Iman dan percaya tak hentinya
dibicarakan dan memang seolah tidak ada habis-habisnya, selalu ada ruang untuk
itu. Mengapa? Karena iman dan percaya selalu menemukan konteks dan penerapan
yang berbeda dari setiap orang atau komunitas yang menggumulinya. Iman dan
percaya merupakan dua kata yang terjalin begitu erat, sehingga mustahil untuk
dilepaskan satu dengan yang lainnya. Kita uji misalnya, adakah orang yang
mengaku beriman kepada Tuhan namun ia tidak percaya akan kuasa-Nya? Atau adakah
seseorang yang percaya (baca: mempercayakan diri) kepada Tuhan tetapi tidak
punya iman kepada-Nya?
Kata “iman” dalam bahasa
Yunani Peranjian Baru ditulis dengan πιστiς
“pistis” sedangkan kata “percaya”
adalah terjemahan dari kata ριστεω “pisteo”. Kedua kata ini sudah dipakai
dalam terjemahan Alkitab Ibrani ke Yunani (Septuaginta) yang berakar pada kata
Ibrani “aman” . Kata gma “aman”
mengandung pengertian: keadaan yang benar dan dapat dipercayai atau dapat
diandalkan. Kata-kata ini dalam Alkitab Ibrani sering digunakan untuk
menyatakan rasa percaya kepada Allah dan kepada Firman-Nya. Percaya kepada
Allah mencakup arti bahwa Dia adalah benar dan dapat diandalkan dengan sikap
itu maka orang yang beriman kepada-Nya akan mengambil posisi “hanya dialah
satu-satunya tempat bersandar dan berlindung.” Sedangkan percaya kepada
Firman-Nya mengandung konsekwensi, “percaya dan menerimanya sebagai sebuah
kebenaran yang kemudian dijadikannya sebagai pegangan hidup.” Pendeknya, iman itu: bersandarkan kepada yang
tidak dapat digoyahkan, mengaminkannya
dan di sanalah hidupnya dalam keadaan aman.
Daud dalam keadaan terpepet sering
menggubah syair yang menggambarkan bahwa berlindung kepada Allah sama artinya
berlindung kepada yang tidak dapat tergoyahkan, ibarat berlindung pada gunung
batu yang kokoh:”Jadilah gunung batu
tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk melindungi aku. Sebab Engkau bukit
batuku dan pertahananku, dan oleh karena nama-Mu Engkau akan menuntun aku dan
membimbing aku.” (Mazmur 31:2-3) Sehingga dalam keadaan bahaya luar biasa,
yang secara akali tidak mungkin bisa luput, iman itu berbicara : “tenanglah hai
jiwaku, di sini ada pelindungmu!” Apakah iman yang kita pegangi juga berbicara
demikian saat kita mengalami kekalutan dalam hidup? Ataukah tidak berfungsi
apa-apa bahkan menjadi umpatan dan sumpah serapah? Banyak orang mengaku beriman
dan percaya kepada Tuhan, namun ketika diperhadapmukakan dengan ancaman dan kemelut
kekalutan, imannya tidak mampu menopang.
Stefanus adalah contoh lain
dalam Alkitab. Suatu ketika ia dihakimi dan divonis oleh Mahkamah Agama Yahudi
dengan tuduhan yang dibuat-buat. Batu sudah siap di genggaman tangan-tangan
yang mengaku beriman dan siap membela agamanya. Kebencian sudah diubun-ubun
mereka. Kematian ada di depan matanya. Namun, saya bisa merasakan getaran iman
yang menopang diri Stefanus itu. Tidak gentar, apa lagi goyah. Imannya kepada
Kristus yang bangkit itu membuatnya tetap tegar dan tenang bahkan dalam kondisi
itu ia dapat melihat sosok yang dipercayainya itu sungguh hadir. Lalu katanya, “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak
Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kisah Rasul 7:56). Stefanus tidak
mempersoalkan kenapa sosok yang dipercayainya itu membiarkan dirinya dianiaya
dan diperlakukan tidak adil. Ia tidak mengugat di manakah Engkau, Tuhan saat
batu-batu yang dilemparkan oleh orang-orang yang mengaku bertuhan dan beragama
satu demi satu menghujam tubuhnya. Baginya sudah cukup Tuhan menjaga hatinya
tetap bersih, sekalipun ajal menjeputnya, Stefanus tidak mengutuk bahkan ia
mampu berdoa untuk orang-orang yang mengundang sang maut itu, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada
mereka!”Dan dengan perkataan itu, meninggallah ia. (Kis.7:60). Stefanus
telah mengajar kita tentang iman yang terpelihara dengan baik sampai ajal
menjemput.
Apakah saya bisa memiliki iman
seperti itu? Ya, sangat mungkin! Yesus berulang kali mengajarkan iman seperti
itu. Para murid, meskipun lamban menerima pengajaran itu, namun toh tak
henti-hentinya Tuhan mengajar. Pengajaran itu bisa disertai dengan mujizat atau
tanda: Angin sakal/badai topan diredakan, lima roti dan dua ikan yang mampu
memberi makan ribuan orang, membangkitkan orang mati dan banyak lagi tanda atau
mujizat lainnya. Pengajaran itu juga terjadi lewat dialog, misalnya tentang “Rumah
Bapa.” Kesemuanya itu jelas, tujuannya agar para murid mempunyai iman. Iman yang
sebenarnya, bukan iman lipstik atau iman aksesoris imitasi yang sebentar bisa
luntur dan kusam.
Dalam dialog tentang Rumah
Bapa, Yesus meneguhkan hati para murid agar mereka tidak gelisah ketika
sebentar lagi mereka harus berpisah dengan Yesus. Yesus mengajar para murid
untuk tetap percaya bahwa Ia akan pergi dan menyiapkan tempat bagi para murid.
Yesus akan pergi kepada Bapa dan inilah jaminan masa depan buat para murid. Apa
yang dikatakan Yesus ini adalah kebenaran, sebab jika tidak demikian tentu
Yesus tidak akan mengatakannya. Sebentar lagi Yesus akan berpisah dengan para
murid. Satu hal yang harus diimani para murid adalah bahwa kepergian Yesus itu
justeru akan menyiapkan tempat terbaik untuk para murid kelak. Namun, di pihak
lain kepergian Yesus itu memberi kesempatan buat para murid untuk belajar
memelihara iman dalam keadaan yang sebenarnya.
Sebelumnya, Yesus pernah
mengatakan bahwa ke tempat Ia pergi, orang Yahudi dan para murid tidak akan mengetahuinya
(Yoh.13:33) Sekarang Yesus menyatakan bahwa para murid tahu jalan ke situ,
jalan ke rumah Bapa. Memang Yesus sudah memberitahukan kepada mereka tentang kepergiannya
kepada Bapa, karena itu mereka tahu kemana Yesus pergi. Tempat di mana Yesus
berada (rumah Bapa) merupakan tujuan setiap orang yang percaya kepada-Nya.
Yesus sudah memberitahukan
bahwa Ia akan pergi ke rumah Bapa. Namun, demikian pada dasarnya mereka tidak
mengerti. Setidaknya hal ini terungkap dari ucapan Tomas, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu
jalan ke situ?” Pertanyaan ini membuka kesempatan bagi Yesus untuk
menyatakan diri sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Yesus adalah Jalan yang
membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak hanya menunjukkan jalan tertentu yang
harus dilewati sebagaimana dipahami Tomas. Dialah satu-satunya jalan menuju
Bapa. Yesus bukanlah salah satu dari sekian banyak jalan yang membawa orang
kepada Sang Bapa. Dia adalah Sang Jalan satu-satunya!
Dalam kapasitasnya sebagai
Sang Jalan itulah, Ia juga adalah Kebenaran dan Hidup. Jalan itu benar karena
mengantar pada tujuan yang sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat
mempercayakan diri kepada-Nya. Dia mengatakan apa dan siapa sesungguhnya
diri-Nya. Dia melakukan apa yang Dia ajarkan. Dia adalah Jalan Kebenaran ketika
mengatakan bahwa Ia adalah saru-satunya Jalan yang menuju kepada Bapa. Jalan
itu adalah Hidup karena membawa orang kepada kehidupan yang sesungguhnya.
Dengan demikian setiap orang yang menghendaki kehidupan kekal maka harus
menempuh dan melalui Sang Jalan itu. Mengenal Sang Jalan bukan hanya sekedar
percaya saja, melainkan menerima, menjalani, mempercayakan diri dan mengimani.
Orang yang percaya itu akan hidup melalui apa yang ia percaya.
Ketika seseorang beriman/mempercayakan diri kepada
Kristus, itu artinya ia sedang berada di dalam Jalan Kebenaran itu, Jalan yang
menuntun kepada kehidupan; bukan kematian. Mungkin saja tampaknya seperti Daud
yang menghadapi banyak musuh yang memasang jerat, atau Stefanus yang berhadapan
dengan maut, sepertinya jalan itu jalan yang terjal dan menghadapi kematian.
Namun, seseorang akan merasa tegar bahkan dia akan bisa tersenyum sekalipun di
tengah badai, andaikan saja ia punya iman yang sesungguhnya! Apakah iman itu
yang sekarang Anda pelihara? Ataukah iman yang hanya memanjakan keinginan Anda,
di mana ada keinginan yang terpenuhi barulah di situ ada iman. Iman sejati akan
bisa menjawab kegalauan Sigmud Freud yang pernah mengatakan: “Manusia beragama
sebenarnya sedang menciptakan Tuhan bagi diri mereka sendiri untuk memenuhi
kebutuhan ego mereka.” Apabila Stefanus dapat membuktikan dengan kematiannya
dalam iman yang sempurna, apa yang menjadi bukti Anda sebagai seorang yang
layak menyandang “orang yang beriman”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar