“Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin
berbuat baik.”
(I Petrus 3:13)
Yu Yuan tidak pernah tahu
siapa orang tua kandungnya. Ayah angkatnya menemukan Yu Yuan di atas hamparan
rumput pada 30 November 1996. Saat ditemukan, di dada Yu Yuan kecil ada
selembar kartu kecil bertuliskan 20 November pukul 12. Suara tangisan Yu Yuan
begitu lemah, dengan berat hati seorang lelaki 30 tahun menghampirinya, ia
mengangkat dan memeluk bayi itu. Dengan menghela nafas ia berkata, “Apa pun
yang kumakan, kamu pun akan memakannya.” Kemudian lelaki ini bertekad untuk
menjadi ayah dari sang bayi malang dan memberinya nama Yu Yuan.
Dalam kemiskinannya, sang ayah
angkat tidak mampu membeli susu bubuk untuk Yu Yuan. Ia hanya mampu memberi
makan dengan air tajin sehingga dampaknya Yu Yuan tumbuh lemah, rentan terhadap
penyakit. Namun, anak ini sangat penurut, ia bertambah besar dan memiliki
kepintaran luar biasa. Para tetangganya sering memuji Yu Yuan. Ia sangat
disukai oleh para tetangganya. Yu Yuan hidup dalam kesusahan luar biasa. Sejak
berusia lima tahun ia sudah terbiasa membantu ayah angkatnya mengerjakan
pekerjaan rumah, mulai dari mencuci baju, memasak, dan memotong rumput. Ia
mengerjakan semuanya itu dengan sukacita.
Saat memasuki sekolah dasar,
Yu Yuan sudah sangat mengerti bahwa ia harus giat belajar dan menjadi juara di
sekolah. Inilah yang membuat ayahnya yang tidak berpendidikan, bangga terhadap
dirinya di desa itu. Setiap kali ada yang lucu di sekolah, Yu Yuan segera
menceritakannya kepada ayahnya. Kadang ia usil dengan memberikan berbagai
pertanyaan sulit untuk menguji ayahnya.
Sejak
Mei 2005, Yu Yuan menderita mimisan. Ayah Yu Yuan membawanya ke Puskesmas desa
untuk disuntik. Namun, sayang bekas suntikan itu tidak berhenti mengeluarkan
darah. Di paha Yu Yuan bermunculan bintik- bintik merah. Dokter pun menyarankan
agar ayah Yu Yuan membawanya ke rumah sakit. Dokter di rumah sakit itu
menyatakan bahwa Yu Yuan menderita leukimia
ganas. Pengobatan penyakit itu sangat mahal. Ayah Yu Yuan mulai cemas melihat
anaknya terbaring lemah di ranjang. Sang ayah hanya memiliki niat, yaitu
menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara ia meminjam uang ke sanak saudara
dan teman. Namun, ternyata uang yang terkumpul sangat sedikit. Akhirnya sang
ayah memutuskan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu-satunya.
Melihat mata sang ayah yang
sedih dan pipinya semakin hari semakin tirus, hati Yu Yuan sedih. Satu hari,
dengan air mata yang mengalir di pipi, gadis kecil itu berkata, “Ayah, aku
ingin mati.” Dengan terkejut ayah Yu Yuan memandang, “Kamu baru delapan tahun,
kenapa mau mati?” Yu Yuan menjawab, “Aku adalah anak yang dipungut. Nyawaku
tidak berharga. Tidak sebanding dengan biaya pengobatan penyakit ini. Biarlah
aku keluar dari rumah sakit ini.”
Pada 18 Juni 2005, Yu Yuan
mewakili ayahnya yang tidak mengenal huruf menandatangani surat keluar dari
rumah sakit. Hari itu juga mereka meninggalkan rumah sakit. Yu Yuan yang sejak
kecil tidak pernah meminta sesuatu, hari itu mengajukan dua permohonan kepada
ayah angkatnya. Ia ingin mengenakan baju baru dan berfoto. Yu Yuan menjelaskan
alasan di balik permintaannya. “Setelah aku tidak ada, jika ayah merindukanku,
lihatlah foto ini!”
Bibinya memilihkan rok putih dengan corak bintik-bintik
merah, Yu Yuan kemudian mengenakan baju barunya dan dengan berpose secantik
mungkin, ia berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada
akhirnya ia tidak dapat menahan air mata yang mengalir keluar.
Adalah Fu Yuan, seorang
wartawati yang bekerja di surat kabar Cheng
Du Wan Bao mengetahui kisah ini. Ia menuliskan kisah gadis kecil dengan
leukimianya dengan sangat detil. Cerita tentang anak berusia delapan tahun yang
mengatur pemakamannya sendiri akhirnya menyebar ke seluruh kota Rong Cheng.
Banyak orang tergugah, gaungnya sampai mendunia. Dalam waktu sepuluh hari saja
terkumpul dana 560 ribu dollar. Biaya oprasi pun tercukupi. Kemudian pengumuman
pengalangan dana dihentikan, tetapi dana terus mengalir. Pada 21 Juni, Yu Yuan
kembali masuk rumah sakit. Proses perawatan pun dimulai, Yu Yuan dengan susah
payah harus menjalani kemoterapi dan selanjutnya oprasi cangkok sumsum tulang
belakang. Semua orang mendambakan sebuah keajaiban, mereka ingin Yu Yuan
sembuh.
Akan tetapi, efek samping dari
obat-obatan sangat buruk bagi tubuh rentan yang sejak kecil kurang gizi.
Setelah melewati oprasi, fisik Yu Yuan begitu lemah. Pada 20 Agustus, Yu Yuan
bertanya kepada wartawati Fu Yuan, “ Tante, mengapa mereka bersedia
menyumbangkan danya untuk aku?” Wartawati itu menjawab, “Karena mereka semua
adalah orang yang baik hati.” Yu Yuan berkata, “Tante, aku juga mau menjadi
orang yang baik hati.” Tante Fu Yuan menjawab, “Kamu memang adalah orang yang
baik. Orang baik harus saling membantu agar dapat menjadi semakin baik.” Yu
Yuan mengambil sebuah surat dari bawah bantalnya dan memberikannya kepada
wartawati Fu Yuan.
Fu Yuan sangat terkejut ketika
membuka dan membaca surat itu. Surat itu semacam “wasiat”. Yu Yuan mengucapkan terimakasih
dan selamat tinggal kepada orang-orang yang selama ini telah telah
memperhatikannya melalui media surat kabar. “Sampai jumpa Tante, kita berjupa
lagi dalam mimpi. Tolong jaga ayah saya. Sebagian dari dana pengobatan ini bisa
dibagikan kepada sekolahku. Bagikan juga kepada lembaga palang merah. Setelah saya
meninggal, bagikan biaya pengobatan itu kepada orang-orang yang sakit seperti
aku, agar mereka cepat sembuh.” Surat wasiat itu membuat Fu Yuan tidak bisa menahan
air matia. “Saya pernah datang, dan saya sangat patuh.” Demikianlah kata-kata
terakhir Yu Yuan.
Pada 26 Agustus 2005, Yu Yuan
dimakamkan. Di depan rumah duka banyak orang berdiri dan menangis. Sesuai pesan
Yu Yuan, sisa dana sebesar 540 ribu dolar disumbangkan kepada anak-anak
penderita leukimia. Tercatat tujuh anak penerima sumbangan itu. Mereka adalah
anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian. Salah satu penerima donasi itu
berhasil sembuh, ia menuliskan, “Saya telah menerima bantuan dari kehidupanmu.
Terima kasih adik Yu Yuan. Kamu pasti sedang melihat kami dari atas sana.
Jangan risau, kami juga akan mengukir batu nisan dengan kata-kata, ‘Aku pernah
datang dan aku sangat patuh.”
Ada banyak alasan seseorang
berbuat baik. Ada motif agar dengan keibaikan yang dikerjakannya maka ada reward/keuntungan
untuk dirinya. Namun, tidak sedikit yang mengerjakan perbuatan baik oleh karena
dirinya terlebih dahulu telah merasakan kebaikan. Yu Yuan melakukan segala
kebaikan oleh karena ia menyadari diri hanya seorang anak yang dipungut.
Kepolosan, ketulusan, serta baktinya kepada orangtuanya akhirnya mendapat
respon luar biasa dari dunia. Walaupun hidup serba kekurangan, ia dapat
memberikan kasihnya kepada sesama. Kita juga adalah “anak-anak yang dipungut”
dari lumpur dosa, menjadi anak-anak Tuhan yang seharusnya dan tidak usah
diminta untuk selalu mengerjakan pekerjaan Bapa kita. Jika Sang Bapa dikenal
dengan Yang rahmani dan rahimi maka itulah yang harusnya terjadi, orang
mengenal kita sebagai gambaran Sang Bapa yang kelihatan.
Petrus mengingatkan kita bahwa
hidup dalam kasih, ketulusan, gemar berbuat baik dan semangat untuk tetap
berjuang adalah esensi kekristenan. Ia mengingatkan bisa saja ketika berbuat
baik kita mengalami berbagai kesulitan. “Tetapi
sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan bahagia...”(I
Petrus 3:14). Di samping itu ketika kita berhadapan dengan pelbagai kesulitan
dan penderitaan, bukankah kita juga dijanjikan oleh Tuhan Yesus Roh Kudus
sebagai Roh Penghibur dan Penolong.
Menjelang perpisahan-Nya
dengan para murid, Yesus menegaskan, “Janganlah
gelisah hatimu, Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu”
(Yoh.14:18) . Yesus menegaskan bahwa para murid tidak akan pernah dibiarkan
sendirian. Penegasan ini sangat berarti bagi para murid sebab mereka berada
dalam konteks dunia yang tidak ramah dan menolak perbuatan benar.
Ada Roh Kudus yang selalu siap sedia menopang dan
meolong. Jadi tidak ada alasan untuk mengelak dari melakukan perbuatan baik
bagi setiap orang yang mengaku pengikut Yesus. Penderitaan dan kesulitan hidup
serta tantangan, tekanan dan penganiayaan bukanlah alasan untuk mengelak dari
berbuat baik dan memperlihatkan ketulusan hati serta belarasa bagi sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar