Hampir tidak dijumpai orang
tua yang memberi nama anaknya dengan “Zakheus”. Mengapa? Mungkin saja takut kelak
anaknya diolok-olok karena nama Zakheus identik dengan “si pemungut cukai”
(Lukas 19:1-10). Dalam masyarakat Yahudi pada zaman Tuhan Yesus, para pemungut
cukai dikelompokkan pada golongan orang berdosa atau tercela. Mereka dijauhi
dan dianggap penghianat. Pemungutan cukai (pajak) biasanya diserahkan kepada
orang-orang yang mau bekerjasama dengan penjajah Romawi. Para penguasa Romawi
menaksir dan menetapkan besarnya pajak untuk suatu daerah dan kemudian
menentukan siapa yang bersedia memberikan penawaran tertinggi (seperti sistem
tender), kepada mereka ini diberlakukan kontrak lima tahunan. Sebagai
imbalannya, pihak penjajah Romawi menyediakan tentara atau body guard untuk melindungi si pemungut cukai dan kalau perlu memaksa
rakyat agar membayar pajak. Hal yang lumrah terjadi adalah bahwa si pemungut
cukai itu akan memungut tidak hanya untuk membayar kepada pemerintah Romawi,
tetapi juga untuk memperkaya dirinya. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka
ini adalah orang-orang kaya. Zakheus adalah kepala pemungut cukai yang kaya
namun dihina dan dibenci serta dikelompokkan sebagai pendosa! Sangat mungkin
kita pun, jika hidup sebagai orang Yahudi pada masa itu akan turut membencinya
sama seperti kita benci pada pejabat-pejabat yang korup!
Sejatinya, Zakheus adalah nama
yang indah. Bahasa Yunani Zakkhaious, atau
Iberaninya Zaki mempunyai arti “yang
murni dan saleh”. Sangat mungkin sekali orang tua Zakheus memberi nama itu
dengan harapan anaknya kelak menjadi seorang yang taat berpegang teguh pada
kemurnian Taurat dan kemudian menjadi orang yang saleh, rajin beribadah dan
menolong sesamanya. Semua orang tua pasti berharap kelak anak-anaknya menjadi
anak yang saleh, berguna bagi banyak orang dan memuliakan Tuhan dalam hidupnya.
Namun mengapa banyak orang kemudian terjebak oleh godaan harta dan kekayaan?
Mengapa banyak orang yang tadinya berasal dari keluarga baik-baik,
berpendidikan tinggi, terpelajar, tahu hukum lantas melakukan cara-cara keji
untuk memperkaya diri? Apakah mereka sekedar hanyut oleh budaya hedonisme?
Apakah mereka para pengidap moral
insanity, yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah?
Apakah mereka memang sengaja membungkam suara hati nurani? Ataukah ketamakan
sudah menjadi “panglima” atau “komoditi unggulan yang harus dituruti dan dimenangkan?
Ketika ketamakan menjadi
panglima dan komoditi unggulan, maka apa pun akan dilakukan termasuk
memanifulasi ibadah. Ibadah hanya sebagai kedok menutupi keserakahan. Ibadah
dipakai supaya citra diri tetap baik di mata publik. Idealisme tidak lagi murni
untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kita bisa lihat sekarang bagaimana
banyak orang menjual jargon idealisme dan kesalehan melalui partai, LSM, lembaga-lembaga
pemerintahan dan negara. Nyatanya prilaku korup semakin menggurita, mark up anggaran terjadi di mana-mana
sedangkan kaum buruh dan masyarakat kelas bawah terus tergerus dan berteriak
menuntut keadialan; kemiskinan tidak pernah beranjak. Hal ini mirip-mirip
kondisi umat Allah pada zaman awal Nabi Yesaya. Yesaya 1:10-15 menggambarkan
Israel pada sekitar abad VIII SM mereka rajin beribadah. Ritual-ritual di rumah
ibadah dipelihara dengan ketat, yakni dengan mempersembahkan korban binatang,
perayaan bulan baru dan Sabat, serta doa-doa. Namun, tujuannya bukan untuk
ibadah yang sesungguhnya. Semua ibadah itu adalah untuk kepuasan diri dan pamer
kesalehan sekaligus sebagai kedok untuk menutupi kejahatan mereka; tangan
mereka penuh dengan darah. Jelas, Allah menolak dan tidak suka ibadah seperti
itu! Apa yang Allah inginkan? Pertobatan!
Apa itu pertobatan? Jawabnya: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah
perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat,
belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam;
belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yesaya
1:16,17). Apa dampak dari pertobatan itu? “Jika
kamu menurut dan mau mendengar, maka kamu akan memakan hasil baik dari negeri
itu.”(Yesaya 1:19). Namun sebaliknya jika umat Allah itu tetap hidup dengan
cara yang lama, Allah mengatakan, “Tetapi
jika kamu melawan dan memberontak, maka kamu akan dimakan oleh pedang.”(Yesaya
1:20). Dalam Kitab Yesaya kita belajar bahwa Allah menghendaki kehidupan ibadah
itu tidak hanya sekedar perayaan ritual, melainkan berdampak pada moralitas kehidupan
sosial yang nyata dalam perubahan prilaku yang semakin lama semakin baik. Allah
tidak menginginkan ketamakan terhadap harta benda merusak hubungan antara
manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.
Harta benda yang diperjuangkan
dengan menghalalkan segala cara, bahkan dengan membungkam nurani pada akhirnya
tidak dapat membuat manusia mengalami damai sejahtera. Sangat mungkin harta
benda dapat menyenangkan manusia namun belum tentu dapat memberi kebahagiaan.
Zakheus contohnya. Ia adalah orang kaya pada zamannya. Namun, dengan
kekayaannya itu ia merasa kesepian dan gelisah dengan cara hidupnya selama ini.
Teman sebangsa memusuhinya karena ia bekerjasama dengan penjajah Romawi dan
dari sana ia dapat memperkaya diri. Di tengah kegalauan hidupnya, ia mendengar
Yesus akan melewati kotanya. Rupanya, Zakheus telah mendengar bagaimana Yesus
berkarya; mengajar dan melakukan banyak mujizat. Keterbatasan tubuhnya yang pendek, tidak
menghalangi tekadnya. Ia naik sebuah pohon ara untuk melihat Yesus. Sungguh di luar
dugaan, di tengah orang banyak yang menghina dan menghindarinya, Yesus justeru
memanggil dan meminta untuk singgah di rumahnya. Apa yang dilakukan Yesus
membuat orang banyak kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Yesus yang mau mampir
di rumah orang berdosa. Mampir atau singgah apalagi makan bersama menunjukkan
bahwa Yesus mau menerima orang berdosa. Namun, Yesus tidak peduli dengan
tanggapan miring orang banyak itu. Yang penting bagi-Nya, Zakheus si pendosa
itu dapat mengalami pertobatan.
Penerimaan Yesus atas Zakheus
yang berbeda dengan kebanyakan orang dan guru-guru Yahudi menggerakkan hati
Zakheus untuk bertobat. Perjumpaan itu menghasilkan pertobatan yang
sesungguhnya. Dari pertobatan itu membuahkan pembaruan hidup yang sangat
radikal. Zakheus berjanji memberikan separuh dari hartanya untuk orang miskin,
dan ia berjanji untuk tidak memeras lagi. Jika ia pernah memeras, maka ia akan
mengembalikannya empat kali lipat. Hal ini jauh lebih besar dari apa yang
dituntut dalam hukum Taurat. Dalam Imamat 6:5 diatur apabila seseorang telah
merampas atau memeras harus mengembalikannya dengan menambahnya seperlima dari
nilai nominal barang itu. Artinya 120% harus dikembalikan kepada orang yang
diperas. Zakheus tidak hanya membayar 120%, melainkan empat kali lipat atau
4005 dari jumlah uang yang diperolehnya secara tidak jujur. Ganti rugi 400%
biasanya hanya ditujukan bagi perampasan dan pencurian terencana dan penuh
kekerasan (Keluaran 22:1). Ini berarti Zakheus betindak melampaui hukum atau
peraturan di dalam tradisi Yahudi.
Zakheus mengalami pertobatan
sesungguhnya. Ia tidak sekedar berhenti memeras tetapi menggunakan hartanya
untuk kebaikan banyak orang. Perhatikan, pertobatan itu: bukan sekedar stop,
berhenti melakukan apa yang dianggap salah atau jahat, melainkan lebih jauh
dari itu, yakni melawan apa yang jahat itu. Tadinya, Zakheus hidup untuk
pemuasan egonya; ia tamak dan serakah, sekarang hartanya digunakan untuk
kehidupan banyak orang. Seseorang yang mengaku bertobat, misalnya dari mencuri
atau korupsi, pertobatannya itu harus diuji dalam prilakunya. Bukan sekedar
berhenti mencuri atau korupsi karena takut sangsi hukum. Kalau hanya sampai di
situ, itu baru namanya kapok! Bertobatnya harus dibuktikan dengan tindakan bahwa
seluruh hasil curian dan korupnya itu tidak sekedar dikembalikan, tetapi kini
hidupnya tidak lagi bergantung pada hartanya. Kekayaannya akan benar-benar
digunakan untuk menolong sesamanya. Hal ini dapat terjadi jika manusia
mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Ia punya kerinduan, seperti Zakheus punya
kerinduan berjumpa dengan Tuhan.
Mungkin kita akan berkilah, “Enak
kalau Zakheus, ia bisa langsung berjumpa dengan Yesus. Nah, kalau sekarang?” Memang
benar, Zakheus dapat berjumpa langsung dengan Yesus. Namun, saat ini pun Yesus
dapat dijumpai dalam pelbagai cara. Bisa melalui perenungan dan pembacaan kitab
suci atau mimbar; orang mendengar kembali tentang Yesus, bisa melalui tegur
sapa teman, sahabat atau orang-orang dalam rumah yang mengingatkan kita. Yesus
bisa berjumpa lewat pelbagai pergumulan hidup, bahkan Ia bisa hadir melalui
majelis hakim yang memutuskan perkara. Bagaimana respon kita ketika mengalami
perjumpaan itu? Apakah mendorong kita untuk berubah?
Perubahan hidup Zakheus disebut Yesus sebagai
keselamatan, dan pemulihan sebagai anak (keturunan) Abraham. Yesus benar-benar
memulihkan nama Zakkheous “murni dan
saleh” kepada hakekatnya semula. Zakheus kini benar-benar menjadi orang yang
murni dan saleh, bukan dengan memakai topeng, tetapi sutuhnya terlihat dari
prilaku konkrit hidupnya. Itulah pembaruan hidup! Bagaimana dengan kita? Apakah
kita juga telah mengalami perjumpaan dengan Yesus dan dari perjumpaan itu
kemudian membawa kita dalam hidup pertobatan? Lalu, kalau kita bertobat dan
lahir baru, apanya yang berubah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar