Jumat, 20 Desember 2013

ALLAH HADIR MENYERTAI MANUSIA

Imanuel! “Allah menyertai kita”. Itulah nubuat yang disampaikan kepada Yusuf, tunangan Maria yang sedang mempertimbangkan untuk menceraikan Maria lantaran Maria mengandung. Malaikat Tuhan mencegah rencana Yusuf itu, seraya mengatakan bahwa anak yang sedang dikandung Maria itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Anak itu kelak akan dinamakan Imanuel (Matius 1:18-25). Kelahiran Yesus merupakan penggenapan dari Yesaya, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yesaya 7:14)

Pernahkah kita berpikir dalam konteks atau keadaan yang bagaimana nubuat ini disampaikan Allah sendiri kepada umat-Nya? Bukan! Bukan dalam keadaan umat itu sedang baik-baik saja. Sebaliknya, keadaan mereka tidak sedang setia dan beribadah kepada Allah. Pada saat itu Yehuda dipimpin oleh Ahas, mereka merasa aman sebab musuh-musuhnya, yaitu raja Aram dan Israel Utara tidak bisa mengalahkannya. Tetapi, kemudian kedua raja itu mengumpulkan kekuatan mereka untuk kembali melancarkan serangan terhadap Yeehuda, maka gemetarlah Ahas. Dalam ketakutannya, Allah memberikan penghiburan melalui kehadiran nabi Yesaya. Yesaya menawarkan kepada Ahas agar dirinya meminta tanda, bahwa Allah akan memberikan kemenangan. Ahas menolak meminta tanda, dengan alasan tidak mau mencobai Allah. Apakah benar motifasinya begitu mulia?  Sepintas, Ahas kelihatannya baik, padahal kenyataannya, hidupnya tidak lebih baik dari raja-raja Israel dan Yehuda sebelumnya, mereka menyembah berhala. Bahkan Ahas memberikan anaknya untuk dipersembahkan kepada berhala!

Di balik pernyataan kesalehannya dan penolakan meminta tanda, sebenarnya Ahas berupaya untuk meminta pertolongan dan perlindungan politik kepada raja Asyur. Ahas memilih mengandalkan kekuatan manusia, dalam hal ini raja Asyur yang terlihat kasat mata memiliki kekuatan besar ketimbang menuruti nasehat Yesaya agar mengandalkan Allah. Akhirnya, apa yang terjadi? Asyur yang menjadi andalan Ahas justeru kemudian berbalik menjadi musuhnya. Apakah Allah menertawakan kedegilan Ahas? Ternyata tidak! Pada saat itulah Allah memberikan janji keselamatan (Yesaya 7:13-17). Janji itu dikukuhkan dengan tanda yang Allah berikan sendiri, yaitu hadirnya seorang anak dari seorang perempuan muda yang diberi nama Imanuel!

Apakah Allah hanya dekat dan menyertai orang-orang yang baik-baik saja? Dari kisah Ahas di atas memperlihatkan Allah tetap dekat dan menyertai manusia, meskipun manusia itu sering menjauhi-Nya. Anda mungkin pernah mendengar lirik lagu, “Tuhan” yang dilantunkan oleh Bimbo. Sebagian lirik itu berbunyi, “Tuhan...Engkau jauh, aku jauh. Engkau dekat, aku dekat...” Apakah benar Tuhan itu kadang jauh dan kadang dekat? Bisa saja orang menafsirkannya begitu. Namun sejatinya Tuhan dekat dengan kita. Ia tidak pernah jauh dari kita. Ia ada di depan langkah kita, Ia menopang dari belakang kita, tangan-Nya siap menatang kita, Ia ada di atas kita, mata-Nya mengawasi dan menjaga kita, bahkan Ia bisa hadir di dalam kita! Jadi ketika kita merasa bahwa Tuhan itu jauh, sesungguhnya kitalah yang tidak merasakan hadira-Nya, terkadang juga menolak-Nya seperti Ahas menolak campur tangan Allah. Ahas menepis hadirat Tuhan oleh karena ia merasa Asyur lebih bisa diandalkan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Bukankah kita juga sering seperti Ahas yang menepis kehadiran-Nya lantaran kita merasa mampu menyelesaikannya sendiri? Kita menepis hadirat dan campur tangan Tuhan karena sibuk dengan diri seendiri. Kita seakan mengambil jarak dengan-Nya ketika sedang berselancar dengan kenikmatan kekayaan, kejayaan, kekuasaan, dan popularitas.

Namun, apa yang terjadi ketika masa-masa sulit menerpa kita? Divonis sakit yang mematikan, usaha terancam gulung tikar, pasangan berubah setia, anak-anak tak terkendali terpengaruh pergaulan bebas dan narkoba, dan sederet lagi kekacauan hidup melanda kita, nah pada masa-masa seperti ini kita mempertanyakan di mana Engkau, Tuhan? Di manakah kasih setia dan janji-Mu? Kita sering merasa butuh Tuhan pada masa-masa itu. Saya jadi teringat dengan ritual-ritual penduduk suku asli di kepulauan Karibia. Mereka akan melakukan ritual yang lebih dari biasanya ketika musim-musim badai yang mengancam mereka. Tetapi ritual akan berhenti seiring berhentinya badai itu. Bukankah sama seperti kebanyakan dari kita; ritual ibadah, doa permohonan dan yang serupa dengan itu akan semakin gencar dilakukan apabila terpaan badai kehidupan menimpa kita, sebaliknya ritual dan doa akan menjadi kendor, seiring dengan meredanya badai kehidupan.

Kita seharusnya lebih bisa merasakan hadirat Tuhan, bukan saja ketika jamahan Roh Kudus membungkus kita dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Tidak juga sekedar merasakan hadirat Tuhan pada saat teduh, atau seminggu sekali dalam ibadah minggu. Setiap hari, sejak mengenal Kristus mestinya kita merasakan hadirat Tuhan. Bukankah di dalam Kristus, kita mengimani bahwa Dialah Sang Imanuel itu!

Untuk dapat mengalami kehadiran Tuhan sepanjang masa dalam kehidupan kita, maka dibutuhkan komitmen dan iman bukan hanya sekedar perasaan saja, sebab terkadang perasan bisa menipu. Mungkin Anda punya pengalaman seperti ini: Ketika dalam masa-masa sulit, seseorang pernah berjanji untuk menolong Anda, namun pertolongan itu tidak kunjung datang. Mengapa? Sering orang berjanji karena didasari oleh perasaan iba dan simpati sesaat. Biasanya seperti ini bisa kita lihat dalam peristiwa kedukaan, bencana atau kecelakaan tragis. Karena perasaan iba orang lantas berucap, “Nanti kalau ada kesulitan hubungi saya, pasti saya akan menolong!” atau “Biarlah nanti biaya hidup dan anak-anak sekolah akan saya tanggung!” Tapi setelah beberapa waktu perasaan iba itu berkurang dan kemudian hilang sama sekali, maka janji itu terlupakan! Barangkali Anda juga pernah tergerak hati menolong peneritaan anak-anak terlantar, berniat menyantuni hidup mereka, namun urung Anda lakukan, mengapa? Karena merasa belas kasihan itu sudah menjadi tawar. Ya, ada kalanya janji hanya sebatas perasaan, dan ketika perasaan kita berubah, berubahlah pula komitmen kita.

Tentang perasaan, apakah hubungan Anda juga pernah merasa Tuhan tidak ada saat Anda membutuhkan Dia? Adakalanya kita merasa bahwa Tuhan meninggalkan kita, seperti Daud pernah berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.” (Mazmur 22:2-3). Benarkah Tuhan tidak ada? Apakah Tuhan bersembunyi, diam membisu saat Anda dan saya merindukan-Nya? Tidak! Itu adalah perasaan kita semata, Tuhan selalu ada, namun kita dan juga Daud tidak merasakan bahwa Dia ada!

Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya sebatas perasaan, hubungan itu akan pasang surut mengikuti perasaan kita yang senantiasa berubah. Tuhan ada untuk kita; Imanuel! Tuhan ada bukan karena kita sedang merasakan bahwa Dia sedang dekat. Tuhan selalu ada, meski kita merasa Dia jauh dari kita. Hubungan kita dengan Tuhan tidak boleh direntangkan sebatas perasaan semata. Hubngan itu seharusnya dilandasi oleh komitmen dan iman. Apakah Anda juga ingin mengukuhkan kembali komitmen Anda kepada Tuhan? Lakukanlah sesuatu yang membuat Anda semakin dekat dengan Tuhan. Mulailah mencintai apa yang Tuhan cintai, membenci apa yang Tuhan benci. Mulailah dengan lebih teduh hati dalam beribadah, lebih tulus melayani di gereja, lebih banyak mendoakan orang lain ketimbang keinginan diri sendiri, lebih banyak mengucap syukur ketimbang mengeluh dan lebih banyak melihat kebaikan dalam diri orang lain. Ketika kita dengan lebih keras lagi untuk membuat Tuhan tersenyum maka seakan tiada jarak antara kita dengan Tuhan! Imanuel itu nyata, ada di sini, ada di hati ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar