Setiap hari, dari bangun tidur
sampai tidur lagi, manusia dihadapkan pada pilihan. Mau langsung bangun atau
masih mau bobo-boboan? Kalau langsung bangun, apakah mau sarapan atau mandi
terlebih dahulu? Apakah mau ngopi dulu atau langsung beraktifitas bekerja, dan
seterusnya. Itulah contoh pilihan setiap hari. Hidup adalah pilihan! Demikian
pula dengan bahagia dan derita adalah pilihan. Musa menawarkan pilihan itu
kepada umat TUHAN pilihan dalam hidup mereka, “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan
keberuntungan, kematian dan kecelakaan,...” (Ulangan 30:15). Kehidupan dan
keberuntungan menjadi bagian dari mereka yang taat dan mengasihi TUHAN,
sebaliknya kematian dan kecelakaan bagi mereka yang memilih menolak-Nya. Jelas
setiap pilihan mengandung konsekuensi. Namun, yang mengherankan manusia suka
memilih dan mengambil tindakan yang mencelakakan dirinya padahal di awal sudah
tahu apa resiko yang akan dialaminya ketika mengambil pilihan itu. Contoh,
banyak orang memilih melakukan tindakan jahat : korupsi, mencuri, merampok,
membunuh, berzinah, padahal dengan bertindak seperti itu ia akan berhadapan
dengan hukum. Kesengsaraan akan dialaminya. Mengapa sudah tahu tindakan itu
bakal merugikan tapi tetap dilakukan? Bukankah ini merupakan perbuatan konyol?
Tentang hal ini ada banyak
pendapat, penelitian dan kajian-kajian dari pelbagai ilmu. Ilmu sosial
mengatakan pengaruh lingkunganlah yang membuat manusia mempunyai prilaku jahat.
Psikolog mengatakan ada pertumbuhan spiritual yang terhambat. Agama-agama timur
mengatakan bahwa dalam diri manusia ada roh baik dan roh jahat, keduanya saling
bertentangan. Dalam konteks ini ada yang menarik dari pernyataan Plato, seorang
filsuf yang mencoba melukiskan jiwa manusia itu seperti sebuah kereta kecil
yang ditarik oleh dua ekor kuda. Kuda yang satu lemah-lembut dan dapat
dikendalikan, serta taat kepada si pengendalinya. Sedangkan kuda yang lain
begitu kasar, keras dan liar serta suka memberontak. Nama kuda yang pertama
adalah akal budi sedangkan nama kuda yang lainnya adalah nafsu. Kehidupan
selalu merupakan pertentangan antara tuntutan nafsu dan kendali dari akal budi.
Akal budi merupakan tali kendali nafsu. Tetapi tali kendali bisa putus
sewaktu-waktu; kendali diri bisa lepas. Apa yang terjadi jika tali kendali itu
putus? William Barckay menyimpulkan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia
tidak akan mengalami keselamatan, hal ini seperti yang dikatakan Musa, manusia
akan mengalami kecelakaan dan kematian! Bagaimana supaya tali kendali tidak
putus? Jawabnya sederhana perkuat akal budi atau hikmat dan mulailah
meninggalkan nafsu jahat dan serakah. Caranya? Belajar mendekatkan diri pada
hukum TUHAN dan membersihkan diri dari niat atau pikiran yang dikuasai nafsu
itu.
Hukum TUHAN seperti apa yang
dapat mengendalikan “kuda liar” dalam diri manusia? Bukankah ahli Taurat dan
orang Farisi sangat dekat dengan Hukum TUHAN atau Taurat, tapi nyatanya Hukum
itu tidak membuat mereka menjadi arif. Alih-alih melakukan setiap detil Hukum itu,
mereka membebaninya untuk orang lain. Yesus menolong kita dalam memberlakukan
Hukum Tuhan itu. Ia membarui cara pandang manusia terhadap Hkum itu. Dalam
Injil Matius 5:21-48 terdapat beberapa pokok hukum Taurat yang dibahas dan
dikritisi Yesus: membunuh (ayat 21-26), perzinahan (ay.27-30), perceraian (ay.31-32),
sumpah palsu (ay.33-37), pembalasan (ay.38-42), dan tentang mengasihi sesama
manusia dan membenci musuh (ay.43-48). Pembahasan keenam pokok ini didahului
dengan formula yang relatif sama, “Kamu
telah mendengar firman...” atau “Telah
difirmankan...” Setelah menyebutkan masing-masing ketentuan dalam Taurat
dan kitab para nabi, Yesus menyatakan, “(Tetapi)
Aku berkata kepadamu....”. Apa makna yang tersirat dari pernyataan Yesus
ini? Yesus tidak berhenti dengan apa yang tertulis! Bagi Yesus tidak cukup bagi
manusia untuk tidak hanya menghindarkan diri pada tindakan pembunuhan,
perzinahan, perceraian, sumpah palsu, dan pelbagai kebencian. Yesus menghendaki
agar orang dapat mengendalikan diri dari semua tindakan itu. Pengendalian diri
itu dimulai dari pikiran dan niat! Bagi Yesus bukan hanya manusia itu dapat
memenuhi kaidah Hukum Taurat, tetapi yang penting adalah sikap dasar manusia
yang mau hidup dalam ketaatan kepada Allah. Orang seperti itulah yang disebut
orang benar. Sebab bisa saja orang, dalam tindakannya tidak membunuh dan
berzinah, namun dalam hati siapa tahu tersimpan amarah dan nafsu yang
mengelora. Allah menuntut ketaatan total; tindakan maupun niat hati.
Kita mungkin memang tidak
pernah memukul seseorang. Tetapi, siapakah yang dapat mengatakan, bahwa kita
tidak pernah ingin memukul seseorang? Kita mungkin tidak pernah melakukan
perzinahan dengan seseorang. Tetapi, siapa yang dapat menjamin bahwa kita tidak
pernah ingin melakukan hal yang terlarang itu? Yesus mengajarkan bahwa pikiran
dan niat serta khayalan sama pentingnya dengan tindakan dan perbuatan nyata. Dan,
tidaklah cukup bagi seseorang hanya menghindarkan diri dari perbuatan dosa.
Yang dikehendaki Yesus adalah, agar setiap orang sama sekali tidak mempunyai
keinginan untuk melakukan hal-hal yang jahat itu. Yesus mengajarkan, bahwa
seseorang tidak hanya dihakimi berdasarkan tindakan-tindakannya, melainkan juga
dihakimi berdasarkan keinginan-keinginan yang mungkin saja tidak pernah
terwujud dalam tindakannya.
Yesus membawa pembaruan dalam
paradigma berpikir tentang Hukum Taurat itu. Yesus tidak menggantikan apa yang
tertulis dalam Taurat dan kitab para nabi. Ia memberi orientasi baru pada
ketaatan manusia terhadap hukum itu. Hukum menjadi tuntunan minimal, tetapi
orang harus membangun sikap dan prilaku yang lebih dari yang minimal itu. Menurut
norma duniawi, seseorang dikatakan baik kalau ia tidak pernah melakukan hal-hal
yang dilarang. Dunia tidak menaruh perhatian, apalagi ingin menilai dan
menghakimi pikiran-pikiran yang ada di dalam kepala seseorang. Tetapi norma
yang diajarkan Yesus ialah bahwa seseorang itu tidak akan pernah menjadi orang
yang baik, kecuali kalau ia memang benar-benar tidak mempunyai keinginan untuk
melakukan hal yang dilarang.
Masalahnya kini, adakah yang
mampu mengerjakan apa yang diajarkan Yesus ini? Adakah manusia yang bebas sama
sekali dari niat jahat? Bukankah kita sering tidak dapat mengendalikan niat dan
pikiran kita? Bukankah pikiran dan niat serta nafsu itu sering kali datang
tiba-tiba begitu saja. Kesadaran seperti ini mestinya tidak menghalangi kita
untuk dapat memenuhi Hukum Kristus. Yang diperlukan dari kita adalah tekad
untuk berlatih dalam ketaatan dan doa penyerahan diri kepada-Nya. Menyadari
ketidakmampuan, mestinya mendorong kita semakin dekat kepada TUHAN, mau
dibentuk oleh-Nya. Masalahnya bukan bisa atau tidak, mungkin atau tidak
mungkin, melainkan mau atau tidak. Kemauan akan menolong kita untuk bertindak.
Cobalah kita mulai berlatih,
lakukan apa yang Tuhan mau bukan hanya
dengan tindakan: mengerjakan ini dan itu, melainkan disertai dengan hati yang
gembira, ulangi dan ulangi lagi. Sesekali gagal, tidak mengapa, ulangi terus
hinga menjadi terbiasa. Kebiasaan itu akan menjadi nilai dan norma hidup kita.
Norma atau nilai-nilai hidup ini ketika ditularkan pada orang-orang di sekitar
kita, maka akan menjadi gaya hidup dan budaya. Jika kita lakukan ini dengan
sukacita, percayalah kebahagiaan yang dirasakan dulu oleh pemazmur akan kita
alami juga:
Berbahagialah orang-orang yang hidupnya
tidak bercela,
yang hidup menurut Taurat TUHAN.
Berbahagialah orang-orang yang memegang
peringatan-pringatan-Nya,
yang mencari Dia dengan segenap hati,
Yang juga tidak melakukan kejahatan,
tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang
ditunjukkan-Nya.
Engkau sendiri telah menyampaikan
titah-titah-Mu,
supaya dipegang dengan sungguh-sungguh.
Sekiranya hidupku tentu
untuk berpegang kepada ketetapan-Mu!
Maka aku tidak akan mendapat malu,
apabila aku mengamat-amati segala
perintah-Mu.
Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati
jujur,
apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang
adil.
Aku akan berpegang kepada
ketetapan-ketetapan-Mu,
jangan tinggalkan aku sama sekali.
(Mazmur
119:1-8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar