Jumat, 31 Januari 2014

MEMBERLAKUKAN SABDA BAHAGIA DENGAN KEADILAN

Minggu yang lalu kita membahas  tema tentang Kerajaan Allah hadir di tengah kekelaman hidup. Dari tema itu, kita diingatkan kembali tentang Yesus sebagai representasi kehadiran Kerajaan Allah di muka bumi ini. Apa yang diwartakan Yesus membuat orang pada zamannya, bahkan sampai sekarang tidak habis mengerti. Yesus menjungkirbalikkan apa yang selama ini dipandang sebagai norma baku manusia dalam mencapai kebahagiaan. “Kitab-kitab Injil menggambarkan Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang sungsang atau jungkir balik, jika dibandingkan dengan pandangan hidup Palestina kuno maupun moder.” Demikian kata Donald B. Kraybill dalam bukunya “Kerajaan yang sungsang”, ketika mengutip pandangan Allen Verhey (The Grand Reversal: Ethics and the New Testament). Kraybill menguraikan panjang lebar tentang pemberitaan Kerajaan Allah yang bertolak belakang atau jungkir balik dengan pandangan dunia.

Nah, salah satu bagian ajaran yang jungkir balik dari pangangan umum dunia adalah sabda ucapan bahagia (Matius 5:1-12; Lukas 6:20-23). Mengapa pandangan Yesus dikatakan jungkir balik dengan norma yang dianut dunia pada umumnya? Lihat saja ucapan sabda bahagia itu! Bukankah dunia mengajarkan bahwa bahagia itu ketika manusia itu kaya, banyak uang, makanan berlimpah, dan berkuasa. Namun, bukan orang-orang seperti itu yang disebut Yesus sebagai orang yang berbahagia. Mereka yang disebut berbahagia justeru yang dihindari oleh semua manusia. Mereka itu adalah: orang miskin, orang yang berdukacita, orang yang lapar dan haus, orang yang tertindas dan teraniaya! Bukankah semua kategori ini dihindari semua orang? Lalu apa maskudnya? Apakah Yesus hanya sekedar mempermainkan orang-orang yang sedang dirundung miskin, derita dan air mata dengan penghiburan yang semu? Apakah Yesus sama seperti badut-badut politikus yang sekarang sedang gencar merayu dan menjilat si miskin yang jumlahnya pasti beribu kali lipat ketimbang si kaya? Ataukah Yesus sedang bersungguh-sungguh dengan ucapan-Nya itu?

Mari kita cermati sabda ucapan bahagia Yesus itu. Keempat ucapan bahagia pertama (Matius 5:3-6) membawa pendengar Yesus pada saat itu pada nubuat nabi Yesaya mengenai perutusan Hamba TUHAN. Hamba TUHAN itu diutus bukan kepada mereka yang sedang dalam keadaan makmur, melainkan kepada mereka yang miskin dan berdukacita (Yesaya 61:1-4). Kepada mereka yang miskin, berduka, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, dijanjikan kebahagiaan dan berkat. Kebahagiaan dan berkat itu dapat dialami sekarang. Lihatlah apa yang dilakuakan Yesus, yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang sakit dan kerasukan roh jahat disembuhkan dan dipulihkan, si pendosa dan penzinah disadarkan dan dibebaskan dari roh keserakahan, bahkan yang mati seperti Lazarus dibangkitkan. Kebahagiaan dan berkat sepenuhnya akan digenapi pada masa depan. Setiap orang bisa mengalami kebahagiaan dan berkat itu. Kepenuhannya memang akan terjadi pada waktu mereka didapati benar di hadapan Allah yaitu ketika mereka benar-benar mencintai mereka yang lapar, haus, asing, telanjang, sakit, dan dalam penjara (Matius 25), inilah keadilan Allah!

Pertanyaanya kemudian, apakah TUHAN itu suka dengan kemiskinan dan penderitaan sehingga kepada mereka itu Ia mengganjarnya dengan kebahagiaan? Apakah kemudian ini yang disebut dengan keadilan Allah bahwa mereka yang sekarang menderita dan terabaikan kemudian akan dipuaskan dengan kebahagiaan? Sedangkan orang-orang kaya yang menikmati kenyamanan dan kepuasan kemudian akan mendapat kutuk atau hukuman seperti ucapan bahagia versi Lukas 6?

Tampaknya tidak sepeti itu! Mereka yang kaya dan makmur pun bisa mengalami kebahagiaan atau berkat. Kemiskinan dan penderitaan bukanlah jaminan bahwa orang memperoleh kebahagiaan atau berkat. Jadi gak usahlah Anda memiskinkan diri supaya bisa jadi orang yang berbahagia. Kekayaan dan kemakmuran juga bukanlah merupakan penyebab kutuk. Kemiskinan dan kenestapaan dalam hidup menjadi indikasi yang jelas akan ketergantungan manusia terhadap Allah. Manusia yang hanya mengantungkan diri pada kemurahan Allah itulah yang mengalami kebahagiaan sejati. Maka Matius menyebut bukan mereka yang miskin dalam materi, melainkan mereka yang miskin di hadapan Allah. Matius tidak menyebut hanya mereka yang haus dan lapar akan makanan dan minuman, melainkan mereka yang haus dan lapar akan kebenaran. Tekanan ini memang berbeda dengan ucapan bahagia yang ditulis oleh Lukas. Lukas lebih menampilkan kemiskinan, kelaparan, kehausan harafiah. Mengapa? Lukas memberitakan Injil Yesus Kristus kepada orang-orang terpinggirkan, teraniaya, dan dalam strata kesalehan Yahudi mereka ini dianggap tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Mereka miskin, teraniaya, tersisihkan, terpinggirkan oleh karena struktur dan kerakusan orang-orang yang berkuasa secara materi dan “rohani”. Sedangkan orang-orang kaya dan “penguasa-penguasa rohani” tidak lagi mempedulikan mereka apalagi memihak mereka.

Empat ucapan bahagia berikutnya adalah khas Injil Matius (Mat.5:7-10). Kemurahan hati dan kesucian hati, damai dan penganiayaan merupakan tema-tema pengajaran dan hidup Yesus berikutnya. Yesus mengundang orang untuk mengampuni dan berekonsiliasi dengan sesamanya. Orang juga dipanggil untuk memiliki kesucian hati, yakni bertindak berdasarkan kesetiaan total kepada Allah. Mereka akan melihat Allah. Para pembawa damai adalah mereka yang tidak melibatkan diri dalam lingkaran kekerasan (Mat.5:38-42), mereka yang menolak pedang (Mat.26:52-54), dan mereka yang bisa menerima perintah radikal dari Yesus, yakni untuk mengasihi musuh (Mat.5:44-48). Mereka yang dianiaya karena kebenaran juga memperoleh kebahagiaan dan berkat ketika mereka memberikan hidupnya untuk bertahan dalam kesetiaan dan ketaatan kepada Allah.

Dua ucapan bahagia terakhir tidak lagi berbicara mengenai “orang yang...” tetapi berbicara kepada kamu (Mat.5:11-12). Yesus mengingatkan para murid akan kebahagiaan dan berkat yang mereka alami karena kesetiaan mereka di masa-masa penganiayaan yang tak terhindarkan, mereka layaknya nabi-nabi yang juga mengalami penganiayaan, mereka bersukacita dan bergembira karena mereka telah mewujudkan cinta mereka itu kepada Tuhan melalui tindakan nyata. Adakah orang-orang yang seperti ini? Oh, banyak!  Coba Anda lakukan ini: Anda diminta mengerjakan tugas atau dalam dunia spionase/militer disebut misi. Misi ini berbahaya, nyawa taruhannya. Ketika Anda menjalani tugas atau misi itu dilandasi kecintaan dan tanggungjawab yang besar baik terhadap misi atau pekerjaan itu dan sekaligus juga kepada atasan Anda, pasti Anda akan mengambil resiko apa pun. Ketika Anda mengalami kesulitan dan penderitaan Anda tidak akan berkelu kesah atau mengutuki diri. Anda akan berjuang sampai titik darah penghabisan dan tidak pernah berhianat atas misi itu bahkan ada rasa bangga dan bahagia yang menghinggapi sekujur tubuh Anda. Nah, apalagi ini tugas dan misi dari Tuhan! Selain kebahagiaan ketika mengerjakannya, Tuhan pun menjanjikan upah besar menanti di sorga.

Semua orang mengejar kebahagiaan demikian kata Aristoteles, sang filsuf itu. Namun, kebahagiaan seperti apa yang sedang kita kejar? Apakah kebahagiaan versi dunia ini, yakni dengan memuaskan hasrat nafsu duniawi sehingga dengan segala cara kita meraih dan merebut kekuasaan, kekayaan, kemakmuran dan ketenaran? Ataukah kita dapat memahami sabda bahagia ajaran Yesus, yang sering disebut jungkir balik? Meskipun kebahagiaan itu tidak selalu tampak dalam bahasa fisik kita, karena letaknya jauh di lubuk hati sana, namun dapat dipastikan ia (kebahagiaan sejati itu) tidak mungkin diperoleh dengan memanjakan nafsu duniawi. Pengejaran nafsu duniawi sesaat mungkin akan merasa bahagia ketika kita berhasil menggapainya, namun jiwa kita akan merasa letih dan merana.  Mengapa? Karena letaknya bukan di situ! Kebahagiaan itu diperoleh ketika manusia mengutamakan dan hanya bergantung kepada Sang Penciptanya, menuruti dan pencintai kehendak-Nya dengan sepenuh hati serta setia sampai ajal menjemput. Maka Jadilah orang-orang yang berbahagia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar