Sama seperti di Eropa dan Amerika
Selatan, di mana orang sudah terbiasa berpesta dan berdansa dengan mengenakan
topeng di wajah sebelum masa Adven. Di Papua Nugini pun topeng menjadi bagian
dari kebudayaan. Orang Sepik memiliki topeng kayu yang besar, yang dipegang
oleh para penari. Bayangkan para penari yang bersembunyi di balik topeng,
mereka melakukan gerak-gerik tertentu dan tidak pernah mengatakan apa-apa.
Semua orang di daerah itu mewarnai wajah mereka untuk berdansa, sebagian untuk
menutupi jati diri mereka, mereka menutupi wajah dengan jelaga untuk bertempur,
dan dengan lumpur untuk berduka cita. Lalu, tentu, para penjahat menutupi wajah
mereka dengan kerudung untuk menyembunyikan jati diri mereka.
Manusia gemar menyembunyikan diri
di balik topeng hal itu tentu sangat mudah ditebak: untuk menguntungkan diri
sendiri. Ibadah sering dipakai sebagai topeng. Ya, topeng kesalehan dan
kemunafikan. Amos sudah lama mengkritik ibadah seperti ini. Ibadah meriah,
korban-korban bakaran dari ternak pilihan, nyanyian, dan tarian. Namun, itu
semua adalah topeng untuk menutupi kebokbrokan moral mereka yang suka menindas
dan gemar membual. Ibadah yang berkenan kepada Allah sejatinya adalah sikap
hati yang mencintai Allah dan terekspresi melalui ritual dan gaya hidup. Ritual
dan gaya hidup merupakan wahana atau sarana mempersembahkan diri seutuh-utuhnya
buat yang dicintainya, yakni Tuhan! Dalam bahasa Paulus, “Persembahkanlah Tubuhmu kepada Allah!” (Roma 12:1).
“Persembahkan
tubuhmu kepada Allah..,”. Bagi Paulus tidak ada pelayanan atau ibadah yang
lebih mulia dari seorang pengikut Kristus kecuali mempersembahkan tubuhnya.
Apakah artinya? Haruskah diartikan secara harafiah dengan mengorbankan tubuh
sendiri, seperti yang terjadi pada agama-agama suku primitif? Tentu tidak
seperti itu! Setiap orang Kristen yang menghayati imannya dengan benar akan
menyakini bahwa hidupnya yang lama telah ditebus oleh darah Kristus. Bukan
dengan emas dan perak, melainkan dengan darah yang teramat mahal. Sehingga dosa
dan kuasanya tidak lagi membelenggu dirinya. Orang yang mempunyai keyakinan
demikian akan memandang bahwa kini dirinya dan seluruh tubuhnya adalah milik
Allah. Dipersembahkan kepada Allah artinya seluruh olah pikiran karya dan karsa
semata-mata ditujukan untuk kemuliaanNya.
Paulus memandang, idealnya
tidak ada pemisahan dalam konsep ritual ibadah dan dan gaya hidup atau kerja
sehari-hari. Orang yang bekerja di dunia sekuler: di pabrik, kantor,
toko, pemerintahan dan sebagainya sama mulianya ketika ia melayani dan beribadah di rumah Tuhan atau gereja.
Paulus memahami bahwa ibadah yang sejati itu tidak lain dari mempersembahkan
kehidupan sehari-hari kepadaNya, bukan sesuatu yang dibatasi pada
kegiatan-kegiatan di lingkup gereja saja, melainkan memandang seluruh dunia
sebagai Bait Allah.
Seseorang memang bisa
mengatakan , “Saya akan ke gereja untuk beribadah kepada Allah,” tetapi
seharusnya ia berkata, “Saya akan ke pabrik, ke toko, ke kantor, ke sekolah,
ke garasi, ke pelabuhan, ke sawah dan ladang, ke kandang sapi, ke kebun, ke
ruang pengadilan, dan seterusnya, untuk beribadah kepada Allah.” Di
tempat-tempat itulah saya harus memuliakan nama-Nya. Inilah sebenarnya
persembahan yang diharapkan Allah bahwa di mana pun kita berada di situ nama
Tuhan dimuliakan. Apa dampaknya jika setiap anggota GKI melakukan gaya hidup demikian?
Saya percaya bahwa GKI akan tumbuh menjadi gereja yang sesungguhnya; menerangi
dan menggarami dunia di sekitarnya. GKI akan menghasilkan anggota-anggotanya
yang tidak munafik, tidak memakai ibadah sebagai topeng kesalehan melainkan
orang-orang yang terbiasa hidup menuruti kehendak Tuhan sekali pun bukan di
dalam kandangnya, yakni gereja. Kualitas yang baik dengan sendirinya akan disukai
banyak orang sehingga pertambahan merupakan keniscayaan. Lihatlah cara hidup
jemaat pertama yang dicatat dalam Kisah Rasul 2: 41-47. Kualitas iman mereka
berdampak pada pertambahan. “…Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap
hari Tuhan menambah jumlah dengan orang yang diselamatkan.” (ay.47)
Hidup beribadah seperti
itu, lanjut Paulus, menuntut perubahan secara radikal. Kita tidak boleh
menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi sebaliknya harus berubah. Untuk
menyatakan gagasan ini, Paulus memakai dua kata Yunani yang hampir tidak dapat
diterjemahkan. Kata yang ia pakai untuk “menjadi serupa dengan dunia ini”
ialah kata, suschematizesthai akar katanya schema,
yang artinya: “bentuk luar yang selalu berubah-ubah, dari tahun ke tahun
dan dari hari ke hari. Berubah seiring dengan kondisi lingkungan dan waktu. Schema
seseorang tidak sama ketika ia berumur tujuh belas tahun dengan ketika ia
berumur tujuh puluh tahun. Dulu tampilan fisiknya prima, gagah. Kini renta dan
sakit-sakitann. Tampilan dan gaya busana seseorang tidak sama ketika ia akan
bekerja ke pabrik dengan ketika ia akan pergi ke jamuan makan malam. Itulah schema yang terus-menerus berubah. Oleh
karena itu Paulus berkata, “Jangan berusaha menyesuaikan kehidupanmu kepada
kebiasaan-kebiasaan dunia; jangan menjadi seperti bunglon yang warnanya dapat
berubah-ubah, menurut lingkungannya.” Tentu bukan perubahan seperti ini yang
diharapkan Paulus.
Kata yang digunakan oleh
Paulus untuk, “berubahlah dari dunia” ialah kata, “metamorphousthai”.
Akar katanya morphe. Artinya, suatu bentuk atau unsur pokok/inti
yang tidak berubah. Orang mempunyai schema, yang tidak sama
pada masa mudanya dengan ketika ia sudah tua, fisiknya pasti mengalami
perubahan. Namun, ia mempunyai morphe yang sama; jiwa yang sama. Schema
air bisa berwujud uap, es dan air. Namun morphe-nya sama
yakni H2O. Bentuk luarnya bisa berubah namun dalam sel intinya tetap sama. Oleh
karena itu, kata Paulus, untuk dapat beribadah dan melayani Allah, kita harus
mempunyai suatu perubahan, bukan bentuk luar kita saja. Bukan schema-nya
saja yang berubah melainkan morphe-nya. Karakter atau kepribadiaan
yang ada dalam diri kita. Itulah perubahan spiritualitas.
Bagaimanakah perubahan itu
terjadi? Paulus mengatakan, bahwa yang ada pada kita adalah kehidupan “kata
sarka”, apa artinya? Kehidupan yang dikuasai oleh tabiat manusia yang
paling rendah; nafsu egoisme dan egosentrisme. Segala-sesuatu dilihat dari
sudut pandang apa yang menguntungkan diriku. Jika dipandang dapat merugikan
maka aku enggan untuk melakukannya. Coba bayangkan bila setiap anggota jemaat
atau simpatisan GKI hidupnya hanya berpusat pada diri dan keinginannya.
Pastilah terjadi banyak konflik dan pertentangan. Kehidupan gereja seperti ini
sudah dapat dipastikan makin hari gereja makin tidak disukai. Tunggu saja
saatnya gulung tikar!
Paulus mau agar kehidupan
yang digambarkannya dengan kata sarka mengalami perubahan.
Pembaruan hidup mengarah kepada kata christon yakni kehidupan di
dalam Kristus. Kehidupan di dalam Kristus bukan hanya ucapan semata atau
tampilan yang berubah, melainkan benar-benar dalam kerangka apa yang diajarkan
dan diteladankan Yesus seoptimal mungkin dilakukan dalam praktek hidup. Menjadi
gaya hidup sehari-hari. Selain kata christon, Paulus menyebut
juga dengan kata pneuma, artinya kehidupan yang dikuasai oleh Roh
Kudus. Kehidupan yang dikuasai oleh Roh Kudus pasti akan berbuahkan kebajikan.
Pembaruan seperti itulah yang diinginkan Paulus. Bukan sekedar tampilan atau
kulit luarnya belaka!
Ini harus terjadi jika kehidupan
gereja ingin bergairah dan terus dipakai Tuhan menjadi berkat bagi dunia.
Pembaruan budi atau spiritualitas mutlak harus terjadi. Kata yang dipakai untuk
“pembaruan” adalah anakainosis. Dalam bahasa Yunani
ada dua istilah untuk kata “baru”. Yang pertama, kata itu neos.
Neos berarti baru menurut batasan waktu. Kata itu sering disebut
dengan new atau neo. Yang kedua, kata kainos
artinya baru menurut sifat atau hakekatnya. Sebuah mobil Avanza Velos adalah
produk neos. Mobil ini baru menurut tahun keluarnya dan memang
sebelumnya bentuk yang seperti itu belum pernah ada. Tetapi orang yang dulunya
berdosa dan sekarang berada pada jalan Tuhan dengan mengerjakan apa yang Tuhan
kehendaki adalah kainos. Pada saat Yesus masuk dalam kehidupan
seseorang maka kehidupan orang itu adalah kainos, baru. Baru
bukan tampilannya; orangnya terlihat ya itu-itu saja, tetapi karakternya dari
dalam dirinya telah mengalami pembaruan. Egosentris dan egoismenya telah diubah
oleh Yesus yang berkuasa di dalam dirinya dan ia menerimanya dengan sukacita.
Sehingga ia dapat berkata seperti Paulus berkata, “namun aku hidup, tetapi
bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.
Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman
dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”
(Galatia 2:20)
Apabila Yesus Kristus yang
menjadi pusat kehidupan, barulah kita dapat mempersembahkan ibadah yang sejati
di setiap detik dan setiap perbuatan kita kepada Allah. Apabila Kristus yang
menjadi kepala gereja kita maka setiap saat dan detik, seluruh anggotanya akan
hidup seperti Yesus hidup. Marilah kita berubah, bukan perubahan tampak luar
atau topengnya saja melainkan berubah dari dalam. Perubahan spiritualitas!
Percayalah jika kita semua punya komitmen untuk mau diubahNya, maka betapa pun
sulitnya tantangan pelayanan gereja, Tuhan akan menyertai kita. Selamat ulang
Tahun GKI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar