Dua orang biksu memulai
perjalanan spiritual mereka melintasi pegunungan. Mereka ingin tahu banyak
tentang diri mereka sendiri dan hubugan mereka dengan dunia. Untuk itu, mereka
berniat mengunjungi sebuah biara di mana tinggal seorang guru yang terkenal
memberikan petuah-petuah bijak untuk pengembangan spritual. Tidak semua
perjalanan berjalan dengan mulus, dan para biksu tersebut sebenarnya tidak
terlalu yakin apakah mereka dapat sampai ke hadapan sang guru bijak itu.
Meskipun demikian mereka tetap memutuskan untuk berangkat, apa pun tantangan di
depan akan dihadapi. Seandainya mereka takut akan ditimpa kemalangan, atau
seandainya imajinasi mereka menampakan tantangan sebagai hal-hal yang perlu
ditakuti dan dibuat ngeri, mereka mungkin tidak akan memutuskan untuk berkelana
keluar dari dinding biara mereka yang nyaman. Hanya dengan memokuskan diri pada
gagasan yang mereka telah tentukan, mereka siap menghadapi tantangan dan
memulai perjalanan untuk menemukan pencerahan.
Belum lama berjalan, mereka
harus menemui kesulitan pertama. Sebuah
sungai yang deras menghalangi jalan mereka. Selagi mereka berdiri termenung,
memikirkan cara untuk mengarunginya, sesuatu telah menarik perhatian mereka. Di
tengah gemuruh air yang deras, mereka mendengar isak tangis yang penuh dengan
kesedihan dan keputusasaan. Sesudah mencari-cari sebentar, mereka menemukan sumber
suara tersebut. Seorang wanita bersembunyi di balik batu sambil menangis.
“Aku diserang dan dirampok,”
begitu katanya di tengah isak tangis. “Ketika sedang berjalan pulang dari pasar
membawa sedikit makanan yang dapat kubeli untuk keluargaku dalam persediaan
seminggu ke depan, segerombolan perampok menyerang aku. Mereka mengambil semua
bahan makanan itu dan, sambil mengancam dengan pisau, memaksaku menyerahkan
hampir semua pakaianku sehingga aku di sini kedinginan, kesepian dan nyaris
telanjang!”
Biksu pertama dan tanpa
ragu-ragu, melepaskan jubahnya. “Ini, ambil jubahku,” ia menawarkan jubahnya
dan seketika itu juga menutupkan jubahnya pada tubuh perempuan yang nyaris
telanjang itu. Ia kemudian menanyakan dari mana asalnya perempuan itu. “Aku
berasal dari desa beberapa kilo dari seberang sungai ini,” katanya.
Biksu itu bertanya apakah dia
bersedia dibawa menyeberangi sungai untuk memastikan dia tiba di seberang
sungai itu dengan selamat. Sesudah perempuan itu menyetujui tawaran dari sang
biksu, biksu tersebut membopongnya dan berjalan menyeberangi sungai dan,
sesampainya di seberang, dengan lembut menurunkan perempuan itu. Dia kemudian
mengantarkan perempuan itu sampai tiba di desanya karena kawatir kalau-kalau di
tengah perjalanan perempuan itu mengalami kesulitan lagi. Tepat sebelum
memasuki desa, ia mengambil persediaan makanan seadanya yang dibawanya sebagai
bekal dan menyerahkannya kepada perempuan tadi. Dia mendoakan agar perempuan
itu berbahagia.
Biksu kedua tak kuat lagi
menahan emosinya, “Apa yang telah kau lakukan?” tanyanya curiga. “Kita telah
bersumpah untuk tidak menyentuh perempuan, atau melakukan hubungan dengan
mereka. Tadi engkau membopong seorang wanita yang nyaris telanjang, memeluknya
dan membawanya menyeberangi sungai. Kamu telah berbuat intim dengan seorang
wanita, sebuah perbuatan yang tidak pantas dilakukan seorang biksu!”
Biksu pertama membuka mulut
untuk merespon teman seperjalanan, tetapi rekannya itu tidak memberinya
kesempatan. “Kamu mengantarnya mulai dari tepi sungai sampai ke desanya. Kamu
membuatku ikut bersamamu. Kamu telah menjadikan perjalanan kita menadi tambah
panjang. Kita mungkin tidak bisa mengikuti beberapa wejangan dari sang guru
karena kita pasti terlambat! Di samping itu kamu memberikan makanan dan jubahmu
dengan cuma-cuma. Padahal, kita membutuhkannya dalam perjalanan ini. Tanpa
makanan dan jubah untuk mengisi perut dan menghangatkan tubuh pada malam hari,
kita mungkin tidak akan bisa tiba di biara yang kita tuju. Perjalanan kita bisa
saja gagal. Sekarang, kita tidak bisa memperoleh manfaat dari wejangan guru
tentang pengembangan spiritual sama sekali!”
Selama berjam-jam kemudian, di
sepanjang perjalanan, biksu tersebut terus-menerus ngomel. Akhirnya biksu yang
telah membopong perempuan tadi
menghentikan langkahnya. Dia memandang teman seperjalannya dengan mata penuh
kasih dan berkata, “Setidaknya, ketika sudah sampai di seberang sungai, aku
melepaskannya, kenapa perempuan setengah telanjang itu masih terus ada dalam
benakmu?”
Ngomel! Itulah yang terjadi
ketika orang buta sejak lahir disembuhkan Yesus (Yohanes 9:1-41). Si buta itu
terlihat dalam pembicaraan dengan orang banyak. Ketika mereka melihatnya tidak
buta lagi, muncul perdebatan pendapat di antara orang-orang itu. Ada yang
mengatakan bahwa memang ia si buta yang biasa mengemis. Ada yang mengatakan
bahwa dia bukanlah si buta yang dimaksud melainkan orang yang mirip dengannya. Mereka
seolah tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Ketika mereka sedang
mempergunjingkan siapakah dia, orang yang sedang mereka bicarakan itu pun
menyatakan diri, “Benar, akulah itu!” (Yoh. 9:9). Sekarang tidak ada lagi yang
perlu dipergunjingkan. Namun, apakah cukup? Ternyata tidak! Masih ada episode
berikutnya.
Para tetangga membawa orang
buta yang sudah melihat itu kepada orang-orang Farisi (Yoh.9:13). Mereka masih
mempersoalkan peristiwa penyembuhan itu. Apa persoalannya? Persoalannya adalah
pada hari Yesus mengaduk tanah dan mengoleskannya kepada orang buta tersebut
adalah hari Sabat. Masalahnya, ketika Yesus menyembuhkan si buta adalah hari
Sabat! Mengaduk tanah dan mengoleskan adalah dua tindakan pelanggaran terhadap
aturan Sabat. Selain itu Yesus menyuruh orang buta itu membersihkan diri di
kolam Siolam. Berarti Ia juga telah menyuruh orang lain untuk melanggar
kesucian Sabat itu. Menurut mereka, karena Yesus melakukan pelanggaran itu maka
Ia adalah orang berdosa, Yesus bukan berasal dari Allah!
Sementara itu, sebagian yang
lain justeru mempertanyakan anggapan itu. “Bagaimana seorang berdosa dapat
membuat mujizat yang demikian?” (Yoh.9:16). Mereka tentu berpendapat bahwa
hanya orang benar yang dapat melakukan itu. Dua pendapat ini memaksa mereka
kepada pertentangan. Maka kali ini orang tua si buta dipanggil untuk didengar
kesaksiannya. Mereka mengajukan pertanyaan tentang identitas si buta. Orang-orang
Farisi bertanya apakah benar bahwa si buta itu adalah anaknya dan apakah benar
bahwa ia buta sejak lahirnya. Orang itu menegaskan bahwa memang benar ia itu
anaknya dan lahir dalam keadaan buta. Setelah memperoleh kepastian dari kedua
orang tua, orang-orang Farisi itu sekali lagi memanggil si buta yang sudah
melihat itu. Mereka masih berpegang pada pendirian mereka bahwa Yesus adalah
orang berdosa yang melanggar kekudusan Sabat.
Si buta yang sudah sembuh
tidak mau mengubah penderiannya. Ia menilai Yesus berdasarkan apa yang telah
Yesus perbuat kepadanya. Tidak mungkin Yesus orang berdosa karena orang berdosa
tidak akan bisa melakukan mujizat seperti yang dilakukan kepadanya. Si buta ini
sekarang malah mengajukan pertanyaan kepada mereka, “Barangkali kamu mau
menjadi murid-Nya juga?” (Yoh.9:27) Pertanyaan ini menyulut kemarahan mereka.
Mereka mengejek si buta dengan mengatakan, “Engkau murid orang itu tetapi kami
murid-murid Musa.” Mereka membuat sebuah perbedaan antara menjadi murid orang
itu dan menjadi murid Musa. Mereka merasa tahu bahwa mereka mempunyai guru yang
punya otoritas di Israel karena dulu Allah telah berfirman kepadanya. Sementara
itu tentang Yesus mereka tidak tahu bahwa bukan saja Allah telah berfirman
kepada-Nya. Dia sendiri adalah Firman yang menjadi manusia! Mereka tidak
mengerti jati diri Yesus bahwa Ia berasal dari Allah dan diutus oleh Allah
untuk melakukan kehendak-Nya.
Orang-orang Farisi yang merasa
tahu banyak, memahami dan mengerti hukum-hukum Musa pada kenyataannya buta,
tidak melihat karya Allah yang sesungguhnya di dalam Yesus. Alih-alih percaya,
mereka menilai Yesus sebagai orang
berdosa. Mereka tidak buta, tetapi tidak dapat melihat apa yang dikerjakan oleh
Allah di dalam diri orang buta itu. Mendengar pernyataan Yesus itu, orang-orang
Farisi bertanya, “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” Yesus menjawab, “Sekiranya
kamu buta, kamu tidak berdosa.” Pada awal kisah, para murid bertanya tentang
siapakah yang berdosa sehingga orang itu buta sejak lahir. Kini, Yesus menjawab
bahwa kebutaan fisik bukanlah dosa. Kebutaan fisik karena tidak dapat melihat
tidak menutup jalan untuk mengenali pekerjaan Allah di dalam Yesus. Akan tetapi
pada kenyataannya, orang-orang Farisi mengatakan, “Kami melihat.” Benar,
penglihatan mereka tidak rusak, tetapi mereka buta sehingga tidak mampu
mengenali pekerjaan Allah yang dinyatakan-Nya di dalam diri orang yang buta
sejak lahir itu.
Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Terang dunia. Ia
telah menerangi si buta, bukan saja secara fisik, melainkan mata hatinya
melihat Terang itu. Yesus mengatakan, “Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang
dunia.”(Yoh.9:5) Melalui karya Yesus orang mengenal Allah. Dia telah membawa
terang itu sehingga manusia dapat membedakan mana kehendak Allah dan mana yang
bukan. Kini, Yesus telah kembali ke pangkuan Bapa yang mengutus-Nya. Kini, misi
menjadi terang dunia itu Ia percayakan kepada para pengikut-Nya, Anda dan saya.
Sudahkah kita menjadi terang dalam lingkungan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar