Kamis, 20 Februari 2014

HIDUP KUDUS DENGAN MEMBERLAKUKAN KASIH-NYA

Pesan penting Kitab Imamat bisa kita temukan dalam Imamat 19:2, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Apa artinya kudus, atau menjadi kudus? Apakah sama dengan suci, murni, dan bersih? “Kudus” merupakan kata serapan dari bahasa Arab, bahasa Ibraninya קָדוֹשׁ (qadosy), sedangkan bahasa Yunaninya ἅγιος  (hagios). Qadosy, dapat berati “terpisah” (dikhususkan, diistimewakan, berbeda dari apa pun). Demikian juga dengan kata hagios mempunyai dasar pemahaman yang sama dengan kata keterpisahan. Bila Allah disebut kudus, itu artinya Dia terpisah, dikhususkan, sangat berbeda, spesial, dan istimewa dari semua yang ada. Menguduskan Allah berarti memisahkan, mengkhususkan dan mengistimewakan Dia dari apa dan siapa pun. Orang yang menguduskan Allah berarti ia memilih hanya Allahlah yang patut dikhususkan, diistimewakan, dipisahkan dari yang lain untuk disembah, dimuliakan dan tempat satu-satunya untuk bergantung. Ketika seseorang menguduskan Allah maka secara otomatis ia akan memisahkan atau menjauhkan diri dari hal-hal yang dibenci Allah (dosa). Dan sebaliknya, ia akan berusaha menyenangkan Allah dengan melakukan kehendak-Nya. Di sinilah kudus sering dihubungkan dengan suci, murni dan bersih dari dosa. Jadi, sebenarnya suci, murni dan bersih itu adalah merupakan akibat dari hubungan yang baik antara manusia dengan Allah.
Dapatkah manusia memenuhi harapan hidup kudus sesuai dengan standar Allah, sementara manusia hidup di dunia penuh cemar? Apakah untuk memenuhi tuntutan hidup kudus itu, manusia harus benar-benar secara harafiah memisahkan diri dari masyarakat. Mengambil jarak lalu mengasingkan diri dan di sana ia menyembah Allah siang-malam? Jika kita telusuri konteks Imamat 19:2 dikaitkan dengan ayat-ayat berikutnya ternyata tidak seperti itu! Hidup kudus di hadapan Allah berarti mau hidup sesuai dengan maksud dan rencana-Nya; mau dipakai sebagai alat di tangan-Nya di tengah-tengah masyarakat. Dalam Imamat 9:9-10, dinyatakan bahwa orang kudus itu harus memelihara orang-orang miskin. Di sana Allah memberi petunjuk bagaimana caranya orang-orang miskin memperoleh makanan dari ladang serta kebun anggur. Hidup orang kudus itu ditandai dengan menjauhi kebohongan (19:12), tidak mengutuki dan mencelakakan orang-orang yang berkebutuhan khusus (tuli dan buta) serta tidak berbuat curang dalam peradilan (19:14-15). Lalu, ciri orang kudus lainnya,”Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.”(19:17,18).

Jika kita lihat konteks Imamat 19, perintah hidup kudus sangat erat kaitannya dengan melakukan tindakan kasih. Orang yang mengasihi atau menguduskan Allah mau tidak mau harus memberlakukan kasih-Nya. Mengapa? J.J. de Heer, penafsir Injil Matius menjawabnya, “karena sesungguhnya kasih merupakan undang-undang dasar Kerajaan Allah. Tanpa memberlakukan kasih, mustahil manusia dapat hidup kudus di hadapan Allah. Lalu kasih yang bagaimana? Kita lihat kembali Imamat 19:2, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Melalui ayat ini kita bisa menafsirkan jika tuntuan hidup kudus itu dikaitkan dengan kekudusan Tuhan, maka demikian juga dengan kasih. Kasih itu harusnya mengacu pada standar kasih Tuhan. Kasih yang bukan hanya dilakukan terhadap orang-orang yang sudah mengasihi kita saja, sebab Tuhan juga mengasihi semua orang termasuk yang membenci-Nya. Sebab kalau kita mengasihi orang yang mengasihi kita, itu tidak ada bedanya dengan pemungut cukai (orang berdosa). Yesus mengatakan, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi dia yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44). Tidak mudah, ya. Namun, begitulah standar menjadi anak-anak Tuhan. Kata Yesus,  “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga,...” (Mat.5:45).

Anak-anak harus menyerupai Bapanya. Anak-anak harus memiliki karakter kasih Sang Bapa! Allah menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar; dengan cara yang sama orang yang sungguh-sungguh mengaku anak Allah harus menunjukkan kasih kepada orang yang baik dan yang tidak baik.  Tidak bisa memilah-milah!

Dalam Matius 5:48, Yesus menutup dengan kata-kata, “haruslah kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di Sorga adalah sempurna”. Bukankah seruan Yesus ini sejajar dengan Imamat 19:2, “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu kudus.” dan Ulangan 18:13, “Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan TUHAN, Allahmu.” Mungkinkah kita sempurna dan tidak bercacat? Banyak orang mengatakan tidak mungkin! Bagian khotbah dibukit ini hanya mau memperlihatkan ketidak berdayaan kita dalam dosa. Apakah benar demikian?

Dalam bahasa Yunani, kata “sempurna” adalah teleios. Kata ini adalah bentuk kata sifat dari telos, yang berarti “tujuan” atau “maksud”. Perintah Yesus untuk menjadi sempurna dengan demikian berarti para murid harus dapat memenuhi tujuan dan maksud dirinya diciptakan oleh Tuhan. Kitab Kejadian memberitahu kita bahwa sejak semula manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej.1 :26). “Menjadi segambar dan serupa dengan Allah”, merupakan tujuan semula Allah menciptakan manusia. Dan karena gambar yang dominan tentang Allah adalah karakter kasih-Nya , tidak sulit bagi kita untuk memahami kesempurnaan yang dikehendaki Allah. Allah menghendaki kesempurnaan dari kita itu adalah dalam memberlakukan kasih yang sesuai dengan standar kasih Allah.

Dalam bukunya, “A Beautiful Heart”, Agus Santoso bercerita: Konon ada suku Indian yang memiliki tradisi menggelar kompetisi menjadi “Sang Sempurna”. Hari itu, saat fajar merekah, ada tiga pemuda bertubuh tegap, kekar dan cerdas siap berlomba. Mereka ditantang mendaki gunung-gunung, setinggi yang bisa mereka jelajahi, sejauh yang dapat mereka jalani.

Ketiga pemuda itu harus menjelajah dan mendaki gunung tanpa alat bantu, dan hanya boleh membawa bekal sekantong madu.

Pemuda pertama telah pulang sore hari, ia membawa ranting pinus, bukti bahwa ia sudah mendaki gunung yang tinggi. Sehari kemudian, menjelang pagi, pemuda kedua datang dengan sepotong cadas keras di tangannya, bukti ia sudah mendaki gunung tertinggi. Hari kembali larut dalam dekapan malam, pemuda ketiga belum juga datang, dan...sehari kemudian dari kejauhan tampak pemuda itu tertatih-tatih. Ia tidak membawa apa pun, tidak membawa ranting pinus atau cadas keras.

“Tetua, aku sudah mendaki gunung yang tinggi, tempat di mana aku tidak lagi menemukan pohon atau semak belukar. Aku tidak melihat bunga-bunga tumbuh di sana, aku hanya menemukan batu karang dan tanah kering,” lapor pemuda itu kepada kepala suku. Lalu dengan nada bangga pemuda itu meneruskan, “Tetapi aku telah melihat lautan luas yang menyatu dengan langit. Di malam hari aku melihat rembulan begitu dekat dengan wajahku. Aku menyentuh rembulan. Aku juga dikelilingi bintang-bintang...!”

Kepala suku sangat bahagia, katanya, “Anakku, engkau sudah merasakan keras dan beratnya menjadi sempurna, dan ketika engkau tidak lagi peduli membawa bukti kesempurnaan, itu menandakan engkau tidak lagi butuh pengakuan karena engkau telah menyatu dengan kehidupan yang sempurna.”

Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48). Kita dapat menjadi sempurna bukan dengan cara mencari bukti-bukti dan menunjukkannya kepada banyak orang, melainkan sempurna menurut pandangan Tuhan. tidak dengan mencari pengakuan sebagai pelayan Tuhan paling baik dan berdedikasi. Atau pencitraan sebagai dermawan. Namun dengan menjadi anak-anak-Nya yang memiliki kasih seluas lautan untuk menjadi garam dunia. Mengasihi kawan dan lawan, sekutu maupun seteru. Anak-anak Tuhan yang mengasihi semua orang seperti Bapa Surgawi “yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Matius 5:45).

Jadi jangan mengeluh dan berkata lebih dahulu, “Mana ada orang sempurna?” atau “Gak mungkin aku bisa melakukannya!” Tuhan menginginkan kita melakukan, pasti Dia memberi kemampuan agar kita menjadi sempurna di hadapan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar