Jumat, 08 November 2013

ALLAH ORANG YANG HIDUP

Namanya Milarepa, seorang pemuda yang sedang dilanda murka. Dia mencari kekuatan gaib agar bisa membalas dendam kepada mereka yang telah menyakitinya. Dalam pencariannya, ia berjumpa dengan seorang guru bernama Marpa. Sang guru cepat mengenali kemarahan dan sikap permusuhan dalam motivasi Milarepa. “Aku bersedia menolongmu,” katanya, “tetapi aku tidak bisa memberimu semua yang engkau inginkan. Aku bisa memberimu makanan, tempat bernaung, dan pelajaran. Yang mana yang kau pilih?”

Milarepa menjawab tanpa ragu, “Saya bisa mengurusi kebutuhan fisik saya. Yang saya cari dari Anda adalah pelajaran.” Marpa menerangkan aturannya, “Jika kamu menginginkan pelajaran dariku, kamu harus menuruti kata-kataku. Kamu harus melakukannya tanpa bertanya, sebab dalam tindakan terkandung pengalaman yang akan menolongmu menggapai cita-citamu. Apakah kau mau bersumpah untuk itu?” Milarepa setuju. Pelajaran pertama; Milarepa diminta membangun rumah tingkat dua dengan desain tertentu dan di tempat yang sudah ditentukan. “Jika kau sudah selesai,” kata Marpa, “akan kuajarkan kepadamu hal-hal yang ingin kau ketahui!”

Milarepa bekerja tanpa kenal lelah. Dia bekerja dengan rajin sejak subuh hingga petang sebab ia ingin cepat mendapat pelajaran. Ketika sudah selesai, dengan bangga ia mengundang Marpa untuk melakukan inspeksi. Marpa melihat rumah itu dengan cermat. “Sebuah rumah yang sangat bagus,” katanya. “Tak perlu kuragukan lagi, kau sudah mengerjakan tugas seperti yang kuperintahkan, tetapi masih ada masalah. Saudara laki-lakiku mengaku bahwa tanah tempat kamu membangun rumah adalah miliknya. Sekarang, kamu harus merobohkan rumah ini dan membangun satu rumah lagi di bukit sebelah yang jelas miliku.”

Marpa protes keras. Dia sudah melakukan apa yang diperintahkan. Seharusnya dia sudah menerima pelajaran yang dijanjikan kepadanya. Marpa menjawab, “Jika sebuah benda seperti sebuah rumah menjadi persoalan bagimu melebihi ilmu yang ingin kau pelajari, maka kamu harus membuat keputusan itu.” Dari semua hal yang paling diinginkan Milarepa adalah ilmu. Dia menginginkan kekuatan untuk membalas dendam, jadi kini dia menghancurkan rumah yang baru saja dia bangun, membawa bahan-bahan bangunan, bata demi bata, kayu demi kayu ke bukit sebelah tempat ia akan membangun kembali rumah bagi Marpa. Dia menyumpahi setiap bata yang dibawanya. Dia mengutuki Marpa. Hatinya mendidih dengan permusuhan. Dia mencaci maki dirinya karena mau saja dibodohi, tetapi ia menyelesaikan juga rumahnya. Rumah itu sudah jadi, tidak melalu hasrat tetapi melalu energi kebencian.

Ketika Marpa datang untuk menginspeksi, dia memberikan instruksi singkat dan jelas, “Robohkan lagi!” katanya, “rumah ini ternoda dengan pikiran dan tindakan negatifmu. Bagaimana mungkin aku menempati rumah yang penuh dengan energi kebencian?” Milarepa kini berpikir bagaimana meloloskan diri dari tanggung jawab. Dia tidak ingin menghancurkan seluruh rumah dan membangunnya kembali dari awal untuk yang ketiga kalinya. Dengan cerdik ia memikirkan bagaimana bisa berpura-pura membangun rumah tanpa mengeluarkan tenaga yang besar. Kini yang ia lakukan hanya membangun bagian depan rumah. Jika Marpa mampir, ia seolah-olah sedang sibuk mengerjakan rumah itu. Kini, sesuadah dianggap selesai, Milarepa memberi kabar kepada Marpa.

“Kamu sudah berusah menipuku!”, kata Marpa. “Kamu sudah tidak jujur kepadaku. Bagaimana mungkin kamu berharap aku mau memberi pelajaran kepada seseorang yang tidak menghormati kebenaran? Jika kamu ingin belajar dariku, kamu harus membangunnya kembali!”

Milarepa sudah tidak lagi menjadi marah. Kemarahannya sudah sirna. Dia sudah mengeluarkan seluruh energi kebencian dan permusuhan yang ada dalam dirinya. Kini, dia merasa patah hati, dan untuk berapa lama dia duduk dalam keputusasaan yang amat sangat. Dia menginginkan pelajaran dari guru yang sangat hebat ini, tetapi bagaimana caranya agar ia dapat berhasil? Sejauh ini, apa pun yang sudah ia lakukan menemui kegagalan. Pertama kali, ia membangun rumah dengan terpaksa, dan meskipun rumah tersebut jadi dengan sempurna, lokasi rumah tersebut ternyata salah. Kedua kalinya, ia membangun rumah dengan keadaan marah dan sikap permusuhan. Pada ketiga kalinya, dia sudah mengabaikan perintah gurunya dan mecoba menipu. Sekarang dia mengerti bahwa dengan menipu dan bersikap tidak jujur, dia hanya menipu dirinya sendiri.

Untuk melakukan tugas kali ini, dia harus melakukannya dengan bijak. Dia harus menyertakan hatinya dalam tugas ini. Jika dia benar-benar menghargai gurunya ini, dia harus mengerjakannya dengan penuh cinta kasih. Dengan pikiran seperti ini Milarepa mulai membangin rumah yang benar-benar cocok untuk gurunya. Dia merapikan setiap sudut rumah, tidak hanya dengan keterampilan, tetapi juga dengan cinta. Dia membangun rumah berlantai sembilan, dan saat itu pun dia masih penasaran apakah dia masih bisa membangun rumah yang lebih baik lagi. Ketika Marpa datang untuk menginspeksi pretasi muridnya ini, sang guru berkata, “Sekarang, aku akan memberimu pelajaran.”

“Terima kasih,” kata Milarepa, “tetapi sekarang saya sudah mendapatkan pelajaran yang ingin saya peroleh. Saya sudah menerima pelajaran dari Anda dengan cara yang lebih hebat daripada yang pernah saya bayangkan.” Ketika berpisah, dia merasa beban kemarahan dan dendam telah sirna. Dia bebas untuk melanjutkan perjalanannya sendiri menuju penemuan-penemuan baru!

Ayub, dengan cara yang berbeda menerima pelajaran. Pelajaran itu bukan melalui khotbah atau KKR, melainkan terpaan badai penderitaan. Begitu kuatnya penderitaan itu hingga sempat amarahnya seperti Milarepa. Ayub 19:1-22 mengungkapkan kepedihan hati Ayub sebagai seorang yang runtuh berkeping-keping, tanpa harapan, tanpa kehormatan, dan belas kasihan. Dia merasa ditolak Allah dan oleh semua orang termasuk kaum kerabat dan keluarganya sendiri. Dalam kemarahannya ini Ayub ingin seluruh keluh kesahnya diabadikan agar semua orang tahu bagaimana penderitaannya! Inilah bentuk kekecewaan Ayub. Ia merasa diri sebagai korban yang terdzolimi. Namun, Ayub tidak berhenti di situ. Jika Ayub 19:23-24 semula hendak mengekalkan seluruh penderitaan dan kepahitan Ayub dalam catatan kitab dan terpahat dalam besi. Maka dalam ayat 25 Ayub mengalami pencerahan. Ia mampu mengimani bahwa Allah sebagai penebusnya yang hidup. Ayub mengalami lompatan iman; di tengah keputusasaannya ia melihat pengharapan. Penderitaan yang teramat sangat itu akhirnya membawa Ayub pada perjumpaan dengan Allah: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (Ayub 42:5). Ayub melihat Allah yang hidup. Allah tidak tinggal diam!

Allah yang hidup, bukan Allah orang mati, itu juga yang disampaikan Yesus ketika Ia berhadapan dengan orang Saduki (Lukas 20:27-38). Saduki adalah keturunan Imam Zadok, sebuah kelompok elit kaya yang dekat dengan penguasa Romawi. Mereka tidak percaya bahwa di balik kematian ada kehidupan. Bagi mereka yang paling penting adalah kehidupan sekarang; kematian adalah akhir dari segalanya. Saduki mempertanyakan kebangkitan itu dengan memakai logika perkawinan yang diwariskan melalui Tradisi Taurat Musa. Hukum perkawinan levirat itu menyatakan jika seorang suami meninggal dan isterinya belum mempunyai anak, adalah wajib bagi saudara si suami itu untuk menikahi janda dari suaminya yang meninggal itu (Ulangan 25:5). Hal itu dimaksudkan agar keturunan si almarhum dapat dipertahankan. Nah sekarang, jika kebangkitan itu ada, bagaimana jadinya nanti jika ada seorang wanita yang telah bersuamikan tujuh orang menurut hukum perkawinan levirat, bagaimana hubungan mereka nanti di sorga?

Yesus menjawab, pada saat mereka dianggap layak untuk hidup dalam kebangkitan orang mati, mereka tidak kawin dan dikawinkan. Mereka tidak dapat mati lagi, sebab mereka sama seperti para malaikat, dan mereka hidup sebagai “anak-anak Allah” sebab mereka telah dibangkitkan (Lukas 20:35,36). Kemudian Yesus menutupnya dengan mengatakan “..., di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.” (Lukas 20:37b-38) Pernyataan tersebut bertujuan untuk membantah pendapat orang-orang Saduki yang menolak kebangkitan orang mati. Rumusan iman “Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub” merupakan penegasan bahwa kematian mereka tidak meniadakan keberadaan / esistensi mereka, sebab di dalam persekutuan dengan Allah yang hidup, setiap manusia fana mendapat bagian dalam keabadian.

Jadi, apa yang mau dipetik dari kisah Ayub dan pernyataan Yesus? Hadapilah hidup ini, betapa pun beratnya beban pergumulan, namun ketika kita percaya dan bersandarkan pada Allah yang hidup, maka di situ kita akan melihat pengharapan; akan ada kehidupan, bahkan di tengah kematian sekali pun. Di sinilah tugas setiap orang percaya untuk meneruskan kehidupan itu. Membangun peradaban yang prokehidupan bukan sebaliknya menebar teror dan mengancam dengan kematian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar