Jumat, 22 November 2013

YESUS KRISTUS, RAJA SURGAWI SEJATI

Minggu Kristus Raja
 
Ketika memberikan laporan pertanggungjawabannya sebagai seorang Presiden, Bill Clinton bercerita bahwa pertemuannya dengan Nelson Mandela mempunyai arti sangat penting. Ketika bertemu dengan Nelson Mandela, Bill Clinton sedang menghadapi banyak kesulitan: Amerika terlibat dalam beberapa konflik senjata, gelombang impeachment terus menghantamnya bertubi-tubi terutama karena isu skandal seksual dengan seorang wanita muda pekerja magang di Gedung Putih, Monica Lewinsky. Dengan kondisi demikian, rasa percaya dirinya runtuh sedikit demi sedikit.

Dalam situasi seperti itu, Nelson Mandela berprakarsa mendekati Bill Clinton untuk menawarkan bantuan, dengan mengatakan bahwa siapa pun pernah melakukan kesalahan, dan yang harus dipentingkan bukan “kesalahan” itu sendiri, melainkan bagaimana mengatasi dan mencari jalan keluar akibat kesalahan itu. Banyak orang berhenti dan terpasung pada “kesalahan” itu, akibatnya tidak menemukan jalan keluar.

Clinton bertanya kepada Nelson Mandela tentang bagaimana ia bisa sesabar dan searif itu, khususnya setelah menderita 30 tahun di dalam penjara di mana di situ Mandela dianiaya, dihina, dilecehkan dan harga dirinya direndahkan begitu rupa. Clinton menduga, pastilah Mandela masih marah dan ingin membalas dendam. Namun, dugaan Clinton meleset! Mandela mengatakan bahwa menurut prinsip hidupnya, balas dendam tidak menyelesaikan masalah! Alih-alih sibuk memikirkan pembalasan terhadap orang-orang yang telah menganiayanya, Mandela memikirkan sakit dan penderitaan serta ketidaknyamanan mereka yang telah membuatnya menderita. Sementara itu, ia mengerahkan segenap dayanya untuk memperjuangkan proyek-proyek sosial dan pendidikan untuk pemulihan dan rekonsiliasi. Mandela tidak mau energinya terkuras untuk tindakan-tindakan balas dendam!

Clinton menyatakan bahwa bincang-bincang dengan Mandela mencerahkan, membuatnya lebih memahami diri sendiri, lebih memahami orang lain, lebih berpegang pada komitmen, lebih pemaaf, dan lebih memiliki belas kasihan. Bincang-bincang itu mengubah hidupnya! Pahit getir pengalaman hidup Nelson Rolihlahla Mandela (Presiden Afrika Selatan 1994-1999) tidak sia-sia. Ia telah banyak menginspirasi pemimpin dunia. Kini dunia mengenal sosok Mandela identik dengan pemimpin yang cinta damai, adil dan memahami orang lain sekalipun orang tersebut pernah atau sedang membencinya.

Pemimpin, presiden, raja, imam atau apa pun namanya yang kepadanya diberikan mandat kekuasaan mestinya mencerminkan karakter Sang Peguasa Sejati. Jika Sang Penguasa Sejati itu dipercaya sebagai Yang Mahaadil, maka cerminan keadilan itu akan terpancar dari si mandataris. Jika Sang Pemberi Kuasa itu diyakini sebagai Yang Mahawelas-asih, maka logikanya yang diberi karunia untuk berkuasa di bumi ini harus memberlakukan semua orang dengan welas-asih. Jika Sang Penguasa Sejati itu dipahami sebagai Yang Mahabenar, maka setiap orang yang memahaminya harus menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah! Mandela berhasih menghidupkan apa yang diyakininya menjadi nyata!

Penguasa adalah cermin dari Allah. Itulah yang didengungkan para Nabi Israel. Yeremia membayangkan Allah itu seperti gembala yang membimbing, mengarahkan, memberi makan, melindungi dari bahaya, merawat yang sakit, memberikan perteduhan bagi domba-domba-Nya. Raja Kerajaan Yehuda maupun Israel adalah cerminan dari karakter Allah itu. Namun, nyatanya mereka gagal merepresentasikan kegembalaan TUHAN dalam kedudukan mereka sebagai pemimpin umat. Mereka harus bertanggungjawab sepenuhnya atas kebobrokan spiritual dan moral umat, sehingga akhirnya TUHAN menghukum mereka dengan membiarkan bangsa-bangsa asing menjarah dan menjajah (Asyur untuk Israel Utara pada 722 SM dan kemudian Babel untuk Yehuda pada tahun 586 SM). Mereka terbuang, Yerusalem dan Bait Suci dihanguskan!
Sikap para raja yang tidak memedulikan nasib bangsanya, dan yang hanya berjuang untuk kepentingan keluarga dan dinastinya sendiri, serta tidak bisa menjadi teladan untuk hidup beriman yang baik, membuat TUHAN marah dan bertindak tegas. “Aku datang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat atas kamu!” (Yeremia 23:2). Seharusnya para raja itu menghadirkan peran “gembala” atas umat-Nya, yaitu memimpin dengan bijaksana (Ibr.sakal = berbuat sesuatu dengan hati-hati dan bijaksana), serta melakukan keadilan dan kebenaran.

Namun, apa yang terjadi pada jaman itu? Para hakim – pejabat yang menjaga benteng keadilan – justeru membela yang kaya dan mengalahkan yang miskin meskipun yang bersalah adalah si kaya. Ketidakadilan juga terjadi dalam sektor ekonomi. Ketika orang yang memiliki modal berkolusi dengan para pejabat maka terjadilah praktek monopoli sementara rakyat miskin semakin miskin, terpuruk tidak berdaya. Raja seharusnya menjadi penjamin keadilan Allah tetapi ikut bermain dan menikmati. Itulah sebabnya Allah mengecam.

Mengherankan! Meskipun peringatan demi peringatan telah disampaikan Allah sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya, dan sejarah berulang kali membuktikannya bahwa tidak ada pemimpin atau raja atau presiden dan apa pun namanya yang lalim akan mampu bertahan namun justeru kelaliman, keserakahan, kerakusan terus ditiru. Bukankah apa yang ditentang Yeremia sekarang juga terjadi di sini? Benteng pamungkas keadilan telah runtuh, korupsi ketua Mahkamah Konstitusi adalah gambaran paling nyata bobroknya keadilan di negeri ini! Praktek-praktek bisnis konglomerasi telah menutup kran bagi rakyat kecil untuk mengembangkan bisnisnya. Celakanya, sama seperti jaman para nabi dahulu, para pebisnis main mata dengan penguasa. Keberpihakan kepada para petani dan nelayan nyaris tidak ada. Import yang dipentingkan karena dengan demikian akan membuka peluang korupsi bagi segelintir orang yang duduk dalam kekuasaan tetapi menyengsarakan rakyat banyak!

Mari kita bercermin pada figur Yesus. Dalam Minggu “Kristus Raja” ini, apa dapat dicontoh dari-Nya? Setelah sekian lama berada dalam jajahan Romawi, pada jaman Yesus orang-orang Yahudi pun merindukan sosok pemimpin pembebas. Seorang raja gagah perkasa yang akan balas melawan dan menaklukan kekaisaran Romawi. Oleh karenanya raja tidak boleh menunjukkan kelemahan, apalagi diperlakukan secara hina oleh orang kafir. Baik Yahudi maupun Romawi punya konsep yang sama tentang raja; harus digdaya, sakti mandraguna, mampu menunjukkan kuasa supra natural dan mencengangkan! Yesus yang digadang-gadang sebagai raja, ternyata tidak memenuhi harapan mereka! Oleh karena itu mereka kecewa lantas melecehkan dan mengolok-olok Yesus . Pada kayu salib, mereka memasang atribut di atas kepala Yesus, “Inilah raja orang Yahudi.” (Lukas 23:38).

“Inilah raja orang Yahudi!” Kalimat ini adalah cibiran bagi mereka yang tidak tahu peran apa sesungguhnya yang sedang dilakoni Yesus. Namun, kalimat itu merupakan pengakuan iman bagi orang yang tahu dan menantikan kedatangan-Nya. Dalam peristiwa salib yang dituturkan Lukas (Lukas 23:33-43), ada dua orang penjahat yang disalibkan bersama Yesus. Penjahat pertama menghujat Yesus dan mempertanyakan kemesiasan-Nya, sedangkan penjahat yang lainnya menyadari akan dosa-dosanya dan memang sepantasnyalah ia dihukum tetapi kemudian penjahat ini mengharapkan belas kasihan dari Yesus. Ia berkata, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (ay.41). Tidak usah nanti, penjahat yang beruntung itu memperoleh apa yang diharapkannya. Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”

Kata “Firdaus” adalah sebuah kata Persia yang berarti “sebuah taman yang bertembok”. Kalau seorang raja Persia mau menghormati rakyatnya dengan penghormatan yang khusus maka ia akan mengundangnya untuk bersama-sama dengan dia di dalam taman, berjalan-jalan dengan sang raja di taman itu. Apa yang dijanjikan Yesus kepada penjahat itu adalah lebih dari hal yang sifatnya sementara saja, melainkan kehidupan kekal.

Penjahat itu tampaknya mengenal kepada siapa ia berharap. Raja yang sesungguhnya, Raja Sorgawi! Raja yang satu ini justeru unjuk kehebatan pada waktu Ia tidak menggunakan kekuatan dan kekuasaan-Nya untuk kepentingan pribadi-Nya meskipun Ia terancam, tetapi justeru menaruh perhatian dan empati yang mendalam kepada penjahat yang sadar ini. Kepentingan pribadi-Nya disingkirkan, kepentingan orang berdosa justeru dinomorsatukan! Yesus menjalankan peran Raja Imam yang menyelamatkan di tempat yang hina bagi para pemimpin agama dan pemimpin negara yang munafik dan hanya berjuang untuk kepentingan diri sendiri saja! Yesus memancarkan karakter Raja sorgawi itu: pengampunan, cinta kasih, dan pengorbanan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar