Imanuel! “Allah menyertai kita”.
Itulah nubuat yang disampaikan kepada Yusuf, tunangan Maria yang sedang mempertimbangkan
untuk menceraikan Maria lantaran Maria mengandung. Malaikat Tuhan mencegah
rencana Yusuf itu, seraya mengatakan bahwa anak yang sedang dikandung Maria itu
adalah pekerjaan Roh Kudus. Anak itu kelak akan dinamakan Imanuel (Matius
1:18-25). Kelahiran Yesus merupakan penggenapan dari Yesaya, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan
memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya seorang perempuan muda
mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan
Dia Imanuel.” (Yesaya 7:14)
Pernahkah kita berpikir dalam
konteks atau keadaan yang bagaimana nubuat ini disampaikan Allah sendiri kepada
umat-Nya? Bukan! Bukan dalam keadaan umat itu sedang baik-baik saja. Sebaliknya,
keadaan mereka tidak sedang setia dan beribadah kepada Allah. Pada saat itu
Yehuda dipimpin oleh Ahas, mereka merasa aman sebab musuh-musuhnya, yaitu raja
Aram dan Israel Utara tidak bisa mengalahkannya. Tetapi, kemudian kedua raja
itu mengumpulkan kekuatan mereka untuk kembali melancarkan serangan terhadap Yeehuda,
maka gemetarlah Ahas. Dalam ketakutannya, Allah memberikan penghiburan melalui
kehadiran nabi Yesaya. Yesaya menawarkan kepada Ahas agar dirinya meminta
tanda, bahwa Allah akan memberikan kemenangan. Ahas menolak meminta tanda,
dengan alasan tidak mau mencobai Allah. Apakah benar motifasinya begitu
mulia? Sepintas, Ahas kelihatannya baik,
padahal kenyataannya, hidupnya tidak lebih baik dari raja-raja Israel dan
Yehuda sebelumnya, mereka menyembah berhala. Bahkan Ahas memberikan anaknya
untuk dipersembahkan kepada berhala!
Di balik pernyataan
kesalehannya dan penolakan meminta tanda, sebenarnya Ahas berupaya untuk
meminta pertolongan dan perlindungan politik kepada raja Asyur. Ahas memilih
mengandalkan kekuatan manusia, dalam hal ini raja Asyur yang terlihat kasat
mata memiliki kekuatan besar ketimbang menuruti nasehat Yesaya agar
mengandalkan Allah. Akhirnya, apa yang terjadi? Asyur yang menjadi andalan Ahas
justeru kemudian berbalik menjadi musuhnya. Apakah Allah menertawakan kedegilan
Ahas? Ternyata tidak! Pada saat itulah Allah memberikan janji keselamatan
(Yesaya 7:13-17). Janji itu dikukuhkan dengan tanda yang Allah berikan sendiri,
yaitu hadirnya seorang anak dari seorang perempuan muda yang diberi nama
Imanuel!
Apakah Allah hanya dekat dan
menyertai orang-orang yang baik-baik saja? Dari kisah Ahas di atas
memperlihatkan Allah tetap dekat dan menyertai manusia, meskipun manusia itu
sering menjauhi-Nya. Anda mungkin pernah mendengar lirik lagu, “Tuhan” yang dilantunkan oleh Bimbo. Sebagian
lirik itu berbunyi, “Tuhan...Engkau jauh,
aku jauh. Engkau dekat, aku dekat...” Apakah benar Tuhan itu kadang jauh
dan kadang dekat? Bisa saja orang menafsirkannya begitu. Namun sejatinya Tuhan
dekat dengan kita. Ia tidak pernah jauh dari kita. Ia ada di depan langkah
kita, Ia menopang dari belakang kita, tangan-Nya siap menatang kita, Ia ada di
atas kita, mata-Nya mengawasi dan menjaga kita, bahkan Ia bisa hadir di dalam
kita! Jadi ketika kita merasa bahwa Tuhan itu jauh, sesungguhnya kitalah yang
tidak merasakan hadira-Nya, terkadang juga menolak-Nya seperti Ahas menolak
campur tangan Allah. Ahas menepis hadirat Tuhan oleh karena ia merasa Asyur
lebih bisa diandalkan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Bukankah kita juga
sering seperti Ahas yang menepis kehadiran-Nya lantaran kita merasa mampu
menyelesaikannya sendiri? Kita menepis hadirat dan campur tangan Tuhan karena
sibuk dengan diri seendiri. Kita seakan mengambil jarak dengan-Nya ketika sedang
berselancar dengan kenikmatan kekayaan, kejayaan, kekuasaan, dan popularitas.
Namun, apa yang terjadi ketika
masa-masa sulit menerpa kita? Divonis sakit yang mematikan, usaha terancam
gulung tikar, pasangan berubah setia, anak-anak tak terkendali terpengaruh
pergaulan bebas dan narkoba, dan sederet lagi kekacauan hidup melanda kita, nah
pada masa-masa seperti ini kita mempertanyakan di mana Engkau, Tuhan? Di
manakah kasih setia dan janji-Mu? Kita sering merasa butuh Tuhan pada masa-masa
itu. Saya jadi teringat dengan ritual-ritual penduduk suku asli di kepulauan
Karibia. Mereka akan melakukan ritual yang lebih dari biasanya ketika
musim-musim badai yang mengancam mereka. Tetapi ritual akan berhenti seiring
berhentinya badai itu. Bukankah sama seperti kebanyakan dari kita; ritual
ibadah, doa permohonan dan yang serupa dengan itu akan semakin gencar dilakukan
apabila terpaan badai kehidupan menimpa kita, sebaliknya ritual dan doa akan
menjadi kendor, seiring dengan meredanya badai kehidupan.
Kita seharusnya lebih bisa
merasakan hadirat Tuhan, bukan saja ketika jamahan Roh Kudus membungkus kita
dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Tidak juga sekedar merasakan hadirat Tuhan
pada saat teduh, atau seminggu sekali dalam ibadah minggu. Setiap hari, sejak
mengenal Kristus mestinya kita merasakan hadirat Tuhan. Bukankah di dalam
Kristus, kita mengimani bahwa Dialah Sang Imanuel itu!
Untuk dapat mengalami
kehadiran Tuhan sepanjang masa dalam kehidupan kita, maka dibutuhkan komitmen
dan iman bukan hanya sekedar perasaan saja, sebab terkadang perasan bisa menipu.
Mungkin Anda punya pengalaman seperti ini: Ketika dalam masa-masa sulit,
seseorang pernah berjanji untuk menolong Anda, namun pertolongan itu tidak
kunjung datang. Mengapa? Sering orang berjanji karena didasari oleh perasaan
iba dan simpati sesaat. Biasanya seperti ini bisa kita lihat dalam peristiwa
kedukaan, bencana atau kecelakaan tragis. Karena perasaan iba orang lantas
berucap, “Nanti kalau ada kesulitan hubungi saya, pasti saya akan menolong!”
atau “Biarlah nanti biaya hidup dan anak-anak sekolah akan saya tanggung!” Tapi
setelah beberapa waktu perasaan iba itu berkurang dan kemudian hilang sama
sekali, maka janji itu terlupakan! Barangkali Anda juga pernah tergerak hati
menolong peneritaan anak-anak terlantar, berniat menyantuni hidup mereka, namun
urung Anda lakukan, mengapa? Karena merasa belas kasihan itu sudah menjadi
tawar. Ya, ada kalanya janji hanya sebatas perasaan, dan ketika perasaan kita
berubah, berubahlah pula komitmen kita.
Tentang perasaan, apakah
hubungan Anda juga pernah merasa Tuhan tidak ada saat Anda membutuhkan Dia? Adakalanya
kita merasa bahwa Tuhan meninggalkan kita, seperti Daud pernah berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.
Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan
pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.” (Mazmur 22:2-3). Benarkah
Tuhan tidak ada? Apakah Tuhan bersembunyi, diam membisu saat Anda dan saya
merindukan-Nya? Tidak! Itu adalah perasaan kita semata, Tuhan selalu ada, namun
kita dan juga Daud tidak merasakan bahwa Dia ada!
Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya sebatas
perasaan, hubungan itu akan pasang surut mengikuti perasaan kita yang
senantiasa berubah. Tuhan ada untuk kita; Imanuel! Tuhan ada bukan karena kita
sedang merasakan bahwa Dia sedang dekat. Tuhan selalu ada, meski kita merasa
Dia jauh dari kita. Hubungan kita dengan Tuhan tidak boleh direntangkan sebatas
perasaan semata. Hubngan itu seharusnya dilandasi oleh komitmen dan iman.
Apakah Anda juga ingin mengukuhkan kembali komitmen Anda kepada Tuhan?
Lakukanlah sesuatu yang membuat Anda semakin dekat dengan Tuhan. Mulailah
mencintai apa yang Tuhan cintai, membenci apa yang Tuhan benci. Mulailah dengan
lebih teduh hati dalam beribadah, lebih tulus melayani di gereja, lebih banyak
mendoakan orang lain ketimbang keinginan diri sendiri, lebih banyak mengucap
syukur ketimbang mengeluh dan lebih banyak melihat kebaikan dalam diri orang
lain. Ketika kita dengan lebih keras lagi untuk membuat Tuhan tersenyum maka
seakan tiada jarak antara kita dengan Tuhan! Imanuel itu nyata, ada di sini,
ada di hati ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar