Di negeri ini banyak yang
disapa dengan kata sandang “yang mulia”.
Hakim yang memimpin persidangan sebuah perkara akan dipanggil “yang mulia”.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering disebut “anggota dewan yang mulia
atau terhormat”. Para kepala negara dan pemerintahan; presiden, raja, perdana
menteri pasti didahului dengan kata “yang mulia” apabila disebut dalam pidato
kata sambutan. Demikian juga dengan para duta besar selalu disapa “yang mulia”.
Tak ketinggalan saudagar, tuan tanah dan orang kaya raya juga sering dipanggil
yang mulia. Jelaslah bagi kita bahwa gelar “yang mulia” itu bukan untuk sembarang
manusia. Gelar itu ada kaitan dengan kedudukan seseorang dalam komunitas atau pemerintahan.
Orang tersebut dipandang linuwih
harkatnya dari pada yang lain. Dampaknya, ada kebanggaan tersendiri bagi yang
menyandang gelar “yang mulia” itu. Gelar itu menguntungkannya karena merasa
diri dihormati orang banyak. Maka tidaklah mengherankan kalau manusia berlomba
mendapatkan gelar “yang mulia” itu. Salahkah? Tentu tidak, bahkan setiap manusia
harus mengejar untuk menjadikan dirinya mulia. Bukankah Tuhan juga sejak dari
awal penciptaan menjadi manusia makhluk yang mulia. Diberi-Nya kemuliaan, kuasa
dan hormat di atas ciptaan yang lain, begitulah gubahan Mazmur 8.
Sayang, cara pandang manusia
untuk menjadi “yang mulia” sering berbeda dengan keinginan Allah. Manusia
mengira dengan besarnya kekuasaan, tingginya ilmu pengetahuan, berlimpahnya
harta kekayaan di situlah letaknya kemuliaan; di sanalah ia merasa berharga, dihormat,
disanjung dan terpandang! Sehingga untuk mendapatkan itu semua, manusia rela
bertaruh apa saja. Ia akan menghalalkan segala macam cara untuk meraih
kemuliaan itu. Contohnya, untuk mendapat jabatan wakil rakyat yang mulia,
seorang calon anggota dewan (caleg) dapat mengumbar janji yang tidak mungkin
dipenuhinya, menjelekkan lawan politik, melanggar aturan main pemilu sampai
politik uang. Untuk menjadi hakim agung yang mulia atau hakim konstitusi
seorang calon rela menjual kebenaran dengan suap. Demikian juga untuk
mendapatkan kekayaan, banyak sekali cerita di sini yang menggambarkan orang
rela melakukan apa saja, termasuk memangsa sesamanya.
Sejatinya, sumber kemuliaan
yang sesungguhnya bukanlah takhta, jabatan, harta kekayaan atau pengetahuan
melainkan Allah itu sendiri. Allahlah sumber kemuliaan karena Dia Mahamulia!
Semakin dekat seseorang dengan Sumber itu, maka logikanya semakin mulia dia.
Sebaliknya, semakin jauh seseorang dari kawasan yang ilahi akan semakin tidak
mulia. Para ulama Yahudi menafsirkannya, karena kehadiran Allah itu diyakini
ada pada Bait Allah, maka orang yang paling dekat berada dalam lingkungan Bait
Allah itulah yang paling mulia. Semakin seseorang bisa dekat dengan ruang maha
kudus dalam Bait Allah, maka semakin dasyatlah kemuliaan orang itu. Dari
pemahaman ini kemudian para pemuka Yudaisme menyusun hirarki kemuliaan: semakin
jauh dari Bait Suci semakin tidak mulia. Apakah seharafiah itu untuk menjadi
makhluk mulia? Nyatanya orang yang dekat dengan kitab suci (ahli Taurat) sering
digambarkan sebagai orang-orang yang munafik!
Dalam minggu transfigurasi ini kita bisa belajar
tentang menjadi mulia. Transfigurasi Kristus adalah peristiwa Yesus dimuliakan
di atas gunung. Enam hari setelah Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias,
Yesus membawa tiga orang murid-Nya (Petrus, Yakobus dan Yohanes) ke sebuah
gunung yang tinggi. Di atas gunung itu,
Yesus berubah rupa (transfigur). “...wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan
pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang.”(Matius 17:2). Tampak
dua figur yang begitu dihormati dalam Perjanjian Lama: Musa (sebagai pembawa
Hukum TUHAN/Taurat) dan Elia (Sosok nabi yang sangat dihormati), kedua figur
ini berbicara dengan Yesus. Para murid terpesona melihat pemandangan yang
begitu mengagumkan. Petrus tidak mau peristiwa yang luar biasa ini berlalu
begitu saja. Maka ia berinisiatif untuk menahan lebih lama lagi kemuliaan yang
sedang ia nikmati itu. Caranya, dengan membuatkan tiga tenda: satu untuk Yesus,
satu untuk Musa dan satu lagi untuk Elia. Namun, belum lagi ide itu terlaksana,
terjadilah peristiwa yang lebih dasyat, “Dan
tiba-tiba sedang ia berkata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari
dalam awan itu terdengar suara yang berkata: ‘Inilah Anak yang Kukasihi,
kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia’.”(Matius 17:5). Sampai di
situ peristiwa transfigurasi. Setelah semuanya terjadi, Yesus mengajak mereka
turun dan meminta agar mereka jangan menceritakan peristiwa itu kepada seorang
pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.
Peristiwa transfigurasi Yesus
di atas gunung mau tidak mau mengingatkan orang pada peristiwa Musa di gunung
Sinai (Keluaran 25:12-18). Ada beberapa unsur tampil sama, antara lain: Musa
naik ke atas gunung, demikian juga dengan Yesus. Setelah enam hari barulah Musa
dipanggil, setelah enam hari dari pernyataan Petrus, Yesus mengalami kemuliaan.
Wajah Yesus yang bercahaya, pakaian-Nya yang bersinar terang, awan terang yang
menaungi dan suara dari dalam awan menampakkan situasi kehadirat ilahi. Ada
figur ilahi yang hadir pada saat itu. Unsur-unsur yang dulu hadir ketika Musa
naik ke atas gunung Sinai kini hadir juga dalam diri Yesus. Hal ini seolah mau
menekankan sekali lagi tentang identitas Yesus sebagai Musa yang baru. Tetapi
semua itu bukanlah faktor yang paling penting atau utama. Wajah bersinar,
pakaian berkilau, dan awan yang terang benerang hanyalah ornamen! Yang penting
adalah suara dari dalam awan itu. Suara itu menyatakan kepada para murid bahwa
Yesus adalah Anak yang dikasihi Allah dan bahwa kepada-Nya Allah berkenan. Hal
yang sama sudah dinyatakan ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan.
Yang membedakan adalah perintah yang mengikuti pernyataan tersebut. Suara itu
memerintahkan para murid untuk mendengarkan Yesus. Maka Douglas R.A. Hare tidak
menyebut peristiwa transfigurasi ini sebagai tofani (penampakan Allah) melainkan sebagai Kristofani, yakni pernyataan mengenai Yesus yang adalah Kristus.
Yang utama dalam peristiwa
transfigurasi Yesus bukanlah penglihatan tentang keliauan cahaya dan awan yang
terang-benerang, melainkan penyataan Allah sendiri. Melihat dan memaknai kemuliaan
Yesus hanya berarti bila penglihatan itu membawa para murid untuk mendengar
ajaran ilahi dalam kepenuhan ketaatan. Perintah untuk mendengarkan Dia
menegaskan figur Yesus sebagai guru. Bagian-bagian Injil setelah trasfigurasi
ini akan sangat diwarnai oleh berbagai pengajaran Yesus. Para murid diminta
untuk mendengarkan Yesus yang mengajar mereka. Pernyataan dari awan ini
sepertinya menggemakan kembali pernyataan Musa dalam Ulangan 18:15. Di sana
Musa mengatakan, “Seorang nabi dari
tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan
dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu, dialah yang harus kamu dengarkan.”
Yesus adalah seorang nabi seperti Musa, tetapi Ia lebih daripada Musa! Dalam
pengajaran-Nya, Yesus menyatakan kehendak Allah bagi diri-Nya dan bagi para
pengikut-Nya. Yesus berbicara mengenai derita dan kematian-Nya dan juga bicara
mengenai kaidah-kaidah etik yang mesti dipegang oleh mereka yang mengikuti-Nya.
Ajaran etik Yesus tidak bisa dipisahkan dari pemahaman-Nya akan keharusan
penderitaan-Nya (Sumber: St.Eko Riyadi,Pr.,
“MATIUS: ‘Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah’”. Kanisius 2011.h.155,156).
Transfigurasi mengajarkan
kepada kita untuk menjadi “yang mulia”. Petrus sempat terkecoh, ia terpana
karena melihat dengan matanya perubahan wujud Kristus. Petrus silau dengan
kemilaunya penampilan Yesus sehingga ia ingin menahan dan membuat pemandangan
itu dinikmati lebih lama lagi, caranya dengan ide membuat kemah. Banyak orang
silau dengan kemuliaan semua: takhta, jabatan, dan harta kekayaan, sehingga
berusaha menahan dan menggenggamnya lebih lama. Namun, ternyata kemuliaan yang
sesungguhnya bukan di sana. Firman Tuhan, kisah transfigurasi mengajarkan bahwa
hanya ada satu jalan untuk menjadi yang mulia itu, yakni dengan mendengarkan
Dia! Mendengarkan berarti tidak hanya memahami dan mengerti saja, melainkan
lebih jauh dari itu, yakni dengan berlakukan apa yang menjadi kehendak-Nya.
Yesus sebagai contoh manusia mulia. Kemuliaan-Nya diperoleh bukan dengan cara pamer
kekuasaan, mencari popularitas dan pencitraan. Allah memuliakan Dia, oleh
karena Dia taat dan setia bahkan sampai mati di kayu salib. Dengan begitu Allah
memberikan kemuliaan, nama di atas segala nama (Filipi 2:5-11).
Jadi jika kita ingin hidup mulia, carilah kemuliaan
itu dengan melakukan kehendak-Nya! Jika dipercaya jadi wakil rakyat, perjuangkanlah kepentingan rakyat. Jadi Hakim, tegakanlah kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Menjadi guru, ajar dan didiklah anak-anak dengan cinta kasih, dan seterusnya. Mungkin kekayaan Anda tidak seperti para pejabat korup, tetapi di situlah justeru letak kemuliaan yang sesungguhnya! Anda akan dikenang sebagai orang yang mulia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar