Kamus besar bahasa Indonesia
mengartikan kata “merdeka” dengan: bebas (dari
perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri
sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat atau tergantung
pada pihak-pihak tertentu, leluasa (boleh berbuat dengan leluasa). Hari
ini, kita memperingati enam puluh sembilan tahun kemerdekaan Republik
Indonesia. Kita meyakini bahwa sejak Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 memproklamirkan
kemerdekaan, maka saat itulah Indonesia disebut negara berdaulat. Merdeka
menentukan nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada otoritas negara lain.
Menelisik definisi “merdeka”
tentu setiap orang punya pemahamannya sendiri-sendiri. Banyak orang beranggapan
merdeka itu adalah bebas, sebebas-bebasnya, semau
gue berekspresi, berbuat dan bertindak sehingga tidak peduli lagi dengan peraturan
hukum, perasaan, hak, dan martabat orang lain. Kemerdekaan seperti ini tentu
menjadi bencana bagi yang lain. Alih-alih merdeka, manusia yang mengumbar
kebebasannya justeru sebenarnya sedang memperlihatkan bahwa dirinya dikuasai
oleh nafsu keserakahan. Ia menjadi hamba atau budak nafsunya! Kita sering lupa
bahwa ada semacam penjajah laten, tersembunyi
dalam diri kita, yakni keserakahan sehingga muncul niat penaklukkan dan
penguasaan atas diri atau milik orang lain. Bukankah penjajahan satu bangsa
terhadap bangsa lain, atau kelompok satu terhadap kelompok yang lain sebenarnya
terjadi akibat pribadi-pribadi dalam kelompok atau bangsa itu dikuasai oleh
nafsu serakahnya?
Hitler, mungkin bagi diri dan
pengikutnya merasa sebagai orang merdeka hingga dengan leluasa ia membantai
lebih dari enam juta orang Yahudi. Abu Bakar al Baghdadi dengan ISIS-nya
membantai sadis kelompok-kelompok yang berbeda dengannya, merasa merdeka dan
bebas. Atau para Zionis Israel yang membombardir jalur Gaza yang sedang
mempertontonkan kehebatannya. Mereka merasa bebas dan merdeka dari tekanan
dunia internasional dengan dalil membalas serangan milisi Hamas. Sepintas
mungkin iya, mereka tampak mempunyai kuasa, kekuatan dan kebebasan. Namun,
bukankah sebenarnya mereka sedang mempertontonkan diri sebagai budak-budak
nafsu? Nafsu menaklukan dan membunuh yang bersumber dari dendam dan kebencian!
Mustahil sebuah komunitas dapat sungguh-sungguh mengalami kemerdekaan tanpa
setiap pribadi dalam kelompok berusaha untuk tidak dikuasai oleh keserakahan, kerakusan,
dendam kesumat dan kebencian.
Merdeka itu persoalannya
terletak jauh di kedalaman hati manusia. Setiap orang yang berhasil menjaga
hatinya dari niatan tidak baik: keserakahan, kerakusan, dendam kesumat dan
kebencian tetapi membiarkan diri disentuh oleh cinta kasih, itulah sebenarnya
manusia merdeka. Yusuf anak Yakub adalah salah seorang manusia merdeka itu. Yusuf
pernah diperlakukan sangat buruk bahkan biadab oleh kakak-kakaknya sekarang
sedang berkuasa di Mesir. Ia berada “di atas angin” jika ingin melampiaskan
dendam dan kebencian terhadap saudara-saudaranya itu. Saudara-saudara Yusuf
kini “mengemis” makanan dan kehidupan. Namun, Yusuf tidak membiarkan dirinya
dikuasai oleh kebencian dan dendam. Alih-alih membalas perlakuan buruk, Yusuf
mempunyai cara pandang lain. Ia melihat dari sudut pandang rencana Allah, yakni
memelihara kehidupan sebuah bangsa!
Yusuf bukan orang dengan amnesia sehingga ia lupa akan perlakuan
kakak-kakak terhadap dirinya. Ketika saudara-saudara Yusuf berhadap-hadapan
dengannya, Yusuf memperkenalkan diri ,”Akulah
Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir.”(Kejadian 45:4). Itu berarti
Yusuf mau berdamai dengan masa lalu yang pahit. Sering orang mengatakan, “Mengampuni
berarti melupakan!” Padahal tidak harus selalu seperti itu. Yang dibutuhkan
adalah kebesaran hati, tidak usah berusaha melupakan masa lalu yang menyakitkan
melainkan melihat dari sudut pandang Allah. Leroy Eims menyarankan, “Jadilah
seseorang yang melihat lebih banyak daripada yang dilihat orang lain, yang
melihat lebih jauh daripada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum
orang lain melihatnya.” Sementara kebanyakan orang melihat bahwa kebencian
harus dilawan dengan kebencian, kekuasaan digunakan untuk menindas dan kepuasan
terletak mana kala orang yang dulu menganiaya kini terkapar tidak berdaya.
Yusuf dapat melihat sis lain, sisi yang berbeda: Ia melihat lebih jauh, lebih
dalam, lebih utuh. Yusuf dapat melihat dari sudut pandang Allah sehingga ia
mampu berkata, “Tetapi sekarang,
janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku
ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului
kamu.”(Kej. 45:5)
Lihat, apa yang terjadi dalam
diri orang merdeka! Yusuf yang tidak membiarkan diri diperhamba oleh dendam dan
kebencian kini ia dapat menolong saudara-saudaranya yang berada dalam ketakukan
yang membuat mereka “bersusah hati” dan “menyesali diri”. Kasih yang mengalir
dari ketulusan hati yang merdeka inilah yang sanggup “memerdekakan” orang lain
yang berada di bawah tekanan rasa bersalah. Setiap orang yang hidupnya dikuasai
oleh kecemasan, takut, dan menyesali diri sesungguhnya ia tidak terbebas atau
dalam bahasa tema kita tidak merdeka. Mereka perlu ditolong, dimerdekakan.
Siapa yang mampu memerdekakan orang yang tertekan oleh ketakutan? Ya, tentu
Tuhan sendiri. Namun, Tuhan bisa memakai setiap orang menjadi alat di
tangan-Nya. Alat itu hanya dapat berfungsi dengan baik apabila ia sendiri telah
dimerdekakan. Hanya orang-orang yang merdekalah yang dapat memerdekakan orang
lain.
Perempuan Kanaan yang percaya
(Matius 15:21-28) atau dalam Injil Markus 7 disebut sebagai perempuan
Siro-Fenisia adalah contoh lain dari seorang dengan hati yang bebas dari
kebencian. Hati yang merdeka! Coba Anda dapat banyangkan begini, Anda mempunyai
seorang anak perempuan yang begitu dicintai. Anak itu kini sangat menderita
karena kerasukan setan. Anda mendengar bahwa Yesus adalah orang yang sanggup
memerdekakan sang anak dari cengkeraman kuasa setan itu. Anda bayangkan,
seperti kata orang bahwa Yesus itu lemah lembut, Ia sangat baik dan penuh
kuasa. Apa yang terjadi ketika Anda memohon, “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud,...” Tetapi Anda sama sekali
tidak digubris, malah para murid menyuruh Yesus mengusir Anda! Bahkan, ketika
Anda terus-menerus berteriak minta tolong, tanpa diduga Yesus menjawab, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan
bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Anda berharap banyak tapi
kini Anda disebut anjing! Masihkah hati Anda terus berharap dan bebas dari
kebencian? Tidak mudah menjaga hati. Namun, perempuan Kanaan ini berhasil,
hatinya bebas dari kebencian, imannya luar biasa. Dalam kerendahaannya ia
berkata, “Benar Tuhan, namun anjing itu
makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”
Apa yang terjadi kemudian?
Yesus menjawab, “Hai, ibu, besar imanmu,
maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga
anaknya sembuh. Sang ibu ini menjadi alat untuk anaknya dimerdekakan dari
kungkungan kuasa setan. Hati, iman dan ketulusan Ibu ini menjadi contoh bagi
banyak orang Yahudi yang disebut “anak-anak” namun gagal membawa misi
pembebasan lantaran terbelenggu oleh pemahaman sempit Hukum Taurat.
Kita dipanggil untuk merdeka dan pada gilirannya
diutus untuk memerdekakan banyak orang terjajah oleh nafsu dan ketakutan. Misi
pembebasan itu akan sangat efektif jika dimulai dari diri sendiri dengan hati
yang lebih dahulu dibebaskan dari niatan-niatan nafsu duniawi. Tentu,
orang-orang yang berada di bawah kuasa setan itu tidak selalu digambarkan
seperti anak perempuan ibu dari Kanaan yang kerasukan atau kesurupan. Namun,
bukankah saat ini di sekitar kita begitu banyak orang yang dikuasai nafsu
destruktif: ketamakan, rakus, iri hati, benci, dendam, kesombongan dan
semacamnya. Kita tidak pernah akan bisa menjadi alat pembebas jika kita sendiri
masih menikmati hidup di dalamnya. Mulailah dari diri sendiri dengan menjaga
hati agar tetap merdeka dari perhambaan nafsu serakah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar