Dalam budaya Timur, termasuk
di Indonesia pada umumnya seseorang yang memutuskan untuk menikah menginginkan
kehadiran seorang anak. Pasangan suami-isteri yang telah menikah beberapa
bulan, misalnya akan menghadapi pertanyaan dari kerabatnya, “Sudah ‘isi’ belum?”
Maksud pertanyaan itu apakah isteri pasangan itu sudah mengandung. Bayangkan
kalau pertanyaan itu ditanyakan terus sementara sang isteri belum kunjung hamil
setelah bertahun-tahun. Tentu pasangan itu akan stres. Banyak pasangan kemudian
mengupayakan kehamilan dengan pelbagai cara. Ada cara kedokteran moderen, namun
banyak juga yang menggunakan cara-cara tradisional yang terkadang tidak masuk
akal. Nah, bayangkan juga kalau upaya-upaya itu tidak membuahkan hasil?
Masihkah ada cara lain? Ada, yakni dengan adopsi!
Adopsi adalah tindakan
mengambil seorang anak ke dalam keluarganya sendiri sesuai dengan kondisi hukum
yang berlaku. Dengan mengadopsi anak maka pasangan yang tadinya tidak mempunyai
anak kini dimungkinkan meskipun bukan darah dagingnya sendiri. Namun, di mata
hukum statusnya sama seperti anak sendiri. Idealnya seperti itu. Kenyataannya
untuk kondisi di Indonesia tentu tidaklah mudah. Ada proses yang panjang, syarat-syarat
yang harus dipenuhi pun tidak mudah. Alih-alih memenuhi angan mempunyai anak,
bisa dituding melakukan perdagangan bayi, jika tidak sanggup memenuhi
persyaratan itu.
Dalam dunia Romawi, adopsi
adalah prosedur hukum yang sudah lazim dilakukan. Contoh yang paling terkenal
adalah adopsi Julius Caesar oleh pamannya Oktavianus. Julius Caesar di kemudian
hari mewarisi takhta kekaisaran Romawi. Dalam proses adopsi di dunia Helenistik
ada tiga hal yang terjadi:
1. Seorang
anak yang diadopsi akan kehilangan semua hak dari keluarganya semula. Ia tidak
lagi menjadi anak dari si ayah kandungnya namun kini ia mendapatkan semua hak-hak
yang baru dari bapak yang baru.
2. Sebagai
konsekwensi dari butir pertama, anak yang baru diadopsi menjadi pewaris yang
nyata dari ayah barunya tidak peduli berapa anak kandung yang ada dari ayahnya
yang baru, ia tidak boleh dibedakan. Hak seorang anak adopsi adalah sama
seperti anak-anak kandung sang ayah baru itu.
3. Semua
utang dan tanggungan hukum lainnya akan dihapuskan dan ditebus oleh si ayah
baru. Ketetapan hukum dari seorang anak yang diadopsi sekarang benar-benar
menjadi baru. William Barclay mengutip sebuah kasus dalam sejarah Romawi yang
menunjukkan tentang perubahan status hukum itu. Kaisar Roma Claudius mengadopsi
Nero hingga Nero kemudian bisa menggantikan “ayahnya” menjadi Kaisar. Claudius
memiliki seorang putri bernama Octavia. Nero jatuh cinta pada Octavia dan ingin
menikahinya. Secara biologis mereka bukan saudara sedarah namun, secara hukum,
kini mereka saudara. Sekarang, mereka adalah kakak-beradik tidak bisa menikah.
Deon Cassius memberitahu kita
bahwa Hukum Romawi memberikan otoritas mutlak kepada ayah atas anaknya. Jika
sang ayah memilih untuk memenjarakan dia, mencambuknya, untuk bekerja pada
tanah miliknya sebagai budak yang dibelenggu, bahkan memberikan kebebasan untuk
membunuh sang anak. Di bawah hukum Romawi, seorang anak tidak dapat memiliki
apa-apa, kecuali diberikan oleh sang ayah. Masa depan seorang anak sangat
ditentukan oleh campur tangan ayahnya.
Melalui ungkapan “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari
semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan
kehendak-Nya,”(Efesus 1:5) Paulus bermaksud menegaskan apa yang telah Allah
lakukan untuk kita. Sama seperti yang dilakukan oleh Oktavianus terhadap Julius
Caesar dan Claudius kepada Nero, Allah melakukan prosesi “adopsi” terhadap
kita. Siapa “kita” itu? “Kita” adalah orang-orang yang percaya kepada Sang
Firman yang menjadi Manusia. Yohanes 1:12 mengatakan, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi
anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;” Tentu, sama
seperti sebuah proses adopsi, seorang “ayah baru” menawarkan kebaikannya untuk
mengadopsi seorang anak, anak itu akan menjadi anak dari ayah yang baru jika si
anak menerima tawaran itu. Jika tidak, maka proses adopsi itu tidak pernah akan
terjadi. Allah menawarkan kepada semua orang untuk menjadi anak-anak-Nya tidak
dengan paksaan, melainkan dengan tawaran kasih.
Sebelum menyadari keberdosaan
kita, Allah telah melakukan tindakan penebusan di dalam Kristus. Mereka yang
menyambut-Nya akan dibebaskan dari “bawah otoritas ayah lamanya”. Siapa “ayah
lama kita?” Yohanes 8:44 mengatakan, “Iblislah
yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia
adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di
dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas
kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.“ Iblislah yang membelenggu manusia.
Kesengsaraan dan penderitaan dialami manusia akibat dosa pemberontakan kepada
Allah. Gambaran ini tercermin dalam sejarah Israel. Ketika mereka hidup dalam
kuasa Iblis, jauh dari Allah maka mereka mengalami penderitaan. Penindasan dan
pembuangan ke Babel adalah buah dari kehidupan dalam dosa. Namun, ketika mereka
berseru dan bertobat, Allah bersedia menjadi “Bapa” yang merancangkan dan
memimpin kepada kebaikan, Yeremia 31:9 mengambarkannya, “Dengan menangis mereka datang, dengan hiburan Aku membawa mereka; Aku
akan membawa mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak
akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel, Efraim adalah anak
sulung-Ku.”
Ketika Israel dibebaskan dari
otoritas kuasa Iblis artinya sekarang mereka sudah berada pada otoritas Allah.
Allahlah yang mengendalikan seluruh kehidupan mereka. Ketika Anda dan saya
menyadari bahwa kita berada dalam kungkungan “ayah kita yang lama” yakni kuasa
Si Jahat dan bertobat serta menyambut penebusan di dalam Yesus, maka Allah pun
kini menjadi Bapa bagi kita. Bapa yang pasti lebih baik dari pada Oktavianus
dan Claudius yang mewariskan takhta mereka kepada anak-anak adopsinya. Allah,
Bapa kita di dalam Yesus Kristus telah menyiapkan warisan yang tidak dapat
dirampas oleh siapa pun, yakni Kerajaan Allahdan hidup kekal! Kini, bagian dari
kita adalah mempersilahkan Dia mengatur dan merencanakan hidup kita.
Yesus pernah mengingatkan
bahwa setiap orang yang memandang Allah sebagai Bapanya maka konsekwensinya ia
akan mengasihi-Nya dan mengerti bahasa-Nya (Yohanes 8:42-43). Orang yang
memandang Allah sebagai Bapanya, pasti hatinya terbuka bagi Dia dan seluruh
hidupnya mau diatur sesuai dengan recana-Nya. Di mana kita bisa mendengar
rencana-Nya? Di dalam Firman-Nya serta di hati kita! Firman itu telah menjadi
manusia di dalam Kristus, kini tinggal hati kita untuk menyambut-Nya. Ada suatu
legenda yang bercerita tentang bagaimana awal dari segala ciptaan. Saat itu Allah
mengajak diskusi para malaikat-Nya tentang bagaimana Ia bersembunyi di dalam
ciptaan-Nya supaya setiap ciptaan dapat mencari dan memuliakan nama-Nya. Salah
satu malaikat mengajukan usul, “Tuhan, kenapa Engaku tidak bersembunyi saja di
dalam perut bumi?” Lalu Tuhan menjawab, “Tidak! Itu bukan ide yang baik. Tidak
akan memerlukan waktu yang lama bagi mereka untuk mengetahui cara menambang dan
menemukan seluruh harta karun di dalam bumi. Mereka akan menemukan Aku dalam
sekejap dan mereka tidak punya waktu untuk berkembang, lalu mereka merasa puas
diri!”
“Mengapa Anda tidak
bersembunyi di dalam bulan?” Saran malaikat kedua. Allah tampak berpikir, lalu
menjawab, “Tidak! Ini akan memakan waktu sedikit lama tetapi tidak cukup
panjang sebelum akhirnya mereka menemukan cara terbang ke angkasa. Mereka akan
mendarat ke bulan, mengeksplorasi rahasia itu, dan akhirnya dapat menemukan Aku
dalam waktu yang terlalu cepat. Mereka belum mempunyai waktu yang lama untuk
berkembang.”
Malaikat-malaikat itu
kehabisan akal tentang ide tempat bersembunyi Tuhan yang tidak mudah
diketemukan sebelum ciptaan-Nya tubuh kembang dalam spiritualitas yang benar. Mereka
hening untuk beberapa saat.
“Saya tahu!” seru salah satu malaikat. “Kenapa Anda
tidak bersembunyi di dalam hati mereka? Mereka tidak berpikir akan mencari Anda
di sana.” Tepat sekali kata Allah. Sejak itu Tuhan Allah bersembunyi di setiap
hati ciptaan-Nya. Sampai tiba saatnya, ketika makhluk ciptaan-Nya sudah
mengalami perkembangan di dalam spiritualitas, mempunyai kerinduan dan
mencari-Nya di dalam hatinya sendiri.
Tuhan sudah ada, hadir dalam hati kita, apakah kita peka dengan
keberadaan-Nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar