Namanya Milarepa, seorang
pemuda yang sedang dilanda murka. Dia mencari kekuatan gaib agar bisa membalas
dendam kepada mereka yang telah menyakitinya. Dalam pencariannya, ia berjumpa
dengan seorang guru bernama Marpa. Sang guru cepat mengenali kemarahan dan
sikap permusuhan dalam motivasi Milarepa. “Aku bersedia menolongmu,” katanya, “tetapi
aku tidak bisa memberimu semua yang engkau inginkan. Aku bisa memberimu
makanan, tempat bernaung, dan pelajaran. Yang mana yang kau pilih?”
Milarepa menjawab tanpa ragu, “Saya
bisa mengurusi kebutuhan fisik saya. Yang saya cari dari Anda adalah pelajaran.”
Marpa menerangkan aturannya, “Jika kamu menginginkan pelajaran dariku, kamu
harus menuruti kata-kataku. Kamu harus melakukannya tanpa bertanya, sebab dalam
tindakan terkandung pengalaman yang akan menolongmu menggapai cita-citamu.
Apakah kau mau bersumpah untuk itu?” Milarepa setuju. Pelajaran pertama;
Milarepa diminta membangun rumah tingkat dua dengan desain tertentu dan di
tempat yang sudah ditentukan. “Jika kau sudah selesai,” kata Marpa, “akan
kuajarkan kepadamu hal-hal yang ingin kau ketahui!”
Milarepa bekerja tanpa kenal
lelah. Dia bekerja dengan rajin sejak subuh hingga petang sebab ia ingin cepat
mendapat pelajaran. Ketika sudah selesai, dengan bangga ia mengundang Marpa
untuk melakukan inspeksi. Marpa melihat rumah itu dengan cermat. “Sebuah rumah
yang sangat bagus,” katanya. “Tak perlu kuragukan lagi, kau sudah mengerjakan
tugas seperti yang kuperintahkan, tetapi masih ada masalah. Saudara laki-lakiku
mengaku bahwa tanah tempat kamu membangun rumah adalah miliknya. Sekarang, kamu
harus merobohkan rumah ini dan membangun satu rumah lagi di bukit sebelah yang
jelas miliku.”
Marpa protes keras. Dia sudah
melakukan apa yang diperintahkan. Seharusnya dia sudah menerima pelajaran yang
dijanjikan kepadanya. Marpa menjawab, “Jika sebuah benda seperti sebuah rumah
menjadi persoalan bagimu melebihi ilmu yang ingin kau pelajari, maka kamu harus
membuat keputusan itu.” Dari semua hal yang paling diinginkan Milarepa adalah
ilmu. Dia menginginkan kekuatan untuk membalas dendam, jadi kini dia
menghancurkan rumah yang baru saja dia bangun, membawa bahan-bahan bangunan,
bata demi bata, kayu demi kayu ke bukit sebelah tempat ia akan membangun
kembali rumah bagi Marpa. Dia menyumpahi setiap bata yang dibawanya. Dia
mengutuki Marpa. Hatinya mendidih dengan permusuhan. Dia mencaci maki dirinya karena
mau saja dibodohi, tetapi ia menyelesaikan juga rumahnya. Rumah itu sudah jadi,
tidak melalu hasrat tetapi melalu energi kebencian.
Ketika Marpa datang untuk
menginspeksi, dia memberikan instruksi singkat dan jelas, “Robohkan lagi!”
katanya, “rumah ini ternoda dengan pikiran dan tindakan negatifmu. Bagaimana mungkin
aku menempati rumah yang penuh dengan energi kebencian?” Milarepa kini berpikir
bagaimana meloloskan diri dari tanggung jawab. Dia tidak ingin menghancurkan
seluruh rumah dan membangunnya kembali dari awal untuk yang ketiga kalinya.
Dengan cerdik ia memikirkan bagaimana bisa berpura-pura membangun rumah tanpa
mengeluarkan tenaga yang besar. Kini yang ia lakukan hanya membangun bagian
depan rumah. Jika Marpa mampir, ia seolah-olah sedang sibuk mengerjakan rumah
itu. Kini, sesuadah dianggap selesai, Milarepa memberi kabar kepada Marpa.
“Kamu sudah berusah menipuku!”,
kata Marpa. “Kamu sudah tidak jujur kepadaku. Bagaimana mungkin kamu berharap
aku mau memberi pelajaran kepada seseorang yang tidak menghormati kebenaran?
Jika kamu ingin belajar dariku, kamu harus membangunnya kembali!”
Milarepa sudah tidak lagi
menjadi marah. Kemarahannya sudah sirna. Dia sudah mengeluarkan seluruh energi
kebencian dan permusuhan yang ada dalam dirinya. Kini, dia merasa patah hati,
dan untuk berapa lama dia duduk dalam keputusasaan yang amat sangat. Dia menginginkan
pelajaran dari guru yang sangat hebat ini, tetapi bagaimana caranya agar ia
dapat berhasil? Sejauh ini, apa pun yang sudah ia lakukan menemui kegagalan. Pertama
kali, ia membangun rumah dengan terpaksa, dan meskipun rumah tersebut jadi
dengan sempurna, lokasi rumah tersebut ternyata salah. Kedua kalinya, ia
membangun rumah dengan keadaan marah dan sikap permusuhan. Pada ketiga kalinya,
dia sudah mengabaikan perintah gurunya dan mecoba menipu. Sekarang dia mengerti
bahwa dengan menipu dan bersikap tidak jujur, dia hanya menipu dirinya sendiri.
Untuk melakukan tugas kali
ini, dia harus melakukannya dengan bijak. Dia harus menyertakan hatinya dalam
tugas ini. Jika dia benar-benar menghargai gurunya ini, dia harus
mengerjakannya dengan penuh cinta kasih. Dengan pikiran seperti ini Milarepa
mulai membangin rumah yang benar-benar cocok untuk gurunya. Dia merapikan
setiap sudut rumah, tidak hanya dengan keterampilan, tetapi juga dengan cinta.
Dia membangun rumah berlantai sembilan, dan saat itu pun dia masih penasaran
apakah dia masih bisa membangun rumah yang lebih baik lagi. Ketika Marpa datang
untuk menginspeksi pretasi muridnya ini, sang guru berkata, “Sekarang, aku akan
memberimu pelajaran.”
“Terima kasih,” kata Milarepa,
“tetapi sekarang saya sudah mendapatkan pelajaran yang ingin saya peroleh. Saya
sudah menerima pelajaran dari Anda dengan cara yang lebih hebat daripada yang
pernah saya bayangkan.” Ketika berpisah, dia merasa beban kemarahan dan dendam
telah sirna. Dia bebas untuk melanjutkan perjalanannya sendiri menuju
penemuan-penemuan baru!
Ayub, dengan cara yang berbeda
menerima pelajaran. Pelajaran itu bukan melalui khotbah atau KKR, melainkan
terpaan badai penderitaan. Begitu kuatnya penderitaan itu hingga sempat
amarahnya seperti Milarepa. Ayub 19:1-22 mengungkapkan kepedihan hati Ayub
sebagai seorang yang runtuh berkeping-keping, tanpa harapan, tanpa kehormatan,
dan belas kasihan. Dia merasa ditolak Allah dan oleh semua orang termasuk kaum
kerabat dan keluarganya sendiri. Dalam kemarahannya ini Ayub ingin seluruh
keluh kesahnya diabadikan agar semua orang tahu bagaimana penderitaannya! Inilah
bentuk kekecewaan Ayub. Ia merasa diri sebagai korban yang terdzolimi. Namun,
Ayub tidak berhenti di situ. Jika Ayub 19:23-24 semula hendak mengekalkan
seluruh penderitaan dan kepahitan Ayub dalam catatan kitab dan terpahat dalam
besi. Maka dalam ayat 25 Ayub mengalami pencerahan. Ia mampu mengimani bahwa
Allah sebagai penebusnya yang hidup. Ayub mengalami lompatan iman; di tengah
keputusasaannya ia melihat pengharapan. Penderitaan yang teramat sangat itu
akhirnya membawa Ayub pada perjumpaan dengan Allah: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi
sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (Ayub 42:5). Ayub melihat Allah
yang hidup. Allah tidak tinggal diam!
Allah yang hidup, bukan Allah
orang mati, itu juga yang disampaikan Yesus ketika Ia berhadapan dengan orang
Saduki (Lukas 20:27-38). Saduki adalah keturunan Imam Zadok, sebuah kelompok
elit kaya yang dekat dengan penguasa Romawi. Mereka tidak percaya bahwa di
balik kematian ada kehidupan. Bagi mereka yang paling penting adalah kehidupan
sekarang; kematian adalah akhir dari segalanya. Saduki mempertanyakan
kebangkitan itu dengan memakai logika perkawinan yang diwariskan melalui
Tradisi Taurat Musa. Hukum perkawinan levirat itu menyatakan jika seorang suami
meninggal dan isterinya belum mempunyai anak, adalah wajib bagi saudara si
suami itu untuk menikahi janda dari suaminya yang meninggal itu (Ulangan 25:5).
Hal itu dimaksudkan agar keturunan si almarhum dapat dipertahankan. Nah
sekarang, jika kebangkitan itu ada, bagaimana jadinya nanti jika ada seorang
wanita yang telah bersuamikan tujuh orang menurut hukum perkawinan levirat,
bagaimana hubungan mereka nanti di sorga?
Yesus menjawab, pada saat
mereka dianggap layak untuk hidup dalam kebangkitan orang mati, mereka tidak
kawin dan dikawinkan. Mereka tidak dapat mati lagi, sebab mereka sama seperti
para malaikat, dan mereka hidup sebagai “anak-anak Allah” sebab mereka telah
dibangkitkan (Lukas 20:35,36). Kemudian Yesus menutupnya dengan mengatakan “..., di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah
Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.”
(Lukas 20:37b-38) Pernyataan tersebut bertujuan untuk membantah pendapat
orang-orang Saduki yang menolak kebangkitan orang mati. Rumusan iman “Allah
Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub” merupakan penegasan bahwa kematian
mereka tidak meniadakan keberadaan / esistensi mereka, sebab di dalam
persekutuan dengan Allah yang hidup, setiap manusia fana mendapat bagian dalam
keabadian.
Jadi, apa yang mau dipetik dari kisah Ayub dan
pernyataan Yesus? Hadapilah hidup ini, betapa pun beratnya beban pergumulan,
namun ketika kita percaya dan bersandarkan pada Allah yang hidup, maka di situ
kita akan melihat pengharapan; akan ada kehidupan, bahkan di tengah kematian
sekali pun. Di sinilah tugas setiap orang percaya untuk meneruskan kehidupan
itu. Membangun peradaban yang prokehidupan bukan sebaliknya menebar teror dan
mengancam dengan kematian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar