Kamis, 06 Februari 2014

MENJADI AGEN PERUBAHAN

Sebuah kisah kuno tetapi tetap menarik hingga kini. Kisah dari negeri Italia pada abad pertangahan, kisah tentang Fransiskus dari Asisi. Pada zamannya, ia telah memikat banyak orang untuk berguru kepadanya tentang cinta kasih dan kesalehan. Orang-orang menghargainya sebagai sosok bersahaja penuh cinta kasih dan ketulusan, bukan hanya terhadap sesama manusia tetapi juga terhadap semua makhluk Tuhan. Konon orang percaya dengan cinta kasihnya yang begitu tulus dan dalam, Fransiskus mampu berkomunikasi atau berbicara dengan hewan dan tumbuhan.

Bermula dari sebuah biara kecil yang terletak di sisi pegunungan, Fransiskus mengabdikan hidupnya. Suatu ketika, ia mengajak seorang biarawan muda untuk berkhotbah di desa tetangga. Sudah barang tentu, si biarawan muda itu bersemangat menyambut ajakan sang guru yang begitu ia kagumi. Dalam hatinya ia bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini, sebab dalam biara itu pun ia jarang sekali mendengar nasihat atau pengajaran apalagi khotbah dari seorang Fransiskus.

Mereka berjalan beriringan menuruni bukit, melewati jalan kecil yang diapit ladang pertanian. Di sepanjang jalan, Fransiskus tersenyum menyapa para pemilik ladang dan pekerja yang sedang mengerjakan lahan pertanian mereka. Sesekali ia berhenti untuk menepuk-nepuk satu atau dua binatang ternak. Terkadang ia berhenti di bawah pohon untuk mendengarkan nyanyian burung-burung yang tampak bergembira memperoleh makanan pagi hari itu. Raut mukanya begitu berseri memandang alam sekitar. Ya, tak pelak lagi Fransiskus terpesona dengan alam ciptaan Tuhan. Bahasa tubuhnya menggambarkan kekaguman dan ungkapan syukur. Namun, keadaan ini berbeda dengan suasana hati sang murid. Si biarawan muda ini tidak sabar lagi ini cepat-cepat sampai di desa tetangga dan mendengarkan khotbah sang guru.

Akhirnya mereka tiba di desa yang dimaksud. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu. Bangunan-bangunan yang ada menghalangi sinar mentari. Jalan tersebut suram dan penuh dengan kotoran. Banyak binatang yang mengais-ngais makanan. Orang-orang sibuk menjajakan dagangan mereka. Fransiskus keluar-masuk gang-gang kecil sambil menyunggingkan senyum dan menyapa orang-orang dengan ramah. Sang murid mulai bertanya-tanya dalam hati kapan dan di mana sang guru akan menyampaikan khotbahnya?

Sesudah beberapa lama Fransiskus mengintari sebagain besar perkampungan itu, ia berbelok mengambil jalan yang sudah mereka lalui tadi, kemudian tiba di luar perkampungan itu dan kembali mendaki ke jalan menuju biara. Sang murid mencoba menahan diri, tetapi ketika mereka tiba di jalan setapak menuju biara, dia tidak bisa lagi menahan diri untuk bertanya, “Bapa,” tanyanya, “saya kira tadi Anda mendatangi desa itu untuk menyampaikan khotbah?”

“Sudah, kan?” Jawab Fransiskus dengan ramah. “Ketika berjalan-jalan tadi, kita berkhotbah! Kadang-kadang kita tidak membutuhkan kata-kata. Kehadiran kita sendiri mengingatkan orang tentang apa yang kita wakili. Melalui tindakan, kita telah memberikan khotbah pagi kepada mereka.” Sambil menatap sang murid, Fransiskus menyimpulkan, “Tidak ada gunanya pergi berkhotbah, kecuali jika kita mengkhotbahkan apa yang kita lakukan!”

Semula murid Fransiskus heran dan tidak habis mengerti tentang apa makna khotbah yang diajarkan gurunya. Mengapa? Oleh karena sudah terbiasa bahwa khotbah itu adalah menyampaikan uraian firman Tuhan dengan kata-kata. Padahal sebuah tindakan akan jauh lebih ampuh diterima dan dimengerti oleh seseorang ketimbang ribuan kata-kata yang tidak didukung oleh integritas. Ambil contoh: orang tua mengajarkan kepada anaknya supaya jujur, disiplin, menghormati orang lain namun ketika ia mengantar anaknya sekolah, lantaran takut terlambat, lampu lalu lintas dan marka jalan dilanggar, memotong jalan orang seenaknya, jelaslah nasehat dan “khotbah” orang tua menjadi mubajir.  Seorang pemimpin berkoar-koar bahwa kebenaran harus ditegakan, tidak ada diskriminasi, korupsi harus diberantas, hak azasi manusia harus dilindungi, hutan dan alam semesta tidak boleh dieksploitasi, nyatanya di lapangan para kroni dan bawahannya melakukan apa yang sebaliknya: korupsi, diskriminasi dan penindasan terhadap minoritas, pelecehan hak-hak azasi serta pengeksploitasi sumber daya alam terus marak menjadi-jadi dan si pemimpin tidak mengambil tindakan tegas! Tidak ada gunanya pidato, himbauan, khotbah atau apa pun namanya selain untuk pencitraan!  
  
Demikian juga dengan manusia yang mengaku beragama sering terjebak dalam praktek ritual formal yang baku. Sistem ritual begitu rupa dipelihara, tidak boleh ada yang kurang, jika ada yang terlewat atau melecehkan seolah si pelakunya telah berbuat dosa besar dan layak dihukum. Sebaliknya, ketika mereka telah melaksanakan ritual itu maka Tuhan harus membayarnya dengan memenuhi keinginan mereka. Contoh gamblang diperlihatkan dalam Yesaya 58:1-12. Yesaya mengkritisi ritual puasa. Umat Tuhan pada masa itu berharap bahwa dengan melakukan ibadah puasa mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Tuhan akan meluputkan mereka dari hukuman dan malapetaka. Mereka menagih Tuhan! Namun ternyata Tuhan tidak dapat disuap melalui formalitas ibadah dan kesalehan palsu. Benar, syareatnya mereka menjalankan puasa, tetapi kehidupan yang dijalani jauh dari makna ibadah puasa itu, yakni: perendahan diri dan pertobatan. Yesaya mencatat, “Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya kamu berpuasa sambil berbantahan dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena.” (Yesaya 58:3c-4a).

Umat Israel hendak memisahkan ritual dari ritus hidup sehari-hari. Tuhan tidak menghendaki demikian. Tuhan menghendaki manusia yang beribadah kepada-Nya mengalami pembaruan spiritual. Ibadah kepada Allah harus berlanjut pada transformasi sosial, maka jawaban Tuhan terhadap gugatan kemunafikan ibadah itu adalah, “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak mempunyai rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”(Yesaya 58:6,7). Jika itu yang dikehendaki Tuhan maka jelaslah apa yang dilakukan oleh Fransiskus dari Asisi sangat relevan. Ia mampu menerjemahkan ibadah itu dalam hidupnya. Tanpa banyak bicara ia mempengaruhi dan mengubah orang-orang yang ditemuinya. Ia seperti garam yang larut dalam makanan, tidak terlihat namun berdampak membawa cita rasa. Seperti terang, yang memperlihatkan perbuatan baik, bukan untuk pamer tetapi memberikan contoh nyata yang kemudian membawa orang untuk dapat memuliakan Allah.

Yesus menyebut pengikut-Nya dengan garam dan terang (Matius 5:13-16) itu berarti Yesus menekankan keutamaan dalam fungsi (kegunaan), bukan sekedar ada. Artinya bukan hanya sekedar bangga dengan identitas bahwa di dalam Yesus kita menjadi anak-anak Allah, melainkan apa fungsi atau kegunaan anak-anak Allah itu? Tidak lain dengan menghadirkan kualitas hidup yang lebih baik. Maka Yesus mengingatkan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5:20). Banyak orang Kristen tidak menyadari ayat ini. Pikir mereka asal percaya dan menjadi Kristen, Sorga itu menjadi bagiannya. Yesus mengatakan tidak, jika kita kehilangan fungsi dalam melakukan kehendak-Nya, dalam hal ini menjadi garam dan terang itu, kita pun kehilangan Sorga itu!

Fransiskus dari Asisi mengajarkan dalam doanya bagaimana fungsi garam dan terang itu, simak dan tidak ada salahnya menjadi doa serta komitmen kita:

Tuhan,
Jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih,
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan,
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan,
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian,
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran,
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang,
Tuhan semoga aku ingin menghibur dari pada dihibur,
memahami dari pada dipahami,
mencintai dari pada dicintai,
sebab
dengan memberi aku menerima,
dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi,
untuk hidup selama-lamanya.
Amin.
(sumber: Wikipedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar