Kamis, 27 Februari 2014

HIDUP MULIA DALAM KEMULIAAN TUHAN

Di negeri ini banyak yang disapa dengan kata sandang “yang mulia”. Hakim yang memimpin persidangan sebuah perkara akan dipanggil “yang mulia”. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering disebut “anggota dewan yang mulia atau terhormat”. Para kepala negara dan pemerintahan; presiden, raja, perdana menteri pasti didahului dengan kata “yang mulia” apabila disebut dalam pidato kata sambutan. Demikian juga dengan para duta besar selalu disapa “yang mulia”. Tak ketinggalan saudagar, tuan tanah dan orang kaya raya juga sering dipanggil yang mulia. Jelaslah bagi kita bahwa gelar “yang mulia” itu bukan untuk sembarang manusia. Gelar itu ada kaitan dengan kedudukan seseorang dalam komunitas atau pemerintahan. Orang tersebut dipandang linuwih harkatnya dari pada yang lain. Dampaknya, ada kebanggaan tersendiri bagi yang menyandang gelar “yang mulia” itu. Gelar itu menguntungkannya karena merasa diri dihormati orang banyak. Maka tidaklah mengherankan kalau manusia berlomba mendapatkan gelar “yang mulia” itu. Salahkah? Tentu tidak, bahkan setiap manusia harus mengejar untuk menjadikan dirinya mulia. Bukankah Tuhan juga sejak dari awal penciptaan menjadi manusia makhluk yang mulia. Diberi-Nya kemuliaan, kuasa dan hormat di atas ciptaan yang lain, begitulah gubahan Mazmur 8.

Sayang, cara pandang manusia untuk menjadi “yang mulia” sering berbeda dengan keinginan Allah. Manusia mengira dengan besarnya kekuasaan, tingginya ilmu pengetahuan, berlimpahnya harta kekayaan di situlah letaknya kemuliaan; di sanalah ia merasa berharga, dihormat, disanjung dan terpandang! Sehingga untuk mendapatkan itu semua, manusia rela bertaruh apa saja. Ia akan menghalalkan segala macam cara untuk meraih kemuliaan itu. Contohnya, untuk mendapat jabatan wakil rakyat yang mulia, seorang calon anggota dewan (caleg) dapat mengumbar janji yang tidak mungkin dipenuhinya, menjelekkan lawan politik, melanggar aturan main pemilu sampai politik uang. Untuk menjadi hakim agung yang mulia atau hakim konstitusi seorang calon rela menjual kebenaran dengan suap. Demikian juga untuk mendapatkan kekayaan, banyak sekali cerita di sini yang menggambarkan orang rela melakukan apa saja, termasuk memangsa sesamanya.

Sejatinya, sumber kemuliaan yang sesungguhnya bukanlah takhta, jabatan, harta kekayaan atau pengetahuan melainkan Allah itu sendiri. Allahlah sumber kemuliaan karena Dia Mahamulia! Semakin dekat seseorang dengan Sumber itu, maka logikanya semakin mulia dia. Sebaliknya, semakin jauh seseorang dari kawasan yang ilahi akan semakin tidak mulia. Para ulama Yahudi menafsirkannya, karena kehadiran Allah itu diyakini ada pada Bait Allah, maka orang yang paling dekat berada dalam lingkungan Bait Allah itulah yang paling mulia. Semakin seseorang bisa dekat dengan ruang maha kudus dalam Bait Allah, maka semakin dasyatlah kemuliaan orang itu. Dari pemahaman ini kemudian para pemuka Yudaisme menyusun hirarki kemuliaan: semakin jauh dari Bait Suci semakin tidak mulia. Apakah seharafiah itu untuk menjadi makhluk mulia? Nyatanya orang yang dekat dengan kitab suci (ahli Taurat) sering digambarkan sebagai orang-orang yang munafik!

Dalam minggu transfigurasi ini kita bisa belajar tentang menjadi mulia. Transfigurasi Kristus adalah peristiwa Yesus dimuliakan di atas gunung. Enam hari setelah Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, Yesus membawa tiga orang murid-Nya (Petrus, Yakobus dan Yohanes) ke sebuah gunung yang tinggi. Di atas gunung  itu, Yesus berubah rupa (transfigur). “...wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang.”(Matius 17:2). Tampak dua figur yang begitu dihormati dalam Perjanjian Lama: Musa (sebagai pembawa Hukum TUHAN/Taurat) dan Elia (Sosok nabi yang sangat dihormati), kedua figur ini berbicara dengan Yesus. Para murid terpesona melihat pemandangan yang begitu mengagumkan. Petrus tidak mau peristiwa yang luar biasa ini berlalu begitu saja. Maka ia berinisiatif untuk menahan lebih lama lagi kemuliaan yang sedang ia nikmati itu. Caranya, dengan membuatkan tiga tenda: satu untuk Yesus, satu untuk Musa dan satu lagi untuk Elia. Namun, belum lagi ide itu terlaksana, terjadilah peristiwa yang lebih dasyat, “Dan tiba-tiba sedang ia berkata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: ‘Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia’.”(Matius 17:5). Sampai di situ peristiwa transfigurasi. Setelah semuanya terjadi, Yesus mengajak mereka turun dan meminta agar mereka jangan menceritakan peristiwa itu kepada seorang pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.

Peristiwa transfigurasi Yesus di atas gunung mau tidak mau mengingatkan orang pada peristiwa Musa di gunung Sinai (Keluaran 25:12-18). Ada beberapa unsur tampil sama, antara lain: Musa naik ke atas gunung, demikian juga dengan Yesus. Setelah enam hari barulah Musa dipanggil, setelah enam hari dari pernyataan Petrus, Yesus mengalami kemuliaan. Wajah Yesus yang bercahaya, pakaian-Nya yang bersinar terang, awan terang yang menaungi dan suara dari dalam awan menampakkan situasi kehadirat ilahi. Ada figur ilahi yang hadir pada saat itu. Unsur-unsur yang dulu hadir ketika Musa naik ke atas gunung Sinai kini hadir juga dalam diri Yesus. Hal ini seolah mau menekankan sekali lagi tentang identitas Yesus sebagai Musa yang baru. Tetapi semua itu bukanlah faktor yang paling penting atau utama. Wajah bersinar, pakaian berkilau, dan awan yang terang benerang hanyalah ornamen! Yang penting adalah suara dari dalam awan itu. Suara itu menyatakan kepada para murid bahwa Yesus adalah Anak yang dikasihi Allah dan bahwa kepada-Nya Allah berkenan. Hal yang sama sudah dinyatakan ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan. Yang membedakan adalah perintah yang mengikuti pernyataan tersebut. Suara itu memerintahkan para murid untuk mendengarkan Yesus. Maka Douglas R.A. Hare tidak menyebut peristiwa transfigurasi ini sebagai tofani (penampakan Allah) melainkan sebagai Kristofani, yakni pernyataan mengenai Yesus yang adalah Kristus.

Yang utama dalam peristiwa transfigurasi Yesus bukanlah penglihatan tentang keliauan cahaya dan awan yang terang-benerang, melainkan penyataan Allah sendiri. Melihat dan memaknai kemuliaan Yesus hanya berarti bila penglihatan itu membawa para murid untuk mendengar ajaran ilahi dalam kepenuhan ketaatan. Perintah untuk mendengarkan Dia menegaskan figur Yesus sebagai guru. Bagian-bagian Injil setelah trasfigurasi ini akan sangat diwarnai oleh berbagai pengajaran Yesus. Para murid diminta untuk mendengarkan Yesus yang mengajar mereka. Pernyataan dari awan ini sepertinya menggemakan kembali pernyataan Musa dalam Ulangan 18:15. Di sana Musa mengatakan, “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu, dialah yang harus kamu dengarkan.” Yesus adalah seorang nabi seperti Musa, tetapi Ia lebih daripada Musa! Dalam pengajaran-Nya, Yesus menyatakan kehendak Allah bagi diri-Nya dan bagi para pengikut-Nya. Yesus berbicara mengenai derita dan kematian-Nya dan juga bicara mengenai kaidah-kaidah etik yang mesti dipegang oleh mereka yang mengikuti-Nya. Ajaran etik Yesus tidak bisa dipisahkan dari pemahaman-Nya akan keharusan penderitaan-Nya (Sumber: St.Eko Riyadi,Pr., “MATIUS: ‘Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah’”. Kanisius 2011.h.155,156).

Transfigurasi mengajarkan kepada kita untuk menjadi “yang mulia”. Petrus sempat terkecoh, ia terpana karena melihat dengan matanya perubahan wujud Kristus. Petrus silau dengan kemilaunya penampilan Yesus sehingga ia ingin menahan dan membuat pemandangan itu dinikmati lebih lama lagi, caranya dengan ide membuat kemah. Banyak orang silau dengan kemuliaan semua: takhta, jabatan, dan harta kekayaan, sehingga berusaha menahan dan menggenggamnya lebih lama. Namun, ternyata kemuliaan yang sesungguhnya bukan di sana. Firman Tuhan, kisah transfigurasi mengajarkan bahwa hanya ada satu jalan untuk menjadi yang mulia itu, yakni dengan mendengarkan Dia! Mendengarkan berarti tidak hanya memahami dan mengerti saja, melainkan lebih jauh dari itu, yakni dengan berlakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Yesus sebagai contoh manusia mulia. Kemuliaan-Nya diperoleh bukan dengan cara pamer kekuasaan, mencari popularitas dan pencitraan. Allah memuliakan Dia, oleh karena Dia taat dan setia bahkan sampai mati di kayu salib. Dengan begitu Allah memberikan kemuliaan, nama di atas segala nama (Filipi 2:5-11).

Jadi jika kita ingin hidup mulia, carilah kemuliaan itu dengan melakukan kehendak-Nya!  Jika dipercaya jadi wakil rakyat, perjuangkanlah kepentingan rakyat. Jadi Hakim, tegakanlah kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Menjadi guru, ajar dan didiklah anak-anak dengan cinta kasih, dan seterusnya. Mungkin kekayaan Anda tidak seperti para pejabat korup, tetapi di situlah justeru letak kemuliaan yang sesungguhnya! Anda akan dikenang sebagai orang yang mulia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar