Secara histori-politis orang dapat
saja beranggapan bahwa menyingkirnya Yesus ke Galilea (Matius adalah sebuah upaya menghindar dari tekanan
kekuasaan yang berusaha memberangus gerakan moral yang dimotori oleh Yohanes
Pembaptis. Yohanes ditangkap penguasa, lantaran ia berani menegur Herodes atas
ulah tak bermoral dari sang penguasa itu. Herodes bermaksud menceraikan
istrinya lalu berniat mengambil Herodias - yang pada saat itu adalah istri dari
Filipus, sudaranya - menjadi istrinya (Matius 14:3). Mau tidak mau orang pada
saat itu, akan menilai Yesus simpatisan atau anggota gerakan moral kelompok
Yohanes Pembaptis. Mengapa? Sederhana saja, karena Yesus sebelumnya telah
menerima baptisan Yohanes. Yesus tidak mengabungkan diri dengan kelompok Zelot,
Esseni, Farisi atau Saduki. Pastilah penguasa yang sedang berang itu akan menumpas
juga pendukung Yohanes Pembaptis, untuk itulah Yesus melarikan diri ke wilayah
Galilea. Namun, dalam pandangan penulis Injil Matius, menyingkirnya Yesus dari
Yudea ke Galilea bukanlah masalah politis belaka. Mengapa? Supaya Yesus mengawali pelayanan-Nya
di Galilea! Namun bukankah Galilea merupakan wilayah yang juga dihuni oleh
banyak orang-orang asing dan merupakan bagian Israel yang oleh orang Yudea
dipertanyakan kemurniannya? Dalam kerangka pikir Matius, awal pelayanan di
Galilea ini punya makna tersendiri, yakni penggenapan dari Yesaya 8:23-9:1.
Matius mencatat, “Ia meninggalkan Nazaret
dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi
Yesaya: ‘Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang
sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, bangsa yang diam dalam
kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri
yang dianaungi maut, telah terbit Terang.’”(Matius 4:13-16). Di Kapernaun,
Yesus memulai karya pelayanan publik-Nya. Yesus melanjutkan seruan pertobatan
yang diwartakan Yohanes, “Bertobatlah
sebab Kerajaan Surga sudah dekat!” (Matius 3:2; 4:17).
Pesan utama dalam hidup dan
pelayanan Yesus adalah pewartaan dan pewujudnyataan Kerajaan Allah. Kalau
Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan untuk menyambut Kerajaan Allah itu,
maka Yesus menyatakan diri-Nya adalah perwujudan dari Kerajaan Allah itu
sendiri. Kini, Kerajaan Allah itu bukan lagi urusan masa depan, tetapi sudah
ada sekarang. Kehadiran Kerajaan Allah itu bukan dalam bentuk penghakiman dan
pemusnahan orang-orang berdosa serta pemulihan kejayaan Israel, melainkan
jawaban keberpihakan Allah kepada manusia yang hidup dalam kekelaman. Bela rasa
Allah yang membebaskan kini dinyatakan dalam diri Yesus. Kehadiran yang sudah
ada sekarang ini mungkin masih tersembunyi, belum jelas, seperti harta yang
terpendam (bnd. Matius 13:44) atau benih yang tumbuhnya tidak kelihatan (bnd.
Markus 4:26-29). Meskipun demikian, kehadiran itu sungguh nyata. Bentuk perumpamaan
yang digunakan dalam pengajaran Yesus dimaksudkan untuk menyadarkan para
pendengarnya terhadap kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah mereka. Ia
menyadarkan banyak orang bahwa kehadiran ilahi dapat dijumpai dalam kehidup-Nya
sendiri di mana Ia menyapa dan memulihkan orang-orang yang menangis (miskin,
buta, lumpuh, kusta, lapar dan sengsara). Membebaskan orang yang dikuasai oleh
roh kejahatan dan keserakahan (pendosa, pelacur, pemungut cukai, kerasukan
setan). Memulihkan harkat orang-orang kecil (teraniaya, terinjak, terpenjara,
berbeban berat, rakyat gembel yang tidak tahu hukum, anak-anak kecil, dan
domba-domba yang hilang dari Israel). Yesus menyatakan, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka
sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.”(Matius 12:28).
Kalau dulu suara Yohanes
Pembaptis membuat murka Herodes, raja boneka Roma di Yudea, kini tak pelak lagi
apa yang dilakukan Yesus menjadi ancama bagi lembaga-lembaga formal Yudaisme
yang mengklaim diri sebagai pemegang otoritas hak menguasai kehadiran Allah
dengan mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi kalau seseorang ingin sampai
ke hadirat Allah khususnya di seputar Bait Allah. Yesus menolak pandangan
mereka yang membatasi kehadiran Allah hanya pada tempat dan ritual tertentu.
Justeru kini, di dalam diri-Nya, bukan lagi manusia yang bersusah payah dengan
ritual-ritual tertentu agar bisa menjumpai Allah melainkan Allah, Sang Bapa
itulah yang mencari dan berkenan menyapa mereka.
Bicara tentang Kerajaan Allah
tidaklah mungkin dilepaskan dari konteks politik. Pada zaman Yesus, berpolitik
berarti berbicara siapa yang akan berkuasa dan menjadi raja. Dalam bahasa
Inggris dapat dibedakan dua kata abstrak kingship
(berkuasanya seseorang sebagai raja) dan kingdom (kerajaan), semua berhubungan dengan kata “raja”. Namun,
pembedaan seperti itu tidak dipahami dalam bahasa Yunani, Ibrani, maupun Aram.
Kata Yunani basilea dapat berarti
kedua-duanya: raja dan sekaligus wilayah kekuasaan kerajaannya. Sampai sekarang
orang sering beranggapan basileia Allah
(Kerajaan Allah) melulu diletakkan pada eskatologis, maksudnya “nanti dan di
sana”, bukan kini dan di sini. Padahal basileia
Allah yang sedang diwujudkan Yesus mencakup kurun waktu kekinian. Basileia Allah berarti datangnya
kekuasaan politis Allah menggantikan kekuasaan Si jahat.
Apa yang terjadi jika
kekuasaan politis Allah menggantikan kekuatan Si Jahat? Yesus menyatakan bahwa
kekuasaan politis ilahi akan membalikkan semua pandangan manusia tentang kekuasaan.
Orang-orang kaya dan berkuasa akan diturunkan dan menjadi rendah dan
orang-orang miskin akan ditinggikan. Simaklah ungkapan-uangkapan di bawah ini:
“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya ‘basileia’
Allah” (Lukas 6:20).
“Aku akan menentukan hak-hak basileia bagi kamu....dan kamu akan duduk
di atas takhta untuk menghakimi....”(Lukas 22:29,30).
“Jangan takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan
memberikan kamu ‘basileia’ itu.” (Lukas 12:32).
“Celakalah kamu, hai kamu yang kaya....”(Lukas 6:20,24)
“Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa
merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Lukas 14:11).
Namun, ini tidak berarti bahwa
dalam struktur Kerajaan Allah penindas dan yang ditindas hanya sekedar bertukar
tempat saja, sebab kalau hal ini terjadi maka akan melanggengkan penindasan itu
sendiri. Dulunya si tertindas menjadi miskin dan menderita oleh si penindas,
kini posisinya terbalik. Si tertindas kini punya kesempatan untuk membalas si
penindas. Jelas bukan begini ide tentang Kerajaan Allah! Dalam kekuasaan
Kerajaan Allah akan menjadi sama sekali lain, tidak ada lagi penindasan. Penindasan
diakhiri. Kekuasaan yang sedang dihadapi Yesus adalah kekuasaan Si Jahat,
kekuasaan yang menindas, sedangkan kekuasaan Kerajaan Allah adalah kekuasaan
yang melayani dan memerdekakan.
Hampir semua kekuasaan di
dunia ini diatur oleh penguasa dengan mengandalkan kekuatan yang cenderung
korup dan menindas. Namun, struktur Kerajaan Allah akan diwarnai oleh kekuasaan
pelayanan penuh kasih yang diberikan dengan sukacita satu kepada yang lain.
Yesus menggambarkannya begini:
“Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa
memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan
kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa
ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan
barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi
banyak orang.” (Markus 10:42-45)
Ada dua cara yang saling
bertolak belakang dalam mengerti dan melaksanakan kekuasaan. Yang satu adalah “penguasaan”
atau penaklukan dan yang lain adalah “pelayanan”. Kekuasaan yang ditampilkan
Yesus sebagai representasi Kerajaan Allah bukanlah kekuasaan “sang penakluk”
yang harus dilayani dan disanjung. Kekuasaan itu sepenuhnya baru oleh karena
bertitik tolak dari bela rasa Allah yang peduli terhadap penderitaan manusia
sehingga mau melayani. Kekuasaan ini sama sekali tidak mementingkan diri
sendiri sehingga siap melayani orang kendatipun harus mempertaruhkan nyawa.
Nah, sekarang kita berada pada posisi mana? Apakah
dalam ruang lingkup Kerajaan Allah? Atau masih dalam kuasa kegelapan? Jika
hidup kita masih menuntut dilayani, diperhatikan, disanjung, diutamakan,
dimengerti, dan kata-kata yang sejenis dengan itu, maka kita masih hidup di
tanah Zebulon dan Naftali, wilayah yang sering dipandang sebagai “kegelapan”.
Tatapi jangan menutup diri, justeru di wilayah “gelap” itu Terang telah
bercahaya, maukah kita menyambut terang itu? Tinggalkanlah seluruh nafsu
egoisme, keinginan untuk menguasai dan menaklukan orang lain, gantilah dengan
semangat melayani maka kita akan merasakan dan mengalami Kerajaan Allah itu
sudah datang! Dengan begitu Anda dan saya akan merasakan betapa bahagianya
berada dalam ruang lingkup Kerajaan-Nya. Tak ada yang bisa menggantikan
kebahagiaan itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar