Sebuah kisah menarik yang
dituturkan oleh George W. Burns, seorang ahli psikoterapi: Ada seorang
mahasiswi pernah mencoba mendekati seorang dokter bijaksana dan terkenal agar
diizinkan magang di tempat prakteknya. Ia ingin belajar, khususnya ilmu
obat-obatan. Dia ingin menolong orang lain dan meringankan penderitaan mereka.
Sang dokter dapat merasakan motivasi si mahasiswi yang menyala-nyala. “Tidak!”
begitu kata dokter itu pada mulanya. “Aku belum bisa menerimamu, kamu masih
terlalu muda. Kamu belum mempunyai pengalaman hidup. Waktunya tidak tepat!”
Namun, mahasiswi itu tidak menyerah. Ia terus mengejar sang dokter untuk
memberinya kesempatan percobaan, sebentar saja pun tidak masalah. Sang dokter
akhirnya menyerah dan mahasiswi itu diperbolehkan magang di tempat prakteknya
untuk beberapa waktu. Mahasiswi itu menggunakan kesempatan dengan
sebaik-baiknya. Dia tidak hanya memerhatikan dengan seksama saat dokter
tersebut menerima pasien, tetapi juga pada waktu malam hari, belajar dari
koleksi buku yang sangat banyak di perpustakaan dokter itu. Pelan tapi pasti,
ia memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan bagi kelengkapan kelak menjadi dokter
profesional.
Sang dokter tidak ragu bahwa
mahasiswa itu tahu apa saja yang dia butuhkan dalam bidangnya. Sang dokter juga
tahu bahwa belarasa/welas asih dan penyembuhan adalah sesuatu yang melebihi
pengetahuan. Belarasa dan penyembuhan lebih dari sekedar informasi dari bank
memori yang ada dalam otak manusia dan dari berbagai keterampilan profesional
yang sudah kita pelajari. Belarasa dan penyembuhan juga terkait erat dengan
kesediaan memberi dari lubuk hati terdalam.
Karena sudah merasa mantap
dengan pengetahuan yang sudah ia miliki, mahasiswa megang tersebut beberapa kali
menemui pembimbing medisnya agar diizinkan menangani seorang pasien. Setiap permintaan
yang diajukan selalu mengalami penolakan hingga sang dokter mengatakan, “Ini,
ada seorang pria yang butuh bantuan.” Sebagaimana biasa, dokter itu
memerhatikan para pasien yang sedang menunggu sambil berjalan menuju ruang
praktiknya. Ketika sang dokter dengan mahasiswi magang itu telah sampai di
ruang praktik, dia berkata, “Apakah memerhatikan pria pertama yang menunggu
giliran tadi?”
“Ya,” jawab sang mahasiswi
itu. “Bagus,” kata dokter itu, “coba terangkan kepadaku kondisinya dan
pengobatan apa yang menurutmu cocok untuknya!” Murid itu tersentak. Jika disuruh
menjelaskan ciri-ciri serta pakaiannya, mungkin dia sanggup, tetapi dia tidak
bisa memberikan diagnosis atau merumuskan pengobatan yang cocok.
“Sayang,” kata dokter itu
dengan lembut, “kamu seharusnya tahu bahwa pasien itu membutuhkan buah delima.”
Dengan bersemangat, mahasiswi magang tersebut menyambar kesempatan yang ada di
depannya. “Dokter,” kata mahasiswi itu, “Anda sudah memerhatikan pasien tadi
dengan seksama. Anda telah melakukan diagnosis, dan Anda bahkan sudah tahu
resepnya. Biarkan saya memberikan resep itu kepadanya!” Mahasiswa tersebut
sangat heran karena sang doter setuju. Dia panggil pasien tersebut ke ruang
periksa. Ketika sang pasien sudah duduk, mahasiswa itu berkata, “Saya tahu
masalah yang Anda hadapi. Anda hanya perlu buah delima!” Lelaki tersebut
terlonjak dari kursinya. “Buah delima!” Dia berlari keluar ruangan. Ketika
pasien itu membanting pintu di belakangnya, mahasiswa magang itu bertanya, “Apa
yang salah? Mengapa dia tidak menerima resepnya?” Dokter tersebut berkata
dengan pelan,”Tunggu, kesempatanmu masih terbuka luas. Kamu masih punya
kesempatan dari pengalaman.”
Beberapa bulan kemudian ketika
mereka berjalan menyusuri ruang tunggu, dan menutup pintu, dokter itu berkata
kepada mahasiswi itu, “Apakah kamu memerhatikan wanita tua di ruang tunggu
tadi?” Mahasiswi itu menjawab, “Tidak!” Dia ragu-ragu untuk mengatakan “ya” dan
tak ingin diberi tahu betapa sedikit pengamatan yang ia lakukan. “Sayang,” jika
kamu memerhatikannya, kamu akan tahu bahwa pasien itu membutuhkan buah delima.”
Dokter itu memanggil pasien
itu, lalu dipersilahkan duduk, dan dokter itu kemudian duduk di dekatnya. “Nah,
coba katakan kepada saya,” dia memulai percakapan, “apa yang bisa saya bantu?”
Wanita itu menjelaskan keluhannya kepada sang dokter. Dokter itu
mendengarkannya dengan cermat. Dia mendengarkan dengan penuh empati, sambil
sesekali mengangguk-anggukan kepada sebagai tanda bahwa ia benar-benar peduli. Dia
tidak menyela sama sekali. Dia Cuma mendengarkan wanita itu dengan tenang.
Baru sesudah wanita itu
berhenti, dokter itu mulai bicara, “Saya sudah mendengarkan cerita Anda. Saya
rasa pengobatan Anda harus melibatkan sesuatu yang alami, menyehatkan, dan
memiliki daya sembuh. Apa ya? Bentuknya bundar dan ada biji-bijian di dalamnya.
Mungkin Anda perlu lemon!” Ketika melihat ujung mulut wanita itu menjengit
seakan bereaksi terhadap rasa asam buah lemon, dokter tersebut melanjutkan, “Tidak,
lemon terlalu asam. Bukan itu yang Anda butuhkan. Mungkin jeruk. Akan tetapi
jeruk terlalu manis. Saya rasa, mungkin buah-buahan tersebut warna dan
teksturnya tidak cocok.” Dia berhenti sejenak seakan merenungkan masalah itu
dengan serius sekali. “Apa ya? Aha! Saya tahu yang akan sangat membantu. Jika Anda
makan buah delima dengan teratur, Anda pasti segera merasakan adanya perbaikan.”
Wanita itu berdiri dengan
seulas senyum di wajahnya. Dia menjabat tangan dokter itu, berterima kasih
kepadanya sedalam-dalamnya, dan keluar ruangan dengan gembira. Mahasiswi magang
itu tidak sabar menunggu hingga wanita itu benar-benar keluar. “Kenapa hasilnya
berbeda?” Dia bertanya. “Ketika saya menjelaskan bahwa resep untuk penyakit
yang dia derita adalah buah delima, pria itu menolaknya dan dengan tergesa-gesa
keluar ruangan. Akan tetapi wanita itu berterima kasih kepada Anda dengan
sebesar-besarnya untuk resep yang sama.” Dokter itu memandang muridnya dengan
sabar dan berkata, “Di samping buah delima, dia juga membutuhkan waktu,
perhatian dan pemahaman!”
Buah delima yang sama dapat
dipahami berbeda. Air, dalam dialog Yesus dengan seorang perempuan Samaria di
Sumur Yakub (Yohanes 4:1-42) juga dipahami berbeda. Perempuan Samaria memahami
air sebatas apa yang terlihat dan yang menjadi kebutuhan badani untuk
melangsungkan kehidupan. Namun, air yang sama dapat dipakai Yesus menggambarkan
cinta kasih belarasa Allah yang dapat memberikan manusia hidup sesungguhnya.
Air yang diberikan Yesus bukan sembarang air. Sama seperti dokter dalam cerita
kita, resep buah delima bukan sembarang delima: Di dalamnya ada empati, kasih
sayang, perhatian dan pengertian serta pemahaman akan posisi sang pasien. Yesus
tentu melebih sang dokter itu. Di balik air yang disediakan Yesus ada empati, cinta
kasih, pengertian, pengorbanan dan belarasa.
Samaria sudah kadung
menyandang stigma negatif. Orang Yahudi terbiasa mencap mereka sebagai kaum
pendosa yang tidak memelihara kekudusan Allah. Mereka mempersembahkan
persembahan di bukit Gereizim, bukan di Yerusalem. Mereka kawin campur dengan
bangsa kafir. Perempuan ini, yang bercakap-cakap dengan Yesus menambah lagi
stigma buruk dengan seorang wanita yang sudah lima kali menikah dan kini pun ia
tinggal dengan pria yang bukan mukhrimnya alias kumpul kebo! Yesus mengetahui
latar belakang perempuan ini. Ia berhasil mendiagnosa “penyakit” sang perempuan
ini. Dan, Yesus tahu betul resep untuknya: Air Hidup!
Di tengah-tengah cibiran,
stigma negatif, sudah barang tentu si perempuan Samaria ini mengalami
keterpurukan dalam hidupnya. Sangat mungkin ia dilecehkan, dihindari atau
dikucilkan banyak orang. Itulah alasannya mengapa ia mengambil air di sumur
Yakub bukan pada waktu yang lazim. Lazimnya orang mengambil air pada waktu pagi
atau petang. Ia harus menghindari orang banyak yang mengambil air, maka siang
hari di mana tidak ada orang, barulah ia pergi ke sumur itu untuk mengambil
air. Di balik pergumulan perempuan Samaria ini, ada siksaan yang mendera.
Siksaan itu adalah “kehausan.” Perempuan itu haus cinta kasih, ia haus diakui eksistensinya dan diperlakukan sebagai layaknya manusia. Yesus tahu dan mengerti, perempuan
itu butuh pemulihan. Yesus berbelarasa, Ia datang menyapa perempuan itu. Yesus
tidak peduli dengan tradisi Yudaisme yang begitu ketat melarang dialog dengan
orang Samaria, apalagi dengan perempuan berdosa ini. Yesus datang menyapa dan
memulihkan perempuan ini. Air hidup menjadi begitu nyata di tengah gersangnya
cinta kasih manusia terhadap sesamanya.
Tanpa sadar kita pun dapat mengalami “kehausan” dalam
dunia yang gersang dengan kasih sayang ini.
Bisa saja kita seperti perempuan Samaria itu. Hidup di bawah tekanan
dosa dan penderitaan. Kini, Yesus menawarkan Air Hidup itu. Bagaimana respon
kita? Menerimanya atau menolaknya? Lihat, apa yang terjadi ketika perempuan
Samaria itu mendapatkan Air Hidup itu? Pada gilirannya Air Hidup itu terus
mengalir dalam dirinya. Dulu, ia disisihkan, bahkan untuk mengambil air pun ia
harus menunggu saat yang sepi. Tetapi kini, perkataanya dipercaya. Segera
setelah bercakap-cakap dengan Yesus, ia pergi ke kota. Ia berkata kepada
penduduk kota, “Mari, lihat! ....Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh.4:29).
Banyak orang menjadi percaya akan perkataan perempuan itu. Mereka berkata pada
perempuan itu, “Kami percaya, tetapi
bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia
dan kami tahu, bahwa Dia benar-benar Juruselamat dunia.”(Yoh.4:42). Terimalah
Air Hidup itu maka kita akan dibuat-Nya mengerti akan cinta kasih-Nya bahkan
lebih dari itu, kita menjadi saluran Air Hidup itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar