Pada umumnya penganut agama
menjunjung tinggi posisi Tuhan atau Allah atau apa pun juga sebagai sosok yang
disembahnya. Menghampiri takhta-Nya pastilah dibutuhkan ritual atau tata cara
tertentu yang terbilang rumit. Mengapa? Ya, karena posisi-Nya yang begitu
agung, mulia, kudus, pencipta, mahakuasa, dan maha segalanya sementara manusia
adalah sosok fana, berdosa dan penuh cela. Dalam keyakinan Yahudi yang terekam
dalam Perjanjian Lama, tidak ada manusia yang dapat memandang wajah Allah.
Manusia akan mati, tidak tahan melihat cahaya kemuliaan dan kekudusan Allah.
Hanya Musa yang diperkenankan Allah melihat kemuliaan-Nya ketika menerima hukum
Allah (Taurat). Cahaya kemuliaan Allah itu berdampak pada diri Musa sehingga
umat Israel tidak tahan memandang wajah Musa. Menurut Keluaran 34:29-35, umat
Israel takut mendekati Musa karena wajahnya memancarkan sinar kemuliaan, Musa
menyadari hal itu kemudian ia menyelubungi wajahnya untuk menutupi pancaran kemuliaan
Allah itu. Bayangkan, hanya dengan pantulannya saja dari kemuliaan Allah yang
ada di wajah Musa, umat itu tidak tahan berhadapan muka! Allah begitu mulia,
nyaris tak tersentuh. Allah yang nyaris tak tersentuh juga tampak dalam tradisi
Israel. Hukum ketiga dari Taurat mengatakan, “ Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan”, maka
umat Israel benar-benar memaknainya secara harafiah, apabila mereka menemukan
empat huruf suci (tetra gramaphon) hyhw (YHWH)
maka mereka tidak akan mengucapkannya dengan Yahweh melainkan dengan אֲדֹנָי
(Adonay) yang diterjemahkan oleh Alkitab terjemahan
LAI dengan “TUHAN”.
Nah, dalam paradigma pemikiran seperti itu adalah sebuah
ketidakmungkinan atau keanehan kalau Allah mau “turun” dari takhta-Nya dan diam
bersama dengan manusia. Allah tidak mungkin hidup bersama-sama dengan manusia
berdosa. Namun, ternyata apa yang tidak mungkin bagi manusia, apa yang aneh
bagi logika berpikir manusia, justeru itu yang dilakukan Allah. Benar, apa yang
dikatakan Alkitab bahwa Allah adalah Agung, Mulia, Kudus, dan seterusnya,
tetapi Dia juga dengan kedaulatan-Nya berprakarsa menjalin relasi dengan
manusia demi kesejahteran dan keselamatan manusia itu sendiri. Allah melakukan
terobosan untuk mengambil sikap yang paling revolusioner, radikal, realistik,
komunikatif, sekaligus kontoversial, hadir dan menyatakan diri dalam wujud
manusia. Allah tidak kehilangan cara untuk menjalin komunikasi dengan manusia.
Ibrani 1:1-2, mengatakan, “Setelah pada
zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek
moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah
berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan
sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan
alam semesta.” Sejak awal Allah berusaha menjalin kontak dengan manusia. Begitu
cara yang dipakai-Nya, misalnya melalui Taurat, para nabi, perumpamaan dan
seterusnya. Cara-cara itu mengindikasikan bahwa Allah serius mengupayakan
pemulihan harkat dan martabat sekaligus kesejahteraan manusia. Allah tidak
mempedulikan gengsi yang seharusnya menjadi hak-Nya tetapi terus berinisiatif
mencari manusia yang sudah memberontak kepada-Nya.
Dulu, ketika saya belum menikah dan punya anak, kadang bertanya-tanya
mengapa orang dewasa berbicara kepada anaknya yang masih kecil koq ngomongnya ikut-ikutan seperti anak
kecil, ikut jadi cadel, mimik mukanya dibuat seperti anak kecil. Baru setelah
kami punya anak, saya pun melakukan hal yang sama. Namun, sekarang jadi
mengerti mengapa saya melakukan itu. Tidak lain, supaya komunikasi nyambung,
sang anak mengerti bahwa saya memperhatikan, menyayangi dan bahagia akan kehadirannya!
Saya membayangkan apa jadinya kalau saya berbicara menggunakan gaya bahasa dan
bahasa tubuh orang dewasa ketika bicara dengan anak kecil? Pasti ia tidak
mengerti! Cesar Millan, seorang pelatih anjing ternama. Bagi pecinta anjing,
pasti mengenal namanya. Program tayangan televisi yang dibuatnya sudah merambah
di delapan puluh negara. Saya pun sempat terkagum-kagum menyaksikan tayangan
televisi yang memperlihatkan bagaimana Cesar Millan menangani anjing-anjing
bermasalah. Di hadapannya semua anjing seolah tunduk dan memahami keinginannya.
Apa sebenarnya yang membuat Millan mempunyai talenta itu? Tidak lain
pertama-tama ia begitu mencintai anjing.
Sejak kecil, ia terbiasa bergaul dengan hewan dipeternakan kakeknya,
secara alami ia memahami “bahasa” anjing, kemudian orang-orang menyebutnya
dengan julukan, “el Perrero” (The dog
boy). Kemudian Millan mengembangkan pemahaman psikologis anjing. Tak pelak
lagi, Millan mengerti “bahasa” anjing! Akibatnya, anjing-anjing itu mengerti
komunikasi yang dilakukan oleh Millan. Bayangkan, andaikata Millan menuntut
anjing-anjing itu yang harus mengerti bahasanya tanpa peduli psikologi anjing.
Anjing akan stress dan suatu saat berontak serta melukai tuannya.
Tentu, manusia tidak sama dengan anjing. Namun, dalam komunikasi antara
Allah dan manusia pastilah Allah tidak menuntut agar manusia itu memahami dan
mengerti “bahasa Allah”. Allahlah yang kemudian “merendahkan” diri-Nya, menjadi
sama seperti manusia, bukan supaya Allah mengerti bahasa manusia, tetapi agar
manusia mengerti dan memahami bahwa Allah itu sungguh baik, Allah tidak
menginginkan manusia binasa karena dosa-dosa mereka. Allah menginginkan manusia
mengalami damai sejahtera!
Sebenarnya, dalam Perjanjian Lama ada indikasi benih-benih yang
mengambarkan bahwa Allah tidak hanya tinggal diam dalam singgasana-Nya yang tak
terhampiri. Namun, Allah yang tinggal bersama manusia, telah lama dikenal. Kata “tinggal” (skeno) merupakan konsep penting
Perjanjian Lama, misalnya Keluaran 25:8,9, yang mengisahkan Israel diminta
untuk mendirikan tenda (tabernakel, skene)
sehingga Allah bisa tinggal di antara umat-Nya. Ketika tenda itu didirikan
maka, “Kemuliaan Tuhan memenuhi Kemah
Suci.”(Kel. 40:34). Allah hadir di sekitar komunitas tenda atau Kemah Suci
itu. Mungkin, sekarang kita memahaminya, koq
naif sekali Allah mau hadir asalkan dibuatkan tenda, bukankah Ia Mahahadir,
tanpa tenda buatan manusia! Ya, itu kalau kita berpikir sekarang. Namun, sekali
lagi Allah ingin berkomunikasi dengan manusia, maka Ia menggunakan bahasa
manusia. Pada masa Keluaran, itulah bahasa yang dimengerti manusia pada zaman
mereka! Itu hanya bungkusnya, isinya adalah Allah hadir dan membawa perubahan
pada umat-Nya.
Firman itu tinggal di antara kita, itu pesan natal kita sekarang ini. Siapakah
“kita” yang dimaksudkan di sini? Setelah panjang lebar, penulis Injil Yohanes
menceritakan Sang Firman, baru dalam Yohanes 1:14, muncul kata “kita”. Yang
muncul sebelumnya adalah “dunia”, “orang-orang kepunyaan-Nya, “orang-orang yang
menerima-Nya”, “orang yang percaya kepada-Nya”. “Kita” menunjukan orang pertama
jamak, kita adalah sebuah komunitas yang menerima dan mengaminkan Sang Firman
yang menjadi manusia itu. “Kita” adalah komunitas yang dimampukan untuk melihat
kemuliaan yang diberikan Allah. Sekali lagi kata “kemuliaan” (doksa) mengingatkan kembali kepada
gagasan pendirian tabernakel tempat bersemayam Allah di tengah-tengah manusia.
Di dalam komunitas, tenda tepat tinggal Allah itu adalah Yesus sendiri, Firman
yang menjadi daging. Dalam perjalanan kisah Injil kemudian, Firman yang
menjelma menjadi daging ini menyebut diri-Nya “Anak Allah” (sesuai dengan apa
yang disebut Ibrani 1;2).
Bagaimana sekarang dengan komunitas “kita”, apakah memancarkan kemuliaan
Allah yang benar-benar ada dan hadir itu? Jika benar bahwa Sang Firman itu ada
dan hadir di tengah-tengah kita maka perayaan natal yang kita lakukan bukanlah
sekedar harafiah-artifisial yang mewah dan romantis. Tetapi berupaya untuk
meneladani kemuliaan yang hadir melalu kesederhanaan, kesetiakawanan dan
penghargaan terhadap sesama manusia. Namun, sayangnya kita enggan untuk
melakoninya dengan cara demikian. Mengapa? Karena cara pandang kita tidak bisa
memahami kalau Allah itu bisa menjadi manusia, Yang tidak terbatas menjadi
terbatas, Yang Ilahi mewujud dalam diri seorang manusia yang bersahaja. Padahal
mengingkari ini berarti sama dengan menyatakan bahwa Allah bukan Mahakuasa
lagi!
Gereja
tidak boleh hidup dalam menara gading kenyamanan, kelimpahan berkat, dan
keselamatannya sendiri. Namun, harus menyatakan keprihatinan Tuhan dengan
berinisiatif hadir dan menyatakan belarasa Allah di tengah-tengah penderitaan
umat manusia. Allah melalui Yesus Kristus, Sang Firman itu mencontohkan kepedulian
itu, masa kita yang mengaku penyembah-Nya hanya mau duduk diam menikmati berkat
dan kemuliaan-Nya. Jika demikian, orang Mangga Besar mengatakan, bo ceng lie. Gereja sebagai komunitas di
mana Allah hadir di dalamnya harus memberikan tanda-tanda untuk menerima semua
orang dalam damai sejahtera, bersedia meneruskan kasih dan pengampunan Allah,
memulihkan kembali martabat manusia. Itulah Natal: Kala Allah tinggal di antara
kita. Selamat merayakan natal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar