hatinya
mencanangkan penghormat. Bukan itu! Namun, rendah hati yang berangkat dari niat
tulus. Orang yang seperti inilah yang kelak diganjar dengan “...,ia
akan ditinggikan.” Jadi kalau kita mau bersikap rendah hati jangan
mencanangkan nanti aku akan ditinggikan, kalau hal itu terjadi maka sebenarnya
kita sudah punya niatan tinggi hati.
Bagaimanakah kita dapat
memelihara kerendahan hati kita? William Barclay menyarankan dua hal:
1. Kita
dapat memeliharanya dengan menyadari kenyataan-kenyataan. Sekalipun banyak yang
kita telah ketahui, tetaplah kita hanya mengaetahui sedikit saja dari
keseluruhan pengetahuan itu. Sekalipun banyak yang telah kita capai, kita tetap
baru mencapai sedikit saja. Bagaimana pun pentingnya kita memandang diri kita
sendiri, ketika kematian menghampiri kita atau ketika kita menjalani masa
pensiun, kehidupan dan karya akan tetap jalan terus sama seperti sebelumnya.
2. Bandingkanlah
apa yang ada pada kita dengan kesempurnaan. Adalah dengan datang, melihat dan
mendengarkan seorang ahli, maka kita sampai pada kesadaran betapa miskinnya
kita sebenarnya. Tidak ada apa-apanya dibanding dengan sang ahli itu! Banyak
pengkhotbah yang menjadi rendah hati atau bahkan nyaris takut ketika telah
mendengarkan seorang suci yang sejati berkata-kata. Apalagi jika kita
menempatkan dan berkaca pada kehidupan Tuhan. Jikalau kita melihat
ketidaklayakan kita dibandingkan dengan cahaya kemurniannya-Nya yang tenpa dosa,
maka kebanggaan apakah yang dapat dibanggakan? Kebanggaan yang sempit akan mati
dan kepuasan terhadap diri sendiri akan layu di hadapan cahaya Keagungan-Nya.
Dalam konteks perjamuan dan di
meja makan yang sama, Yesus masih memberikan nasihat moral. Ia mengajarkan
tentang kemurahan hati yang tanpa pamrih. Kemurahan hati muncul dalam tindakan
pemberian. Namun, pemberian tidak selalu identik dengan kemurahan hati, sebab
banyak tindakan memberi justeru bukan lahir dari sikap murah hati yang tulus.
Ada pelbagai motivasi orang dalam memberi:
1. Ada
orang memberi oleh karena dorongan bahwa ia wajib memberi. Kita dapat saja
memberi kepada Allah maupun kepada manusia dalam bentuk apa pun. Pemberian itu
seperti kita membayar pajak. Kewajiban yang tidak bisa kita hindari! Ada banyak
orang mencanangkan memberi persembahan, baik persembahan bulanan, persepuluhan,
mingguan dan lainnya bagaikan bayar pajak. Sekian persennya harus dikembalikan
kepada Tuhan, dan jika itu sudah dilakukan maka tenanglah kini hatiku!
2. Seseorang
memberi, dapat saja karena murni untuk kepentingan diri sendiri. Ia memandang
setiap pemberiannya itu bagaikan suatu kunci yang membawanya kepada kredit
dalam perhitungan buku kas induk Tuhan. Pemberian seperti ini sangat jauh dari
sikap dermawan, dan sungguh-sungguh merupakan sikap egoisme yang besar.
Tampaknya memberi, padahal sedang mengumpulkan kredit poin untuk dirinya
sendiri!
3. Seseorang
memberi, dapat saja supaya feedback
nya dia dipandang sebagai orang yang hebat. Dermawan! Pemberian seperti ini
sebenarnya adalah perbuatan yang kejam. Pemberian seperti ini lebih berpotensi
melukai orang yang diberinya. Kalau seseorang memberi dengan motif seperti itu
maka pastilah ia melihat si penerimanya dengan sombong. Adalah lebih baik tidak
usah memberi sama sekali dari pada memberi hanya untuk kepuasan keseombongan
seseorang. Para rabbi mempunyai pribahasa yang berbunyi,”Jenis pemberian yang terbaik adalah kalau si bemberi tidak tahu kepada
siapa pemberiaannya itu diberikan, dan pihak pemenerima tidak tahu dari mana ia
menerima pemberian itu.” Dalam hal ini orang akan menghayatinya, untuk si
pemberi: “Saya memberi untuk Tuhan”. Si penerima: “Saya menerima dari Tuhan.”
Maka dalam kesemuanya itu Tuhanlah yang dimuliakan, tidak ada tempat bagi
kesombongan manusia!
4. Seseorang
dapat memberi karena tidak ada jalan lain disebabkan oleh dorongan hatinya yang
kuat untuk memberi. Inilah satu-satunya cara riil untuk memberikan. Hukum
Kerajaan Allah adalah begini : “Jika seseorang memberikan sesuatu hanya untuk
mendapatkan pahala, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa; tetapi jika
seseorang memberi tanpa mengharapkan apa-apa maka pahalanya jelas dan pasti.
Satu-satunya pemberian yang riil adalah pemberian yang merupakan pengaliran
keluar dari kasih yang tidak dapat dibatasi.
Sikap rendah hati
dan prilaku memberi dengan motivasi tulus dan benar akan membuat setiap
pengikut Kristus ramah, welcome tidak
ada kemunafikan terhadap semua orang. Pada gilirannya, ciri atau karakter
seperti inilah yang akan menjadi karakter komunitas umat Tuhan. Komunitas yang
memelihara kasih persaudaraan, keramah-tamahan, dan simpati serta empati kepada
mereka yang hidup dalam kesulitan (Ibrani 13:1-6). Sudahkah komunitas, gereja
kita punya ciri seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar