Rabu, 12 Maret 2014

HANYA PERCAYA

John McNeil, seorang pendeta Skotlandia terkenal pernah mengenang masa kecilnya. Ketika masih kecil, John pernah bekerja di suatu tempat yang jauh dari rumahnya. Setiap hari, ia mesti berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan menyeberangi sungai. Suatu ketika, John terlambat pulang sampai larut malam. Meskipun begitu, ia nekad pulang. Kegelapan hutan menciptakan ketakutan luar biasa. Di saat mencekam itulah ia mendengar suara memanggilnya, “John..!”

John mengenal suara itu. Benar, tak pelak lagi sang  ayah kini berdiri di dekatnya. Menyadari bahwa anaknya terlambat pulang, dan memahami rasa takut sang anak ketika melintasi hutan dan ngarai, ayah John memutuskan untuk pergi menjemput John, sehingga mereka bisa berjalan bersama-sama melintasi gelapnya malam. John kecil merasakan dekapan sang ayah. Itulah perasaan paling menyenangkan dan membanggakan kenang John McNeil.

Manusia berpikir bahwa ketika ia percaya kepada Tuhan, maka Tuhan akan membebaskannya dari pelbagai sumber ketakutan. Tuhan akan mengambil alih semua beban yang ditanggungnya. Padahal pertolongan Tuhan bisa seperti pengalaman John kecil. Hutan yang gelap itu tidak berubah jadi jalan raya terang benderang. Namun, ia dapat melaluinya bahkan dengan bahagia oleh karena sang ayah berjalan bersamanya.

Hanya percaya”, sangat mungkin diartikan bertentangan dengan maksud dan tujuan luhur dari iman. Kata “hanya” yang ditempatkan di depan “percaya” bisa diberi makna “Cuma sekedar percaya” hampir sejajar dengan “Asal percaya saja!” tidak lebih dari itu maka semua akan beres. Asal percaya saja semua sakit, penderitaan, masalah, dan beban berat pergumulan hidup akan lenyap. Asal percaya saja maka saya masuk surga, itulah pemahaman yang banyak kita jumpai dalam kehidupan umat. Namun, apakah sikap seperti itu yang dikehendaki Tuhan?

Kata “percaya” menurut kamus Bahasa Indonesia, kurang-lebih berarti: mengakui atau yakin bahwa sesuatu itu memang benar-benar ada atau nyata. Atau yakin benar dan memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu. Jika subyek percaya itu adalah Allah, maka tinggal menambahkan saja: “Mengakui atau yakin bahwa Allah itu memang benar ada atau nyata.  Atau yakin benar dan memastikan kemampuan bahwa Allah berkuasa atas segala-sesuatu. Nah, pemahaman percaya sampai di sini sebenarnya tidak membawa dampak apa-apa bagi keselamatan. Mengapa? Sebab, bukankah setan-setan juga percaya akan eksistensi Allah bahkan gemetar terhadap-Nya (Yakobus 2:19)? Namun, tidak mendapat bagian dalam keselamatan? Apakah Allah bersikap diskriminatif?

Betapa seringnya kita mendengar dan memakai kata “percaya”, namun kalau mau jujur, kita tidak mengerti kata itu dengan tepat. Kadang samar, kita hanya menerima dan meneruskannya begitu saja. Tanpa mengerti dengan baik. Jika itu yang terjadi maka kata percaya tidak memiliki efek apa pun, apalagi menjadi kunci keselamatan. Percaya, sebenarnya lebih banyak mengandung porsi di dalam hati kita ketimbang logika. Percaya adalah sikap hati. Ya, sikap hati yang selalu condong kepada yang kita percaya. Oleh karena percaya itu adalah sikap hati maka tidaklah cukup hanya dengan kata-kata untuk menggambarkan dan membuktikan bahwa seseorang itu percaya kepada Allah. Percaya merupakan sikap hati yang “setuju dengan”, “menerima”, “membenarkan”, “menuruti”, “bergantung sepenuhnya”. Maka sebagai dampak dari percaya itu, seseorang akan mengerjakan segala sesuatu yang dikehendaki oleh yang ia percayai itu. Percaya yang benar akan membuahkan seseorang akan melakukan Firman Allah dengan sungguh dan tanpa paksaan (tujuan ke-2 dari tema kita).

Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa setan-setan percaya dan gemetar terhadap Allah namun mereka tidak diselamatkan. Allah tidak diskriminatif! Ya, setan-setan “hanya percaya saja” dan berhenti di situ. Alih-alih melakukan apa yang dikehendaki Allah, justeru mereka menentang-Nya . Seseorang juga akan sama nasibnya dengan setan-setan itu jika berhenti pada sikap “hanya percaya saja” dan tidak melanjutkan melakukan kehendak-Nya dengan sungguh-sungguh dan tanpa paksaan!
Mazmur 121 menggambarkan dengan indah sikap percaya kepada Allah itu. Pengalaman pemazmur hampir sama seperti  John McNeil kecil. Sesudah mengikuti ibadah raya, orang hendak pulang. Ia berjalan dan melayangkan matanya ke pegunungan, ia bertanya dari mana datang pertolongan baginya. Apakah sebenarnya yang sedang dikuatirkan dengan pertanyaan itu? Di pegunungan di sebelah timur dan selatan Yerusalem terdapat wilayah yang sunyi di mana binatang buas dan penyamun menanti mangsanya. Di gunung-gunung pun terdapat pohon keramat dan mezbah untuk dewa-dewa kesuburan. Baal dan Astarte bertuan di situ dan belum pasti bahwa pemuja TUHAN bisa melewati wilayah itu dengan selamat. Dalam bahaya yang akan timbul itu, maka wajarlah dalam kecemasan itu seseorang bertanya, dari manakah datang pertolonganku?

Jawaban yang diberikan dalam bentuk pengakuan percaya, “Pertolonganku ialah dari TUHAN...” Inilah pengalaman dan pengakuan yang menguatkan. Alasan ditambah: “Dia yang menjadikan langit dan bumi”, rumusan ini berakar di Yerusalem dari dahulu kala (bnd.Kej.14:19 dan 22) TUHAN sanggup menolong di mana saja; tidak ada wilayah yang terletak di luar pemerintahan-Nya. Juga tidak ada waktu yang terdapat di luar kewaspadaan-Nya. Kalau dewa-dewa kesuburan terlelap di musim rontok dan tidur di musim dingin (bila daun-daunan gugur dan tak satu pun tumbuh), maka tidak demikian halnya dengan TUHAN, Ia senantiasa menjaga: seperti seorang gembala, Ia menjaga umat-Nya mengingat dan memperhatikan orang-orang-Nya agar mereka hidup.

Abram adalah sosok orang yang dikarunia iman dan percaya kepada Tuhan luar biasa. Allah menyapa dan memanggil. Allah memintanya meninggalkan negeri dan rumah bapaknya. Sebagai pengganti negeri asalnya, maka Allah menjanjikan negeri baru. Namun, menariknya negeri baru tujuan akhir perjalanan itu masih tersembunyi. Abram tidak diberitahu gambaran negeri itu dan ke arah mana jalannya sehingga ia bisa menimbang-nimbang dulu untung ruginya jika mengikuti suara Allah itu. Abram hanya diundang mempercayai Allah (Kej.15:6), bahwa tawaran Allah itu bukan omong kosong. Allah menjanjikan negeri yang baru. Kapan, di mana dan dengan apa Abram akan sampai ke sana adalah masih tetap rahasia Allah. Di dalam misteri itu, Allah menjanjikan:

1.  Abram akan menjadi bangsa yang besar. Orang yang isterinya mandul dan tidak punya harapan untuk keturunan, dijanjikan akan menjadi bangsa yang besar. Negeri yang ditinggalkannya kini akan diganti Allah dengan keturunan yang akan menjadi bangsa yang besar. Kebesaran yang dirindukan oleh masyarakat Babel akan diberikan Allah kepada Abram. Dalam Perjanjian Lama, berkat keturunan itu sangat berarti.

2.  Allah memberkati Abram. Abram bukan hanya menerima berkat, melainkan ia dijadikan berkat. Abram bukan hanya menerima apa-apa, melainkan ia diubah menjadi orang baru, pembawa kehidupan dan membawa orang beribadah kepada Allah.

3.   Nama Abram menjadi masyur. Ia menjadi seorang ternama. Abram menjadi tokoh yang banyak ditiru orang dan mempengaruhi banyak bangsa.

Abram percaya kepada Allah. Ia merespon panggilan itu dengan “Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya,...” (Kej.12:4a). Tanpa banyak bicara, sikap Abram ini menunjukkan sikap “hanya percaya” itu! Ya, “hanya percaya” seperti yang dimaksud dengan tema kita. Itulah sebabnya Paulus kelak berkesimpulan bahwa sikap Abraham ini dibenarkan Allah dan menjadi teladan bagi banyak orang. Orang menyebut dia “bapak orang percaya”.

Abraham dibenarkan Allah karena sikap imannya. Kini, Allah Bapa mengutus Anak-Nya, melalui-Nya orang mengenal cinta kasih Bapa. Dialah Anak Manusia itu. Menerima dan percaya kepada-Nya membuat seseorang “dilahirkan kembali” akibatnya ia dapat melihat Kerajaan Allah. Melihat Kerajaan Allah berarti mengalami kasih Allah dan hidup kekal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar