Jumat, 10 Januari 2014

BAPTISAN : PERUBAHAN HIDUP

Setiap orang Kristen pasti mengetahui apa yang namanya “baptisan”. Tahu, belum tentu mengerti makna yang terkandung dari sebuah peristiwa baptisan. Oleh karenya tidaklah mengherankan kalau isu tentang baptisan menjadi perdebatan di sepanjang sejarah gereja. Ada yang memperdebatkan cara dan media yang dipakai untuk membaptis seseorang, ada yang memperdebatkan seseorang layak baptis; apakah anak-anak boleh dibaptiskan atau tidak? Lalu atas dasar apa seseorang dapat dibaptiskan dan siapa yang berwenang membaptiskan? Baptisan itu apakah baptisan air, roh atau api, dan seterusnya. Sejarah gereja mencatat bahwa karena perdebatan-perdebatan seputar baptisan, timbullah aliran-aliran dalam gereja, seperti Pentakosta yang mewajibkan para pengikutnya melakukan baptis selam, Anabaptis yang mulai berkembang pada abad ke-16 (di dalamnya ada Kaum Amish, Hutterit, Mennonit, Gereja Persaudaraan, Persaudaraan Kristen dan beberapa varian Gereja Baptis Jerman) yang menekankan bahwa Baptisan adalah ciri utama bagi orang percaya, kelompok ini menolak membaptiskan anak-anak karena anak-anak dipandang belum memahami hakikat baptisan itu. Tentu setiap kelompok punya argumentasi sendiri yang dipegangi sebagai kebenaran. Namun, tidak dapat ditepis pula bahwa perdebatan di seputar baptisan itu sebagian besar hanya berkisar pada “kulit” dari baptisan itu sendiri. Hanya berkisar pada tata cara, media, dan batasan usia serta si penyelenggara baptisan itu. Hakekat atau makna dari syariat baptisan nyaris menjadi kabur.

Adalah seorang Yohanes, yang pertama kali dicatat dalam Alkitab mempraktekan baptisan di sungai Yordan (Matius 3:13-17). Baptisan Yohanes adalah sebagai tanda pertobatan. Mereka yang mendengar seruan Yohanes, datang, bertobat dan memberi diri dibaptiskan. Ketika Yesus masuk ke dalam sungai Yordan dan minta dibaptiskan oleh Yohanes, maka Yohanes terkejut dan tidak mau melakukannya. Mengapa? Karena Yesus sama sekali tidak berdosa! Namun, kalau pun terjadi pembaptisan Yesus oleh Yohanes, lalu semua ini apa artinya?

Uraian William Barclay sangat menarik untuk menjawab pertanyaan ini. Di dalam sejarah kaum Yahudi sampai pada zaman Yesus, tidak pernah ada orang Yahudi yang mau dibaptis. Orang-orang Yahudi mengenal baptisan, tetapi hanya memaknainya untuk orang-orang lain (di luar Yahudi) yang ingin masuk agama Yahudi (proselit). Bagi orang-orang Yahudi hal itu adalah wajar, sebab mereka punya pendapat kalau orang di luar Yahudi itu adalah orang-orang yang bercacat-cela, kotor dan berdosa, maka harus dibaptiskan. Orang Yahudi beranggapan diri mereka adalah umat pilihan Allah, yaitu anak-anak Abraham, keselamatan mereka telah terjamin. Mereka tidak perlu dibaptis. Baptisan adalah untuk orang-orang yang berdosa. Dan tidak ada seorang Yahudi pun yang menganggap diri berdosa, terpisah dari Allah. Tetapi dengan baptisan Yesus, maka untuk pertama kalinya di dalam sejarah, orang Yahudi disadarkan akan dosa mereka sendiri. Saat itu juga, untuk pertama kalinya mengetahui, bahwa mereka memerlukan pengampunan dari Tuhan untuk dosa-dosa mereka. Di dalam sejarah masa lampau mereka belum pernah ada gerakan pertobatan nasional serta gerakan yang bertujuan untuk mencari Tuhan. Saat seperti inilah Yesus tampil “mewakili” sebagai contoh orang-orang berdosa (meskipun diri-Nya tidak bedosa) yang menyadari keperluan mereka mencari Tuhan.

Oleh Yesus, orang Yahudi disadarkan bahwa di hadapan Tuhan semua manusia memerlukan pertobatan, tidak ada yang istimewa. Kesadaran semacam itu juga kelak dialami oleh Petrus ketika berhadapan dengan Kornelius yang bukan Yahudi, tetapi Tuhan berkenan dan menyelamatkannya (Kisah Rasul 10). Sehingga kemudian Petrus mengatakan,”Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34-35). Di dalam baptisan itu, Yesus menyamakan diri-Nya dengan orang-orang yang akan diselamatkan-Nya.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam peristiwa baptisan Yesus adalah suara dari sorga, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Apa yang khas dari Injil Matius adalah bahwa suara dari sorga itu menyatakan “Inilah” sedangkan dalam Injil Markus dan Lukas, suara itu menyatakan “Engkaulah”. Matius memakai kata itu sebagai pernyataan pewahyuan kepada publik dan bukan hanya pewahyuan pribadi bagi Yesus. Dengan pernyataan “Inilah”, identitas Yesus sebagai Anak Allah sudah diwartakan kepada publik sedari awal kemunculan Yesus. Identitas itu kini telah nyata bagi khalayak! “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan,” Kalimat ini terdiri dari dua buah kutipan. “Inilah Anak yang Kukasihi”, merupakan kutipan dari Mazmur 2:7. Setiap orang Yahudi berpendapat, bahwa Mazmur ini adalah uraian tentang Mesias, Raja perkasa yang dari Allah, yang akan datang itu. Kalimat “kepada-Nyalah Aku berkenan,” adalah kutipan dari kitab Yesaya 42:1. Yesaya 42 memuat uraian tentang Hamba Yang Menderita, yang mencapai puncaknya dalam Yesaya 53.

Mengacu kepada peristiwa baptisan Yesus maka mestinya kita tidak terjebak pada perdebatan di seputar “kulit” baptisan itu, melainkan harus berani melangkah lebih jauh lagi. Kita sebagai orang Kristen yang dibaptiskan juga di dalam nama Yesus (lengkapnya: dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus) seyogyanya menyadari bahwa diri kita adalah orang berdosa yang membutuhkan keselamatan di dalam Kristus. Kristus adalah Mesias penyelamat itu, maka ketika kita dibaptiskan di dalam nama-Nya ada sebuah pertobatan yang sungguh bahwa dosa kita diampuni di dalam nama-Nya. Sebagai wujud konkrit keyakinan iman dari seorang yang dosanya sudah diampuni maka seharusnya kini, setelah dibaptiskan menjalani kehidupan yang baru, yang tidak lagi hidup di dalam dan berorientas kepada dosa. Adalah hal yang sia-sia jika kita memperdebatkan dan mempertahankan bahwa baptisan kitalah yang paling sahih namun, kenyataannya kehidupan yang dijalani tidak ada perubahan sama sekali!

Tutur yang dikisahkan oleh Hans Christian Andersen bisa menolong kita untuk mengalami perubahan di dalam Kristus. Kisahnya begini: Setan selalu pandai membuat kekacauan. Untuk membantunya dalam menciptakan kekacauan lebih baik, ia mempunyai dua cermin yang unik. Cermin ini dapat mengecilkan semua pantulan dari hal-hal yang baik dan indah, tetapi sebaliknya dapat memperbesar hal-hal buruk. Setan menikmati kesenangan ini ketika berjalan-jalan di bumi, memegang cermin itu di depan mata orang-orang, sehingga tak ada satu daerah pun atau orang yang tidak melihat penyimpangan pandangan di dunia.

Suatu hari, Setan tertawa terbahak-bahak atas masalah yang timbul karena cermin itu hingga cermin itu lepas dari tangannya dan hancur menjadi ribuan dan jutaan keping yang sangat kecil. Lalu, badai yang sangat besar datang membawa kepingan-kepingan cermin itu ke seluruh penjuru dunia. Beberapa kepingan sekecil butiran pasir itu tersangkut dalam mata beberapa orang, sehingga orang-orang ini hanya dapat melihat hal-hal buruk dan tidak baik. Hal-hal yang baik menciut nyaris hilang. Kepingan-kepingan yang lain dikumpulkan selama bertahun-tahun untuk dijadikan kaca mata. Dan ketika orang-orang memakai kaca mata itu mereka tidak dapat lagi melihat apa pun dalam sudut pandang objektif sebenarnya.

Tuhan sangat sedih ketika melihat betapa buruknya perubahan penglihatan orang dan bagaimana banyak dari mereka hanya dapat melihat keburukan di sekitar mereka. Mereka telah kehilangan penglihatan terhadap hal-hal yang indah dan baik. Tuhan mempunyai ide bagaimana memperbaiki keadaan dari kekacauan ini. “Saya tahu apa yang akan saya lakukan.” Kata-Nya kepada diri sendiri. “Anak Saya adalah citra saya, Dia adalah gambaran Saya yang sebenarnya. Saya akan mengirim Dia ke dunia. Dia akan menjadi gambaran atas kebaikan dan keadilan Saya, dan menunjukkan kepada dunia betapa saya menginginkan itu.”

Kemudian Yesus menjadi cermin buat umat Tuhan. Dia mencerminkan kebaikan Bapa-Nya ke seluruh dunia, bahkan kepada para pencuri, penipu, penzinah, tidak terkecuali kepada orang-orang yang disingkirkan. Dia mencerminkan keberanian dan kepercayaan diri ke dalam hati orang-orang yang sakit dan putus asa. Dia mencerminkan kenyamanan untuk orang-orang yang bersedih dan kepercayaan bagi yang lumpuh karena ketakutan.

Banyak orang kemudian mengenali citra Allah dan mengikuti Yesus. Mereka mencintai dan percaya kepada-Nya. Namun, tidak sedikit orang yang cemburu dan merasa kekuasaan mereka terancam oleh citra Allah sampai akhirnya mereka tidak sanggup bertoleransi lagi. Mereka bersekongkol membuat rencana menentang dan membunuh Yesus, Sang Cermin Citra Bapa itu. Cermin Allah Bapa dihancurkan hingga berkeping-keping oleh mereka lewat peristiwa salib.

Badai besar bergejolak. Meniup berjuta-juta keping dari cermin Allah itu ke peloksok bumi sampai sekarang ini. Kepingan ini tersangkut dalam mata banyak orang. Dan ketika ini terjadi mereka akan bisa melihat dunia seperti yang dilihat Yesus. Keindahan dan keanggunan ciptaan Tuhan. Pengikut Tuhan adalah hal utama yang mereka lihat dan kemudian mereka menyadari bahwa hal-hal yang buruk hanya sebuah kerikil kecil dan bisa diatas dengan mudah. Baptisan di dalam nama Yesus mestinya mengubah paradigma lama kita menjadi manusia baru seperti Yesus. Mari jangan sibuk adu debat tentang baptisan melainkan sibuklah mencerminkan Yesus dalam hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar