Jumat, 30 Mei 2014

DITINGGIKAN OLEH TANGAN YANG KUAT

Pepatah kuno mengatakan, “Hidup itu ibarat roda, kadang ada di bawah namun, suatu ketika ada di atas.” Apa yang tersirat dari pepatah itu? Ya hidup, lebih tepatnya posisi atau keadaan manusia itu tidak abadi. Tidak ada yang terus berada di “bawah” dan sebaliknya, tidak ada yang terus di “atas”. Posisi “bawah” menggambarkan keadaan sulit, semisal: kemiskinan, penderitaan, status sosial yang buruk, keterbelakangan pendidikan dan yang sejenis dengan itu. Sedangkan posisi “atas”, semua pasti bisa menebaknya, yakni: keadaan makmur, berlimpah harta, tinggi tahta dan status sosial terhormat, dan yang serupa dengan itu.

Pada umumnya manusia menghindari dan menolak berada di posisi “bawah”, semua berlomba menggapai posisi “atas” kalau perlu menduduki puncak. Tidak ada yang salah! Memang seharusnya manusia berusaha meningkatkan taraf hidup dan derajatnya agar hidup lebih baik, lebih sejahtera. Menjadi keliru kalau niatan menduduki tempat di atas tersebut didasari oleh akar pahit kebencian dan dendam serta dilakukan dengan cara-cara tidak terpuji.

Kita menyaksikan belakangan ini dua kubu yang sedang bertarung memperebutkan posisi “atas” atau lebih tepatnya posisi puncak kekuasaan di negeri ini; menjadi presiden. Menjadi presiden, penguasa bukanlah dosa. Undang-undang di Indonesia menjamin setiap warga negara mempunyai hak untuk menjadi pemimpin dan penguasa. Sayangnya, untuk menggapai posisi itu kedua belah kubu dan tim siksesnya yang bersaing menghalalkan segala macam cara. Kampanye hitam yang mengandung unsur hasutan SARA, fitnah dan tebaran kedengkian begitu nyata. Di sini kita saksikan betapa kaidah-kaidah intelektual dan moralitas keagamaan seolah runtuh demi kepentingan sesaat mengejar kekuasaan itu. Kita tidak bisa membayangkan seorang profesor, guru besar, pemuka agama dan masih banyak gelar lainnya dapat melontarkan kata-kata provokatif, nalar sehat akademisinya tumbang demi ambisi posisi puncak itu! Padahal mengingat pepatah kuno tadi bahwa hidup dan posisi manusia tidaklah langgeng. Sangat disayangkan menjual yang kekal dengan barang fana. Agama terlalu suci untuk menjadi budak politik!

Kekuasaan itu tidak abadi bahkan kekuasaan itu adalah mandat dari Sang Penguasa sesungguhnya: TUHAN! Manusia dan seluruh ciptaan lainnya pada dasarnya tidak punya kuasa jika Sang Penguasa itu tidak memberikannya. Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk “kuasa”. Kata itu adalah έξουσια (exousia) dan δυναμις (dunamis). Exousia sering diterjemahkan “otoritas”, “kewenangan”. Kata ini selalu dipakai dalam kaitannya dengan TUHAN. TUHANlah pemilik kuasa mutlak, absolut. Sedangkan kata dunamis sering diartikan “daya”, “kekuatan” dalam pengertian: daya atau kekuatan yang memampukan manusia melakukan banyak dalam kehidupannya. Jadi, tanpa TUHAN dengan exousia-Nya manusia hanyalah debu dan tanah. Manusia dapat berkarya oleh karena Sang Mahakuasa memberikan daya dan kekuatan itu! Namun, sayangnya daya dan kuasa seolah menjadi milik dan dipakai sebagai alat untuk pemuasan nafsu serakah.

Raja Daud menggambarkan TUHAN itu adalah Allah yang dasyat, “Allah adalah dasyat dari dalam tempat kudus-Nya; dan Allah yag dasyat itulah yang mengaruniakan kekuasaan, “Allah Israel, Dia mengaruniakan kekuasaan dan kekuatan kepada umat-Nya. Terpujilah Allah! (Mazmur 68:36). Untuk maksud apa sebenarnya Allah memberikan daya dan kekuasaan kepada manusia? Saya kira, jelaslah bahwa daya dan kekuasaan itu bukan untuk memuaskan nafsu dan ambisi manusia. Namun, daya dan kuasa itu adalah untuk menyatakan belarasa dan keberpihakan Allah kepada yang tidak berdaya supaya mereka juga mendapat energi atau dunamis dari Allah. Supaya mereka berdaya! Kekuasaan itu untuk menyatakan, “Bapa bagi anak yatim dan pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus; Allah memberi tempat tinggal kepada orang-orang sebatang kara, Ia mengeluarkan orang-orang tahanan, sehingga mereka bahagia...”( Mmz.68:6,7).

Orang yang memahami TUHAN yang mempunyai kuasa absolut dan hanya Dia yang bisa memberikan daya dan kekuatan pada makhluk-Nya maka orang itu tidak akan menggunakan kemampuannya dengan sembarangan. Ia akan memakainya sesuai dengan maksud TUHAN. Ia akan menjadikan daya dan kekuatannya itu untuk memperkenalkan, menyaksikan siapa sesungguhnya Yang Mahakuasa itu. Bagaimana dengan kita, kisah berikut mungkin dapat menolong kita merenungkan apakah yang sedang kita kejar kehormatan/kemuliaan semu atau betulkah kita sedang berada dalam jalan-Nya sehingga kita layak disebut anak-Nya?

Alkisah ada seorang raja yang tidak mempunyai anak. Ia sangat merindukan kehadiran seorang anak agar dapat meneruskan takhta kerajaannya. Raja itu menempelkan pengumuman. Ia mengundang orang-orang muda untuk mendaftar sehingga dapat diangkat anak dan menjadi keluarganya serta menjadi putra mahkota raja itu. Sayaratnya sederhana: orang itu harus mencintai Tuhan dan sesamanya.

Seorang anak petani miskin melihat pengumuman itu, hatinya bergelora. Ia berniat mendaftarkan diri, namun kemudian ia berpikir bahwa tidak mungkin bagi dirinya untuk diangkat anak karena ia benar-benar anak seorang petani miskin. Penampilan pun rasanya kurang pas. Ia hanya punya satu baju yang lusuh. Tidak mau menyerah dengan keadaan, si anak petani miskin ini kemudian bekerja keras siang-malam sehingga ia dapat membeli satu stel baju yang bagus. Kini dengan memakai baju bagus itu, ia hendak pergi ke istana untuk mendaftarakan diri menjadi anak raja.

Dalam perjalanan ke istana, ia bertemu dengan seorang pengemis kumal yang miskin. Orang tua itu menggigil kedinginan, anak muda itu mengamati dan merasa kasihan. Ia melepas bajunya yang baru itu lalu menukarkan bajunya dengan baju yang dipakai orang tua itu agar si pengemis tua itu tidak kedinginan. Sekarang ia  kembali memakai baju kumal compamg-camping, baju pengemis, dan sepertinya akan sia-sia perjalanannya. Bagaimana pun ia sudah pergi terlalu jauh dari kampungnya. Untuk kembali ke rumahnya dengan tangan kosong, bukanlah pilihan yang bagus. Ia memutuskan untuk terus berjalan, paling tidak ia ingin melihat istana dari luar.

Sesampainya di kawasan istana ia disambut sebagai bahan tertawaan oleh para penjaga istana dan sindiran dari pembantu raja. Tetapi akhirnya ia diijinkan masuk juga. Ada sesuatu yang sangat aneh tapi sangat familiar juga dengan rajanya itu, pertamanya ia tidak dapat menjelaskan perasaan apa itu, tetapi kemudian ia sadar, bajunya. Ia kemudian menyadari bahwa rajanya itu memakai bajunya yang tadi dipakainya sebelum bertukar dengan pengemis di jalan. Raja kemudian turun dari takhtanya dan memeluk anak itu, katanya, “Selamat datang anakku!”

Cerita tadi hanyalah dongeng. Namun, bukankah Allah yang kita kenal di dalam Kristus juga menggambarkan seperti itu. Kristus mengidentikan diri dengan yang tersisih dan terbuang dan orang yang bersedia melayani mereka, dialah yang kelak akan ditinggikan Allah. Tugas itu jelas tidak mudah dalam kancah dunia yang selalu menonjolkan egoisme dan mengagungkan keserakahan. Namun, ketahuilah bahwa Kristus pun mengerti dan memahami tempat dimana kita diutus. Yesus pun telah meminta kepada Bapa-Nya agar para pengikut-Nya dikuatkan (Yohanes 17). Yesus tidak memohon agar para murid-Nya dibebaskan dari pelbagai pergumulan dan penderitaan namun supaya mereka bersatu dan bertahan dalam penderitaan dan penganiayaan.

Jalan itulah yang dikehendaki TUHAN manakala manusia berjuang mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia. Tidak mengumbar keserakahan tetapi mau menjadi alat ditangan-Nya. Yang dibutuhkan kini dari kita adalah: “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya.” (1 Petrus 5:6).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar