John
McNeil, seorang pendeta Skotlandia terkenal pernah mengenang masa kecilnya.
Ketika masih kecil, John pernah bekerja di suatu tempat yang jauh dari
rumahnya. Setiap hari, ia mesti berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan
menyeberangi sungai. Suatu ketika, John terlambat pulang sampai larut malam.
Meskipun begitu, ia nekad pulang. Kegelapan hutan menciptakan ketakutan luar
biasa. Di saat mencekam itulah ia mendengar suara memanggilnya, “John..!”
John
mengenal suara itu. Benar, tak pelak lagi sang
ayah kini berdiri di dekatnya. Menyadari bahwa anaknya terlambat pulang,
dan memahami rasa takut sang anak ketika melintasi hutan dan ngarai, ayah John
memutuskan untuk pergi menjemput John, sehingga mereka bisa berjalan
bersama-sama melintasi gelapnya malam. John kecil merasakan dekapan sang ayah.
Itulah perasaan paling menyenangkan dan membanggakan kenang John McNeil.
Manusia
berpikir bahwa ketika ia percaya kepada Tuhan, maka Tuhan akan membebaskannya
dari pelbagai sumber ketakutan. Tuhan akan mengambil alih semua beban yang
ditanggungnya. Padahal pertolongan Tuhan bisa seperti pengalaman John kecil.
Hutan yang gelap itu tidak berubah jadi jalan raya terang benderang. Namun, ia
dapat melaluinya bahkan dengan bahagia oleh karena sang ayah berjalan
bersamanya.
“Hanya percaya”, sangat mungkin
diartikan bertentangan dengan maksud dan tujuan luhur dari iman. Kata “hanya”
yang ditempatkan di depan “percaya” bisa diberi makna “Cuma sekedar percaya” hampir sejajar dengan “Asal percaya saja!” tidak lebih dari itu maka semua akan beres.
Asal percaya saja semua sakit, penderitaan, masalah, dan beban berat pergumulan
hidup akan lenyap. Asal percaya saja maka saya masuk surga, itulah pemahaman
yang banyak kita jumpai dalam kehidupan umat. Namun, apakah sikap seperti itu
yang dikehendaki Tuhan?
Kata “percaya” menurut kamus Bahasa Indonesia, kurang-lebih berarti:
mengakui atau yakin bahwa sesuatu itu memang benar-benar ada atau nyata. Atau yakin
benar dan memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu. Jika
subyek percaya itu adalah Allah, maka tinggal menambahkan saja: “Mengakui atau
yakin bahwa Allah itu memang benar ada atau nyata. Atau yakin benar dan memastikan kemampuan bahwa
Allah berkuasa atas segala-sesuatu. Nah, pemahaman percaya sampai di sini
sebenarnya tidak membawa dampak apa-apa bagi keselamatan. Mengapa? Sebab, bukankah
setan-setan juga percaya akan eksistensi Allah bahkan gemetar terhadap-Nya
(Yakobus 2:19)? Namun, tidak mendapat bagian dalam keselamatan? Apakah Allah
bersikap diskriminatif?
Betapa seringnya kita mendengar dan memakai kata “percaya”, namun kalau mau
jujur, kita tidak mengerti kata itu dengan tepat. Kadang samar, kita hanya
menerima dan meneruskannya begitu saja. Tanpa mengerti dengan baik. Jika itu
yang terjadi maka kata percaya tidak memiliki efek apa pun, apalagi menjadi
kunci keselamatan. Percaya, sebenarnya lebih banyak mengandung porsi di dalam
hati kita ketimbang logika. Percaya adalah sikap hati. Ya, sikap hati yang
selalu condong kepada yang kita percaya. Oleh karena percaya itu adalah sikap
hati maka tidaklah cukup hanya dengan kata-kata untuk menggambarkan dan membuktikan
bahwa seseorang itu percaya kepada Allah. Percaya merupakan sikap hati yang
“setuju dengan”, “menerima”, “membenarkan”, “menuruti”, “bergantung sepenuhnya”.
Maka sebagai dampak dari percaya itu, seseorang akan mengerjakan segala sesuatu
yang dikehendaki oleh yang ia percayai itu. Percaya yang benar akan membuahkan
seseorang akan melakukan Firman Allah dengan sungguh dan tanpa paksaan (tujuan
ke-2 dari tema kita).
Dengan demikian dapatlah
dimengerti mengapa setan-setan percaya dan gemetar terhadap Allah namun mereka
tidak diselamatkan. Allah tidak diskriminatif! Ya, setan-setan “hanya percaya
saja” dan berhenti di situ. Alih-alih melakukan apa yang dikehendaki Allah,
justeru mereka menentang-Nya . Seseorang juga akan sama nasibnya dengan
setan-setan itu jika berhenti pada sikap “hanya percaya saja” dan tidak melanjutkan
melakukan kehendak-Nya dengan sungguh-sungguh dan tanpa paksaan!
Mazmur 121 menggambarkan dengan indah sikap percaya kepada Allah itu.
Pengalaman pemazmur hampir sama seperti
John McNeil kecil. Sesudah mengikuti ibadah raya, orang hendak pulang.
Ia berjalan dan melayangkan matanya ke pegunungan, ia bertanya dari mana datang pertolongan baginya.
Apakah sebenarnya yang sedang dikuatirkan dengan pertanyaan itu? Di pegunungan
di sebelah timur dan selatan Yerusalem terdapat wilayah yang sunyi di mana
binatang buas dan penyamun menanti mangsanya. Di gunung-gunung pun terdapat
pohon keramat dan mezbah untuk dewa-dewa kesuburan. Baal dan Astarte bertuan di
situ dan belum pasti bahwa pemuja TUHAN bisa melewati wilayah itu dengan
selamat. Dalam bahaya yang akan timbul itu, maka wajarlah dalam kecemasan itu
seseorang bertanya, dari manakah datang pertolonganku?
Jawaban yang diberikan dalam bentuk pengakuan percaya, “Pertolonganku ialah dari TUHAN...”
Inilah pengalaman dan pengakuan yang menguatkan. Alasan ditambah: “Dia yang menjadikan langit dan bumi”,
rumusan ini berakar di Yerusalem dari dahulu kala (bnd.Kej.14:19 dan 22) TUHAN
sanggup menolong di mana saja; tidak ada wilayah yang terletak di luar
pemerintahan-Nya. Juga tidak ada waktu yang terdapat di luar kewaspadaan-Nya.
Kalau dewa-dewa kesuburan terlelap di musim rontok dan tidur di musim dingin
(bila daun-daunan gugur dan tak satu pun tumbuh), maka tidak demikian halnya
dengan TUHAN, Ia senantiasa menjaga: seperti seorang gembala, Ia menjaga
umat-Nya mengingat dan memperhatikan orang-orang-Nya agar mereka hidup.
Abram adalah sosok orang yang
dikarunia iman dan percaya kepada Tuhan luar biasa. Allah menyapa dan memanggil. Allah memintanya meninggalkan negeri dan
rumah bapaknya. Sebagai pengganti negeri asalnya, maka Allah menjanjikan negeri
baru. Namun, menariknya negeri baru tujuan akhir perjalanan itu masih
tersembunyi. Abram tidak diberitahu gambaran negeri itu dan ke arah mana
jalannya sehingga ia bisa menimbang-nimbang dulu untung ruginya jika mengikuti
suara Allah itu. Abram hanya diundang mempercayai Allah (Kej.15:6), bahwa
tawaran Allah itu bukan omong kosong. Allah menjanjikan negeri yang baru.
Kapan, di mana dan dengan apa Abram akan sampai ke sana adalah masih tetap
rahasia Allah. Di dalam misteri itu, Allah menjanjikan:
1.
Abram akan menjadi bangsa yang besar. Orang yang isterinya mandul dan tidak punya
harapan untuk keturunan, dijanjikan akan menjadi bangsa yang besar. Negeri yang
ditinggalkannya kini akan diganti Allah dengan keturunan yang akan menjadi
bangsa yang besar. Kebesaran yang dirindukan oleh masyarakat Babel akan
diberikan Allah kepada Abram. Dalam Perjanjian Lama, berkat keturunan itu
sangat berarti.
2.
Allah memberkati Abram. Abram bukan hanya menerima berkat, melainkan ia
dijadikan berkat. Abram bukan hanya menerima apa-apa, melainkan ia diubah
menjadi orang baru, pembawa kehidupan dan membawa orang beribadah kepada Allah.
3. Nama Abram menjadi masyur. Ia menjadi seorang ternama. Abram menjadi tokoh
yang banyak ditiru orang dan mempengaruhi banyak bangsa.
Abram percaya kepada Allah. Ia merespon panggilan itu dengan “Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan
TUHAN kepadanya,...” (Kej.12:4a). Tanpa banyak bicara, sikap Abram ini
menunjukkan sikap “hanya percaya” itu! Ya, “hanya percaya” seperti yang
dimaksud dengan tema kita. Itulah sebabnya Paulus kelak berkesimpulan bahwa
sikap Abraham ini dibenarkan Allah dan menjadi teladan bagi banyak orang. Orang
menyebut dia “bapak orang percaya”.
Abraham dibenarkan Allah karena sikap imannya. Kini,
Allah Bapa mengutus Anak-Nya, melalui-Nya orang mengenal cinta kasih Bapa.
Dialah Anak Manusia itu. Menerima dan percaya kepada-Nya membuat seseorang
“dilahirkan kembali” akibatnya ia dapat melihat Kerajaan Allah. Melihat
Kerajaan Allah berarti mengalami kasih Allah dan hidup kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar