Tepat di tengah malam,
deringan detektor asap mengejutkan sebuah keluarga yang sedang tidur lelap. Dengan
segera mereka bangun dan melompat dari tempat tidur. Orang tua bergegas mencari
anak mereka dan membawanya ke luar rumah. Begitu berada di luar, mereka mulai
menghitung jumlah anggota keluarga dan menemukan bahwa seorang anak mereka
hilang. Ketakutan orang tua akan hal terburuk kini menjadi kenyataan. Kemudian,
mereka melihat anaknya yang kecil berada di balik jendela lantai dua,
terperangkap dalam nyala api.
Sang ayah, seorang penatua
gereja yang saleh, segera berlutut dan berdoa agar Allah bertindak untuk
menyelamatkan anaknya. Sang ibu juga demikian. Ia seorang yang beriman teguh,
tetapi juga seorang perempuan yang praktis. Tanpa pikir panjang, segera ia
berlari ke rumah tetangga terdekat, meminjam tangga yang panjang, memasang
tangga itu di depan rumahnya, tanpa takut menaiki anak tangga satu demi satu
dan sampailah di lantai dua. Segera ia meraih sang anak dan menyelamatkannya.
Ada saat-saat di mana cara
terbaik untuk mengungkapkan iman adalah dengan mengistirahatkan lutut. Dalam
konteks cerita di atas, sang ibu segera bergerak pergi mendapatkan tangga dan
segera melakukan hal-hal yang memang harus segera dilakukan dalam situasi
kritis. Namun, tampaknya bagi orang yang menganggap diri sebagai pemelihara
ritual ibadah dan mengerti ilmu agama, cara terbaik untuk menyelamatkan anaknya
adalah seperti yang dilakukan oleh sang ayah. Ritual adalah mutlak! Dan bagi
orang-orang seperti ini tindakan yang dilakukan oleh sang ibu bisa dikecam
sebagai tindakan kebodohan.
Yesus sering mendapat kecaman
dari orang-orang yang menganggap diri bijak pandai. Siapa orang-orang yang
merasa diri bijak dan pandai itu? Pada saat itu, Yesus berada di tengah-tengah
orang Yahudi di Galilea. Sezaman dengan Yesus, di Yunani filsafat dan ilmu alam
sedang berkembang, tetapi di antara orang-orang Yahudi di Palestina hanya ada
satu ilmu saja yang berkembang, yaitu teologi. Ahli-ahli Taurat merupakan
faktor utama dalam diskusi-diskusi tafsir kitab suci. Yesus telah mengalami
banyak perjumpaan dengan ahli-ahli Taurat yang sangat bangga dengan
ajaran-ajaran kesenangan mereka itu, sampai-sampai mereka tidak dapat lagi bisa
menerima ajaran yang disampaikan Yesus baik melalui tutur kata ataupun
perbuatan dan mujizat-mujizat-Nya (Salah satu contohnya Matius 11: 25-30).
Jika Yesus berkata tentang “orang-orang
yang bijak sana dan pandai” maka setiap pendengar-Nya pasti mengerti bahwa yang
dimaksudkan-Nya adalah ahli-ahli Taurat itu. Mereka banyak tahu kaidah-kaidah
Taurat dan turunannya lalui kemudian menetapkannya sebagai hukum yang tidak
boleh dilanggar. Ahli-ahli Taurat menentukan ada enam ratus tiga belas
peraturan yang harus diikuti dan tidak boleh dilanggar oleh orang yang mau
hidup taat kepada TUHAN. Dapat dibayangkan hal itu telah menjadi beban berat.
Hukum itu telah menjadi kuk!
Beratnya hukum-hukum ini
mungkin seperti yang dirasakan Paulus, “...aku
dapati hukum ini: jika aku menghendaki apa yang baik, yang jahat itu ada
padaku. Sebab dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam
anggota-anggota tbuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal
budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku,
manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?”
(Roma7:21-24). Paulus sebagai ahli hukum Taurat itu bertanya, siapakah yang
dapat membebaskannya dari belenggu kuk itu? Dalam pergumulannya, ia menemukan
jawaba, “Syukur kepada Allah! Oleh Yesus
Kristus, Tuhan kita.”(Roma 7:25)
Yesus memanggil “marilah kepada-Ku semua orang yang letih
lesu dan berbeban berat.” Kata-kata ini sering terlalu terburu-buru
diaplikasikan untuk semua tipe penderitaan umat manusia. Seolah-olah Yesus
memanggil semua orang yang menderita. Padahal yang dimaksudkan semula di sini
adalah orang Yahudi yang letih lesu karena semua peraturan ahli-ahli Taurat
itu. Bayangkan orang Yahudi itu (seperti yang dikatakan W. Barclay) bagaikan hidup di tengah-tengah
sebuah hutan peraturan, yang mengatur setiap tingkah laku mereka, apalagi
mereka adalah orang-orang sederhana yang tidak gampang dapat menghafal
peraturan itu.
Dalam konteks inilah Yesus
tampil menawarkan kelegaan. Sama sekali bukan maksud Yesus untuk menghapuskan peraturan
dan kemudian orang menjadi liar. Ia tidak akan meniadakan Hukum Taurat, tetapi
menggenapinya (Matius 5:17). Apa yang diajarkan Yesus adalah inti dari Taurat:
keadilan, kasih, dan kesetiaan (Matius 23:23) yang merupakan inti sari dari
hukum utama, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia (Mat.
22:37-40). Dengan cara seperti apa Yesus mengajarkan tentang Allah? Jelas, bukan
dengan kata-kata saja, tetapi melalui seluruh kepribadian-Nya. Barangsiapa
telah melihat Yesus, ia melihat Bapa (Yoh. 14:9), maka setiap orang yang ingin
mengenal pikiran Allah, hati Allah dan sifat Allah, baiklah ia memandang Yesus.
Ironis! Mereka yang menyambut,
memahami, mengerti dan mengaminkan ajaran Yesus bukanlah kaum cerdik pandai,
melainkan nepios (bayi atau
kanak-kanak) yang lazim diterjemahkan dengan orang-orang kecil (wong cilik), orang-orang sederhana,
orang-orang yang tidak terpelajar dalam pemahaman Taurat. Sepertinya,
orang-orang kecil ini menunjuk kepada setiap orang yang menyambut pewartaan-Nya
dengan sukacita. Kemudian, Yesus tidak membebaskan murid-murid-Nya dari kuk
(beban) itu, tetapi membuat kuk itu lebih mudah ditanggung.
Bagaimana mungkin kuk yang
dibuat Yesus lebih ringan? Bukankah tidak pernah ada orang yang menuntut hukum
kasih kepada Allah dan sesama seradikal apa yang diajarkan Yesus? Apakah hal
itu bukan suatu beban yang berat? Benar! Namun, semua itu bergantung kepada
setiap hati kita. Ketika setiap kita mengalam perjumpaan dan merasakan
kasih-Nya yang begitu besar, maka kuk itu bukan lagi beban. Mana ada orang yang
di dalam dirinya dirasuki cinta kasih akan merasakan terbebani. Yang ada ia
akan terus memacu dirinya untuk berbuat memberikan yang terbaik untuk yang
dikasihinya.
Belajar dari Yesus berarti
tidak cukup hanya mendengar apa yang diajarkan-Nya, melainkan juga mengikuti
cara hidup yang ditempuh oleh Yesus. Hidup-Nya adalah perwujudan keadilan,
kasih dan kesetiaan. Dalam hidup-Nya terwujud keutuhan cinta kepada Allah dan
sesama. Dalam hal inilah para murid diajak belajar dari Yesus. Yesus menuntun
dan menolong para murid untuk hidup mengasihi Allah dan sesama.
Kerendahan hati adalah syarat mutlak bagi setiap orang
yang mau dituntun dan ditolong oleh Allah. Setiap orang yang merasa mumpuni,
merasa pandai, merasa mampu dan merasa serba tahu, maka baginya tidak lagi
membutuhkan tuntunan dan pertolongan. Dari cerita perjumpaan Yesus dengan para “cerdik
pandai” kita dapat belajar. Mereka bukan saja tidak dapat menerima kebenaran
yang disampaikan Yesus, melainkan lebih dari itu berusaha membinasakan Sang
Kebenaran itu! Orang-orang. Ilmu yang ada pada diri kita sekarang bisa
menghambat dan menolak tuntunan yang ditawarkan Tuhan kepada kita, namun
sebaliknya ia juga bisa membuat kita menyambut Sang Kebenaran yang sesungguhnya
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar