Pepatah kuno mengatakan, “Hidup
itu ibarat roda, kadang ada di bawah namun, suatu ketika ada di atas.” Apa yang
tersirat dari pepatah itu? Ya hidup, lebih tepatnya posisi atau keadaan manusia
itu tidak abadi. Tidak ada yang terus berada di “bawah” dan sebaliknya, tidak
ada yang terus di “atas”. Posisi “bawah” menggambarkan keadaan sulit, semisal:
kemiskinan, penderitaan, status sosial yang buruk, keterbelakangan pendidikan
dan yang sejenis dengan itu. Sedangkan posisi “atas”, semua pasti bisa
menebaknya, yakni: keadaan makmur, berlimpah harta, tinggi tahta dan status
sosial terhormat, dan yang serupa dengan itu.
Pada umumnya manusia
menghindari dan menolak berada di posisi “bawah”, semua berlomba menggapai
posisi “atas” kalau perlu menduduki puncak. Tidak ada yang salah! Memang
seharusnya manusia berusaha meningkatkan taraf hidup dan derajatnya agar hidup
lebih baik, lebih sejahtera. Menjadi keliru kalau niatan menduduki tempat di
atas tersebut didasari oleh akar pahit kebencian dan dendam serta dilakukan
dengan cara-cara tidak terpuji.
Kita menyaksikan belakangan
ini dua kubu yang sedang bertarung memperebutkan posisi “atas” atau lebih
tepatnya posisi puncak kekuasaan di negeri ini; menjadi presiden. Menjadi
presiden, penguasa bukanlah dosa. Undang-undang di Indonesia menjamin setiap
warga negara mempunyai hak untuk menjadi pemimpin dan penguasa. Sayangnya,
untuk menggapai posisi itu kedua belah kubu dan tim siksesnya yang bersaing
menghalalkan segala macam cara. Kampanye hitam yang mengandung unsur hasutan
SARA, fitnah dan tebaran kedengkian begitu nyata. Di sini kita saksikan betapa
kaidah-kaidah intelektual dan moralitas keagamaan seolah runtuh demi
kepentingan sesaat mengejar kekuasaan itu. Kita tidak bisa membayangkan seorang
profesor, guru besar, pemuka agama dan masih banyak gelar lainnya dapat
melontarkan kata-kata provokatif, nalar sehat akademisinya tumbang demi ambisi
posisi puncak itu! Padahal mengingat pepatah kuno tadi bahwa hidup dan posisi
manusia tidaklah langgeng. Sangat disayangkan menjual yang kekal dengan barang
fana. Agama terlalu suci untuk menjadi budak politik!
Kekuasaan itu tidak abadi
bahkan kekuasaan itu adalah mandat dari Sang Penguasa sesungguhnya: TUHAN!
Manusia dan seluruh ciptaan lainnya pada dasarnya tidak punya kuasa jika Sang
Penguasa itu tidak memberikannya. Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk “kuasa”.
Kata itu adalah έξουσια (exousia) dan δυναμις (dunamis).
Exousia sering diterjemahkan “otoritas”,
“kewenangan”. Kata ini selalu dipakai dalam kaitannya dengan TUHAN. TUHANlah
pemilik kuasa mutlak, absolut. Sedangkan kata dunamis sering diartikan “daya”, “kekuatan” dalam pengertian: daya
atau kekuatan yang memampukan manusia melakukan banyak dalam kehidupannya.
Jadi, tanpa TUHAN dengan exousia-Nya
manusia hanyalah debu dan tanah. Manusia dapat berkarya oleh karena Sang
Mahakuasa memberikan daya dan kekuatan itu! Namun, sayangnya daya dan kuasa
seolah menjadi milik dan dipakai sebagai alat untuk pemuasan nafsu serakah.
Raja Daud menggambarkan TUHAN
itu adalah Allah yang dasyat, “Allah
adalah dasyat dari dalam tempat kudus-Nya; dan Allah yag dasyat itulah yang
mengaruniakan kekuasaan, “Allah Israel,
Dia mengaruniakan kekuasaan dan kekuatan kepada umat-Nya. Terpujilah Allah! (Mazmur
68:36). Untuk maksud apa sebenarnya Allah memberikan daya dan kekuasaan kepada
manusia? Saya kira, jelaslah bahwa daya dan kekuasaan itu bukan untuk memuaskan
nafsu dan ambisi manusia. Namun, daya dan kuasa itu adalah untuk menyatakan
belarasa dan keberpihakan Allah kepada yang tidak berdaya supaya mereka juga
mendapat energi atau dunamis dari
Allah. Supaya mereka berdaya! Kekuasaan itu untuk menyatakan, “Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para
janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal
kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga
mereka bahagia...”( Mmz.68:6,7).
Orang yang memahami TUHAN yang
mempunyai kuasa absolut dan hanya Dia yang bisa memberikan daya dan kekuatan
pada makhluk-Nya maka orang itu tidak akan menggunakan kemampuannya dengan
sembarangan. Ia akan memakainya sesuai dengan maksud TUHAN. Ia akan menjadikan
daya dan kekuatannya itu untuk memperkenalkan, menyaksikan siapa sesungguhnya
Yang Mahakuasa itu. Bagaimana dengan kita, kisah berikut mungkin dapat menolong
kita merenungkan apakah yang sedang kita kejar kehormatan/kemuliaan semu atau
betulkah kita sedang berada dalam jalan-Nya sehingga kita layak disebut
anak-Nya?
Alkisah ada seorang raja yang tidak mempunyai anak. Ia sangat merindukan
kehadiran seorang anak agar dapat meneruskan takhta kerajaannya. Raja itu
menempelkan pengumuman. Ia mengundang orang-orang muda untuk mendaftar sehingga
dapat diangkat anak dan menjadi keluarganya serta menjadi putra mahkota raja
itu. Sayaratnya sederhana: orang itu harus mencintai Tuhan dan sesamanya.
Seorang anak petani miskin melihat pengumuman itu, hatinya bergelora. Ia
berniat mendaftarkan diri, namun kemudian ia berpikir bahwa tidak mungkin bagi
dirinya untuk diangkat anak karena ia benar-benar anak seorang petani miskin.
Penampilan pun rasanya kurang pas. Ia hanya punya satu baju yang lusuh. Tidak
mau menyerah dengan keadaan, si anak petani miskin ini kemudian bekerja keras
siang-malam sehingga ia dapat membeli satu stel baju yang bagus. Kini dengan
memakai baju bagus itu, ia hendak pergi ke istana untuk mendaftarakan diri
menjadi anak raja.
Dalam perjalanan ke istana, ia bertemu dengan seorang pengemis kumal yang
miskin. Orang tua itu menggigil kedinginan, anak muda itu mengamati dan merasa
kasihan. Ia melepas bajunya yang baru itu lalu menukarkan bajunya dengan baju
yang dipakai orang tua itu agar si pengemis tua itu tidak kedinginan. Sekarang
ia kembali memakai baju kumal
compamg-camping, baju pengemis, dan sepertinya akan sia-sia perjalanannya.
Bagaimana pun ia sudah pergi terlalu jauh dari kampungnya. Untuk kembali ke
rumahnya dengan tangan kosong, bukanlah pilihan yang bagus. Ia memutuskan untuk
terus berjalan, paling tidak ia ingin melihat istana dari luar.
Sesampainya di kawasan istana ia disambut sebagai bahan tertawaan oleh para
penjaga istana dan sindiran dari pembantu raja. Tetapi akhirnya ia diijinkan
masuk juga. Ada sesuatu yang sangat aneh tapi sangat familiar juga dengan
rajanya itu, pertamanya ia tidak dapat menjelaskan perasaan apa itu, tetapi
kemudian ia sadar, bajunya. Ia kemudian menyadari bahwa rajanya itu memakai
bajunya yang tadi dipakainya sebelum bertukar dengan pengemis di jalan. Raja
kemudian turun dari takhtanya dan memeluk anak itu, katanya, “Selamat datang
anakku!”
Cerita tadi hanyalah dongeng.
Namun, bukankah Allah yang kita kenal di dalam Kristus juga menggambarkan
seperti itu. Kristus mengidentikan diri dengan yang tersisih dan terbuang dan
orang yang bersedia melayani mereka, dialah yang kelak akan ditinggikan Allah.
Tugas itu jelas tidak mudah dalam kancah dunia yang selalu menonjolkan egoisme
dan mengagungkan keserakahan. Namun, ketahuilah bahwa Kristus pun mengerti dan
memahami tempat dimana kita diutus. Yesus pun telah meminta kepada Bapa-Nya
agar para pengikut-Nya dikuatkan (Yohanes 17). Yesus tidak memohon agar para
murid-Nya dibebaskan dari pelbagai pergumulan dan penderitaan namun supaya
mereka bersatu dan bertahan dalam penderitaan dan penganiayaan.
Jalan itulah yang dikehendaki TUHAN manakala manusia
berjuang mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia. Tidak mengumbar
keserakahan tetapi mau menjadi alat ditangan-Nya. Yang dibutuhkan kini dari
kita adalah: “Karena itu rendahkanlah
dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada
waktunya.” (1 Petrus 5:6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar