Selasa, 18 Maret 2014

AKULAH AIR HIDUP!

Sebuah kisah menarik yang dituturkan oleh George W. Burns, seorang ahli psikoterapi: Ada seorang mahasiswi pernah mencoba mendekati seorang dokter bijaksana dan terkenal agar diizinkan magang di tempat prakteknya. Ia ingin belajar, khususnya ilmu obat-obatan. Dia ingin menolong orang lain dan meringankan penderitaan mereka. Sang dokter dapat merasakan motivasi si mahasiswi yang menyala-nyala. “Tidak!” begitu kata dokter itu pada mulanya. “Aku belum bisa menerimamu, kamu masih terlalu muda. Kamu belum mempunyai pengalaman hidup. Waktunya tidak tepat!” Namun, mahasiswi itu tidak menyerah. Ia terus mengejar sang dokter untuk memberinya kesempatan percobaan, sebentar saja pun tidak masalah. Sang dokter akhirnya menyerah dan mahasiswi itu diperbolehkan magang di tempat prakteknya untuk beberapa waktu. Mahasiswi itu menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Dia tidak hanya memerhatikan dengan seksama saat dokter tersebut menerima pasien, tetapi juga pada waktu malam hari, belajar dari koleksi buku yang sangat banyak di perpustakaan dokter itu. Pelan tapi pasti, ia memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan bagi kelengkapan kelak menjadi dokter profesional.

Sang dokter tidak ragu bahwa mahasiswa itu tahu apa saja yang dia butuhkan dalam bidangnya. Sang dokter juga tahu bahwa belarasa/welas asih dan penyembuhan adalah sesuatu yang melebihi pengetahuan. Belarasa dan penyembuhan lebih dari sekedar informasi dari bank memori yang ada dalam otak manusia dan dari berbagai keterampilan profesional yang sudah kita pelajari. Belarasa dan penyembuhan juga terkait erat dengan kesediaan memberi dari lubuk hati terdalam.

Karena sudah merasa mantap dengan pengetahuan yang sudah ia miliki, mahasiswa megang tersebut beberapa kali menemui pembimbing medisnya agar diizinkan menangani seorang pasien. Setiap permintaan yang diajukan selalu mengalami penolakan hingga sang dokter mengatakan, “Ini, ada seorang pria yang butuh bantuan.” Sebagaimana biasa, dokter itu memerhatikan para pasien yang sedang menunggu sambil berjalan menuju ruang praktiknya. Ketika sang dokter dengan mahasiswi magang itu telah sampai di ruang praktik, dia berkata, “Apakah memerhatikan pria pertama yang menunggu giliran tadi?”

“Ya,” jawab sang mahasiswi itu. “Bagus,” kata dokter itu, “coba terangkan kepadaku kondisinya dan pengobatan apa yang menurutmu cocok untuknya!” Murid itu tersentak. Jika disuruh menjelaskan ciri-ciri serta pakaiannya, mungkin dia sanggup, tetapi dia tidak bisa memberikan diagnosis atau merumuskan pengobatan yang cocok.

“Sayang,” kata dokter itu dengan lembut, “kamu seharusnya tahu bahwa pasien itu membutuhkan buah delima.” Dengan bersemangat, mahasiswi magang tersebut menyambar kesempatan yang ada di depannya. “Dokter,” kata mahasiswi itu, “Anda sudah memerhatikan pasien tadi dengan seksama. Anda telah melakukan diagnosis, dan Anda bahkan sudah tahu resepnya. Biarkan saya memberikan resep itu kepadanya!” Mahasiswa tersebut sangat heran karena sang doter setuju. Dia panggil pasien tersebut ke ruang periksa. Ketika sang pasien sudah duduk, mahasiswa itu berkata, “Saya tahu masalah yang Anda hadapi. Anda hanya perlu buah delima!” Lelaki tersebut terlonjak dari kursinya. “Buah delima!” Dia berlari keluar ruangan. Ketika pasien itu membanting pintu di belakangnya, mahasiswa magang itu bertanya, “Apa yang salah? Mengapa dia tidak menerima resepnya?” Dokter tersebut berkata dengan pelan,”Tunggu, kesempatanmu masih terbuka luas. Kamu masih punya kesempatan dari pengalaman.”

Beberapa bulan kemudian ketika mereka berjalan menyusuri ruang tunggu, dan menutup pintu, dokter itu berkata kepada mahasiswi itu, “Apakah kamu memerhatikan wanita tua di ruang tunggu tadi?” Mahasiswi itu menjawab, “Tidak!” Dia ragu-ragu untuk mengatakan “ya” dan tak ingin diberi tahu betapa sedikit pengamatan yang ia lakukan. “Sayang,” jika kamu memerhatikannya, kamu akan tahu bahwa pasien itu membutuhkan buah delima.”

Dokter itu memanggil pasien itu, lalu dipersilahkan duduk, dan dokter itu kemudian duduk di dekatnya. “Nah, coba katakan kepada saya,” dia memulai percakapan, “apa yang bisa saya bantu?” Wanita itu menjelaskan keluhannya kepada sang dokter. Dokter itu mendengarkannya dengan cermat. Dia mendengarkan dengan penuh empati, sambil sesekali mengangguk-anggukan kepada sebagai tanda bahwa ia benar-benar peduli. Dia tidak menyela sama sekali. Dia Cuma mendengarkan wanita itu dengan tenang.

Baru sesudah wanita itu berhenti, dokter itu mulai bicara, “Saya sudah mendengarkan cerita Anda. Saya rasa pengobatan Anda harus melibatkan sesuatu yang alami, menyehatkan, dan memiliki daya sembuh. Apa ya? Bentuknya bundar dan ada biji-bijian di dalamnya. Mungkin Anda perlu lemon!” Ketika melihat ujung mulut wanita itu menjengit seakan bereaksi terhadap rasa asam buah lemon, dokter tersebut melanjutkan, “Tidak, lemon terlalu asam. Bukan itu yang Anda butuhkan. Mungkin jeruk. Akan tetapi jeruk terlalu manis. Saya rasa, mungkin buah-buahan tersebut warna dan teksturnya tidak cocok.” Dia berhenti sejenak seakan merenungkan masalah itu dengan serius sekali. “Apa ya? Aha! Saya tahu yang akan sangat membantu. Jika Anda makan buah delima dengan teratur, Anda pasti segera merasakan adanya perbaikan.”

Wanita itu berdiri dengan seulas senyum di wajahnya. Dia menjabat tangan dokter itu, berterima kasih kepadanya sedalam-dalamnya, dan keluar ruangan dengan gembira. Mahasiswi magang itu tidak sabar menunggu hingga wanita itu benar-benar keluar. “Kenapa hasilnya berbeda?” Dia bertanya. “Ketika saya menjelaskan bahwa resep untuk penyakit yang dia derita adalah buah delima, pria itu menolaknya dan dengan tergesa-gesa keluar ruangan. Akan tetapi wanita itu berterima kasih kepada Anda dengan sebesar-besarnya untuk resep yang sama.” Dokter itu memandang muridnya dengan sabar dan berkata, “Di samping buah delima, dia juga membutuhkan waktu, perhatian dan pemahaman!”

Buah delima yang sama dapat dipahami berbeda. Air, dalam dialog Yesus dengan seorang perempuan Samaria di Sumur Yakub (Yohanes 4:1-42) juga dipahami berbeda. Perempuan Samaria memahami air sebatas apa yang terlihat dan yang menjadi kebutuhan badani untuk melangsungkan kehidupan. Namun, air yang sama dapat dipakai Yesus menggambarkan cinta kasih belarasa Allah yang dapat memberikan manusia hidup sesungguhnya. Air yang diberikan Yesus bukan sembarang air. Sama seperti dokter dalam cerita kita, resep buah delima bukan sembarang delima: Di dalamnya ada empati, kasih sayang, perhatian dan pengertian serta pemahaman akan posisi sang pasien. Yesus tentu melebih sang dokter itu. Di balik air yang disediakan Yesus ada empati, cinta kasih, pengertian, pengorbanan dan belarasa.

Samaria sudah kadung menyandang stigma negatif. Orang Yahudi terbiasa mencap mereka sebagai kaum pendosa yang tidak memelihara kekudusan Allah. Mereka mempersembahkan persembahan di bukit Gereizim, bukan di Yerusalem. Mereka kawin campur dengan bangsa kafir. Perempuan ini, yang bercakap-cakap dengan Yesus menambah lagi stigma buruk dengan seorang wanita yang sudah lima kali menikah dan kini pun ia tinggal dengan pria yang bukan mukhrimnya alias kumpul kebo! Yesus mengetahui latar belakang perempuan ini. Ia berhasil mendiagnosa “penyakit” sang perempuan ini. Dan, Yesus tahu betul resep untuknya: Air Hidup!

Di tengah-tengah cibiran, stigma negatif, sudah barang tentu si perempuan Samaria ini mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Sangat mungkin ia dilecehkan, dihindari atau dikucilkan banyak orang. Itulah alasannya mengapa ia mengambil air di sumur Yakub bukan pada waktu yang lazim. Lazimnya orang mengambil air pada waktu pagi atau petang. Ia harus menghindari orang banyak yang mengambil air, maka siang hari di mana tidak ada orang, barulah ia pergi ke sumur itu untuk mengambil air. Di balik pergumulan perempuan Samaria ini, ada siksaan yang mendera. Siksaan itu adalah “kehausan.” Perempuan itu haus cinta kasih, ia haus diakui  eksistensinya dan diperlakukan sebagai layaknya manusia. Yesus tahu dan mengerti, perempuan itu butuh pemulihan. Yesus berbelarasa, Ia datang menyapa perempuan itu. Yesus tidak peduli dengan tradisi Yudaisme yang begitu ketat melarang dialog dengan orang Samaria, apalagi dengan perempuan berdosa ini. Yesus datang menyapa dan memulihkan perempuan ini. Air hidup menjadi begitu nyata di tengah gersangnya cinta kasih manusia terhadap sesamanya.

Tanpa sadar kita pun dapat mengalami “kehausan” dalam dunia yang gersang dengan kasih sayang ini.  Bisa saja kita seperti perempuan Samaria itu. Hidup di bawah tekanan dosa dan penderitaan. Kini, Yesus menawarkan Air Hidup itu. Bagaimana respon kita? Menerimanya atau menolaknya? Lihat, apa yang terjadi ketika perempuan Samaria itu mendapatkan Air Hidup itu? Pada gilirannya Air Hidup itu terus mengalir dalam dirinya. Dulu, ia disisihkan, bahkan untuk mengambil air pun ia harus menunggu saat yang sepi. Tetapi kini, perkataanya dipercaya. Segera setelah bercakap-cakap dengan Yesus, ia pergi ke kota. Ia berkata kepada penduduk kota, “Mari, lihat! ....Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh.4:29). Banyak orang menjadi percaya akan perkataan perempuan itu. Mereka berkata pada perempuan itu, “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dia benar-benar Juruselamat dunia.”(Yoh.4:42). Terimalah Air Hidup itu maka kita akan dibuat-Nya mengerti akan cinta kasih-Nya bahkan lebih dari itu, kita menjadi saluran Air Hidup itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar