Seorang isteri terbangun pada
suatu pagi yang cerah oleh aroma kopi yang mengepul panas dan croissant yang harum. Beberapa menit
kemudian, suaminya muncul dari balik
pintu kamar tidur sambil membawa nampan sarapan pagi. Sebelum suaminya sempat
mengucapkan selamat pagi, sang isteri mulai berbicara.
“Tidak ada yang semanis madu
di atas croissant pada pagi hari. Pernahkah
kau perhatikan, sayang, ada berapa jenis madu di dunia ini? Setiap madu,
seperti juga anggur, masing-masing punya sifat unik. Dari generasi ke generasi,
madu selalu dijunjung tinggi di banyak kebudayaan. Tahukah engkau bahwa para
pencari madu berani mempertaruhkan nyawa mereka mendaki tebing yang terjal dan
pohon yang tinggi untuk mengumpulkan madu asli. Madu semacam ini terkenal karena
khasiatnya yang mampu menyembuhkan banyak penyakit. Kita menyebut tempat-tempat
yang memiliki tanah yang subur dan makmur dengan tanah susu dan madu. Madu jelas
adalah selai makan pagi kesukaanku!”
Suaminya terheran-heran,
sungguh di luar dugaan, lalu bertanya, “Ada apa ini? Mengapa kamu memuji-muji
madu dengan begitu puitisnya? Tidak pernah kamu memuji aku seperti pujianmu
terhadap madu hari ini!”
Sang isteri mengabaikan
tanggapan dari suaminya, lalu ia melanjutkan, “Yah,...di sisi lain, madu tidak
menyehatkan. Pernahkah kau bayangkan serangga-serangga kotor yang
mengumpulkannya, membawanya di atas tubuh mereka, lalu mereka mengolahnya tentu
saja dalam kondisi jauh dari hiegenis, dan menyimpannya di dalam hutan, entah
di mana? Lebah belum pernah mendengar tentang Louis Pasteur.”
“Lagi pula mengkonsumsi madu
terlalu banyak tidak baik untuk kadar gula darah kita. Selain kekotorannya,
madu sendiri bisa menyebabkan masalah kesehatan. Dan bagaimana bisa kita tahu bahwa
kita sudah terlalu banyak mengkonsumsi madu? Bagaimana kita tahu tingkat
toleransi tubuh kita terhadap madu? Tidak! Setelah berpikir masak-masak, aku
geli, aku benci dengan madu!”
Sang suami terbengong-bengong
dengan monolog panjang isterinya. Dia tadinya hanya berpikir bahwa tindakannya
membawakan makanan pagi ke tempat tidur ini pasti menjadi kejutan romantis bagi
sang isteri karena belum pernah ia melakukan hal itu. Kini, ia heran akan
komentar sang isteri yang penuh dengan empati dan penghargaan terhadap madu,
tetapi juga kontradiktif dan membenci madu. “Tungu sebentar,” katanya. “Bagaimana
kamu bisa memiliki dua pendapat yang sedemikian bertentangan tentang satu
subjek yang sama, yakni madu?”
“Tidak, kok,” jawab isterinya,
“Aku memiliki pilihan pendapat mana yang ingin kupegang – dan itu tergantung
dari apakah kita punya madu di dapur atau tidak.”
“Hidup adalah Anugerah” Itu
juga tergantung cara kita memandangnya. Seseorang bisa bekerja, mendapatkan
upah, membangun rumah tangga, punya anak-anak, ada yang menganggapnya sebagai
sebuah anugerah tak ternilai. Namun, tidak sedikit juga yang memandangnya
sebagai sebuah beban kehidupan yang harus terus di jalaninya sampai ajal
menjemput. Menghadapi hari Senin, banyak yang menganggapnya sebagai anugerah
bahwa yang Mahakuasa memberi kesempatan lagi untuk berkarya, tetapi tidak
sedikit yang membencinya!
Perjalanan Israel dari
perbudakan di Mesir menuju tanah Perjanjian sangat menarik menjadi bahan
refleksi kita. Saya sering berkaca pada peristiwa ini. Inilah gambaran
kehidupan pengembaraan kita di padang gurun dunia. Isreal dibebaskan dari
perbudakan, bukankah kita juga mengalami pembebasan dari dosa oleh penebusan
Kristus? Israel dijanjikan akan tiba di negeri perjanjian, yakni tanah Kanaan.
Kita yang percaya akan penebusan Kristus juga dijanjikan tanah Perjanjian,
yakni Kerajaan Sorga. Israel harus mengalami pengembaraan di padang gurun
sebelum sampai di negeri perjanjian. Kita pun harus mengalami pengembaraan di
padang gurun dunia ini sebelum sampai di garis finis. Israel sering ngomel
karena mendapati apa yang tidak mereka inginkan, begitu juga kita!
Perjalanan pembebasan dari
Mesir ke tanah Perjanjian jika dilihat dari prespektif Allah, mestinya Israel
bersyukur. Sebab Allahlah yang merancangkan kebaikan untuk umat-Nya. Namun,
nyatanya tidak demikian. Sebagian besar umat itu menganggap perjalanan mereka
adalah sia-sia, penuh kepahitan dan ancaman malapetaka. Mereka menyesali lalu
marah dan mengingat kembali kehidupan di Mesir. Rasanya, ingin kembali. Biar
menjadi budak asalkan isi perut terjamin. Israel tidak melihat perspektif Allah
yang ingin mengangkat derajat kehidupan mereka dari bangsa budak menuju kepada
umat pilihan. Maka tidak heran mereka berkata, “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika
kami duduk menghadap kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab
kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini
dengan kelaparan.” (Keluaran 16:3). Barangkali juga saat ini kita sedang
seperti Israel, ketika kebutuhan dan keinginan tidak terpenuhi, yang ada
hanyalah marah, kecewa dan penyesalan. Apakah ketika kebutuhan itu terjawab,
lantas kelu-kesah itu berhenti? Tidak juga! Sebab peristiwa selanjutnya, ketika
Allah menjawab dengan menurunkan hujan roti manna
dan burung puyuh untuk kebutuhan makan mereka, tetap saja tidak puas! Ada yang
tamak, mengumpulkan lebih dari semestinya sehingga berbau busuk. Kisah selanjutnya
mereka ngomel lagi karena kehausan.
Bila setiap pemenuhan
kebutuhan gagal membuat orang terpuaskan, merasa cukup, tidak kecewa, marah
atau serakah, lalu adakah hal lain yang dapat meredakan itu? Ada! Jawabnya
adalah bersyukur dan percaya kepada pemeliharaan Allah serta tidak iri akan
kehidupan orang lain. Seberapa pun kita mempunyai persediaan makanan, uang,
harta benda dan jaminan sosial jika tidak ada rasa bersyukur akan merasa kurang
dan kurang terus. Kurang apa para pejabat kita? Tetapi mengapa mereka terus korupsi?
Jawabanya sederhana: kurang bersyukur! Tuhan dapat memenuhi semua kebutuhan
kita tetapi tampaknya Ia tidak mau mengambil alih rasa syukur. Rasa syukur itu
bukan Allah yang menyediakan tetapi respon kita terhadap pemberian-Nya!
Bersyukur akan menjauhkan kita
dari sikap iri hati. Kisah perumpamaan tentang pekerja kebun anggur yang
disampaikan Yesus sangat menarik untuk kita belajar tidak iri hati (Matius
20:1-16). Seorang pengusaha kebun anggur mencari orang yang mau bekerja di
kebunnya dengan upah sedinar sehari. Janji imbalan itu dia sampaikan sama
kepada mereka yang bekerja mulai pukul sembilan, pukul dua belas dan pukul tiga
petang. Pada sore hari Boss kebun anggur itu memanggil semua pekerjanya dan ia
membayar sesuai kesepakatan. Yang bekerja belakangan dipanggil duluan,
akibatnya mereka yang bekerja pagi hari melihat berapa upah yang diberikan.
Sangkanya mereka akan mendapat lebih karena jam kerjanya lebih panjang. Namun,
ternyata tidak! Mereka tidak terima dan protes. Si Boss lalu bertanya, bukankah
semula sepakat sedinar sehari? Atau iri hatikah engkau karena Aku murah hati?
Bukankah perumpamaan ini
sering terasa cocok dengan kehidupan
kita? Ketika melihat kesuksesan dan kelimpahan berkat pada diri saudara kita,
ada perasaan tak nyaman, apalagi jika merasa bahwa diri ini telah lebih
melayani dan berbuat baik. Selama masih ada iri hati dalam diri, kita sulit
bersyukur! Iri hati membuat kita marah dan gagal menyukuri bahwa hidup ini
semata-mata adalah anugerah!
Paulus, dalam segala kondisi hidupnya dapat memaknai sebagai
anugerah. Ia mengatakan bahwa pada hakekatnya hidup adalah Kristus dan mati
adalah keuntungan (Filipi 1:21) Mengapa ia mengatakan demikian? Ia memiliki
keyakinan bahwa jika Tuhan memberinya hidup, maka hidupnya harus diisi dengan
kerja yang menghasilkan buah. Sebaliknya, jika ia mati, kematian itu membuatnya
bersuka cita, sebab dengan kematiannya, Paulus menyatukan diri dengan Kristus.
Nah, bagaimanakah kita sekarang? Apakah memandang hidup ini sebagai anugerah
atau beban dan kesialan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar