Hampir di semua aspek
kehidupan manusia diwarnai dengan persaingan atau kompetisi. Kompetisi sering
dipandang sebagai sebuah peperangan. Memenangkan peperangan merupakan sebuah
kenikmatan tersendiri. Pemenang selalu dipuji, dihormati dan disanjung.
Sebaliknya, menjadi pecundang adalah hal memalukan. Maka tidaklah mengherankan
kalau kita melihat ada orang yang jelas-jelas kalah dalam sebuah kompetisi
tidak mengakui kekalahannya bahkan ia meradang dan mencari cara, kalau kalah,
hancur, ya hancur sekalian semuanya!
Kehidupan dapat dipandang
sebagai ajang peperangan, siapa yang dapat memenangkannya tentu merasakan
kebahagiaan. Lalu, perang seperti apa yang kita hadapi, pertempuran fisikkah?
Apakah orang atau kelompok yang berbeda dengan kita adalah musuh dan harus
diperangi, ditaklukan kemudian dibinasakan? Rasanya bukan seperti itu. Yesus
mengajarkan kita agar dalam hidup ini tidak mencari dan mempunyai musuh,
malahan kalau pun ada musuh, mereka tidak perlu diperangi dan dibenci,
melainkan harus dikasihi. Betapa pun yang kita anggap sebagai musuh dan kerap
kali merugikan, mempermalukan serta berusaha menghancurkan hidup kita, tetaplah
kita terpanggil untuk mengampuni.
Dalam kisah tentang
perumpamaan pengampunan (Matius 18:21-33), Petrus bertanya kepada Yesus, sampai
berapa kali harus mengampuni orang yang menjengkelkan kita? Yesus menjawabnya
sampai tujuh puluh kali tujuh! Ini menandakan pengampunan tanpa batas! Pengampunan
yang berkualitas. Mengapa begitu? Melalui cerita perumpamaan-Nya tentang hamba
yang berhutang sepuluh ribu talenta, Yesus mengajarkan mengapa kita harus
mengampuni tanpa batas. Dalam kisah itu, karena belas kasihan sang raja maka si
hamba yang berhutang itu dibebaskan. Seperti itulah, kita mengampuni. Oleh
karena telah terlebih dahulu diampuni maka kita terpanggil untuk mengampuni .
Jadi, jelaslah kehidupan ini memang adalah ajang peperangan tetapi musuh itu
bukanlah sesama kita. Musuh terbesar adalah diri kita sendiri dan persoalan
yang ada dalam kehidupan kita.
Bagaimanakah kita berperang melawan
diri sendiri sekaligus persoalan pelik dalam hidup ini? Berhasilkah kita
menaklukkannya? Andalan dan senjata apa yang kita gunakan untuk peperangan itu?
Mari kita belajar dari kisah perjalanan,
atau tepatnya keluaranya bangsa Israel dari negeri perbudakan menuju tanah perjanjian.
Kisah ini menarik oleh karena sering mewakili gambaran perjalanan kehidupan
kita. Padang gurun dan pengembaraan menuju tanah perjanjian bukankah cerminan
hidup ini. Kita semua sedang berada dalam pengembaraan di padang gurun dan
berharap suatu ketika nanti akan tiba di “negeri perjanjian”. Sampaikah nanti
di negeri itu dan disambut oleh Tuhan sendiri? Ataukah kita tersesat di padang
gurun, lalu menyesali hidup ini dan menyalahkan Tuhan? Atau barangkali kita
menikmati padang gurun dan ogah meneruskan perjalanan?
Pierre Teilhard de Chardin
pernah bercerita. Ada sekelompok pendaki gunung yang hendak memulai misinya
untuk mendaki gunung yang tinggi. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka sudah
menempuh setengah perjalanan dan segera terbagi dalam tiga kelompok. Mereka
semua memutuskan untuk beristirahat dalam sebuah pondok.
Satu kelompok merasa menyesal
bahwa mereka telah melakukan perjalanan yang menegangkan dan diwarnai bahaya
yang tidak setimpal dengan kenikmatan yang mereka harapkan. Begitu kecewanya
mereka sehingga kelompok ini menggerutu, marah dan akhirnya memutuskan untuk
kembali pulang.
Kelompok kedua sangat senang
dan menikmati perjalanan itu. Mereka senang dapat menghirup udara pegunungan
yang jernih dan sinar matahari yang menghangatkan tubuh mereka. Karena itu
mereka duduk di rerumputan dan dengan lahap menyantap roti bekal mereka.
Beberapa di antaranya mulai bernyanyi-nyanyi dan menarik nafas dalam kebebasan
alam pegunungan yang indah. Mereka merasa puas dan senang berada di tempat itu.
Kemudian mereka berpikir, kalau tempat ini begitu menyenangkan, mengapa harus
berjalan mendaki lagi ke tempat yang lebih tinggi. Belum tentu di sana lebih
indah dan nyaman seperti di sini. Karena itu mereka sepakat memutuskan untuk
tidak melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di situ.
Kelompok ketiga adalah para
pendaki gunung sejati yang mendaki sampai ke puncak yang selalu terbayang di
mata mereka sejak mereka mempersiapkan diri dan berangkat. Puncak itulah yang
merupakan tujuan mereka dan mereka berupaya mengerahkan seluruh kemampuannya
untuk menaklukkan gunung itu. Dalam kehidupan ini, di saat kita mendaki untuk
mencapai tujuan, kadang kita termasuk satu dari antara ketiga sikap kelompok
pendaki itu.
Sikap seperti kelompok pertama
tampaknya lebih dominan dalam perjalanan rombongan eksodus bangsa Israel.
Mereka kecewa, menggerutu, marah dan minta kembali ke Mesir. “Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir,
maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat
ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Mesir?” (Keluaran 14:11).
Itulah ungkapan kekecewaan mereka terhadap Musa.
Mereka marah oleh karena tidak
melihat jalan keluar di tengah ancaman bahaya. Situasi mereka seperti syair
lagu Koesplus “Maju kena, mundur kena”.
DI depan mereka terbentang Laut Teberau sementara di belakang, Firaun dan
tentaranya segera datang untuk membinasakan mereka. Mereka kepepet! Pernahkah Anda berada dalam situasi seperti ini, situasi
teramat pelik: maju kena mundur kena? Bagaimana reaksi Anda? Ya, sudah dapat
ditebak: Marah, kecewa dan bahkan prustasi! Semua gelap, tidak mampu melihat
jalan keluar. Untunglah dalam perjalanan bangsa Israel itu Tuhan tidak
membiarkan bangsa itu dalam kondisi prustasi. Tuhan memberikan pertolongan
tepat waktu. Musa diperintahkan mengulurkan tongkatnya. Mujizat terjadi: Laut
Teberau terbelah dan itulah jalan keluar buat mereka. Firaun dan tentaranya
binasa di tempat yang menjadi solusi buat Israel. Mereka tidak usah berperang,
Tuhanlah yang berperang serta menuntun mereka menuju tanah perjanjian itu.
Menang tanpa berperang! Apakah
masih berlaku dalam kehidupan saat ini dan di sini? Ya, tentu saja! Syaratnya
bukan seperti kelompok pertama para pendaki gunung atau kebanyakan orang Israel
yang menyesali perjalanan mereka. Melainkan punyailah sikap seperti kelompok
pendaki yang terakhir. Mereka punya visi dan semangat! Itulah modal untuk
mengalahkan diri sendiri, modal itu tidak tumbuh dari para motivator atau orang
lain siapa pun juga tapi harus ada dalam diri sendiri. Sebuah keyakinan
optimis. Ketika si optimis ini berhadapan dengan tantangan maka ia akan dapat
melihat kemudahan di balik kesulitan. Sebaliknya, si pesimis akan melihat
kesulitan di balik kemudahan. Andaikata pun masalah pelik yang dihadapi seorang
yang optimis, maka ia kan berkata, “Pastilah Tuhan tidak akan membiarkan aku
melewati masalah ini seorang diri. Ia akan menolong tepat waktu!” Menang tanpa
beperang itu akan terjadi mana kala kita menyiapkan sarananya, yakni: optimis,
mengandalkan Tuhan dan hidup dalam rancangan-Nya.
Pengalaman Israel melewati masa sulit di Laut Teberau
tampaknya begitu kuat menginspirasi pemazmur (Mazmur 114) dan ini dijadikannya
modal dalam menghadapi setiap kesulitan hidup. Nah, bagaimanakah dengan kita?
Apakah menjadi pecundang atau pemenang dalam hidup ini? Sampaikah kita pada
negeri perjanjian, puncak gunung ataukah kita menjadi orang yang menyesali
hidup ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar