Sebut saja namanya Lyndal.
Lyndal begitu semangat mencari beberapa guru spiritual karena berpikir bahwa
dari orang-orang bijak itulah dia bisa menemukan kearifan. Seiring berjalannya
waktu, seperti seleksi alam, ada beberapa guru yang semakin dia hormati dan ada
juga yang ditinggalkannya. Rupanya Lyndal lebih memilih sosok sang guru
ketimbang isi ajarannya. Dari orang-orang yang sudah mendapat pencerahan ini,
dia berharap mendapat pencerahan seperti seorang dokter yang memberi obat pada
pasiennya.
Suatu hari, seorang guru yang
sudah termasyur di seantero jagat mengunjungi kotanya. Guru ini kabarnya
memiliki pengalaman mengajar sangat lama dan banyak yang merekomendasikan
kepadanya. Dari guru ini, Lyndal berharap mendapatkan apa yang gagal diberikan
oleh guru-guru sebelumnya. Dia meminta untuk bertemu empat mata dengan sang
guru bijaksana ini. Dia begitu senang ketika permohonannya dikabulkan.
“Sudah lama saya berkelana ke
sana kemari untuk mencari pencerahan, “dia menjelaskan kepada guru itu. “Saya
mencari kearifan dan kesadaran akan diri sendiri. Saya ingin hidup ini berguna.
Saya ingin mengabdi kepada sesama, bahkan untuk seluruh dunia, makhluk-makhluk
yang ada di dalamnya, dan ekologinya. Petunjuk apa yang bisa Anda berikan
kepada saya agar bisa mewujudkan keinginan itu?”
Sang guru melihat niat yang
begitu besar pada diri perempuan ini, kemudian ia memulai dengan wejangannya, “Untuk
mendapatkan pencerahan sejati, Anda harus mengasingkan diri. Anda harus
mendermakan semua milik Anda, melupakan semua guru, dan melepaskan masa lalu
yang selama ini masih berat untuk Anda relakan. Anda harus mencurahkan segenap
hidup Anda dalam doa dan kontemplasi. Hanya inilah cara satu-satunya untuk
mewujudkan cita-cita Anda yang mulia itu, inilah jalan menuju kearifan dan
kebahagiaan!”
Lyndal melakukan apa yang
diinstruksikan kepadanya dengan sedetail-detailnya. Ia membebaskan diri dari
ikatan duniawi. Dia melepaskan diri dari segala ketergantungan dan hidup
mengasingkan diri. Pada mulanya Lyndal mengalami kesulitan. Dia rindu kepada
banyak hal yang telah dilepaskannya. Tetapi hal itu lambat-laun dapat diatasi,
ia semakin terbiasa dengan pengasingan dan mulai bisa bersyukur atas gaya hidup
yang baru ini. Namun, meskipun demikian ia tidak merasa lebih arif atau
tercerahkan. Baginya Lyndal yang dulu sama saja dengan yang sekarang, hanya
gaya hidupnya saja yang berbeda dari kebanyakan orang. Pada suatu hari, ia
mendengar bahwa sang guru akan mengunjungi kotanya lagi. Lyndal memutuskan
untuk meninggalkan pengasingannya dan sekali lagi minta nasihat dari guru itu.
“Sudah bertahun-tahun,” dia
menjelaskan kepada sang guru, “saya menjalankan tugas petunjuk Anda. Saya sudah
mendermakan semua harta. Saya sudah membebaskan diri dari masa lalu. Saya sudah
berdoa dan bermeditasi dengan tekun, tetapi saya masih merasa jauh dari
mendapatkan pencerahan. Tolong beri saya petunjuk, apa lagi yang harus saya
lakukan?”
“Maaf,” kata guru itu. “Jelas
sekali saya telah memberikan nasihat yang keliru buat Anda. Anda sudah dengan
tekun melaksanakan apa yang sudah saya ajarkan. Tak ada keraguan tentang hal
itu. Faktanya sederhana saja: ternyata nasihat saya tidak membuahkan hasil. Tidak
ada lagi yang bisa saya berikan kecuali mengatakan bahwa tidak ada gunanya melanjutkan
apa yang tidak membuahkan hasil. Saya kuatir, sekarang Anda tidak akan pernah
mendapat pencerahan sama sekali!”
Hati Lyndal hancur lebur. Dia
tersungkur sambil menangis di kaki sang guru. “Saya sudah melewatkan
bertahun-tahun kehidupan saya dengan sia-sia. Saya sudah kehilangan semua yang
dahulu saya kumpulkan sedikit demi sedikit. Saya juga menyia-nyiakan kehidupan
saya. Saya sangat kecewa!” Lyndal pergi. Belum pernah dia merasa terbuang dan
putus asa seperti itu. dia sudah kehilangan, bukan saja waktu dan materi tetapi
juga kontak dengan teman-temannya dan keluarga. Dia sudah tidak memiliki
apa-apa lagi, tidak juga harapan.
Ada banyak pengikut Yesus mengartikan
“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku ”(Matius 16:24)
seperti Lyndal menerjemahkan ajaran gurunya. Betulkah demikian? Kalau benar
seperti itu mengapa Lyndal gagal? Ia merasa sia-sia! Lalu, apa yang salah?
Jawabannya sederhana: Tujuan Lyndal mencari guru tersohor dan kemudian
melakukan ajarannya sangat jelas, yakni memuaskan diri sendiri. Ada orang yang
puas dengan uang, harta kekayaan atau kuasa. Namun, ada seperti Lyndal, ia puas
apabila merasa mendapat pencerahan. Tetaplah fokusnya pada diri sendiri. Anda
dan saya ujungnya akan kecewa jika niatan mengikut Yesus itu hanya untuk kepuasan
diri sendiri.
Kita dapat belajar dari para
murid Yesus. Mereka mempunyai pandangan yang tidak sama dengan Yesus tentang
misi yang harus diemban oleh Sang Mesias. Para murid berharap dengan mengikut
Sang Mesias kelak mereka mendapat bagian dalam kemuliaan kekuasaan duniawi.
Betapa terhenyaknya mereka ketika Yesus menyatakan diri bahwa Ia harus
mengalami banyak penderitaan bahkan mati disalibkan. Pemberitahuan tentang
penderitaan Yesus menunjukkan kepada para murid bahwa Yesus bukanlah Mesias
seperti yang dimimpikan mereka. Yesus adalah Mesias hamba yang memilih mengosongkan
diri, mengambil via dolorosa. Petrus, mewakili murid lain
menegor Yesus. Baginya mustahil Mesias mati sia-sia. Atas pernyataan Petrus
ini, Yesus memperingatkan Petrus dengan keras dengan menyebutnya Iblis.
Lalu Yesus mulai mengajarkan
bahwa jalan mengikuti-Nya adalah jalan yang tidak mudah. Matius 16 : 24
terjemahan Alkitab BIMK mengatakan, “Orang
yang mau mengikuti Aku, harus melupakan kepentingannya sendiri, memikul
salibnya, dan terus mengikut Aku.” Jadi seseorang yang mau mengikut Yesus
melewati proses, yaitu tidak mengutamakan kepentingan sendiri. Ia harus
berfokus kepada Allah, dengan demikian bersedia menanggalkan kepentingannya
sendiri dan kemudian siap menderita dengan kesetiaan. Tentu menderita bukan
dibuat-buat, melainkan oleh karena komitmen akan kecintaan kepada yang diikutinya,
yakni Tuhan.
Balik sebentar pada kisah
Lyndal. Dalam kecewa ia kembali ke tempat pengsingannya. Duduk bersila dan
mulailah ia kembali dalam meditasi. Angin berhembus membelai dirinya yang
begitu kecewa. Kali ini, dalam kepasrahan total ia merasakan angin itu. ia
melihat dan memerhatikan burung berkicau mencari makan. Begitu riang dan ceria.
Ia melihat kegembiraan alam yang sebelumnya luput karena kerja kerasnya
memenuhi target pencerahan. Betapa indah, takjub, dan luar biasa. Kini fokusnya
bukan pada diri sendiri tapi pada alam raya dan lebih dari itu, kepada sang
pencipta kehidupan!
Ketika cinta kepada diri
sendiri mengalahkan kecintaan pada Tuhan maka sulit bagi kita menyangkal atau
melupakan kepentingan diri sendiri. Namun, ketika cinta kita kepada Tuhan
melebihi cinta pada diri sendiri, hal melupakan kepentingan diri sendiri
bukanlah beban, melainkan sebuah keniscayaan. Ketika cinta kita kepada Tuhan melebihi
cinta pada diri sendiri maka kasih kepada sesama itu tidak pura-pura. Kita akan
berlomba-lomba mengerjakan kebaikan bahkan bukan hal mustahil untuk memberkati
orang yang telah menganiaya kita. Itulah dasyatnya cinta kasih yang
dikaruniakan Tuhan apabila kita bersedia melupakan kepentingan diri sendiri!
“Harga” yang harus dibayar
memang tidak murah, bahkan nyawa taruhannya. Itulah harga kemartiran. Namun,
resiko itu akan diganjar dengan harga yang pantas juga. Sebaliknya, justeru
mereka yang bersedia dan mempertahankan nyawanya, akan kehilangan nyawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar