Sebuah kisah kuno tetapi tetap
menarik hingga kini. Kisah dari negeri Italia pada abad pertangahan, kisah
tentang Fransiskus dari Asisi. Pada zamannya, ia telah memikat banyak orang
untuk berguru kepadanya tentang cinta kasih dan kesalehan. Orang-orang
menghargainya sebagai sosok bersahaja penuh cinta kasih dan ketulusan, bukan
hanya terhadap sesama manusia tetapi juga terhadap semua makhluk Tuhan. Konon
orang percaya dengan cinta kasihnya yang begitu tulus dan dalam, Fransiskus
mampu berkomunikasi atau berbicara dengan hewan dan tumbuhan.
Bermula dari sebuah biara
kecil yang terletak di sisi pegunungan, Fransiskus mengabdikan hidupnya. Suatu
ketika, ia mengajak seorang biarawan muda untuk berkhotbah di desa tetangga.
Sudah barang tentu, si biarawan muda itu bersemangat menyambut ajakan sang guru
yang begitu ia kagumi. Dalam hatinya ia bertekad untuk tidak menyia-nyiakan
kesempatan langka ini, sebab dalam biara itu pun ia jarang sekali mendengar
nasihat atau pengajaran apalagi khotbah dari seorang Fransiskus.
Mereka berjalan beriringan
menuruni bukit, melewati jalan kecil yang diapit ladang pertanian. Di sepanjang
jalan, Fransiskus tersenyum menyapa para pemilik ladang dan pekerja yang sedang
mengerjakan lahan pertanian mereka. Sesekali ia berhenti untuk menepuk-nepuk
satu atau dua binatang ternak. Terkadang ia berhenti di bawah pohon untuk
mendengarkan nyanyian burung-burung yang tampak bergembira memperoleh makanan
pagi hari itu. Raut mukanya begitu berseri memandang alam sekitar. Ya, tak
pelak lagi Fransiskus terpesona dengan alam ciptaan Tuhan. Bahasa tubuhnya
menggambarkan kekaguman dan ungkapan syukur. Namun, keadaan ini berbeda dengan
suasana hati sang murid. Si biarawan muda ini tidak sabar lagi ini cepat-cepat
sampai di desa tetangga dan mendengarkan khotbah sang guru.
Akhirnya mereka tiba di desa
yang dimaksud. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu.
Bangunan-bangunan yang ada menghalangi sinar mentari. Jalan tersebut suram dan
penuh dengan kotoran. Banyak binatang yang mengais-ngais makanan. Orang-orang
sibuk menjajakan dagangan mereka. Fransiskus keluar-masuk gang-gang kecil
sambil menyunggingkan senyum dan menyapa orang-orang dengan ramah. Sang murid
mulai bertanya-tanya dalam hati kapan dan di mana sang guru akan menyampaikan
khotbahnya?
Sesudah beberapa lama
Fransiskus mengintari sebagain besar perkampungan itu, ia berbelok mengambil
jalan yang sudah mereka lalui tadi, kemudian tiba di luar perkampungan itu dan
kembali mendaki ke jalan menuju biara. Sang murid mencoba menahan diri, tetapi
ketika mereka tiba di jalan setapak menuju biara, dia tidak bisa lagi menahan
diri untuk bertanya, “Bapa,” tanyanya, “saya kira tadi Anda mendatangi desa itu
untuk menyampaikan khotbah?”
“Sudah, kan?” Jawab Fransiskus dengan ramah. “Ketika berjalan-jalan tadi,
kita berkhotbah! Kadang-kadang kita tidak membutuhkan kata-kata. Kehadiran kita
sendiri mengingatkan orang tentang apa yang kita wakili. Melalui tindakan, kita
telah memberikan khotbah pagi kepada mereka.” Sambil menatap sang murid,
Fransiskus menyimpulkan, “Tidak ada gunanya pergi berkhotbah, kecuali jika kita
mengkhotbahkan apa yang kita lakukan!”
Semula murid Fransiskus heran
dan tidak habis mengerti tentang apa makna khotbah yang diajarkan gurunya. Mengapa?
Oleh karena sudah terbiasa bahwa khotbah itu adalah menyampaikan uraian firman
Tuhan dengan kata-kata. Padahal sebuah tindakan akan jauh lebih ampuh diterima
dan dimengerti oleh seseorang ketimbang ribuan kata-kata yang tidak didukung
oleh integritas. Ambil contoh: orang tua mengajarkan kepada anaknya supaya
jujur, disiplin, menghormati orang lain namun ketika ia mengantar anaknya
sekolah, lantaran takut terlambat, lampu lalu lintas dan marka jalan dilanggar,
memotong jalan orang seenaknya, jelaslah nasehat dan “khotbah” orang tua
menjadi mubajir. Seorang pemimpin
berkoar-koar bahwa kebenaran harus ditegakan, tidak ada diskriminasi, korupsi
harus diberantas, hak azasi manusia harus dilindungi, hutan dan alam semesta
tidak boleh dieksploitasi, nyatanya di lapangan para kroni dan bawahannya
melakukan apa yang sebaliknya: korupsi, diskriminasi dan penindasan terhadap
minoritas, pelecehan hak-hak azasi serta pengeksploitasi sumber daya alam terus
marak menjadi-jadi dan si pemimpin tidak mengambil tindakan tegas! Tidak ada
gunanya pidato, himbauan, khotbah atau apa pun namanya selain untuk pencitraan!
Demikian juga dengan manusia
yang mengaku beragama sering terjebak dalam praktek ritual formal yang baku.
Sistem ritual begitu rupa dipelihara, tidak boleh ada yang kurang, jika ada
yang terlewat atau melecehkan seolah si pelakunya telah berbuat dosa besar dan
layak dihukum. Sebaliknya, ketika mereka telah melaksanakan ritual itu maka
Tuhan harus membayarnya dengan memenuhi keinginan mereka. Contoh gamblang
diperlihatkan dalam Yesaya 58:1-12. Yesaya mengkritisi ritual puasa. Umat Tuhan
pada masa itu berharap bahwa dengan melakukan ibadah puasa mereka akan mendapat
ganjaran dari Tuhan. Tuhan akan meluputkan mereka dari hukuman dan malapetaka.
Mereka menagih Tuhan! Namun ternyata Tuhan tidak dapat disuap melalui
formalitas ibadah dan kesalehan palsu. Benar, syareatnya mereka menjalankan
puasa, tetapi kehidupan yang dijalani jauh dari makna ibadah puasa itu, yakni: perendahan
diri dan pertobatan. Yesaya mencatat, “Sesungguhnya,
pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak
semua buruhmu. Sesungguhnya kamu berpuasa sambil berbantahan dan berkelahi
serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena.” (Yesaya 58:3c-4a).
Umat Israel hendak memisahkan
ritual dari ritus hidup sehari-hari. Tuhan tidak menghendaki demikian. Tuhan
menghendaki manusia yang beribadah kepada-Nya mengalami pembaruan spiritual.
Ibadah kepada Allah harus berlanjut pada transformasi sosial, maka jawaban
Tuhan terhadap gugatan kemunafikan ibadah itu adalah, “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka
belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau
memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau
memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin
yang tidak mempunyai rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya
engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu
sendiri!”(Yesaya 58:6,7). Jika itu yang dikehendaki Tuhan maka jelaslah apa
yang dilakukan oleh Fransiskus dari Asisi sangat relevan. Ia mampu
menerjemahkan ibadah itu dalam hidupnya. Tanpa banyak bicara ia mempengaruhi dan
mengubah orang-orang yang ditemuinya. Ia seperti garam yang larut dalam
makanan, tidak terlihat namun berdampak membawa cita rasa. Seperti terang, yang
memperlihatkan perbuatan baik, bukan untuk pamer tetapi memberikan contoh nyata
yang kemudian membawa orang untuk dapat memuliakan Allah.
Yesus menyebut pengikut-Nya
dengan garam dan terang (Matius 5:13-16) itu berarti Yesus menekankan keutamaan
dalam fungsi (kegunaan), bukan sekedar ada. Artinya bukan hanya sekedar bangga
dengan identitas bahwa di dalam Yesus kita menjadi anak-anak Allah, melainkan
apa fungsi atau kegunaan anak-anak Allah itu? Tidak lain dengan menghadirkan
kualitas hidup yang lebih baik. Maka Yesus mengingatkan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke
dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5:20). Banyak orang Kristen tidak menyadari
ayat ini. Pikir mereka asal percaya dan menjadi Kristen, Sorga itu menjadi
bagiannya. Yesus mengatakan tidak, jika kita kehilangan fungsi dalam melakukan
kehendak-Nya, dalam hal ini menjadi garam dan terang itu, kita pun kehilangan
Sorga itu!
Fransiskus dari Asisi
mengajarkan dalam doanya bagaimana fungsi garam dan terang itu, simak dan tidak
ada salahnya menjadi doa serta komitmen kita:
Tuhan,
Jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih,
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan,
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan,
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian,
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran,
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang,
Tuhan semoga aku ingin menghibur dari pada dihibur,
memahami dari pada dipahami,
mencintai dari pada dicintai,
sebab
dengan memberi aku menerima,
dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi,
untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
(sumber:
Wikipedia)
Jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih,
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan,
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan,
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian,
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran,
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang,
Tuhan semoga aku ingin menghibur dari pada dihibur,
memahami dari pada dipahami,
mencintai dari pada dicintai,
sebab
dengan memberi aku menerima,
dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi,
untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar