Jumat, 15 November 2013

HARI TUHAN, BERKAH ATAU CELAKA?

Badai Haiyan menjadi salah satu berita utama di berbagai media internasional. Badai dengan kecepatan 275 km/jam menghantam Filipina. Kantor berita Reuter mengutip pernyataan polisi senior Filipina yang mengatakan kota-kota di pesisir negeri itu hancur oleh gelombang besar. Topan Haiyan menyapu 70-80 persen wilayah yang dilewatinya. Hingga Minggu, (10/11) tercatat lebih dari 10.000 ribu orang tewas. Kebanyakan korban tewas karena tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, selain itu juga korban tertimbun oleh puing-puing bangunan, pohon-pohon, tiang-tiang yang tumbang akibat terjangan topan itu. Warga yang selamat menggambarkan topan Haiyan seperti tsunami yang meluluh-lantakan pemukiman dan menenggelamkan ribuan orang. Media-media banyak menyebut bencana itu seperti “kiamat” bagi kota Tocloban, ibu kota provinsi Leyte, Filipina.

“Kiamat” kata yang sering dipakai untuk melukiskan bencana masive mengerikan yang memakan korban jiwa, harta benda dan lingkungan yang luar biasa besarnya. Gempa bumi dan tsunami Aceh di penghujung 2004 konon disebut-sebut sebagai “kiamat” bagi rakyat Aceh. Apa sesungguhnya kiamat itu? Tidak satu pun di antara kita yang tahu persis. Secara umum, kiamat berarti peristiwa di mana alam semesta beserta isinya luluh-lantak, sehingga tidak ada lagi kehidupan. Di situlah dunia dan isinya berakhir! Meskipun peristiwa kiamat yang sesungguhnya belum terjadi, namun manusia diberi karunia oleh yang Mahakuasa untuk peka terhadap kondisi tersebut. Manusia merasa ngeri, takut yang luar biasa sehingga terucap, “ini kiamat!”

Gambaran ngeri atau ketakutan yang luar biasa dapat kita temui dari pesan para nabi tentang Hari Tuhan. Maleakhi 4:1 mencatat, “Bahwa sesungguhnya hari itu datang, menyala seperti perapian, maka semua orang gegabah dan setiap orang yang berbuat fasik menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang itu, firman TUHAN semesta alam, sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabang mereka.” Maleakhi menggambarkan hari TUHAN itu seperti perapian. Perapian yang dimaksud sebuah tungku peleburan logam yang sangat panas, seperti dapur perapian yang disediakan untuk Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, di mana orang yang melemparkannya ikut hangus terbakar. Gambaran kedasyatan api yang menghanguskan! Manusia ibarat jerami kering yang terbakar habis sampai ke akar-akarnya. Tanpa sisa sedikit pun! Kondisi seperti akan terjadi bagi orang gegabah dan yang berbuat fasik.

Siapa orang gegabah dan berlaku fasik itu? Gegabah artinya sembrono. Orang yang gegabah adalah mereka yang tidak berhati-hati, mengabaikan/menganggap sepi peringatan dan titah-titah TUHAN, sedangkan orang yang berlaku fasik adalah mereka yang sesungguhnya mengetahui kebenaran tetapi menolak untuk melakukannya. Jadi, kelompok ini tidak mesti diartikan kepada mereka yang tidak pernah menyebut dan menyembah TUHAN. Justeru banyak orang yang mengaku beragama, beribadah dan menyembah TUHAN berlaku fasik! Amos 5:21-27 menyatakan dengan gamlang bagaimana umat Allah itu beribadah dan merayakan perayaan-perayaan untuk TUHAN, namun kehidupan moral mereka bejad. Sangka mereka TUHAN senang dengan perayaan dan ibadah itu. Tidak! TUHAN membenci ibadah mereka. Mengapa? Sebab meskipun mereka beribadah dan menyembah TUHAN namun prilaku mereka bertolak belakang dari apa yang diinginkan Allah. Mereka penindas, pezinah, pemabuk, pemerkosa bahkan pembunuh! Bisa jadi kelompok fasik masa kini pun berasal dari kalangan orang yang mengaku beragama, beribadah dan menyembah TUHAN. Agama hanya dipakai sebagai kedok untuk menutupi prilaku amoral. Peringatan hukuman pada hari TUHAN pertama-tama tidak ditujukan kepada orang kafir yang tidak mengenal TUHAN, melainkan kepada mereka yang mengaku sebagai penyembah-penyembah-Nya!

Kondisi sebaliknya terjadi bagi orang-orang yang hidup benar di hadapan TUHAN.”Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.” (Maleakhi 4:2). Lambang yang digunakan untuk pemulihan orang-orang benar pada hari TUHAN adalah “surya kebenaran” bagaikan matahari yang “sayapnya” (cahayanya) memiliki kekuatan memulihkan. Oleh karenanya, bagi orang-orang benar, hari TUHAN adalah hari yang penuh sukacita. Mereka akan bersukacita bagaikan anak lembu yang keluar dari kandang, berjingkrak-jingkrak menikmati kebebasan dan rumput yang luas. Pemulihan dan suka cita ini disediakan bagi mereka yang takut akan nama TUHAN. Mereka adalah orang-orang yang tahu kehendak TUHAN lalu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang menaruh hormat kepada TUHAN, baik dalam ibadah maupun dalam prilaku.

Dua kelompok: orang gegabah atau fasik dan orang benar atau takut akan nama TUHAN, tampaknya ada di sepanjang masa. Pada jaman Tuhan Yesus, kelompok fasik biasanya ditujukan pada orang-orang yang memelihara hukum Taurat, merasa aman dalam lingkungan Bait Suci, namun prilaku keseharian tidak menunjukkan esensi Taurat itu sendiri. Bait Suci dibangun dengan kemewahan, namun hati jauh dari rasa takut akan TUHAN. Yesus mengingatkan mereka yang menggumi Bait Allah ini, “Apa yang kamu lihat di situ akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”(Lukas 21:6). Kebanggaan dan kedekatan terhadap Bait Suci tidak menjamin seseorang “aman” ketika datangnya hari TUHAN. Sebaliknya, mereka yang setia mengerjakan kehendak-Nya, meskipun mengalami penganiayaan luar biasa, jiwa dan keselamatan mereka dijamin. Tuhan mengatakan, “Tetapi tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Lukas 21:18-19).

Hari TUHAN bagi orang-orang fasik merupakan “bencana”, karena pada waktu itu kebinasaan yang sesungguhnya terjadi. Nada yang sama dengan Maleakhi 4:1, Amos mengingatkan tantang hari TUHAN sebagai bencana bagi orang-orang fasik, “Celakalah bagi mereka yang menginginkan hari TUHAN! Apakah gunanya hari TUHAN itu bagimu? Hari itu kegelapan, bukan terang!” (Amos 5:18). Mengapa Amos memandang hari TUHAN seperti itu? Pada masa itu, banyak pengajar-pengajar palsu yang menina-bobokan umat Israel dalam kebobrokan moral dan mengatakan bahwa umat pilihan itu pasti akan diangkat dalam kemuliaan pada hari TUHAN, tetapi yang terjadi TUHAN menolak mereka. “Oleh pedang akan mati terbunuh semua orang berdosa di antara umat-Ku yang mengatakan: Malapetaka itu tidak akan menyusul dan tidak akan mencapai kami.” (Amos 9:10).

Kita tidak tahu percis kapan hari TUHAN itu terjadi. Sejak jaman Perjanjian Lama, orang sudah menantikan hari TUHAN itu. Pada jaman Yesus, spekulasi datangnya hari TUHAN sudah menjadi isu hangat. Peristiwa-peristiwa alam (gempa bumi), munculnya pengajar-pengajar palsu, peperangan dan pelbagai penderitaan sering dipakai sebagai tanda akan terjadinya hari TUHAN. Sampai sekarang pun, manusia gemar mencari tanda-tanda hari TUHAN itu. Atas semuanya itu, Yesus mengingatkan, “Waspadalah supaya kamu jangan disesatkan.” (Lukas 21:8). Sikap waspada adalah lawan dari gegabah (Maleakhi 4:1). Waspada tidak berarti panik dan mengambil sikap berlebihan; menginggalakan semua tanggungjawab, mengasingkan diri lalu menunggu-nunggu hari itu. Bukan! Bukan seperti itu, Yesus memaknainya bahwa momen ini adalah kesempatan yang baik untuk bersaksi. “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.” (Luk.21:13). Tentu bersaksi yang dimaksud Yesus bukan sekedar berucap  doang, sebab kalau hanya itu yang dilakukan, apa bedanya dengan umat TUHAN pada jaman Amos dan Maleakhi. Bersaksi merupakan kesatuan antara kata dan tingkah laku.

Pada jaman Paulus, orang-orang Tesalonika sempat gusar dengan berita tentang hari TUHAN atau akhir jaman di mana Tuhan Yesus akan datang kembali. Seperti terungkap dalam 2 Tesalonika 2:1-2, yang beredar ajaran bahwa hari TUHAN itu telah tiba. Akibatnya, mereka menjadi panik, hidup tidak tertib, tidak mau bekerja dan melalaikan tanggung jawab sehari-hari Paulus menegaskan supaya mereka menjauhi orang-orang yang punya sikap demikian. Sikap yang terbaik adalah berdoa dan bekerja (2 Tesalonika 3:1-15), beribadah dan hidup bermoral di tengah-tengah masyarakat!

Pada masa kini pun isu tentang hari TUHAN tidak kalah menariknya. Banyak cara dan prilaku orang menantikannya. Dari peringatan beberapa ayat dalam Alkitab, biarlah menolong kita untuk tidak menjadi orang gegagah dan fasik, melainkan jadilah orang-orang yang takut akan TUHAN, beribadah kepada-Nya dengan sepenuh hati, berlaku benar dan adil dalam masyarakat supaya pada saatnya hari itu tiba, kita termasuk orang-orang yang diberkahi, bukan orang celaka. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar