“Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham.”
Begitulah kalimat awal dari kitab Kejadian 22. Bukan perkara mudah memahami
kalimat ini. Mengapa? Bukankah Allah itu Mahatahu mengapa pula harus menguji
atau megetes seberapa besar kadar ketaatan Abraham kepada-Nya? Ataukah Allah
sedang iseng dengan menggunakan waktu luang-Nya menunggu Ishak dewasa? Dan..apa
untungnya pula bagi Allah atas pencobaan yang dilakukan-Nya? Sadarilah ketika
kita berusaha menyingkap maksud Allah dengan cobaannya itu tetaplah selalu
menyisakan misteri! Namun, dari sisi Abraham, ada banyak kekayaan hikmat yang
bisa kita gali.
Sebelumnya sampai puncak pencobaan, Abraham berulang kali diuji. Ia disuruh meninggalkan rumah leluhurnya ke negeri entah berantah yang belum diketahuinya (Kejadian 12). Anak yang dijanjikan menjadi benih bagi bangsa yang besar tertunda-tunda kelahirannya (Kej. 15:2, 17:18). Kemudian kunjungan tiga orang tamu yang seolah mengulangi janji-janji terdahulu (Kej.18) merupakan cara lain dari pemeriksaan dan pencobaan oleh Allah. Itu semua dapat di atasi. Namun, tampaknya Allah belum puas! Kini, Ia meminta anak yang sudah begitu lama dinanti-nantikannya untuk dipersembahkan, dijadikan korban bakaran! “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah...dan persembahkanlah dia di sana.” (Kej.22:2). Bukankah cara seperti ini Allah sedang tampil dengan ganas dan brutalnya merusak kebahagiaan orang yang setia kepada-Nya? Bayangkan ini, anak tunggal, anak sulung, anak yang dikasihi yang kelahirannya dinanti-nantikan kemudian sekonyong-konyong diminta-Nya untuk dibunuh dan dibakar demi sebuah ritual korban persembahan kepada Allah yang disebut Mahapengasih dan Penyayang? Tidakkah ada cara lain untuk itu?
Sebelumnya sampai puncak pencobaan, Abraham berulang kali diuji. Ia disuruh meninggalkan rumah leluhurnya ke negeri entah berantah yang belum diketahuinya (Kejadian 12). Anak yang dijanjikan menjadi benih bagi bangsa yang besar tertunda-tunda kelahirannya (Kej. 15:2, 17:18). Kemudian kunjungan tiga orang tamu yang seolah mengulangi janji-janji terdahulu (Kej.18) merupakan cara lain dari pemeriksaan dan pencobaan oleh Allah. Itu semua dapat di atasi. Namun, tampaknya Allah belum puas! Kini, Ia meminta anak yang sudah begitu lama dinanti-nantikannya untuk dipersembahkan, dijadikan korban bakaran! “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah...dan persembahkanlah dia di sana.” (Kej.22:2). Bukankah cara seperti ini Allah sedang tampil dengan ganas dan brutalnya merusak kebahagiaan orang yang setia kepada-Nya? Bayangkan ini, anak tunggal, anak sulung, anak yang dikasihi yang kelahirannya dinanti-nantikan kemudian sekonyong-konyong diminta-Nya untuk dibunuh dan dibakar demi sebuah ritual korban persembahan kepada Allah yang disebut Mahapengasih dan Penyayang? Tidakkah ada cara lain untuk itu?
Bukankah juga perintah Allah
ini menentang dan membatalkan perjanjian Allah sendiri; Ishak merupakan anak
perjanjian, ahli waris dan pengantara berkat Allah kepada keturunan Abraham dan
kepada segala bangsa (Kej.12:3). Bagaimanakah Allah dapat memerintahkan sesuatu
yang (pada pemandangan manusia saja!) sama sekali bertentangan dan berlawanan
dengan kemauan-Nya sendiri? Bukankah perintah ini memperlihatkan bahwa Allah
sedang merusak dan menghancurkan rencana-Nya sendiri? Jikalau Ishak, anak
perjanjian itu dibunuh, bagaimana nanti keturunan Abraham dibangun? Adakah
Allah bertentangan dengan diri-Nya sendiri?
Korban bakaran merupakan suatu
korban keseluruhan, korban sempurna, ya sempurna lenyap, semua jadi abu!
Demikianlah korban yang dituntut dari Abraham: Korban sempurna, korban total;
korban seluruh harapan Abraham, seluruh kegembiraannya, seluruh jaminan masa
depannya, sekarang harus dilepaskan demi ketaatannya kepada Allah! Dengan tidak
mengucapkan sepatah katapun, Abraham menjawab permintaan Allah. Ia menyiapkan
segala sesuatunya untuk ritual pengorbanan sang anak. Pastilah ketika detil
persiapan itu dilakukan, hatinya terus dihantui tanda tanya. Alangkah banyaknya
keruwetan pikirannya. Betapa penuh sesak dan mengharu-biru hatinya. Tetapi tentang
hal itu tidak diberitahukan sepatah katapun: Abraham belajar mematuhi sambil
menderita (Ibrani 5:8).
Lebih dari dua hari perjalanan
membisu itu berlangsung. Pengorbanan Ishak bukanlah sebuah kecelakaan atau
bencana alam, melainkan suatu pengorbanan sukarela oleh Abraham. Tidak dipaksakan
oleh kekuatan dan kuasa manusia manapun juga; tidak datang menimpa dengan
tiba-tiba, masih cukup banyak waktu untuk menyimpang atau berbalik arah dan
pulang kemudian menikmati hidup berkeluarga kembali. Namun, Abraham berjalan
terus, berjalan didorong oleh suatu keputusan hatinya yang bebas, yakni:
kehendak untuk mematuhi Allahnya. Dengan perasaan yang sangat halus, Abraham
menyuruh kedua budaknya tinggal di belakang. Mereka tidak boleh menjadi saksi
dari pengorbanan dan penderitaan yang mengerikan itu. Abraham menjadi kesepian;
bagian terakhir dari jalan penderitaan itu harus ia tempuh seorang diri saja.
Ia harus menyediakan sendiri mezbah, kayu dan korban bakaran itu.
Pada pihak lain, Ishak yang
akan dikorbankan tanpa curiga apalagi takut berjalan bersama sang ayah.
Bagaimana mungkin sang ayah yang selama ini mengasihinya dapat berbuat tidak
baik kepadanya. Ishak sekarang bukan bayi lagi, melainkan telah bertambah umur
dan pengertiannya. Ia tahu apa yang dibutuhkan untuk sebuah korban bakaran. Dan
ia juga mengerti, ada yang kurang, yakni: hewan korban! Dengan sopan, ia
bertanya kepada bapanya tentang di manakah hewan korban itu. Pertanyaan itu
setidaknya mengiris-ngiris hati Abraham. Ia mengetahui apa yang diminta Allah,
haruskah kini mengatakannya dengan terus terang? Atau bolehkah ia menyembunyikan
kebenaran itu?
Jawaban Abraham penuh dengan
pengharapan kepada Allah dan tidak membelokkan kebenaran. “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya,
anakku.”(Kej.22: 8) Tetapi Abraham sama sekali belum mengetahui bahwa
memang benar nantinya ada domba yang disediakan Allah. Kini ia harus mempersiapkan diri untuk babak
terakhir dari drama tragis: seorang bapa yang harus membunuh anaknya, dan
seorang anak yang tidak bersalah dan yang tidak curiga sedikit pun bahwa sang
bapak akan membunuhnya. Beban ketaatan itu terus menekan semakin berat sampai
mereka tiba di tempat yang telah ditentukan.
Kini, ritual pembantaian itu
akan segera dilakukan. Abraham telah belajar ketaatan, jadi bukan saja ia sudi
mempersembahkan anaknya, seluruh harapannya itu sebagai korban penuh bagi
Allah, melainkan sekarang juga Abraham bertindak untuk melaksanakan pengorbanan
itu. Ia telah mempersembahkan anaknya sendiri di dalam hatinya. Di hatinya
hanya ada ketaatan kepada Allah, seluruh yang tampaknya memberi pengharapan dan
membuat hatinya melekat di sana, telah dipersembahkan kepada Allah. “Sekarang ia mengulurkan tangannya, lalu
mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.” Di sinilah Abraham melepaskan
segala sesuatu; ia melepaskan harapannya, jaminan di masa depannya,
kebanggaanya, kegembiraannya, dan semua yang dapat melekatkan hatinya, yang
berpotensi menggeser posisi Allah kini “disembelih”, dipisahkan dari dirinya.
Dalam tataran inilah kita bisa
memahami ucapan Yesus ribuan tahun setelah peristiwa pengorbanan Abraham,
ketika Yesus berkata, “Barangsiapa
mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan
barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia
tidak layak bagi-Ku.” (Matius 10:37). Orang-orang yang terdekat dalam hidup
ini sangat berpotensi merampas posisi Allah di hati kita, akibatnya ketaatan dapat
menjadi pudar.
Barulah setelah Abraham
menyerahkan dan mempersembahkan anaknya (baca: yang paling berharga dalam
hidupnya), maka dengan sekejap mata sebelum pisau itu merenggut nyawa Ishak,
terdengarlah suara Tuhan melalui malaikat-Nya untuk menghentikan tangan Abraham
yang sedang bergerak menghujamkan pisau. Ishak selamat dan Tuhan menyediakan
domba sebagai ganti pengorbanan itu. Abraham lolos dari ujian yang maha sulit itu.
Abraham tidak mempertahankan nyawa anaknya yang begitu berharga, apa akibatnya?
Abraham tidak kehilangan nyawa anaknya. Ia mendapatkannya kembali! Jadi
tidaklah sulit meyakini janji Tuhan, “Barangsiapa
mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa
kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”(Matius 10:39).
Jadi pencobaan yang dialami
Abraham bukanlah bertujuan menyengsarakan atau menjatuhkan Abraham (meskipun
ketika menjalaninya penuh dengan kegalauan), melainkan sebuah kesempatan
meneguhkan ketaatan Abraham kepada Allah. Melalui pencobaan atau mata ujia yang
maha berat itu hal utama yang berpotensi
menggantikan posisi Allah di hati Abraham dibersihkan. Dan Abraham berhasil
melewatinya, hatinya sudah mempersembahkan anaknya itu. Ingat! Tuhan melihat
hati (niat dan motivasi manusia) dan bukan wujud atau bentuk persembahan
sebagai wujud dari ketaatan manusia kepada-Nya. Berapa pun besarnya persembahan
yang kita berikan kepada-Nya, jika itu diberikan tidak dengan niat tulus
ketaatan kepada-Nya akan sia-sia. Lihatlah pada zaman nabi Amos, Tuhan menolak
cara ibadah dan persembahan luar biasa dari mereka. Tetapi tengoklah
persembahan janda miskin, Tuhan mengindahkannya!
Pencobaan berat dapat menimpa
siapa pun. Dulu Abraham, sekarang pencobaan itu bisa mampir pada Anda atau
saya. Mungkin tampaknya Allah kejam dan sadis sekali: merenggut kebahagiaan,
masa depan, harapan dan pelbagai tumpuan hidup. Namun, ketika kita letakan
dalam perspektif Abraham: Allah ingin kita “naik kelas”! Hati kita dimurnikan.
Allah tidak ingin kita menggantungkan diri kepada yang kita anggap sebagai
tumpuan dan harapan hidup ini. Allah ingin kita selalu mendekap kepada-Nya.
Ingatlah kisah Abraham, Allah sudah menyediakan segala yang terbaik, kini
berusahalah taat dan setia kepada-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar