Pesan penting Kitab Imamat bisa kita temukan
dalam Imamat 19:2, “Kuduslah kamu, sebab
Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Apa artinya kudus, atau menjadi kudus? Apakah
sama dengan suci, murni, dan bersih? “Kudus” merupakan kata serapan dari bahasa
Arab, bahasa Ibraninya קָדוֹשׁ (qadosy), sedangkan bahasa Yunaninya ἅγιος (hagios).
Qadosy, dapat berati “terpisah” (dikhususkan, diistimewakan,
berbeda dari apa pun). Demikian juga dengan kata hagios mempunyai dasar pemahaman yang sama dengan kata keterpisahan.
Bila Allah disebut kudus, itu artinya Dia terpisah, dikhususkan, sangat
berbeda, spesial, dan istimewa dari semua yang ada. Menguduskan Allah berarti
memisahkan, mengkhususkan dan mengistimewakan Dia dari apa dan siapa pun. Orang
yang menguduskan Allah berarti ia memilih hanya Allahlah yang patut dikhususkan,
diistimewakan, dipisahkan dari yang lain untuk disembah, dimuliakan dan tempat
satu-satunya untuk bergantung. Ketika seseorang menguduskan Allah maka secara
otomatis ia akan memisahkan atau menjauhkan diri dari hal-hal yang dibenci Allah
(dosa). Dan sebaliknya, ia akan berusaha menyenangkan Allah dengan melakukan
kehendak-Nya. Di sinilah kudus sering dihubungkan dengan suci, murni dan bersih
dari dosa. Jadi, sebenarnya suci, murni dan bersih itu adalah merupakan akibat
dari hubungan yang baik antara manusia dengan Allah.
Dapatkah manusia memenuhi harapan hidup kudus
sesuai dengan standar Allah, sementara manusia hidup di dunia penuh cemar?
Apakah untuk memenuhi tuntutan hidup kudus itu, manusia harus benar-benar
secara harafiah memisahkan diri dari masyarakat. Mengambil jarak lalu
mengasingkan diri dan di sana ia menyembah Allah siang-malam? Jika kita telusuri
konteks Imamat 19:2 dikaitkan dengan ayat-ayat berikutnya ternyata tidak
seperti itu! Hidup kudus di hadapan Allah berarti mau hidup sesuai dengan
maksud dan rencana-Nya; mau dipakai sebagai alat di tangan-Nya di tengah-tengah
masyarakat. Dalam Imamat 9:9-10, dinyatakan bahwa orang kudus itu harus memelihara
orang-orang miskin. Di sana Allah memberi petunjuk bagaimana caranya
orang-orang miskin memperoleh makanan dari ladang serta kebun anggur. Hidup
orang kudus itu ditandai dengan menjauhi kebohongan (19:12), tidak mengutuki
dan mencelakakan orang-orang yang berkebutuhan khusus (tuli dan buta) serta
tidak berbuat curang dalam peradilan (19:14-15). Lalu, ciri orang kudus
lainnya,”Janganlah engkau membenci
saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor sesamamu
dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau
menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu,
melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.”(19:17,18).
Jika kita lihat konteks Imamat 19, perintah hidup kudus sangat erat kaitannya dengan melakukan tindakan kasih. Orang yang mengasihi atau menguduskan Allah mau tidak mau harus memberlakukan kasih-Nya. Mengapa? J.J. de Heer, penafsir Injil Matius menjawabnya, “karena sesungguhnya kasih merupakan undang-undang dasar Kerajaan Allah. Tanpa memberlakukan kasih, mustahil manusia dapat hidup kudus di hadapan Allah. Lalu kasih yang bagaimana? Kita lihat kembali Imamat 19:2, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Melalui ayat ini kita bisa menafsirkan jika tuntuan hidup kudus itu dikaitkan dengan kekudusan Tuhan, maka demikian juga dengan kasih. Kasih itu harusnya mengacu pada standar kasih Tuhan. Kasih yang bukan hanya dilakukan terhadap orang-orang yang sudah mengasihi kita saja, sebab Tuhan juga mengasihi semua orang termasuk yang membenci-Nya. Sebab kalau kita mengasihi orang yang mengasihi kita, itu tidak ada bedanya dengan pemungut cukai (orang berdosa). Yesus mengatakan, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi dia yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44). Tidak mudah, ya. Namun, begitulah standar menjadi anak-anak Tuhan. Kata Yesus, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga,...” (Mat.5:45).
Anak-anak harus
menyerupai Bapanya. Anak-anak harus memiliki karakter kasih Sang Bapa! Allah
menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang
tidak benar; dengan cara yang sama orang yang sungguh-sungguh mengaku anak
Allah harus menunjukkan kasih kepada orang yang baik dan yang tidak baik. Tidak bisa memilah-milah!
Dalam Matius
5:48, Yesus menutup dengan kata-kata, “haruslah
kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di Sorga adalah sempurna”. Bukankah
seruan Yesus ini sejajar dengan Imamat 19:2, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu kudus.” dan Ulangan 18:13,
“Haruslah engkau hidup dengan tidak
bercela di hadapan TUHAN, Allahmu.” Mungkinkah kita sempurna dan tidak
bercacat? Banyak orang mengatakan tidak mungkin! Bagian khotbah dibukit ini
hanya mau memperlihatkan ketidak berdayaan kita dalam dosa. Apakah benar
demikian?
Dalam bahasa
Yunani, kata “sempurna” adalah teleios.
Kata ini adalah bentuk kata sifat dari telos,
yang berarti “tujuan” atau “maksud”. Perintah Yesus untuk menjadi sempurna
dengan demikian berarti para murid harus dapat memenuhi tujuan dan maksud
dirinya diciptakan oleh Tuhan. Kitab Kejadian memberitahu kita bahwa sejak
semula manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej.1 :26). “Menjadi segambar dan serupa dengan Allah”,
merupakan tujuan semula Allah menciptakan manusia. Dan karena gambar yang
dominan tentang Allah adalah karakter kasih-Nya , tidak sulit bagi kita untuk
memahami kesempurnaan yang dikehendaki Allah. Allah menghendaki kesempurnaan
dari kita itu adalah dalam memberlakukan kasih yang sesuai dengan standar kasih
Allah.
Dalam bukunya, “A Beautiful Heart”, Agus Santoso
bercerita: Konon ada suku Indian yang memiliki tradisi menggelar kompetisi
menjadi “Sang Sempurna”. Hari itu, saat fajar merekah, ada tiga pemuda bertubuh
tegap, kekar dan cerdas siap berlomba. Mereka ditantang mendaki gunung-gunung,
setinggi yang bisa mereka jelajahi, sejauh yang dapat mereka jalani.
Ketiga pemuda
itu harus menjelajah dan mendaki gunung tanpa alat bantu, dan hanya boleh
membawa bekal sekantong madu.
Pemuda pertama
telah pulang sore hari, ia membawa ranting pinus, bukti bahwa ia sudah mendaki
gunung yang tinggi. Sehari kemudian, menjelang pagi, pemuda kedua datang dengan
sepotong cadas keras di tangannya, bukti ia sudah mendaki gunung tertinggi.
Hari kembali larut dalam dekapan malam, pemuda ketiga belum juga datang,
dan...sehari kemudian dari kejauhan tampak pemuda itu tertatih-tatih. Ia tidak
membawa apa pun, tidak membawa ranting pinus atau cadas keras.
“Tetua, aku
sudah mendaki gunung yang tinggi, tempat di mana aku tidak lagi menemukan pohon
atau semak belukar. Aku tidak melihat bunga-bunga tumbuh di sana, aku hanya menemukan
batu karang dan tanah kering,” lapor pemuda itu kepada kepala suku. Lalu dengan
nada bangga pemuda itu meneruskan, “Tetapi aku telah melihat lautan luas yang
menyatu dengan langit. Di malam hari aku melihat rembulan begitu dekat dengan
wajahku. Aku menyentuh rembulan. Aku juga dikelilingi bintang-bintang...!”
Kepala suku
sangat bahagia, katanya, “Anakku, engkau sudah merasakan keras dan beratnya
menjadi sempurna, dan ketika engkau tidak lagi peduli membawa bukti
kesempurnaan, itu menandakan engkau tidak lagi butuh pengakuan karena engkau
telah menyatu dengan kehidupan yang sempurna.”
“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama
seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48). Kita dapat menjadi sempurna bukan
dengan cara mencari bukti-bukti dan menunjukkannya kepada banyak orang,
melainkan sempurna menurut pandangan Tuhan. tidak dengan mencari pengakuan
sebagai pelayan Tuhan paling baik dan berdedikasi. Atau pencitraan sebagai
dermawan. Namun dengan menjadi anak-anak-Nya yang memiliki kasih seluas lautan
untuk menjadi garam dunia. Mengasihi kawan dan lawan, sekutu maupun seteru.
Anak-anak Tuhan yang mengasihi semua orang seperti Bapa Surgawi “yang menerbitkan matahari bagi orang yang
jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang
yang tidak benar” (Matius 5:45).
Jadi jangan mengeluh dan berkata lebih dahulu, “Mana
ada orang sempurna?” atau “Gak mungkin
aku bisa melakukannya!” Tuhan menginginkan kita melakukan, pasti Dia memberi
kemampuan agar kita menjadi sempurna di hadapan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar