Tersebutlah ada boneka terbuat
dari garam, demikian Anthony de Mello memulai ceritanya. Setelah melalui
perjalanan jauh di tanah kering tibalah dia di tepi pantai. Di tepi pantai sang
boneka garam menemukan sesuatu yang baru dan tak dapat dimengerti, yaitu laut.
Boneka tersebut berdiri di pasir pantai. Sebuah boneka dari garam yang mungil.
Dari tempat dia berdiri, dia melihat laut yang bergerak, berbahaya, berisik,
aneh dan tidak dikenalnya.
“Saya adalah laut.” Jawabnya.
Kemudian boneka itu berkata,
“Saya tidak mengerti tetapi saya ingin mengerti, bagaimana caranya?
“Sentuhlah saya.” Jawab laut.
Kemudian boneka itu dengan
malu-malu melangkahkan satu kakinya ke depan dan menyentuh air. Seketika itu
juga dia merasakan bahwa benda itu tidak asing. Kemudian dia menarik kembali
kakinya. Dia melihat ujung jari-jari kakinya, hilang! Dia menjadi ketakutan dan
bertanya, “Ke mana jari-jari kakiku? Apa yang telah kau lakukan terhadap saya,
terhadap kaki saya?”
Kemudian laut menjawab, “Kamu
telah memberikan sesuatu untuk mengerti sesuatu.” Secara perlahan tetapi pasti,
air laut melarutkan bagian-bagian tubuh dari boneka garam itu, bersamaan dengan
dia berjalan perlahan menuju ke tengah laut. Semakin jauh sang boneka garam
melangkah ke tengah laut, boneka garam itu semakin mengerti apa itu laut. Akan
tetapi itu belumlah cukup baginya untuk mengerti dan untuk menjelaskan apa itu
laut. Semakin dalam dia berjalan, semakin dirinya larut dan bersatu dengan air
laut. Tanyanya kembali, “Tapi,....apa itu laut?” Pada akhirnya, ketika dia
telah seutuhnya larut dan bersatu dengan air, dia berkata, “Laut adalah saya!”
Akhirnya boneka garam itu menemukan arti laut. Akan tetapi, belum mengenai apa
itu air. Boneka garam itu mengetahui apakah laut itu ketika.....
Tiba-tiba semuanya hening di
tengah lautan yang luas...
Meminjam cerita de Mello ini
membuat kita sadar diri ketika berhadapan dan berhubungan dengan Sang Pencipta.
Kita adalah ciptaan dan TUHAN adalah Sang Khalik. Kadang kala ciptaan ini
hendak bertanya kepada Sang Pencipta tentang jati diri Sang Khalik itu. Ini
bagaikan boneka garam bertanya kepada laut: “Apa kamu ini?” Allah bagaikan sang
laut yang meladeni pertanyaan boneka garam. Bukan kepandaian serta hikmat sang
boneka yang pada akhirnya menemukan arti laut. Namun, karena lautlah yang
membuka peluang seluas-luasnya agar ia dapat dimengerti. Yang diperlukan sang
boneka itu adalah mau mendengar apa yang dikatakan sang laut dan mau
menyentuhnya. TUHANlah, Sang Khalik itu yang memberi peluang seluas-luasnya, Ia
membuka dan menyatakan diri-Nya dalam pelbagai cara agar manusia mengerti dan
mengenal penciptanya. Inilah yang kemudian kita kenal dengan penyataan Allah.
Hanya dengan menyentuh-Nya dan “menceburkan diri” pada penyataan Allah itu
manusia dapat mengerti, memahami, mengenal dan mengalami kasih Allah itu.
Sang Khalik itu menyatakan
diri-Nya sebagai Sang Asali dari segala yang ada, Dia yang memulai segala
sesuatu. “Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Jadi alam raya ini ada, bukanlah ada
dengan sendirinya, Allahlah Sang Pencipta itu! Allah menciptakan semesta raya
ini dengan firman-Nya. “Berfirmanlah
Allah....” Melalui firman Allah menciptakan segala sesuatu. Dengan Firman,
hubungan dengan ciptaan-Nya itu menjadi nyata. Dengan firman-Nya, apa yang tidak
ada menjadi ada. Firman, itulah cara Allah berkomunikasi dengan dunia
ciptaan-Nya. Firman adalah bahasa komunikasi. Bahasa yang dapat dimengerti
bukan bahasa tingkat tinggi atau bahasa ilahi yang sulit dimengerti. Bayangkan
jika Allah menuntut manusia supaya mengerti bahasa-Nya, pastilah tujuan utama
membuka akses seluas-luasnya agar ciptaan mengenal Sang Pencipta tidak mungkin
terpenuhi.
Dari bahasa yang mudah
dimengerti itu ternyata Sang Pencipta menyatakan bahwa bukan saja Ia menjadikan
semesta raya ini dari yang tidak ada menjadi ada, tetapi juga menatanya
sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah tempat menyenangkan yang dapat didiami
manusia. Kekuatan Firman itu mengubahkan dunia yang kacau balau, belum
berbentuk dan gelap gulita itu ditata-Nya menjadi Taman Eden, dunia yang penuh
anugerah!
Kelak kekuatan Sang Firman ini terus berlanjut untuk memelihara
kehidupan, mencegahnya dari kematian. Di taman maha indah itulah manusia,
sebagai mahkota ciptaan ditempatkan, dipercaya, dan diberi mandat mengelola.
Sejatinya, manusia yang diciptakan menurut gambar Allah itu memiliki karakter
kuat yang bersumber dari Allah itu, antara lain memelihara dan menjaga
kehidupan. Manusia mendapat mandat untuk memelihara dan bukan membinasakan.
Jadi, bukan eksploitasi dan aniaya.
Pemazmur berhasil menangkap bahasa Sang Pencipta itu. Sambil merenungkan segala ciptaan Allah yang megah dan besar, Daud mempertanyakan identitas dan tujuan hidupnya sebagai manusia. Daud ingat Kejadian 1:26, tentang manusia dalam penciptaan Allah. “... Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Daud ingat, bahwa manusia mendapat anugerah Allah untuk merefleksikan karakter Allah, hidup dalam relasi yang sehat dengan Allah (Mazmur 8: 6-7). Ibarat boneka garam, Daud telah membenamkan diri dalam anugerah Allah lalu mengalami kasih TUHAN itu, maka reaksi dari pengalaman itu tidak lain kecuali bersyukur dan memuliakan nama-Nya, “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! (Mzm.8:10).
Sayangnya, tidak semua orang
merespon penyataan Sang Pencipta itu seperti Daud. Alih-alih bersyukur dan
memuliakan penciptanya, banyak yang bertindak serakah, tamak bahkan menuntut
penghormatan yang bukan menjadi haknya. Benar-benar mau supaya orang lain
menyembahnya, sama seperti Allah. Cara-cara seperti inilah yang membuat manusia
kehilangan gambaran Sang Khalik itu. Sehingga kuasa Allah yang semula menghidupkan
kini, di tangan manusia serakah menjadi energi mematikan. Namun, lagi-lagi
Allah tidak membiarkan kuasa destruktif itu menguasai ciptaan-Nya. Caranya, di
sepanjang sejarah manusia Allah menghadirkan utusan/nabi-Nya agar manusia
kembali kepada fitrahnya: jati diri semula ketika diciptakan. Kenyataannya,
tidak selalu bahasa sang utusan dipahami dengan baik.
Sampai pada akhirnya, Sang
Pencipta yang menyatu dengan Firman-Nya itu menjadi manusia di dalam diri Yesus
Kristus agar manusia mengerti dan memahami bahasa cinta kasih ilahi itu, Injil
Yohanes menuliskannya, “Pada mulanya
adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah...Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita
telah melihat kemuliaan-Nya,..” (Yoh.1:1,14) Di dalam Kristus manusia
berjumpa dengan Sang Firman yang kelihatan: Allah yang semula abstrak dan sulit
disentuh kini dapat dijumpai dalam Kristus. Di dalam Kristus juga, manusia
mengenal manusia yang sesungguhnya yang diinginkan oleh Sang Khalik itu, hidup
dalam ketaatan total kepada Sang Pencipta.
Sesudah Sang Firman yang
menjelma menjadi manusia menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Sorga, kini Ia
mengutus setiap orang telah merasakan cinta kasih-Nya itu untuk memberitakan
kabar baik agar setiap orang kembali kepada maksud ciptaan semula. Tidak cukup
hanya dengan ucapan bibir, melainkan dengan segenap prilaku. Tentu, dengan
mengandalkan kekuatan sendiri manusia tidaklah mampu mengemban tugas mulia itu.
Roh Kudus, yang sejak semula bersama-sama
dengan Allah dalam proses penciptaan yang memberikan kehidupan, kini dihebuskan
kembali untuk menyertai para murid dalam menunaikan tugas menebar kehidupan.
Kini, akhirnya kita mengenal
Allah yang begitu menyayangi ciptaan-Nya. Allah yang ingin menyatakan diri
kepada ciptaan-Nya maka Ia membuka akses menuju diri-Nya dengan seluas-luasnya.
Ia menyatakan diri sebagai Allah pencipta, pemelihara, Bapa yang pengasih dan
penyayang. Allah di dalam Kristus yang dapat disentuh, dikenal, memahami dan
dipahami. Melalui-Nya penebusan dosa terjadi. Dan kemudian Dia juga yang hadir
di dalam diri kita agar mampu hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Itulah Allah
Trinitas. Allah yang satu, tidak terpisahkan, memiliki substansi ilahi, dalam
tiga “cara berada” pribadi. Sebaliknya, tiga pribadi itu berbeda satu sama
lain, tetapi ketiganya satu dalam substansi ilahinya. Itulah cara Allah
berkomunikasi, memperkenalkan diri kepada kita!
Hanya ada satu
cara untuk dapat mengerti, memahami, mengalami dan merasakan kasih Allah
Tritunggal itu, yakni: seperti boneka garam, bukan dengan cara memandang dari
kejauhan sambil menduga-duga dan berprasangka kemudian berteori, tetapi
masuklah kedalamnya dan rasakan persekutuan dengan-Nya, niscaya kita akan tahu
siapa Allah sesungguhnya. Selamat merayakan Minggu Trinitas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar