Jumat, 01 November 2013

PERJUMPAAN YANG MEMBAWA PEMBARUAN HIDUP

Hampir tidak dijumpai orang tua yang memberi nama anaknya dengan “Zakheus”. Mengapa? Mungkin saja takut kelak anaknya diolok-olok karena nama Zakheus identik dengan “si pemungut cukai” (Lukas 19:1-10). Dalam masyarakat Yahudi pada zaman Tuhan Yesus, para pemungut cukai dikelompokkan pada golongan orang berdosa atau tercela. Mereka dijauhi dan dianggap penghianat. Pemungutan cukai (pajak) biasanya diserahkan kepada orang-orang yang mau bekerjasama dengan penjajah Romawi. Para penguasa Romawi menaksir dan menetapkan besarnya pajak untuk suatu daerah dan kemudian menentukan siapa yang bersedia memberikan penawaran tertinggi (seperti sistem tender), kepada mereka ini diberlakukan kontrak lima tahunan. Sebagai imbalannya, pihak penjajah Romawi menyediakan tentara atau body guard untuk melindungi si pemungut cukai dan kalau perlu memaksa rakyat agar membayar pajak. Hal yang lumrah terjadi adalah bahwa si pemungut cukai itu akan memungut tidak hanya untuk membayar kepada pemerintah Romawi, tetapi juga untuk memperkaya dirinya. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka ini adalah orang-orang kaya. Zakheus adalah kepala pemungut cukai yang kaya namun dihina dan dibenci serta dikelompokkan sebagai pendosa! Sangat mungkin kita pun, jika hidup sebagai orang Yahudi pada masa itu akan turut membencinya sama seperti kita benci pada pejabat-pejabat yang korup!

Sejatinya, Zakheus adalah nama yang indah. Bahasa Yunani Zakkhaious, atau Iberaninya Zaki mempunyai arti “yang murni dan saleh”. Sangat mungkin sekali orang tua Zakheus memberi nama itu dengan harapan anaknya kelak menjadi seorang yang taat berpegang teguh pada kemurnian Taurat dan kemudian menjadi orang yang saleh, rajin beribadah dan menolong sesamanya. Semua orang tua pasti berharap kelak anak-anaknya menjadi anak yang saleh, berguna bagi banyak orang dan memuliakan Tuhan dalam hidupnya. Namun mengapa banyak orang kemudian terjebak oleh godaan harta dan kekayaan? Mengapa banyak orang yang tadinya berasal dari keluarga baik-baik, berpendidikan tinggi, terpelajar, tahu hukum lantas melakukan cara-cara keji untuk memperkaya diri? Apakah mereka sekedar hanyut oleh budaya hedonisme? Apakah mereka para pengidap moral insanity, yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Apakah mereka memang sengaja membungkam suara hati nurani? Ataukah ketamakan sudah menjadi “panglima” atau “komoditi unggulan yang harus dituruti dan dimenangkan?

Ketika ketamakan menjadi panglima dan komoditi unggulan, maka apa pun akan dilakukan termasuk memanifulasi ibadah. Ibadah hanya sebagai kedok menutupi keserakahan. Ibadah dipakai supaya citra diri tetap baik di mata publik. Idealisme tidak lagi murni untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kita bisa lihat sekarang bagaimana banyak orang menjual jargon idealisme dan kesalehan melalui partai, LSM, lembaga-lembaga pemerintahan dan negara. Nyatanya prilaku korup semakin menggurita, mark up anggaran terjadi di mana-mana sedangkan kaum buruh dan masyarakat kelas bawah terus tergerus dan berteriak menuntut keadialan; kemiskinan tidak pernah beranjak. Hal ini mirip-mirip kondisi umat Allah pada zaman awal Nabi Yesaya. Yesaya 1:10-15 menggambarkan Israel pada sekitar abad VIII SM mereka rajin beribadah. Ritual-ritual di rumah ibadah dipelihara dengan ketat, yakni dengan mempersembahkan korban binatang, perayaan bulan baru dan Sabat, serta doa-doa. Namun, tujuannya bukan untuk ibadah yang sesungguhnya. Semua ibadah itu adalah untuk kepuasan diri dan pamer kesalehan sekaligus sebagai kedok untuk menutupi kejahatan mereka; tangan mereka penuh dengan darah. Jelas, Allah menolak dan tidak suka ibadah seperti itu! Apa yang Allah inginkan? Pertobatan!

Apa itu pertobatan? Jawabnya: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yesaya 1:16,17). Apa dampak dari pertobatan itu? “Jika kamu menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil baik dari negeri itu.”(Yesaya 1:19). Namun sebaliknya jika umat Allah itu tetap hidup dengan cara yang lama, Allah mengatakan, “Tetapi jika kamu melawan dan memberontak, maka kamu akan dimakan oleh pedang.”(Yesaya 1:20). Dalam Kitab Yesaya kita belajar bahwa Allah menghendaki kehidupan ibadah itu tidak hanya sekedar perayaan ritual, melainkan berdampak pada moralitas kehidupan sosial yang nyata dalam perubahan prilaku yang semakin lama semakin baik. Allah tidak menginginkan ketamakan terhadap harta benda merusak hubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.

Harta benda yang diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara, bahkan dengan membungkam nurani pada akhirnya tidak dapat membuat manusia mengalami damai sejahtera. Sangat mungkin harta benda dapat menyenangkan manusia namun belum tentu dapat memberi kebahagiaan. Zakheus contohnya. Ia adalah orang kaya pada zamannya. Namun, dengan kekayaannya itu ia merasa kesepian dan gelisah dengan cara hidupnya selama ini. Teman sebangsa memusuhinya karena ia bekerjasama dengan penjajah Romawi dan dari sana ia dapat memperkaya diri. Di tengah kegalauan hidupnya, ia mendengar Yesus akan melewati kotanya. Rupanya, Zakheus telah mendengar bagaimana Yesus berkarya; mengajar dan melakukan banyak mujizat.  Keterbatasan tubuhnya yang pendek, tidak menghalangi tekadnya. Ia naik sebuah pohon ara untuk melihat Yesus. Sungguh di luar dugaan, di tengah orang banyak yang menghina dan menghindarinya, Yesus justeru memanggil dan meminta untuk singgah di rumahnya. Apa yang dilakukan Yesus membuat orang banyak kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Yesus yang mau mampir di rumah orang berdosa. Mampir atau singgah apalagi makan bersama menunjukkan bahwa Yesus mau menerima orang berdosa. Namun, Yesus tidak peduli dengan tanggapan miring orang banyak itu. Yang penting bagi-Nya, Zakheus si pendosa itu dapat mengalami pertobatan.

Penerimaan Yesus atas Zakheus yang berbeda dengan kebanyakan orang dan guru-guru Yahudi menggerakkan hati Zakheus untuk bertobat. Perjumpaan itu menghasilkan pertobatan yang sesungguhnya. Dari pertobatan itu membuahkan pembaruan hidup yang sangat radikal. Zakheus berjanji memberikan separuh dari hartanya untuk orang miskin, dan ia berjanji untuk tidak memeras lagi. Jika ia pernah memeras, maka ia akan mengembalikannya empat kali lipat. Hal ini jauh lebih besar dari apa yang dituntut dalam hukum Taurat. Dalam Imamat 6:5 diatur apabila seseorang telah merampas atau memeras harus mengembalikannya dengan menambahnya seperlima dari nilai nominal barang itu. Artinya 120% harus dikembalikan kepada orang yang diperas. Zakheus tidak hanya membayar 120%, melainkan empat kali lipat atau 4005 dari jumlah uang yang diperolehnya secara tidak jujur. Ganti rugi 400% biasanya hanya ditujukan bagi perampasan dan pencurian terencana dan penuh kekerasan (Keluaran 22:1). Ini berarti Zakheus betindak melampaui hukum atau peraturan di dalam tradisi Yahudi.

Zakheus mengalami pertobatan sesungguhnya. Ia tidak sekedar berhenti memeras tetapi menggunakan hartanya untuk kebaikan banyak orang. Perhatikan, pertobatan itu: bukan sekedar stop, berhenti melakukan apa yang dianggap salah atau jahat, melainkan lebih jauh dari itu, yakni melawan apa yang jahat itu. Tadinya, Zakheus hidup untuk pemuasan egonya; ia tamak dan serakah, sekarang hartanya digunakan untuk kehidupan banyak orang. Seseorang yang mengaku bertobat, misalnya dari mencuri atau korupsi, pertobatannya itu harus diuji dalam prilakunya. Bukan sekedar berhenti mencuri atau korupsi karena takut sangsi hukum. Kalau hanya sampai di situ, itu baru namanya kapok! Bertobatnya harus dibuktikan dengan tindakan bahwa seluruh hasil curian dan korupnya itu tidak sekedar dikembalikan, tetapi kini hidupnya tidak lagi bergantung pada hartanya. Kekayaannya akan benar-benar digunakan untuk menolong sesamanya. Hal ini dapat terjadi jika manusia mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Ia punya kerinduan, seperti Zakheus punya kerinduan berjumpa dengan Tuhan.

Mungkin kita akan berkilah, “Enak kalau Zakheus, ia bisa langsung berjumpa dengan Yesus. Nah, kalau sekarang?” Memang benar, Zakheus dapat berjumpa langsung dengan Yesus. Namun, saat ini pun Yesus dapat dijumpai dalam pelbagai cara. Bisa melalui perenungan dan pembacaan kitab suci atau mimbar; orang mendengar kembali tentang Yesus, bisa melalui tegur sapa teman, sahabat atau orang-orang dalam rumah yang mengingatkan kita. Yesus bisa berjumpa lewat pelbagai pergumulan hidup, bahkan Ia bisa hadir melalui majelis hakim yang memutuskan perkara. Bagaimana respon kita ketika mengalami perjumpaan itu? Apakah mendorong kita untuk berubah?

Perubahan hidup Zakheus disebut Yesus sebagai keselamatan, dan pemulihan sebagai anak (keturunan) Abraham. Yesus benar-benar memulihkan nama Zakkheous “murni dan saleh” kepada hakekatnya semula. Zakheus kini benar-benar menjadi orang yang murni dan saleh, bukan dengan memakai topeng, tetapi sutuhnya terlihat dari prilaku konkrit hidupnya. Itulah pembaruan hidup! Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga telah mengalami perjumpaan dengan Yesus dan dari perjumpaan itu kemudian membawa kita dalam hidup pertobatan? Lalu, kalau kita bertobat dan lahir baru, apanya yang berubah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar