Jumat, 16 Mei 2014

IMAN YANG SETIA MEMELIHARA RASA PERCAYA KEPADA TUHAN

Iman dan percaya tak hentinya dibicarakan dan memang seolah tidak ada habis-habisnya, selalu ada ruang untuk itu. Mengapa? Karena iman dan percaya selalu menemukan konteks dan penerapan yang berbeda dari setiap orang atau komunitas yang menggumulinya. Iman dan percaya merupakan dua kata yang terjalin begitu erat, sehingga mustahil untuk dilepaskan satu dengan yang lainnya. Kita uji misalnya, adakah orang yang mengaku beriman kepada Tuhan namun ia tidak percaya akan kuasa-Nya? Atau adakah seseorang yang percaya (baca: mempercayakan diri) kepada Tuhan tetapi tidak punya iman kepada-Nya?

Kata “iman” dalam bahasa Yunani Peranjian Baru ditulis dengan πιστiςpistis” sedangkan kata “percaya” adalah terjemahan dari kata ριστεωpisteo”. Kedua kata ini sudah dipakai dalam terjemahan Alkitab Ibrani ke Yunani (Septuaginta) yang berakar pada kata Ibrani “aman” . Kata gma “aman” mengandung pengertian: keadaan yang benar dan dapat dipercayai atau dapat diandalkan. Kata-kata ini dalam Alkitab Ibrani sering digunakan untuk menyatakan rasa percaya kepada Allah dan kepada Firman-Nya. Percaya kepada Allah mencakup arti bahwa Dia adalah benar dan dapat diandalkan dengan sikap itu maka orang yang beriman kepada-Nya akan mengambil posisi “hanya dialah satu-satunya tempat bersandar dan berlindung.” Sedangkan percaya kepada Firman-Nya mengandung konsekwensi, “percaya dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang kemudian dijadikannya sebagai pegangan hidup.” Pendeknya, iman itu: bersandarkan kepada yang tidak dapat digoyahkan, mengaminkannya dan di sanalah hidupnya dalam keadaan aman. 

Daud dalam keadaan terpepet sering menggubah syair yang menggambarkan bahwa berlindung kepada Allah sama artinya berlindung kepada yang tidak dapat tergoyahkan, ibarat berlindung pada gunung batu yang kokoh:”Jadilah gunung batu tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk melindungi aku. Sebab Engkau bukit batuku dan pertahananku, dan oleh karena nama-Mu Engkau akan menuntun aku dan membimbing aku.” (Mazmur 31:2-3) Sehingga dalam keadaan bahaya luar biasa, yang secara akali tidak mungkin bisa luput, iman itu berbicara : “tenanglah hai jiwaku, di sini ada pelindungmu!” Apakah iman yang kita pegangi juga berbicara demikian saat kita mengalami kekalutan dalam hidup? Ataukah tidak berfungsi apa-apa bahkan menjadi umpatan dan sumpah serapah? Banyak orang mengaku beriman dan percaya kepada Tuhan, namun ketika diperhadapmukakan dengan ancaman dan kemelut kekalutan, imannya tidak mampu menopang.

Stefanus adalah contoh lain dalam Alkitab. Suatu ketika ia dihakimi dan divonis oleh Mahkamah Agama Yahudi dengan tuduhan yang dibuat-buat. Batu sudah siap di genggaman tangan-tangan yang mengaku beriman dan siap membela agamanya. Kebencian sudah diubun-ubun mereka. Kematian ada di depan matanya. Namun, saya bisa merasakan getaran iman yang menopang diri Stefanus itu. Tidak gentar, apa lagi goyah. Imannya kepada Kristus yang bangkit itu membuatnya tetap tegar dan tenang bahkan dalam kondisi itu ia dapat melihat sosok yang dipercayainya itu sungguh hadir. Lalu katanya, “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kisah Rasul 7:56). Stefanus tidak mempersoalkan kenapa sosok yang dipercayainya itu membiarkan dirinya dianiaya dan diperlakukan tidak adil. Ia tidak mengugat di manakah Engkau, Tuhan saat batu-batu yang dilemparkan oleh orang-orang yang mengaku bertuhan dan beragama satu demi satu menghujam tubuhnya. Baginya sudah cukup Tuhan menjaga hatinya tetap bersih, sekalipun ajal menjeputnya, Stefanus tidak mengutuk bahkan ia mampu berdoa untuk orang-orang yang mengundang sang maut itu, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka!”Dan dengan perkataan itu, meninggallah ia. (Kis.7:60). Stefanus telah mengajar kita tentang iman yang terpelihara dengan baik sampai ajal menjemput.

Apakah saya bisa memiliki iman seperti itu? Ya, sangat mungkin! Yesus berulang kali mengajarkan iman seperti itu. Para murid, meskipun lamban menerima pengajaran itu, namun toh tak henti-hentinya Tuhan mengajar. Pengajaran itu bisa disertai dengan mujizat atau tanda: Angin sakal/badai topan diredakan, lima roti dan dua ikan yang mampu memberi makan ribuan orang, membangkitkan orang mati dan banyak lagi tanda atau mujizat lainnya. Pengajaran itu juga terjadi lewat dialog, misalnya tentang “Rumah Bapa.” Kesemuanya itu jelas, tujuannya agar para murid mempunyai iman. Iman yang sebenarnya, bukan iman lipstik atau iman aksesoris imitasi yang sebentar bisa luntur dan kusam.

Dalam dialog tentang Rumah Bapa, Yesus meneguhkan hati para murid agar mereka tidak gelisah ketika sebentar lagi mereka harus berpisah dengan Yesus. Yesus mengajar para murid untuk tetap percaya bahwa Ia akan pergi dan menyiapkan tempat bagi para murid. Yesus akan pergi kepada Bapa dan inilah jaminan masa depan buat para murid. Apa yang dikatakan Yesus ini adalah kebenaran, sebab jika tidak demikian tentu Yesus tidak akan mengatakannya. Sebentar lagi Yesus akan berpisah dengan para murid. Satu hal yang harus diimani para murid adalah bahwa kepergian Yesus itu justeru akan menyiapkan tempat terbaik untuk para murid kelak. Namun, di pihak lain kepergian Yesus itu memberi kesempatan buat para murid untuk belajar memelihara iman dalam keadaan yang sebenarnya.

Sebelumnya, Yesus pernah mengatakan bahwa ke tempat Ia pergi, orang Yahudi dan para murid tidak akan mengetahuinya (Yoh.13:33) Sekarang Yesus menyatakan bahwa para murid tahu jalan ke situ, jalan ke rumah Bapa. Memang Yesus sudah memberitahukan kepada mereka tentang kepergiannya kepada Bapa, karena itu mereka tahu kemana Yesus pergi. Tempat di mana Yesus berada (rumah Bapa) merupakan tujuan setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Yesus sudah memberitahukan bahwa Ia akan pergi ke rumah Bapa. Namun, demikian pada dasarnya mereka tidak mengerti. Setidaknya hal ini terungkap dari ucapan Tomas, “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?” Pertanyaan ini membuka kesempatan bagi Yesus untuk menyatakan diri sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Yesus adalah Jalan yang membawa orang kepada Bapa. Yesus tidak hanya menunjukkan jalan tertentu yang harus dilewati sebagaimana dipahami Tomas. Dialah satu-satunya jalan menuju Bapa. Yesus bukanlah salah satu dari sekian banyak jalan yang membawa orang kepada Sang Bapa. Dia adalah Sang Jalan satu-satunya!

Dalam kapasitasnya sebagai Sang Jalan itulah, Ia juga adalah Kebenaran dan Hidup. Jalan itu benar karena mengantar pada tujuan yang sejati. Dia bisa dipercaya dan orang dapat mempercayakan diri kepada-Nya. Dia mengatakan apa dan siapa sesungguhnya diri-Nya. Dia melakukan apa yang Dia ajarkan. Dia adalah Jalan Kebenaran ketika mengatakan bahwa Ia adalah saru-satunya Jalan yang menuju kepada Bapa. Jalan itu adalah Hidup karena membawa orang kepada kehidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian setiap orang yang menghendaki kehidupan kekal maka harus menempuh dan melalui Sang Jalan itu. Mengenal Sang Jalan bukan hanya sekedar percaya saja, melainkan menerima, menjalani, mempercayakan diri dan mengimani. Orang yang percaya itu akan hidup melalui apa yang ia percaya.

Ketika seseorang beriman/mempercayakan diri kepada Kristus, itu artinya ia sedang berada di dalam Jalan Kebenaran itu, Jalan yang menuntun kepada kehidupan; bukan kematian. Mungkin saja tampaknya seperti Daud yang menghadapi banyak musuh yang memasang jerat, atau Stefanus yang berhadapan dengan maut, sepertinya jalan itu jalan yang terjal dan menghadapi kematian. Namun, seseorang akan merasa tegar bahkan dia akan bisa tersenyum sekalipun di tengah badai, andaikan saja ia punya iman yang sesungguhnya! Apakah iman itu yang sekarang Anda pelihara? Ataukah iman yang hanya memanjakan keinginan Anda, di mana ada keinginan yang terpenuhi barulah di situ ada iman. Iman sejati akan bisa menjawab kegalauan Sigmud Freud yang pernah mengatakan: “Manusia beragama sebenarnya sedang menciptakan Tuhan bagi diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan ego mereka.” Apabila Stefanus dapat membuktikan dengan kematiannya dalam iman yang sempurna, apa yang menjadi bukti Anda sebagai seorang yang layak menyandang “orang yang beriman”?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar