Seorang lelaki suatu ketika
datang ke tukang cukur rambut untuk memangkas rambutnya yang sudah mulai
menutupi bahu dan telinganya. “Bang, tolong gunting rambut saya. Pendek atau
kalau perlu dibuat cepak, saya sudah gak tahan.” Pinta pria itu kepada tukang
cukur. Mereka berdua asyik terlibat dalam pembicaraan. Sampailah kemudian si
tukang cukur mengajukan pertanyaan iseng kepada lelaki itu, “Pak, apakah Anda
termasuk orang yang percaya adanya Tuhan atau tidak?”
“Wah, ya jelas! Tentu saja
saya percaya adanya Tuhan. Keberadaan Tuhan tidak dapat diragukan lagi. Saya
adalah orang yang yakin bahwa Tuhan bukan hanya sekedar ada tetapi Dialah
pencipta langit, bumi pokoknya semua yang ada di jagat raya ini. Dan, Sobat,
Anda mesti tahu bahwa Tuhan itu pun adalah Allah yang terus memelihara
ciptaan-Nya sampai saat ini. Ya, sampai sekarang!” Jawab si pria itu dengan
mantap. “Nah, sekarang bagaimana dengan Anda?” Pria itu balik bertanya.
“Oh, kalau saya justeru
kebalikan dengan Bapak. Saya adalah orang yang tidak percaya adanya Tuhan.
Apalagi kalau Tuhan itu disebut Maha pengasih dan Maha penyayang serta
memelihara setiap makhluknya. Gak...,saya gak percaya?” Jawab si tukang cukur
dengan mantap pula.
“Loh, mengapa Anda punya sikap
seperti itu?”
Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, si tukang cukur mengajak pelanggannya menoleh keluar jendela tempat
seorang pengemis tua lusuh tengah mengais-ngais makanan di bak penampungan sampah.
“Coba Bapak lihat pengemis itu!” pinta si tukang cukur, “Jika Tuhan benar-benar
ada dan seperti yang Bapak bilang bahwa Tuhan pencipta, pemelihara, pengasih
dan penyayang, mana mungkin Dia membiarkan ada orang menjadi miskin dan
mengemis serta menderita kelaparan. Lalu di manakah sifat Tuhan seperti yang
Bapak katakan tadi itu?”
Pria yang sedang dicukur itu
diam seribu basa. Ia kesulitan untuk membantah apa yang dikatakan si Tukang
cukur itu. Sebaliknya, si tukang cukur itu tersenyum simpul. Ia tampak bangga
dengan kemenangan argumentasinya itu. Teman bicaranya tidak bisa membantah. Setelah
selesai memangkas rambut dan membayar ongkosnya. Lelaki itu bangkit dari tempat
duduknya. Pandangannya menembus jendela yang sama. “Tunggu, pak tukang cukur.
Sekarang, aku mengerti dan punya sebuah keyakinan. Sebenarnya, tukang cukur itu
tidak ada!” Kontan si tukang cukur kaget, “Lah, yang benar saja Pak, kan baru saja Bapak saya cukur, ini
bayaran dari Bapak untuk jasa saya.” Si tukang cukur protes dan menunjukkan
upah yang diberikan si bapak itu.
“Kalau benar, tukang cukur
ada,” sambung pria itu sambil mengajak si tukang cukur mengarahkan pandangannya
kepada seorang yang tidak waras dengan rambut dan jenggot panjang yang sudah
gimbal tak terurus, “lihat itu, benarkan bahwa tukang cukur itu tidak ada. Sebab
kalau ada, mengapa ada orang yang rambut dan jenggotnya tidak terurus seperti
itu?”
“Ha..ha..ha..Bapak ini bisa
saja. Itu bukan karena tukang cukurnya yang tidak ada, tetapi merekanya yang
tidak mau datang dan meminta pertolongan saya.” Jawab si pemangkas rambut
sambil menyisakan senyum di bibirnya. “Kalau begitu, apa bedanya dengan
pernyataan Abang tentang keberadaan Tuhan tadi? Tuhan itu ada dan tetap
berkarya, cuma kitanya yang tidak mau datang! Kalau begitu skor kita satu-satu ya
Pak. Nanti kita ngobrol lagi ya!”
Sayang, keberadaan Tuhan dan
karya-Nya telah banyak menyita waktu bahkan korban yang tidak sedikit.
Keberadaan dan karya-Nya banyak diperdebatkan, dipertentangkan dan kemudian
terjadi konflik. Alih-alih merasakan dan mengalami eksistenti Tuhan, orang
lebih suka seperti dialog di tempat pangkas rambut itu. Merasa diri benar
dengan argumennya dan setelah itu memandang rendah orang lain yang tidak
sejalan dengan pola pikirnya. Hakekat jati diri dan karya Sang Tuhan sebagai Sang
Pengasih, Penyayang dan Pemelihara cenderung terabaikan.
Salah satu contoh yang terus
diperdebatkan orang sampai kini adalah tentang keturunan sah Abraham: Apakah
Ismail atau Ishak? Banyak orang telah menghabiskan waktu dan karyanya untuk
mempertahankan bahwa Allah lebih merestui anak yang satu ketimbang yang
lainnya. Bagi kalangan Yahudi dan Kristen, sangat jelas yang lebih banyak
dibicarakan dan menjadi legitimasi keturunan sah janji Allah adalah Ishak.
Ishaklah anak yang dikehendaki Tuhan sebab dari sanalah akan datangnya umat
pilihan Allah yakni Israel dari Israel pula akan muncul Sang Mesias.
Sebaliknya, umat Muslim percaya bahwa keturunan yang direstui Allah adalah
Ismael. Coba kita hening sejenak. Untuk perdebatan ini sudah memakan berapa
banyak energi, waktu, bahkan korban? Tidakkah kita tergoda untuk melihat
bagaimana Allah memihak? Allah memihak
bukan kepada kebanggaan manusia. Namun, Dia adalah Tuhan yang memihak kepada
orang yang tertindas!
Dalam konteks Hagar dan Sarai.
Hagar adalah hamba Sara yang sengaja diberikannya kepada Abram, sebab Sarai
pesimis tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Status budak membuat
Hagar tidak bisa menolak permintaan Sarai. Namun, ketika Hagar mengandung ia
menganggap rendah dan menghina sang nyonya. Saat itulah Sarai meminta Abram
bertindak. Abram menyerahkan segala kuasa itu kepada Sarai. Kemudian Sarai
menindas Hagar sehingga karena penindasan itu Hagar melarikan diri (Kejadian
16:1-6). Dalam penindasan dan pelariannya. Allah melalui malaikat-Nya menyertai
Hagar dan memintanya untuk kembali ke Sarai (Kej.16:9)
Sarai melupakan dan mematikan
rasa prikemanusiaan. Dia lupa bahwa Hagar baru saja berguna menghadirkan
keturunan bagi Abram. Kini, Hagar menjadi ancaman baginya dan bagi ahli waris,
kini di mata Sarai, Hagar adalah musuh utama. Sarai membiarkan panas hatinya
meluap menguasai dirinya. Hagar adalah korban kebijakan dari sang majikan dan
budayanya saat itu. Tidak ada pilihan baginya selain menderita. Sang suami,
Abram tidak berkutik sama sakali apalagi menjadi pelindung baginya. Di kemudian
hari, kisah kesedihan sang hamba yang ditindas oleh struktur budaya dan tuannya
ini nyaris bungkam. Jarang ada yang mau peduli oleh karena Hagar bukan
keturunan resmi, Hagar bukan “kita”!
Bersykurlah, Allah bukan
seperti kita yang sering dikaburkan oleh primodial. Dia Allah yang tetap
konsisten, membela yang tertindas. Meskipun, Sarai menindas, Abraham tidak mau
peduli dan kita cenderung menganggap Hagar dan Ismail sebagai keturunan
abal-abal, Allah sama sekali tidak melupakannya. Janji TUHAN kepadanya, “Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu,
sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya.”(Kej.16:10) Selanjutnya,
ditegaskan pula, “Engkau mengandung dan
akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN
telah mendengar
tentang penindasan atasmu
itu.”(Kej.1611). Apa respon Hagar atas janji TUHAN ini? Ia menamakan tempat
itu El-Roi (di sini kulihat Dia yang telah melihat aku).
Dalam Kejadian 21:8-21,
peristiwa serupa dialami kembali oleh Hagar. Lagi-lagi Hagar ditindas dan kali
ini ia diusir Abraham. Hagar kemudian pergi mengembara di padang gurun Besyeba.
Kekeringan luar biasa membuat dirinya tidak tahan melihat kematian anaknya di
depan mata. Ismael terpaksa dibuang ke dalam semak belukar. Seorang ibu
pastilah tidak tahan melihat anaknya mati kehausan. Namun, lagi-lagi Allah
tampil sebagai pembela. Tepatlah apa yang kemudian dikatan Yesaya 49:15, “Dapatkah seorang perempuan melupakan
bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun ia
melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” Allah mendengar suara
tangisan bayi itu dan kemudian membuka mata Hagar melihat sebuah sumur. Sumur
kehidupan. Allah menyertai anak itu dan menjanjikan membuat dia menjadi bangsa
yang besar (Kej. 21:17-20).
Sangatlah jelas dari kisah
ini. Allah berpihak bukan kepada orang-orang yang gemar menindas. Tetapi kepada
mereka yang tertindas dari bangsa, golongan, agama, rasa, suku apa pun.
Mestinya setiap orang yang menyembah-Nya menjauhkan diri dari sikap menindas;
menindas secara fisik, psikologis, atau pun kata-kata.
Pada pihak lain, ketika kita
mengalami penindasan, tidak ada jalan lain kecuali berlindung kepada-Nya.
Pemazmur berulang kali memberi contoh tentang itu. Terlebih khusus bacaan kita
Minggu ini, Mazmur 86, pastilah TUHAN mendengar. Dan kalaupun seandainya
penindasan dan aniaya itu luar biasa menimpa kita, Yesus sudah mengingatkan
supaya jangan takut, “Dan janganlah kamu
takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa
membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik
jiwa maupun tubuh di dalam neraka...Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung
semuanya. Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada
banyak burung pipit.” (Matius 10:28,30,31)
Jadi, tinimbang kita sibuk mendiskusikan kemahakuasaan
dan karya Tuhan, seperti obrolan di tukan cukur rambut, lebih baik teruskan
belarasa Allah yang peduli kepada orang-orang yang tertindas dan tangan-Nya
yang teracung melawan si penindas! Lebih baik seluruh anggota tubuh kita
gunakan untuk meneruskan cinta kasih-Nya daripada membangun benteng atau skat
pemisah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar