Selasa, 24 Desember 2013

NATAL : KALA ALLAH TINGGAL DI ANTARA KITA

Pada umumnya penganut agama menjunjung tinggi posisi Tuhan atau Allah atau apa pun juga sebagai sosok yang disembahnya. Menghampiri takhta-Nya pastilah dibutuhkan ritual atau tata cara tertentu yang terbilang rumit. Mengapa? Ya, karena posisi-Nya yang begitu agung, mulia, kudus, pencipta, mahakuasa, dan maha segalanya sementara manusia adalah sosok fana, berdosa dan penuh cela. Dalam keyakinan Yahudi yang terekam dalam Perjanjian Lama, tidak ada manusia yang dapat memandang wajah Allah. Manusia akan mati, tidak tahan melihat cahaya kemuliaan dan kekudusan Allah. Hanya Musa yang diperkenankan Allah melihat kemuliaan-Nya ketika menerima hukum Allah (Taurat). Cahaya kemuliaan Allah itu berdampak pada diri Musa sehingga umat Israel tidak tahan memandang wajah Musa. Menurut Keluaran 34:29-35, umat Israel takut mendekati Musa karena wajahnya memancarkan sinar kemuliaan, Musa menyadari hal itu kemudian ia menyelubungi wajahnya untuk menutupi pancaran kemuliaan Allah itu. Bayangkan, hanya dengan pantulannya saja dari kemuliaan Allah yang ada di wajah Musa, umat itu tidak tahan berhadapan muka! Allah begitu mulia, nyaris tak tersentuh. Allah yang nyaris tak tersentuh juga tampak dalam tradisi Israel. Hukum ketiga dari Taurat mengatakan, “ Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan”, maka umat Israel benar-benar memaknainya secara harafiah, apabila mereka menemukan empat huruf suci (tetra gramaphon) hyhw (YHWH) maka mereka tidak akan mengucapkannya dengan Yahweh melainkan dengan אֲדֹנָי (Adonay) yang diterjemahkan oleh Alkitab terjemahan LAI dengan “TUHAN”.

Nah, dalam paradigma pemikiran seperti itu adalah sebuah ketidakmungkinan atau keanehan kalau Allah mau “turun” dari takhta-Nya dan diam bersama dengan manusia. Allah tidak mungkin hidup bersama-sama dengan manusia berdosa. Namun, ternyata apa yang tidak mungkin bagi manusia, apa yang aneh bagi logika berpikir manusia, justeru itu yang dilakukan Allah. Benar, apa yang dikatakan Alkitab bahwa Allah adalah Agung, Mulia, Kudus, dan seterusnya, tetapi Dia juga dengan kedaulatan-Nya berprakarsa menjalin relasi dengan manusia demi kesejahteran dan keselamatan manusia itu sendiri. Allah melakukan terobosan untuk mengambil sikap yang paling revolusioner, radikal, realistik, komunikatif, sekaligus kontoversial, hadir dan menyatakan diri dalam wujud manusia. Allah tidak kehilangan cara untuk menjalin komunikasi dengan manusia. Ibrani 1:1-2, mengatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” Sejak awal Allah berusaha menjalin kontak dengan manusia. Begitu cara yang dipakai-Nya, misalnya melalui Taurat, para nabi, perumpamaan dan seterusnya. Cara-cara itu mengindikasikan bahwa Allah serius mengupayakan pemulihan harkat dan martabat sekaligus kesejahteraan manusia. Allah tidak mempedulikan gengsi yang seharusnya menjadi hak-Nya tetapi terus berinisiatif mencari manusia yang sudah memberontak kepada-Nya.

Dulu, ketika saya belum menikah dan punya anak, kadang bertanya-tanya mengapa orang dewasa berbicara kepada anaknya yang masih kecil koq ngomongnya ikut-ikutan seperti anak kecil, ikut jadi cadel, mimik mukanya dibuat seperti anak kecil. Baru setelah kami punya anak, saya pun melakukan hal yang sama. Namun, sekarang jadi mengerti mengapa saya melakukan itu. Tidak lain, supaya komunikasi nyambung, sang anak mengerti bahwa saya memperhatikan, menyayangi dan bahagia akan kehadirannya! Saya membayangkan apa jadinya kalau saya berbicara menggunakan gaya bahasa dan bahasa tubuh orang dewasa ketika bicara dengan anak kecil? Pasti ia tidak mengerti! Cesar Millan, seorang pelatih anjing ternama. Bagi pecinta anjing, pasti mengenal namanya. Program tayangan televisi yang dibuatnya sudah merambah di delapan puluh negara. Saya pun sempat terkagum-kagum menyaksikan tayangan televisi yang memperlihatkan bagaimana Cesar Millan menangani anjing-anjing bermasalah. Di hadapannya semua anjing seolah tunduk dan memahami keinginannya. Apa sebenarnya yang membuat Millan mempunyai talenta itu? Tidak lain pertama-tama ia begitu mencintai anjing.  Sejak kecil, ia terbiasa bergaul dengan hewan dipeternakan kakeknya, secara alami ia memahami “bahasa” anjing, kemudian orang-orang menyebutnya dengan julukan, “el Perrero” (The dog boy). Kemudian Millan mengembangkan pemahaman psikologis anjing. Tak pelak lagi, Millan mengerti “bahasa” anjing! Akibatnya, anjing-anjing itu mengerti komunikasi yang dilakukan oleh Millan. Bayangkan, andaikata Millan menuntut anjing-anjing itu yang harus mengerti bahasanya tanpa peduli psikologi anjing. Anjing akan stress dan suatu saat berontak serta melukai tuannya.

Tentu, manusia tidak sama dengan anjing. Namun, dalam komunikasi antara Allah dan manusia pastilah Allah tidak menuntut agar manusia itu memahami dan mengerti “bahasa Allah”. Allahlah yang kemudian “merendahkan” diri-Nya, menjadi sama seperti manusia, bukan supaya Allah mengerti bahasa manusia, tetapi agar manusia mengerti dan memahami bahwa Allah itu sungguh baik, Allah tidak menginginkan manusia binasa karena dosa-dosa mereka. Allah menginginkan manusia mengalami damai sejahtera!

Sebenarnya, dalam Perjanjian Lama ada indikasi benih-benih yang mengambarkan bahwa Allah tidak hanya tinggal diam dalam singgasana-Nya yang tak terhampiri. Namun, Allah yang tinggal bersama manusia,  telah lama dikenal. Kata “tinggal” (skeno) merupakan konsep penting Perjanjian Lama, misalnya Keluaran 25:8,9, yang mengisahkan Israel diminta untuk mendirikan tenda (tabernakel, skene) sehingga Allah bisa tinggal di antara umat-Nya. Ketika tenda itu didirikan maka, “Kemuliaan Tuhan memenuhi Kemah Suci.”(Kel. 40:34). Allah hadir di sekitar komunitas tenda atau Kemah Suci itu. Mungkin, sekarang kita memahaminya, koq naif sekali Allah mau hadir asalkan dibuatkan tenda, bukankah Ia Mahahadir, tanpa tenda buatan manusia! Ya, itu kalau kita berpikir sekarang. Namun, sekali lagi Allah ingin berkomunikasi dengan manusia, maka Ia menggunakan bahasa manusia. Pada masa Keluaran, itulah bahasa yang dimengerti manusia pada zaman mereka! Itu hanya bungkusnya, isinya adalah Allah hadir dan membawa perubahan pada umat-Nya.

Firman itu tinggal di antara kita, itu pesan natal kita sekarang ini. Siapakah “kita” yang dimaksudkan di sini? Setelah panjang lebar, penulis Injil Yohanes menceritakan Sang Firman, baru dalam Yohanes 1:14, muncul kata “kita”. Yang muncul sebelumnya adalah “dunia”, “orang-orang kepunyaan-Nya, “orang-orang yang menerima-Nya”, “orang yang percaya kepada-Nya”. “Kita” menunjukan orang pertama jamak, kita adalah sebuah komunitas yang menerima dan mengaminkan Sang Firman yang menjadi manusia itu. “Kita” adalah komunitas yang dimampukan untuk melihat kemuliaan yang diberikan Allah. Sekali lagi kata “kemuliaan” (doksa) mengingatkan kembali kepada gagasan pendirian tabernakel tempat bersemayam Allah di tengah-tengah manusia. Di dalam komunitas, tenda tepat tinggal Allah itu adalah Yesus sendiri, Firman yang menjadi daging. Dalam perjalanan kisah Injil kemudian, Firman yang menjelma menjadi daging ini menyebut diri-Nya “Anak Allah” (sesuai dengan apa yang disebut Ibrani 1;2).

Bagaimana sekarang dengan komunitas “kita”, apakah memancarkan kemuliaan Allah yang benar-benar ada dan hadir itu? Jika benar bahwa Sang Firman itu ada dan hadir di tengah-tengah kita maka perayaan natal yang kita lakukan bukanlah sekedar harafiah-artifisial yang mewah dan romantis. Tetapi berupaya untuk meneladani kemuliaan yang hadir melalu kesederhanaan, kesetiakawanan dan penghargaan terhadap sesama manusia. Namun, sayangnya kita enggan untuk melakoninya dengan cara demikian. Mengapa? Karena cara pandang kita tidak bisa memahami kalau Allah itu bisa menjadi manusia, Yang tidak terbatas menjadi terbatas, Yang Ilahi mewujud dalam diri seorang manusia yang bersahaja. Padahal mengingkari ini berarti sama dengan menyatakan bahwa Allah bukan Mahakuasa lagi!

Gereja tidak boleh hidup dalam menara gading kenyamanan, kelimpahan berkat, dan keselamatannya sendiri. Namun, harus menyatakan keprihatinan Tuhan dengan berinisiatif hadir dan menyatakan belarasa Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia. Allah melalui Yesus Kristus, Sang Firman itu mencontohkan kepedulian itu, masa kita yang mengaku penyembah-Nya hanya mau duduk diam menikmati berkat dan kemuliaan-Nya. Jika demikian, orang Mangga Besar mengatakan, bo ceng lie. Gereja sebagai komunitas di mana Allah hadir di dalamnya harus memberikan tanda-tanda untuk menerima semua orang dalam damai sejahtera, bersedia meneruskan kasih dan pengampunan Allah, memulihkan kembali martabat manusia. Itulah Natal: Kala Allah tinggal di antara kita. Selamat merayakan natal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar