Sabtu, 04 Januari 2014

CAMPUR TANGAN ALLAH DALAM KEHIDUPAN


Dalam budaya Timur, termasuk di Indonesia pada umumnya seseorang yang memutuskan untuk menikah menginginkan kehadiran seorang anak. Pasangan suami-isteri yang telah menikah beberapa bulan, misalnya akan menghadapi pertanyaan dari kerabatnya, “Sudah ‘isi’ belum?” Maksud pertanyaan itu apakah isteri pasangan itu sudah mengandung. Bayangkan kalau pertanyaan itu ditanyakan terus sementara sang isteri belum kunjung hamil setelah bertahun-tahun. Tentu pasangan itu akan stres. Banyak pasangan kemudian mengupayakan kehamilan dengan pelbagai cara. Ada cara kedokteran moderen, namun banyak juga yang menggunakan cara-cara tradisional yang terkadang tidak masuk akal. Nah, bayangkan juga kalau upaya-upaya itu tidak membuahkan hasil? Masihkah ada cara lain? Ada, yakni dengan adopsi!

Adopsi adalah tindakan mengambil seorang anak ke dalam keluarganya sendiri sesuai dengan kondisi hukum yang berlaku. Dengan mengadopsi anak maka pasangan yang tadinya tidak mempunyai anak kini dimungkinkan meskipun bukan darah dagingnya sendiri. Namun, di mata hukum statusnya sama seperti anak sendiri. Idealnya seperti itu. Kenyataannya untuk kondisi di Indonesia tentu tidaklah mudah. Ada proses yang panjang, syarat-syarat yang harus dipenuhi pun tidak mudah. Alih-alih memenuhi angan mempunyai anak, bisa dituding melakukan perdagangan bayi, jika tidak sanggup memenuhi persyaratan itu.

Dalam dunia Romawi, adopsi adalah prosedur hukum yang sudah lazim dilakukan. Contoh yang paling terkenal adalah adopsi Julius Caesar oleh pamannya Oktavianus. Julius Caesar di kemudian hari mewarisi takhta kekaisaran Romawi. Dalam proses adopsi di dunia Helenistik ada tiga hal yang terjadi:

1.       Seorang anak yang diadopsi akan kehilangan semua hak dari keluarganya semula. Ia tidak lagi menjadi anak dari si ayah kandungnya namun kini ia mendapatkan semua hak-hak yang baru dari bapak yang baru.

2.       Sebagai konsekwensi dari butir pertama, anak yang baru diadopsi menjadi pewaris yang nyata dari ayah barunya tidak peduli berapa anak kandung yang ada dari ayahnya yang baru, ia tidak boleh dibedakan. Hak seorang anak adopsi adalah sama seperti anak-anak kandung sang ayah baru itu.

3.       Semua utang dan tanggungan hukum lainnya akan dihapuskan dan ditebus oleh si ayah baru. Ketetapan hukum dari seorang anak yang diadopsi sekarang benar-benar menjadi baru. William Barclay mengutip sebuah kasus dalam sejarah Romawi yang menunjukkan tentang perubahan status hukum itu. Kaisar Roma Claudius mengadopsi Nero hingga Nero kemudian bisa menggantikan “ayahnya” menjadi Kaisar. Claudius memiliki seorang putri bernama Octavia. Nero jatuh cinta pada Octavia dan ingin menikahinya. Secara biologis mereka bukan saudara sedarah namun, secara hukum, kini mereka saudara. Sekarang, mereka adalah kakak-beradik tidak bisa menikah.

Deon Cassius memberitahu kita bahwa Hukum Romawi memberikan otoritas mutlak kepada ayah atas anaknya. Jika sang ayah memilih untuk memenjarakan dia, mencambuknya, untuk bekerja pada tanah miliknya sebagai budak yang dibelenggu, bahkan memberikan kebebasan untuk membunuh sang anak. Di bawah hukum Romawi, seorang anak tidak dapat memiliki apa-apa, kecuali diberikan oleh sang ayah. Masa depan seorang anak sangat ditentukan oleh campur tangan ayahnya.  

Melalui ungkapan “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,”(Efesus 1:5) Paulus bermaksud menegaskan apa yang telah Allah lakukan untuk kita. Sama seperti yang dilakukan oleh Oktavianus terhadap Julius Caesar dan Claudius kepada Nero, Allah melakukan prosesi “adopsi” terhadap kita. Siapa “kita” itu? “Kita” adalah orang-orang yang percaya kepada Sang Firman yang menjadi Manusia. Yohanes 1:12 mengatakan, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;” Tentu, sama seperti sebuah proses adopsi, seorang “ayah baru” menawarkan kebaikannya untuk mengadopsi seorang anak, anak itu akan menjadi anak dari ayah yang baru jika si anak menerima tawaran itu. Jika tidak, maka proses adopsi itu tidak pernah akan terjadi. Allah menawarkan kepada semua orang untuk menjadi anak-anak-Nya tidak dengan paksaan, melainkan dengan tawaran kasih.

Sebelum menyadari keberdosaan kita, Allah telah melakukan tindakan penebusan di dalam Kristus. Mereka yang menyambut-Nya akan dibebaskan dari “bawah otoritas ayah lamanya”. Siapa “ayah lama kita?” Yohanes 8:44 mengatakan, “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.“  Iblislah yang membelenggu manusia. Kesengsaraan dan penderitaan dialami manusia akibat dosa pemberontakan kepada Allah. Gambaran ini tercermin dalam sejarah Israel. Ketika mereka hidup dalam kuasa Iblis, jauh dari Allah maka mereka mengalami penderitaan. Penindasan dan pembuangan ke Babel adalah buah dari kehidupan dalam dosa. Namun, ketika mereka berseru dan bertobat, Allah bersedia menjadi “Bapa” yang merancangkan dan memimpin kepada kebaikan, Yeremia 31:9 mengambarkannya, “Dengan menangis mereka datang, dengan hiburan Aku membawa mereka; Aku akan membawa mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel, Efraim adalah anak sulung-Ku.”

Ketika Israel dibebaskan dari otoritas kuasa Iblis artinya sekarang mereka sudah berada pada otoritas Allah. Allahlah yang mengendalikan seluruh kehidupan mereka. Ketika Anda dan saya menyadari bahwa kita berada dalam kungkungan “ayah kita yang lama” yakni kuasa Si Jahat dan bertobat serta menyambut penebusan di dalam Yesus, maka Allah pun kini menjadi Bapa bagi kita. Bapa yang pasti lebih baik dari pada Oktavianus dan Claudius yang mewariskan takhta mereka kepada anak-anak adopsinya. Allah, Bapa kita di dalam Yesus Kristus telah menyiapkan warisan yang tidak dapat dirampas oleh siapa pun, yakni Kerajaan Allahdan hidup kekal! Kini, bagian dari kita adalah mempersilahkan Dia mengatur dan merencanakan hidup kita.

Yesus pernah mengingatkan bahwa setiap orang yang memandang Allah sebagai Bapanya maka konsekwensinya ia akan mengasihi-Nya dan mengerti bahasa-Nya (Yohanes 8:42-43). Orang yang memandang Allah sebagai Bapanya, pasti hatinya terbuka bagi Dia dan seluruh hidupnya mau diatur sesuai dengan recana-Nya. Di mana kita bisa mendengar rencana-Nya? Di dalam Firman-Nya serta di hati kita! Firman itu telah menjadi manusia di dalam Kristus, kini tinggal hati kita untuk menyambut-Nya. Ada suatu legenda yang bercerita tentang bagaimana awal dari segala ciptaan. Saat itu Allah mengajak diskusi para malaikat-Nya tentang bagaimana Ia bersembunyi di dalam ciptaan-Nya supaya setiap ciptaan dapat mencari dan memuliakan nama-Nya. Salah satu malaikat mengajukan usul, “Tuhan, kenapa Engaku tidak bersembunyi saja di dalam perut bumi?” Lalu Tuhan menjawab, “Tidak! Itu bukan ide yang baik. Tidak akan memerlukan waktu yang lama bagi mereka untuk mengetahui cara menambang dan menemukan seluruh harta karun di dalam bumi. Mereka akan menemukan Aku dalam sekejap dan mereka tidak punya waktu untuk berkembang, lalu mereka merasa puas diri!”

“Mengapa Anda tidak bersembunyi di dalam bulan?” Saran malaikat kedua. Allah tampak berpikir, lalu menjawab, “Tidak! Ini akan memakan waktu sedikit lama tetapi tidak cukup panjang sebelum akhirnya mereka menemukan cara terbang ke angkasa. Mereka akan mendarat ke bulan, mengeksplorasi rahasia itu, dan akhirnya dapat menemukan Aku dalam waktu yang terlalu cepat. Mereka belum mempunyai waktu yang lama untuk berkembang.”

Malaikat-malaikat itu kehabisan akal tentang ide tempat bersembunyi Tuhan yang tidak mudah diketemukan sebelum ciptaan-Nya tubuh kembang dalam spiritualitas yang benar. Mereka hening untuk beberapa saat.

“Saya tahu!” seru salah satu malaikat. “Kenapa Anda tidak bersembunyi di dalam hati mereka? Mereka tidak berpikir akan mencari Anda di sana.” Tepat sekali kata Allah. Sejak itu Tuhan Allah bersembunyi di setiap hati ciptaan-Nya. Sampai tiba saatnya, ketika makhluk ciptaan-Nya sudah mengalami perkembangan di dalam spiritualitas, mempunyai kerinduan dan mencari-Nya di dalam hatinya sendiri.  Tuhan sudah ada, hadir dalam hati kita, apakah kita peka dengan keberadaan-Nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar