Minggu yang lalu kita
membahas tema tentang Kerajaan Allah hadir di tengah kekelaman
hidup. Dari tema itu, kita diingatkan kembali tentang Yesus sebagai
representasi kehadiran Kerajaan Allah di muka bumi ini. Apa yang diwartakan
Yesus membuat orang pada zamannya, bahkan sampai sekarang tidak habis mengerti.
Yesus menjungkirbalikkan apa yang selama ini dipandang sebagai norma baku
manusia dalam mencapai kebahagiaan. “Kitab-kitab Injil menggambarkan Kerajaan
Allah sebagai sesuatu yang sungsang atau jungkir balik, jika dibandingkan
dengan pandangan hidup Palestina kuno maupun moder.” Demikian kata Donald B.
Kraybill dalam bukunya “Kerajaan yang
sungsang”, ketika mengutip pandangan Allen Verhey (The Grand Reversal: Ethics and the New Testament). Kraybill
menguraikan panjang lebar tentang pemberitaan Kerajaan Allah yang bertolak
belakang atau jungkir balik dengan pandangan dunia.
Nah, salah satu bagian ajaran
yang jungkir balik dari pangangan umum dunia adalah sabda ucapan bahagia
(Matius 5:1-12; Lukas 6:20-23). Mengapa pandangan Yesus dikatakan jungkir balik
dengan norma yang dianut dunia pada umumnya? Lihat saja ucapan sabda bahagia
itu! Bukankah dunia mengajarkan bahwa bahagia itu ketika manusia itu kaya,
banyak uang, makanan berlimpah, dan berkuasa. Namun, bukan orang-orang seperti
itu yang disebut Yesus sebagai orang yang berbahagia. Mereka yang disebut
berbahagia justeru yang dihindari oleh semua manusia. Mereka itu adalah: orang
miskin, orang yang berdukacita, orang yang lapar dan haus, orang yang tertindas
dan teraniaya! Bukankah semua kategori ini dihindari semua orang? Lalu apa
maskudnya? Apakah Yesus hanya sekedar mempermainkan orang-orang yang sedang
dirundung miskin, derita dan air mata dengan penghiburan yang semu? Apakah
Yesus sama seperti badut-badut politikus yang sekarang sedang gencar merayu dan
menjilat si miskin yang jumlahnya pasti beribu kali lipat ketimbang si kaya? Ataukah
Yesus sedang bersungguh-sungguh dengan ucapan-Nya itu?
Mari kita cermati sabda ucapan
bahagia Yesus itu. Keempat ucapan bahagia pertama (Matius 5:3-6) membawa
pendengar Yesus pada saat itu pada nubuat nabi Yesaya mengenai perutusan Hamba
TUHAN. Hamba TUHAN itu diutus bukan kepada mereka yang sedang dalam keadaan
makmur, melainkan kepada mereka yang miskin dan berdukacita (Yesaya 61:1-4). Kepada
mereka yang miskin, berduka, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran,
dijanjikan kebahagiaan dan berkat. Kebahagiaan dan berkat itu dapat dialami
sekarang. Lihatlah apa yang dilakuakan Yesus, yang buta melihat, yang lumpuh
berjalan, yang sakit dan kerasukan roh jahat disembuhkan dan dipulihkan, si pendosa
dan penzinah disadarkan dan dibebaskan dari roh keserakahan, bahkan yang mati
seperti Lazarus dibangkitkan. Kebahagiaan dan berkat sepenuhnya akan digenapi
pada masa depan. Setiap orang bisa mengalami kebahagiaan dan berkat itu. Kepenuhannya
memang akan terjadi pada waktu mereka didapati benar di hadapan Allah yaitu
ketika mereka benar-benar mencintai mereka yang lapar, haus, asing, telanjang,
sakit, dan dalam penjara (Matius 25), inilah keadilan Allah!
Pertanyaanya kemudian, apakah
TUHAN itu suka dengan kemiskinan dan penderitaan sehingga kepada mereka itu Ia
mengganjarnya dengan kebahagiaan? Apakah kemudian ini yang disebut dengan
keadilan Allah bahwa mereka yang sekarang menderita dan terabaikan kemudian
akan dipuaskan dengan kebahagiaan? Sedangkan orang-orang kaya yang menikmati
kenyamanan dan kepuasan kemudian akan mendapat kutuk atau hukuman seperti
ucapan bahagia versi Lukas 6?
Tampaknya tidak sepeti itu!
Mereka yang kaya dan makmur pun bisa mengalami kebahagiaan atau berkat. Kemiskinan
dan penderitaan bukanlah jaminan bahwa orang memperoleh kebahagiaan atau
berkat. Jadi gak usahlah Anda memiskinkan diri supaya bisa jadi orang yang
berbahagia. Kekayaan dan kemakmuran juga bukanlah merupakan penyebab kutuk.
Kemiskinan dan kenestapaan dalam hidup menjadi indikasi yang jelas akan
ketergantungan manusia terhadap Allah. Manusia yang hanya mengantungkan diri
pada kemurahan Allah itulah yang mengalami kebahagiaan sejati. Maka Matius
menyebut bukan mereka yang miskin dalam materi, melainkan mereka yang miskin di hadapan Allah. Matius
tidak menyebut hanya mereka yang haus dan lapar akan makanan dan minuman,
melainkan mereka yang haus dan lapar
akan kebenaran. Tekanan ini memang berbeda dengan ucapan bahagia yang
ditulis oleh Lukas. Lukas lebih menampilkan kemiskinan, kelaparan, kehausan
harafiah. Mengapa? Lukas memberitakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang
terpinggirkan, teraniaya, dan dalam strata kesalehan Yahudi mereka ini dianggap
tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Mereka miskin, teraniaya,
tersisihkan, terpinggirkan oleh karena struktur dan kerakusan orang-orang yang
berkuasa secara materi dan “rohani”. Sedangkan orang-orang kaya dan “penguasa-penguasa
rohani” tidak lagi mempedulikan mereka apalagi memihak mereka.
Empat ucapan bahagia
berikutnya adalah khas Injil Matius (Mat.5:7-10). Kemurahan hati dan kesucian
hati, damai dan penganiayaan merupakan tema-tema pengajaran dan hidup Yesus
berikutnya. Yesus mengundang orang untuk mengampuni dan berekonsiliasi dengan
sesamanya. Orang juga dipanggil untuk memiliki kesucian hati, yakni bertindak
berdasarkan kesetiaan total kepada Allah. Mereka akan melihat Allah. Para
pembawa damai adalah mereka yang tidak melibatkan diri dalam lingkaran
kekerasan (Mat.5:38-42), mereka yang menolak pedang (Mat.26:52-54), dan mereka
yang bisa menerima perintah radikal dari Yesus, yakni untuk mengasihi musuh
(Mat.5:44-48). Mereka yang dianiaya karena kebenaran juga memperoleh
kebahagiaan dan berkat ketika mereka memberikan hidupnya untuk bertahan dalam
kesetiaan dan ketaatan kepada Allah.
Dua ucapan bahagia terakhir
tidak lagi berbicara mengenai “orang yang...” tetapi berbicara kepada kamu
(Mat.5:11-12). Yesus mengingatkan para murid akan kebahagiaan dan berkat yang
mereka alami karena kesetiaan mereka di masa-masa penganiayaan yang tak
terhindarkan, mereka layaknya nabi-nabi yang juga mengalami penganiayaan,
mereka bersukacita dan bergembira karena mereka telah mewujudkan cinta mereka itu
kepada Tuhan melalui tindakan nyata. Adakah orang-orang yang seperti ini? Oh,
banyak! Coba Anda lakukan ini: Anda
diminta mengerjakan tugas atau dalam dunia spionase/militer disebut misi. Misi ini
berbahaya, nyawa taruhannya. Ketika Anda menjalani tugas atau misi itu
dilandasi kecintaan dan tanggungjawab yang besar baik terhadap misi atau
pekerjaan itu dan sekaligus juga kepada atasan Anda, pasti Anda akan mengambil
resiko apa pun. Ketika Anda mengalami kesulitan dan penderitaan Anda tidak akan
berkelu kesah atau mengutuki diri. Anda akan berjuang sampai titik darah
penghabisan dan tidak pernah berhianat atas misi itu bahkan ada rasa bangga dan
bahagia yang menghinggapi sekujur tubuh Anda. Nah, apalagi ini tugas dan misi
dari Tuhan! Selain kebahagiaan ketika mengerjakannya, Tuhan pun menjanjikan upah
besar menanti di sorga.
Semua orang mengejar kebahagiaan demikian kata
Aristoteles, sang filsuf itu. Namun, kebahagiaan seperti apa yang sedang kita
kejar? Apakah kebahagiaan versi dunia ini, yakni dengan memuaskan hasrat nafsu
duniawi sehingga dengan segala cara kita meraih dan merebut kekuasaan,
kekayaan, kemakmuran dan ketenaran? Ataukah kita dapat memahami sabda bahagia
ajaran Yesus, yang sering disebut jungkir balik? Meskipun kebahagiaan itu tidak
selalu tampak dalam bahasa fisik kita, karena letaknya jauh di lubuk hati sana,
namun dapat dipastikan ia (kebahagiaan sejati itu) tidak mungkin diperoleh dengan
memanjakan nafsu duniawi. Pengejaran nafsu duniawi sesaat mungkin akan merasa
bahagia ketika kita berhasil menggapainya, namun jiwa kita akan merasa letih
dan merana. Mengapa? Karena letaknya
bukan di situ! Kebahagiaan itu diperoleh ketika manusia mengutamakan dan hanya
bergantung kepada Sang Penciptanya, menuruti dan pencintai kehendak-Nya dengan
sepenuh hati serta setia sampai ajal menjemput. Maka Jadilah orang-orang yang
berbahagia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar