Badai Haiyan menjadi salah satu berita utama di berbagai media
internasional. Badai dengan kecepatan 275 km/jam menghantam Filipina. Kantor
berita Reuter mengutip pernyataan polisi senior Filipina yang mengatakan
kota-kota di pesisir negeri itu hancur oleh gelombang besar. Topan Haiyan
menyapu 70-80 persen wilayah yang dilewatinya. Hingga Minggu, (10/11) tercatat
lebih dari 10.000 ribu orang tewas. Kebanyakan korban tewas karena tenggelam akibat
naiknya permukaan air laut, selain itu juga korban tertimbun oleh puing-puing
bangunan, pohon-pohon, tiang-tiang yang tumbang akibat terjangan topan itu.
Warga yang selamat menggambarkan topan Haiyan seperti tsunami yang
meluluh-lantakan pemukiman dan menenggelamkan ribuan orang. Media-media banyak
menyebut bencana itu seperti “kiamat” bagi kota Tocloban, ibu kota provinsi
Leyte, Filipina.
“Kiamat” kata yang sering
dipakai untuk melukiskan bencana masive mengerikan yang memakan korban jiwa,
harta benda dan lingkungan yang luar biasa besarnya. Gempa bumi dan tsunami
Aceh di penghujung 2004 konon disebut-sebut sebagai “kiamat” bagi rakyat Aceh.
Apa sesungguhnya kiamat itu? Tidak satu pun di antara kita yang tahu persis.
Secara umum, kiamat berarti peristiwa di mana alam semesta beserta isinya luluh-lantak,
sehingga tidak ada lagi kehidupan. Di situlah dunia dan isinya berakhir!
Meskipun peristiwa kiamat yang sesungguhnya belum terjadi, namun manusia diberi
karunia oleh yang Mahakuasa untuk peka terhadap kondisi tersebut. Manusia
merasa ngeri, takut yang luar biasa sehingga terucap, “ini kiamat!”
Gambaran ngeri atau ketakutan
yang luar biasa dapat kita temui dari pesan para nabi tentang Hari Tuhan.
Maleakhi 4:1 mencatat, “Bahwa
sesungguhnya hari itu datang, menyala seperti perapian, maka semua orang gegabah
dan setiap orang yang berbuat fasik menjadi seperti jerami dan akan terbakar
oleh hari yang datang itu, firman TUHAN semesta alam, sampai tidak
ditinggalkannya akar dan cabang mereka.” Maleakhi menggambarkan hari TUHAN
itu seperti perapian. Perapian yang dimaksud sebuah tungku peleburan logam yang
sangat panas, seperti dapur perapian yang disediakan untuk Sadrakh, Mesakh, dan
Abednego, di mana orang yang melemparkannya ikut hangus terbakar. Gambaran kedasyatan
api yang menghanguskan! Manusia ibarat jerami kering yang terbakar habis sampai
ke akar-akarnya. Tanpa sisa sedikit pun! Kondisi seperti akan terjadi bagi
orang gegabah dan yang berbuat fasik.
Siapa orang gegabah dan
berlaku fasik itu? Gegabah artinya sembrono. Orang yang gegabah adalah mereka
yang tidak berhati-hati, mengabaikan/menganggap sepi peringatan dan titah-titah
TUHAN, sedangkan orang yang berlaku fasik adalah mereka yang sesungguhnya
mengetahui kebenaran tetapi menolak untuk melakukannya. Jadi, kelompok ini
tidak mesti diartikan kepada mereka yang tidak pernah menyebut dan menyembah
TUHAN. Justeru banyak orang yang mengaku beragama, beribadah dan menyembah
TUHAN berlaku fasik! Amos 5:21-27 menyatakan dengan gamlang bagaimana umat
Allah itu beribadah dan merayakan perayaan-perayaan untuk TUHAN, namun
kehidupan moral mereka bejad. Sangka mereka TUHAN senang dengan perayaan dan
ibadah itu. Tidak! TUHAN membenci ibadah mereka. Mengapa? Sebab meskipun mereka
beribadah dan menyembah TUHAN namun prilaku mereka bertolak belakang dari apa
yang diinginkan Allah. Mereka penindas, pezinah, pemabuk, pemerkosa bahkan
pembunuh! Bisa jadi kelompok fasik masa kini pun berasal dari kalangan orang
yang mengaku beragama, beribadah dan menyembah TUHAN. Agama hanya dipakai
sebagai kedok untuk menutupi prilaku amoral. Peringatan hukuman pada hari TUHAN
pertama-tama tidak ditujukan kepada orang kafir yang tidak mengenal TUHAN,
melainkan kepada mereka yang mengaku sebagai penyembah-penyembah-Nya!
Kondisi sebaliknya terjadi
bagi orang-orang yang hidup benar di hadapan TUHAN.”Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya
kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan
berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.” (Maleakhi 4:2).
Lambang yang digunakan untuk pemulihan orang-orang benar pada hari TUHAN adalah
“surya kebenaran” bagaikan matahari yang “sayapnya” (cahayanya) memiliki
kekuatan memulihkan. Oleh karenanya, bagi orang-orang benar, hari TUHAN adalah
hari yang penuh sukacita. Mereka akan bersukacita bagaikan anak lembu yang
keluar dari kandang, berjingkrak-jingkrak menikmati kebebasan dan rumput yang
luas. Pemulihan dan suka cita ini disediakan bagi mereka yang takut akan nama
TUHAN. Mereka adalah orang-orang yang tahu kehendak TUHAN lalu melakukannya
dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang menaruh hormat
kepada TUHAN, baik dalam ibadah maupun dalam prilaku.
Dua kelompok: orang gegabah
atau fasik dan orang benar atau takut akan nama TUHAN, tampaknya ada di
sepanjang masa. Pada jaman Tuhan Yesus, kelompok fasik biasanya ditujukan pada
orang-orang yang memelihara hukum Taurat, merasa aman dalam lingkungan Bait
Suci, namun prilaku keseharian tidak menunjukkan esensi Taurat itu sendiri.
Bait Suci dibangun dengan kemewahan, namun hati jauh dari rasa takut akan
TUHAN. Yesus mengingatkan mereka yang menggumi Bait Allah ini, “Apa yang kamu lihat di situ akan datang
harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu
yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”(Lukas 21:6). Kebanggaan dan
kedekatan terhadap Bait Suci tidak menjamin seseorang “aman” ketika datangnya
hari TUHAN. Sebaliknya, mereka yang setia mengerjakan kehendak-Nya, meskipun
mengalami penganiayaan luar biasa, jiwa dan keselamatan mereka dijamin. Tuhan
mengatakan, “Tetapi tidak sehelai pun
dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan
memperoleh hidupmu.” (Lukas 21:18-19).
Hari TUHAN bagi orang-orang
fasik merupakan “bencana”, karena pada waktu itu kebinasaan yang sesungguhnya
terjadi. Nada yang sama dengan Maleakhi 4:1, Amos mengingatkan tantang hari
TUHAN sebagai bencana bagi orang-orang fasik, “Celakalah bagi mereka yang menginginkan hari TUHAN! Apakah gunanya
hari TUHAN itu bagimu? Hari itu kegelapan, bukan terang!” (Amos 5:18). Mengapa
Amos memandang hari TUHAN seperti itu? Pada masa itu, banyak pengajar-pengajar
palsu yang menina-bobokan umat Israel dalam kebobrokan moral dan mengatakan
bahwa umat pilihan itu pasti akan diangkat dalam kemuliaan pada hari TUHAN,
tetapi yang terjadi TUHAN menolak mereka. “Oleh
pedang akan mati terbunuh semua orang berdosa di antara umat-Ku yang
mengatakan: Malapetaka itu tidak akan menyusul dan tidak akan mencapai kami.”
(Amos 9:10).
Kita tidak tahu percis kapan
hari TUHAN itu terjadi. Sejak jaman Perjanjian Lama, orang sudah menantikan
hari TUHAN itu. Pada jaman Yesus, spekulasi datangnya hari TUHAN sudah menjadi
isu hangat. Peristiwa-peristiwa alam (gempa bumi), munculnya pengajar-pengajar
palsu, peperangan dan pelbagai penderitaan sering dipakai sebagai tanda akan
terjadinya hari TUHAN. Sampai sekarang pun, manusia gemar mencari tanda-tanda
hari TUHAN itu. Atas semuanya itu, Yesus mengingatkan, “Waspadalah supaya kamu jangan disesatkan.” (Lukas 21:8). Sikap
waspada adalah lawan dari gegabah (Maleakhi 4:1). Waspada tidak berarti panik
dan mengambil sikap berlebihan; menginggalakan semua tanggungjawab,
mengasingkan diri lalu menunggu-nunggu hari itu. Bukan! Bukan seperti itu,
Yesus memaknainya bahwa momen ini adalah kesempatan yang baik untuk bersaksi. “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk
bersaksi.” (Luk.21:13). Tentu bersaksi yang dimaksud Yesus bukan sekedar
berucap doang, sebab kalau hanya itu
yang dilakukan, apa bedanya dengan umat TUHAN pada jaman Amos dan Maleakhi.
Bersaksi merupakan kesatuan antara kata dan tingkah laku.
Pada jaman Paulus, orang-orang
Tesalonika sempat gusar dengan berita tentang hari TUHAN atau akhir jaman di
mana Tuhan Yesus akan datang kembali. Seperti terungkap dalam 2 Tesalonika
2:1-2, yang beredar ajaran bahwa hari TUHAN itu telah tiba. Akibatnya, mereka
menjadi panik, hidup tidak tertib, tidak mau bekerja dan melalaikan tanggung
jawab sehari-hari Paulus menegaskan supaya mereka menjauhi orang-orang yang
punya sikap demikian. Sikap yang terbaik adalah berdoa dan bekerja (2
Tesalonika 3:1-15), beribadah dan hidup bermoral di tengah-tengah masyarakat!
Pada masa kini pun isu tentang hari TUHAN tidak kalah
menariknya. Banyak cara dan prilaku orang menantikannya. Dari peringatan
beberapa ayat dalam Alkitab, biarlah menolong kita untuk tidak menjadi orang
gegagah dan fasik, melainkan jadilah orang-orang yang takut akan TUHAN,
beribadah kepada-Nya dengan sepenuh hati, berlaku benar dan adil dalam
masyarakat supaya pada saatnya hari itu tiba, kita termasuk orang-orang yang
diberkahi, bukan orang celaka. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar