Minggu Kristus Raja
Ketika memberikan laporan
pertanggungjawabannya sebagai seorang Presiden, Bill Clinton bercerita bahwa pertemuannya
dengan Nelson Mandela mempunyai arti sangat penting. Ketika bertemu dengan
Nelson Mandela, Bill Clinton sedang menghadapi banyak kesulitan: Amerika
terlibat dalam beberapa konflik senjata, gelombang impeachment terus menghantamnya bertubi-tubi terutama karena isu
skandal seksual dengan seorang wanita muda pekerja magang di Gedung Putih,
Monica Lewinsky. Dengan kondisi demikian, rasa percaya dirinya runtuh sedikit
demi sedikit.
Dalam situasi seperti itu,
Nelson Mandela berprakarsa mendekati Bill Clinton untuk menawarkan bantuan,
dengan mengatakan bahwa siapa pun pernah melakukan kesalahan, dan yang harus
dipentingkan bukan “kesalahan” itu sendiri, melainkan bagaimana mengatasi dan
mencari jalan keluar akibat kesalahan itu. Banyak orang berhenti dan terpasung
pada “kesalahan” itu, akibatnya tidak menemukan jalan keluar.
Clinton bertanya kepada Nelson
Mandela tentang bagaimana ia bisa sesabar dan searif itu, khususnya setelah
menderita 30 tahun di dalam penjara di mana di situ Mandela dianiaya, dihina,
dilecehkan dan harga dirinya direndahkan begitu rupa. Clinton menduga, pastilah
Mandela masih marah dan ingin membalas dendam. Namun, dugaan Clinton meleset!
Mandela mengatakan bahwa menurut prinsip hidupnya, balas dendam tidak
menyelesaikan masalah! Alih-alih sibuk memikirkan pembalasan terhadap
orang-orang yang telah menganiayanya, Mandela memikirkan sakit dan penderitaan
serta ketidaknyamanan mereka yang telah membuatnya menderita. Sementara itu, ia
mengerahkan segenap dayanya untuk memperjuangkan proyek-proyek sosial dan
pendidikan untuk pemulihan dan rekonsiliasi. Mandela tidak mau energinya
terkuras untuk tindakan-tindakan balas dendam!
Clinton menyatakan bahwa
bincang-bincang dengan Mandela mencerahkan, membuatnya lebih memahami diri
sendiri, lebih memahami orang lain, lebih berpegang pada komitmen, lebih
pemaaf, dan lebih memiliki belas kasihan. Bincang-bincang itu mengubah
hidupnya! Pahit getir pengalaman hidup Nelson Rolihlahla Mandela (Presiden
Afrika Selatan 1994-1999) tidak sia-sia. Ia telah banyak menginspirasi pemimpin
dunia. Kini dunia mengenal sosok Mandela identik dengan pemimpin yang cinta
damai, adil dan memahami orang lain sekalipun orang tersebut pernah atau sedang
membencinya.
Pemimpin, presiden, raja, imam
atau apa pun namanya yang kepadanya diberikan mandat kekuasaan mestinya
mencerminkan karakter Sang Peguasa Sejati. Jika Sang Penguasa Sejati itu
dipercaya sebagai Yang Mahaadil, maka cerminan keadilan itu akan terpancar dari
si mandataris. Jika Sang Pemberi Kuasa itu diyakini sebagai Yang Mahawelas-asih,
maka logikanya yang diberi karunia untuk berkuasa di bumi ini harus
memberlakukan semua orang dengan welas-asih. Jika Sang Penguasa Sejati itu
dipahami sebagai Yang Mahabenar, maka setiap orang yang memahaminya harus
menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah! Mandela berhasih
menghidupkan apa yang diyakininya menjadi nyata!
Penguasa adalah cermin dari
Allah. Itulah yang didengungkan para Nabi Israel. Yeremia membayangkan Allah
itu seperti gembala yang membimbing, mengarahkan, memberi makan, melindungi
dari bahaya, merawat yang sakit, memberikan perteduhan bagi domba-domba-Nya. Raja
Kerajaan Yehuda maupun Israel adalah cerminan dari karakter Allah itu. Namun,
nyatanya mereka gagal merepresentasikan kegembalaan TUHAN dalam kedudukan
mereka sebagai pemimpin umat. Mereka harus bertanggungjawab sepenuhnya atas
kebobrokan spiritual dan moral umat, sehingga akhirnya TUHAN menghukum mereka
dengan membiarkan bangsa-bangsa asing menjarah dan menjajah (Asyur untuk Israel
Utara pada 722 SM dan kemudian Babel untuk Yehuda pada tahun 586 SM). Mereka
terbuang, Yerusalem dan Bait Suci dihanguskan!
Sikap para raja yang tidak
memedulikan nasib bangsanya, dan yang hanya berjuang untuk kepentingan keluarga
dan dinastinya sendiri, serta tidak bisa menjadi teladan untuk hidup beriman
yang baik, membuat TUHAN marah dan bertindak tegas. “Aku datang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat atas kamu!”
(Yeremia 23:2). Seharusnya para raja itu menghadirkan peran “gembala” atas
umat-Nya, yaitu memimpin dengan bijaksana (Ibr.sakal = berbuat sesuatu dengan hati-hati dan bijaksana), serta
melakukan keadilan dan kebenaran.
Namun, apa yang terjadi pada
jaman itu? Para hakim – pejabat yang menjaga benteng keadilan – justeru membela
yang kaya dan mengalahkan yang miskin meskipun yang bersalah adalah si kaya. Ketidakadilan
juga terjadi dalam sektor ekonomi. Ketika orang yang memiliki modal berkolusi
dengan para pejabat maka terjadilah praktek monopoli sementara rakyat miskin
semakin miskin, terpuruk tidak berdaya. Raja seharusnya menjadi penjamin
keadilan Allah tetapi ikut bermain dan menikmati. Itulah sebabnya Allah
mengecam.
Mengherankan! Meskipun
peringatan demi peringatan telah disampaikan Allah sebagai pemilik kekuasaan
yang sesungguhnya, dan sejarah berulang kali membuktikannya bahwa tidak ada
pemimpin atau raja atau presiden dan apa pun namanya yang lalim akan mampu
bertahan namun justeru kelaliman, keserakahan, kerakusan terus ditiru. Bukankah
apa yang ditentang Yeremia sekarang juga terjadi di sini? Benteng pamungkas
keadilan telah runtuh, korupsi ketua Mahkamah Konstitusi adalah gambaran paling
nyata bobroknya keadilan di negeri ini! Praktek-praktek bisnis konglomerasi
telah menutup kran bagi rakyat kecil untuk mengembangkan bisnisnya. Celakanya,
sama seperti jaman para nabi dahulu, para pebisnis main mata dengan penguasa.
Keberpihakan kepada para petani dan nelayan nyaris tidak ada. Import yang
dipentingkan karena dengan demikian akan membuka peluang korupsi bagi
segelintir orang yang duduk dalam kekuasaan tetapi menyengsarakan rakyat
banyak!
Mari kita bercermin pada figur
Yesus. Dalam Minggu “Kristus Raja” ini, apa dapat dicontoh dari-Nya? Setelah sekian
lama berada dalam jajahan Romawi, pada jaman Yesus orang-orang Yahudi pun
merindukan sosok pemimpin pembebas. Seorang raja gagah perkasa yang akan balas
melawan dan menaklukan kekaisaran Romawi. Oleh karenanya raja tidak boleh
menunjukkan kelemahan, apalagi diperlakukan secara hina oleh orang kafir. Baik
Yahudi maupun Romawi punya konsep yang sama tentang raja; harus digdaya, sakti mandraguna,
mampu menunjukkan kuasa supra natural dan mencengangkan! Yesus yang
digadang-gadang sebagai raja, ternyata tidak memenuhi harapan mereka! Oleh
karena itu mereka kecewa lantas melecehkan dan mengolok-olok Yesus . Pada kayu
salib, mereka memasang atribut di atas kepala Yesus, “Inilah raja orang Yahudi.” (Lukas 23:38).
“Inilah raja orang Yahudi!”
Kalimat ini adalah cibiran bagi mereka yang tidak tahu peran apa sesungguhnya
yang sedang dilakoni Yesus. Namun, kalimat itu merupakan pengakuan iman bagi
orang yang tahu dan menantikan kedatangan-Nya. Dalam peristiwa salib yang
dituturkan Lukas (Lukas 23:33-43), ada dua orang penjahat yang disalibkan
bersama Yesus. Penjahat pertama menghujat Yesus dan mempertanyakan
kemesiasan-Nya, sedangkan penjahat yang lainnya menyadari akan dosa-dosanya dan
memang sepantasnyalah ia dihukum tetapi kemudian penjahat ini mengharapkan belas
kasihan dari Yesus. Ia berkata, “Yesus,
ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (ay.41). Tidak usah
nanti, penjahat yang beruntung itu memperoleh apa yang diharapkannya. Kata
Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya hari ini juga engkau bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
Kata “Firdaus” adalah sebuah
kata Persia yang berarti “sebuah taman yang bertembok”. Kalau seorang raja
Persia mau menghormati rakyatnya dengan penghormatan yang khusus maka ia akan
mengundangnya untuk bersama-sama dengan dia di dalam taman, berjalan-jalan
dengan sang raja di taman itu. Apa yang dijanjikan Yesus kepada penjahat itu
adalah lebih dari hal yang sifatnya sementara saja, melainkan kehidupan kekal.
Penjahat itu tampaknya
mengenal kepada siapa ia berharap. Raja yang sesungguhnya, Raja Sorgawi! Raja
yang satu ini justeru unjuk kehebatan pada waktu Ia tidak menggunakan kekuatan
dan kekuasaan-Nya untuk kepentingan pribadi-Nya meskipun Ia terancam, tetapi
justeru menaruh perhatian dan empati yang mendalam kepada penjahat yang sadar
ini. Kepentingan pribadi-Nya disingkirkan, kepentingan orang berdosa justeru
dinomorsatukan! Yesus menjalankan peran Raja Imam yang menyelamatkan di tempat
yang hina bagi para pemimpin agama dan pemimpin negara yang munafik dan hanya
berjuang untuk kepentingan diri sendiri saja! Yesus memancarkan karakter Raja
sorgawi itu: pengampunan, cinta kasih, dan pengorbanan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar