Setiap orang Kristen pasti
mengetahui apa yang namanya “baptisan”. Tahu, belum tentu mengerti makna yang terkandung
dari sebuah peristiwa baptisan. Oleh karenya tidaklah mengherankan kalau isu
tentang baptisan menjadi perdebatan di sepanjang sejarah gereja. Ada yang
memperdebatkan cara dan media yang dipakai untuk membaptis seseorang, ada yang
memperdebatkan seseorang layak baptis; apakah anak-anak boleh dibaptiskan atau
tidak? Lalu atas dasar apa seseorang dapat dibaptiskan dan siapa yang berwenang
membaptiskan? Baptisan itu apakah baptisan air, roh atau api, dan seterusnya. Sejarah
gereja mencatat bahwa karena perdebatan-perdebatan seputar baptisan, timbullah
aliran-aliran dalam gereja, seperti Pentakosta yang mewajibkan para pengikutnya
melakukan baptis selam, Anabaptis yang mulai berkembang pada abad ke-16 (di
dalamnya ada Kaum Amish, Hutterit, Mennonit, Gereja Persaudaraan, Persaudaraan
Kristen dan beberapa varian Gereja Baptis Jerman) yang menekankan bahwa
Baptisan adalah ciri utama bagi orang percaya, kelompok ini menolak
membaptiskan anak-anak karena anak-anak dipandang belum memahami hakikat
baptisan itu. Tentu setiap kelompok punya argumentasi sendiri yang dipegangi
sebagai kebenaran. Namun, tidak dapat ditepis pula bahwa perdebatan di seputar
baptisan itu sebagian besar hanya berkisar pada “kulit” dari baptisan itu
sendiri. Hanya berkisar pada tata cara, media, dan batasan usia serta si
penyelenggara baptisan itu. Hakekat atau makna dari syariat baptisan nyaris
menjadi kabur.
Adalah seorang Yohanes, yang
pertama kali dicatat dalam Alkitab mempraktekan baptisan di sungai Yordan
(Matius 3:13-17). Baptisan Yohanes adalah sebagai tanda pertobatan. Mereka yang
mendengar seruan Yohanes, datang, bertobat dan memberi diri dibaptiskan. Ketika
Yesus masuk ke dalam sungai Yordan dan minta dibaptiskan oleh Yohanes, maka
Yohanes terkejut dan tidak mau melakukannya. Mengapa? Karena Yesus sama sekali
tidak berdosa! Namun, kalau pun terjadi pembaptisan Yesus oleh Yohanes, lalu
semua ini apa artinya?
Uraian William Barclay sangat
menarik untuk menjawab pertanyaan ini. Di dalam sejarah kaum Yahudi sampai pada
zaman Yesus, tidak pernah ada orang Yahudi yang mau dibaptis. Orang-orang
Yahudi mengenal baptisan, tetapi hanya memaknainya untuk orang-orang lain (di
luar Yahudi) yang ingin masuk agama Yahudi (proselit).
Bagi orang-orang Yahudi hal itu adalah wajar, sebab mereka punya pendapat kalau
orang di luar Yahudi itu adalah orang-orang yang bercacat-cela, kotor dan
berdosa, maka harus dibaptiskan. Orang Yahudi beranggapan diri mereka adalah
umat pilihan Allah, yaitu anak-anak Abraham, keselamatan mereka telah terjamin.
Mereka tidak perlu dibaptis. Baptisan adalah untuk orang-orang yang berdosa. Dan
tidak ada seorang Yahudi pun yang menganggap diri berdosa, terpisah dari Allah.
Tetapi dengan baptisan Yesus, maka untuk pertama kalinya di dalam sejarah,
orang Yahudi disadarkan akan dosa mereka sendiri. Saat itu juga, untuk pertama
kalinya mengetahui, bahwa mereka memerlukan pengampunan dari Tuhan untuk
dosa-dosa mereka. Di dalam sejarah masa lampau mereka belum pernah ada gerakan
pertobatan nasional serta gerakan yang bertujuan untuk mencari Tuhan. Saat
seperti inilah Yesus tampil “mewakili” sebagai contoh orang-orang berdosa
(meskipun diri-Nya tidak bedosa) yang menyadari keperluan mereka mencari Tuhan.
Oleh Yesus, orang Yahudi
disadarkan bahwa di hadapan Tuhan semua manusia memerlukan pertobatan, tidak
ada yang istimewa. Kesadaran semacam itu juga kelak dialami oleh Petrus ketika
berhadapan dengan Kornelius yang bukan Yahudi, tetapi Tuhan berkenan dan
menyelamatkannya (Kisah Rasul 10). Sehingga kemudian Petrus mengatakan,”Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah
tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia
dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul
10:34-35). Di dalam baptisan itu, Yesus menyamakan diri-Nya dengan
orang-orang yang akan diselamatkan-Nya.
Hal yang tidak kalah
pentingnya dalam peristiwa baptisan Yesus adalah suara dari sorga, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah
Aku berkenan.” Apa yang khas dari Injil Matius adalah bahwa suara dari
sorga itu menyatakan “Inilah”
sedangkan dalam Injil Markus dan Lukas, suara itu menyatakan “Engkaulah”. Matius memakai kata itu
sebagai pernyataan pewahyuan kepada publik dan bukan hanya pewahyuan pribadi
bagi Yesus. Dengan pernyataan “Inilah”,
identitas Yesus sebagai Anak Allah sudah diwartakan kepada publik sedari awal
kemunculan Yesus. Identitas itu kini telah nyata bagi khalayak! “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nya Aku
berkenan,” Kalimat ini terdiri dari dua buah kutipan. “Inilah Anak yang Kukasihi”, merupakan kutipan dari Mazmur 2:7.
Setiap orang Yahudi berpendapat, bahwa Mazmur ini adalah uraian tentang Mesias,
Raja perkasa yang dari Allah, yang akan datang itu. Kalimat “kepada-Nyalah Aku berkenan,” adalah
kutipan dari kitab Yesaya 42:1. Yesaya 42 memuat uraian tentang Hamba Yang
Menderita, yang mencapai puncaknya dalam Yesaya 53.
Mengacu kepada peristiwa
baptisan Yesus maka mestinya kita tidak terjebak pada perdebatan di seputar “kulit”
baptisan itu, melainkan harus berani melangkah lebih jauh lagi. Kita sebagai
orang Kristen yang dibaptiskan juga di dalam nama Yesus (lengkapnya: dalam nama
Bapa, Anak dan Roh Kudus) seyogyanya menyadari bahwa diri kita adalah orang
berdosa yang membutuhkan keselamatan di dalam Kristus. Kristus adalah Mesias
penyelamat itu, maka ketika kita dibaptiskan di dalam nama-Nya ada sebuah
pertobatan yang sungguh bahwa dosa kita diampuni di dalam nama-Nya. Sebagai
wujud konkrit keyakinan iman dari seorang yang dosanya sudah diampuni maka
seharusnya kini, setelah dibaptiskan menjalani kehidupan yang baru, yang tidak
lagi hidup di dalam dan berorientas kepada dosa. Adalah hal yang sia-sia jika
kita memperdebatkan dan mempertahankan bahwa baptisan kitalah yang paling sahih
namun, kenyataannya kehidupan yang dijalani tidak ada perubahan sama sekali!
Tutur yang dikisahkan oleh
Hans Christian Andersen bisa menolong kita untuk mengalami perubahan di dalam
Kristus. Kisahnya begini: Setan selalu pandai membuat kekacauan. Untuk membantunya
dalam menciptakan kekacauan lebih baik, ia mempunyai dua cermin yang unik. Cermin
ini dapat mengecilkan semua pantulan dari hal-hal yang baik dan indah, tetapi
sebaliknya dapat memperbesar hal-hal buruk. Setan menikmati kesenangan ini
ketika berjalan-jalan di bumi, memegang cermin itu di depan mata orang-orang,
sehingga tak ada satu daerah pun atau orang yang tidak melihat penyimpangan
pandangan di dunia.
Suatu hari, Setan tertawa
terbahak-bahak atas masalah yang timbul karena cermin itu hingga cermin itu
lepas dari tangannya dan hancur menjadi ribuan dan jutaan keping yang sangat
kecil. Lalu, badai yang sangat besar datang membawa kepingan-kepingan cermin
itu ke seluruh penjuru dunia. Beberapa kepingan sekecil butiran pasir itu
tersangkut dalam mata beberapa orang, sehingga orang-orang ini hanya dapat
melihat hal-hal buruk dan tidak baik. Hal-hal yang baik menciut nyaris hilang. Kepingan-kepingan
yang lain dikumpulkan selama bertahun-tahun untuk dijadikan kaca mata. Dan ketika
orang-orang memakai kaca mata itu mereka tidak dapat lagi melihat apa pun dalam
sudut pandang objektif sebenarnya.
Tuhan sangat sedih ketika
melihat betapa buruknya perubahan penglihatan orang dan bagaimana banyak dari
mereka hanya dapat melihat keburukan di sekitar mereka. Mereka telah kehilangan
penglihatan terhadap hal-hal yang indah dan baik. Tuhan mempunyai ide bagaimana
memperbaiki keadaan dari kekacauan ini. “Saya tahu apa yang akan saya lakukan.”
Kata-Nya kepada diri sendiri. “Anak Saya adalah citra saya, Dia adalah gambaran
Saya yang sebenarnya. Saya akan mengirim Dia ke dunia. Dia akan menjadi
gambaran atas kebaikan dan keadilan Saya, dan menunjukkan kepada dunia betapa
saya menginginkan itu.”
Kemudian Yesus menjadi cermin
buat umat Tuhan. Dia mencerminkan kebaikan Bapa-Nya ke seluruh dunia, bahkan
kepada para pencuri, penipu, penzinah, tidak terkecuali kepada orang-orang yang
disingkirkan. Dia mencerminkan keberanian dan kepercayaan diri ke dalam hati
orang-orang yang sakit dan putus asa. Dia mencerminkan kenyamanan untuk
orang-orang yang bersedih dan kepercayaan bagi yang lumpuh karena ketakutan.
Banyak orang kemudian
mengenali citra Allah dan mengikuti Yesus. Mereka mencintai dan percaya
kepada-Nya. Namun, tidak sedikit orang yang cemburu dan merasa kekuasaan mereka
terancam oleh citra Allah sampai akhirnya mereka tidak sanggup bertoleransi
lagi. Mereka bersekongkol membuat rencana menentang dan membunuh Yesus, Sang
Cermin Citra Bapa itu. Cermin Allah Bapa dihancurkan hingga berkeping-keping oleh
mereka lewat peristiwa salib.
Badai besar bergejolak. Meniup berjuta-juta keping
dari cermin Allah itu ke peloksok bumi sampai sekarang ini. Kepingan ini
tersangkut dalam mata banyak orang. Dan ketika ini terjadi mereka akan bisa
melihat dunia seperti yang dilihat Yesus. Keindahan dan keanggunan ciptaan
Tuhan. Pengikut Tuhan adalah hal utama yang mereka lihat dan kemudian mereka
menyadari bahwa hal-hal yang buruk hanya sebuah kerikil kecil dan bisa diatas
dengan mudah. Baptisan di dalam nama Yesus mestinya mengubah paradigma lama
kita menjadi manusia baru seperti Yesus. Mari jangan sibuk adu debat tentang
baptisan melainkan sibuklah mencerminkan Yesus dalam hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar