Jumat, 28 Maret 2014

AKULAH TERANG DUNIA

Dua orang biksu memulai perjalanan spiritual mereka melintasi pegunungan. Mereka ingin tahu banyak tentang diri mereka sendiri dan hubugan mereka dengan dunia. Untuk itu, mereka berniat mengunjungi sebuah biara di mana tinggal seorang guru yang terkenal memberikan petuah-petuah bijak untuk pengembangan spritual. Tidak semua perjalanan berjalan dengan mulus, dan para biksu tersebut sebenarnya tidak terlalu yakin apakah mereka dapat sampai ke hadapan sang guru bijak itu. Meskipun demikian mereka tetap memutuskan untuk berangkat, apa pun tantangan di depan akan dihadapi. Seandainya mereka takut akan ditimpa kemalangan, atau seandainya imajinasi mereka menampakan tantangan sebagai hal-hal yang perlu ditakuti dan dibuat ngeri, mereka mungkin tidak akan memutuskan untuk berkelana keluar dari dinding biara mereka yang nyaman. Hanya dengan memokuskan diri pada gagasan yang mereka telah tentukan, mereka siap menghadapi tantangan dan memulai perjalanan untuk menemukan pencerahan.

Belum lama berjalan, mereka harus menemui kesulitan pertama.  Sebuah sungai yang deras menghalangi jalan mereka. Selagi mereka berdiri termenung, memikirkan cara untuk mengarunginya, sesuatu telah menarik perhatian mereka. Di tengah gemuruh air yang deras, mereka mendengar isak tangis yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan. Sesudah mencari-cari sebentar, mereka menemukan sumber suara tersebut. Seorang wanita bersembunyi di balik batu sambil menangis.

“Aku diserang dan dirampok,” begitu katanya di tengah isak tangis. “Ketika sedang berjalan pulang dari pasar membawa sedikit makanan yang dapat kubeli untuk keluargaku dalam persediaan seminggu ke depan, segerombolan perampok menyerang aku. Mereka mengambil semua bahan makanan itu dan, sambil mengancam dengan pisau, memaksaku menyerahkan hampir semua pakaianku sehingga aku di sini kedinginan, kesepian dan nyaris telanjang!”

Biksu pertama dan tanpa ragu-ragu, melepaskan jubahnya. “Ini, ambil jubahku,” ia menawarkan jubahnya dan seketika itu juga menutupkan jubahnya pada tubuh perempuan yang nyaris telanjang itu. Ia kemudian menanyakan dari mana asalnya perempuan itu. “Aku berasal dari desa beberapa kilo dari seberang sungai ini,” katanya.

Biksu itu bertanya apakah dia bersedia dibawa menyeberangi sungai untuk memastikan dia tiba di seberang sungai itu dengan selamat. Sesudah perempuan itu menyetujui tawaran dari sang biksu, biksu tersebut membopongnya dan berjalan menyeberangi sungai dan, sesampainya di seberang, dengan lembut menurunkan perempuan itu. Dia kemudian mengantarkan perempuan itu sampai tiba di desanya karena kawatir kalau-kalau di tengah perjalanan perempuan itu mengalami kesulitan lagi. Tepat sebelum memasuki desa, ia mengambil persediaan makanan seadanya yang dibawanya sebagai bekal dan menyerahkannya kepada perempuan tadi. Dia mendoakan agar perempuan itu berbahagia.

Biksu kedua tak kuat lagi menahan emosinya, “Apa yang telah kau lakukan?” tanyanya curiga. “Kita telah bersumpah untuk tidak menyentuh perempuan, atau melakukan hubungan dengan mereka. Tadi engkau membopong seorang wanita yang nyaris telanjang, memeluknya dan membawanya menyeberangi sungai. Kamu telah berbuat intim dengan seorang wanita, sebuah perbuatan yang tidak pantas dilakukan seorang biksu!”

Biksu pertama membuka mulut untuk merespon teman seperjalanan, tetapi rekannya itu tidak memberinya kesempatan. “Kamu mengantarnya mulai dari tepi sungai sampai ke desanya. Kamu membuatku ikut bersamamu. Kamu telah menjadikan perjalanan kita menadi tambah panjang. Kita mungkin tidak bisa mengikuti beberapa wejangan dari sang guru karena kita pasti terlambat! Di samping itu kamu memberikan makanan dan jubahmu dengan cuma-cuma. Padahal, kita membutuhkannya dalam perjalanan ini. Tanpa makanan dan jubah untuk mengisi perut dan menghangatkan tubuh pada malam hari, kita mungkin tidak akan bisa tiba di biara yang kita tuju. Perjalanan kita bisa saja gagal. Sekarang, kita tidak bisa memperoleh manfaat dari wejangan guru tentang pengembangan spiritual sama sekali!”

Selama berjam-jam kemudian, di sepanjang perjalanan, biksu tersebut terus-menerus ngomel. Akhirnya biksu yang telah  membopong perempuan tadi menghentikan langkahnya. Dia memandang teman seperjalannya dengan mata penuh kasih dan berkata, “Setidaknya, ketika sudah sampai di seberang sungai, aku melepaskannya, kenapa perempuan setengah telanjang itu masih terus ada dalam benakmu?”

Ngomel! Itulah yang terjadi ketika orang buta sejak lahir disembuhkan Yesus (Yohanes 9:1-41). Si buta itu terlihat dalam pembicaraan dengan orang banyak. Ketika mereka melihatnya tidak buta lagi, muncul perdebatan pendapat di antara orang-orang itu. Ada yang mengatakan bahwa memang ia si buta yang biasa mengemis. Ada yang mengatakan bahwa dia bukanlah si buta yang dimaksud melainkan orang yang mirip dengannya. Mereka seolah tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Ketika mereka sedang mempergunjingkan siapakah dia, orang yang sedang mereka bicarakan itu pun menyatakan diri, “Benar, akulah itu!” (Yoh. 9:9). Sekarang tidak ada lagi yang perlu dipergunjingkan. Namun, apakah cukup? Ternyata tidak! Masih ada episode berikutnya.

Para tetangga membawa orang buta yang sudah melihat itu kepada orang-orang Farisi (Yoh.9:13). Mereka masih mempersoalkan peristiwa penyembuhan itu. Apa persoalannya? Persoalannya adalah pada hari Yesus mengaduk tanah dan mengoleskannya kepada orang buta tersebut adalah hari Sabat. Masalahnya, ketika Yesus menyembuhkan si buta adalah hari Sabat! Mengaduk tanah dan mengoleskan adalah dua tindakan pelanggaran terhadap aturan Sabat. Selain itu Yesus menyuruh orang buta itu membersihkan diri di kolam Siolam. Berarti Ia juga telah menyuruh orang lain untuk melanggar kesucian Sabat itu. Menurut mereka, karena Yesus melakukan pelanggaran itu maka Ia adalah orang berdosa, Yesus bukan berasal dari Allah!

Sementara itu, sebagian yang lain justeru mempertanyakan anggapan itu. “Bagaimana seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?” (Yoh.9:16). Mereka tentu berpendapat bahwa hanya orang benar yang dapat melakukan itu. Dua pendapat ini memaksa mereka kepada pertentangan. Maka kali ini orang tua si buta dipanggil untuk didengar kesaksiannya. Mereka mengajukan pertanyaan tentang identitas si buta. Orang-orang Farisi bertanya apakah benar bahwa si buta itu adalah anaknya dan apakah benar bahwa ia buta sejak lahirnya. Orang itu menegaskan bahwa memang benar ia itu anaknya dan lahir dalam keadaan buta. Setelah memperoleh kepastian dari kedua orang tua, orang-orang Farisi itu sekali lagi memanggil si buta yang sudah melihat itu. Mereka masih berpegang pada pendirian mereka bahwa Yesus adalah orang berdosa yang melanggar kekudusan Sabat.

Si buta yang sudah sembuh tidak mau mengubah penderiannya. Ia menilai Yesus berdasarkan apa yang telah Yesus perbuat kepadanya. Tidak mungkin Yesus orang berdosa karena orang berdosa tidak akan bisa melakukan mujizat seperti yang dilakukan kepadanya. Si buta ini sekarang malah mengajukan pertanyaan kepada mereka, “Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?” (Yoh.9:27) Pertanyaan ini menyulut kemarahan mereka. Mereka mengejek si buta dengan mengatakan, “Engkau murid orang itu tetapi kami murid-murid Musa.” Mereka membuat sebuah perbedaan antara menjadi murid orang itu dan menjadi murid Musa. Mereka merasa tahu bahwa mereka mempunyai guru yang punya otoritas di Israel karena dulu Allah telah berfirman kepadanya. Sementara itu tentang Yesus mereka tidak tahu bahwa bukan saja Allah telah berfirman kepada-Nya. Dia sendiri adalah Firman yang menjadi manusia! Mereka tidak mengerti jati diri Yesus bahwa Ia berasal dari Allah dan diutus oleh Allah untuk melakukan kehendak-Nya.

Orang-orang Farisi yang merasa tahu banyak, memahami dan mengerti hukum-hukum Musa pada kenyataannya buta, tidak melihat karya Allah yang sesungguhnya di dalam Yesus. Alih-alih percaya, mereka  menilai Yesus sebagai orang berdosa. Mereka tidak buta, tetapi tidak dapat melihat apa yang dikerjakan oleh Allah di dalam diri orang buta itu. Mendengar pernyataan Yesus itu, orang-orang Farisi bertanya, “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” Yesus menjawab, “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa.” Pada awal kisah, para murid bertanya tentang siapakah yang berdosa sehingga orang itu buta sejak lahir. Kini, Yesus menjawab bahwa kebutaan fisik bukanlah dosa. Kebutaan fisik karena tidak dapat melihat tidak menutup jalan untuk mengenali pekerjaan Allah di dalam Yesus. Akan tetapi pada kenyataannya, orang-orang Farisi mengatakan, “Kami melihat.” Benar, penglihatan mereka tidak rusak, tetapi mereka buta sehingga tidak mampu mengenali pekerjaan Allah yang dinyatakan-Nya di dalam diri orang yang buta sejak lahir itu.

Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Terang dunia. Ia telah menerangi si buta, bukan saja secara fisik, melainkan mata hatinya melihat Terang itu. Yesus mengatakan, “Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia.”(Yoh.9:5) Melalui karya Yesus orang mengenal Allah. Dia telah membawa terang itu sehingga manusia dapat membedakan mana kehendak Allah dan mana yang bukan. Kini, Yesus telah kembali ke pangkuan Bapa yang mengutus-Nya. Kini, misi menjadi terang dunia itu Ia percayakan kepada para pengikut-Nya, Anda dan saya. Sudahkah kita menjadi terang dalam lingkungan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar