Kota Yoyao, provinsi Zheijang,
China baru-baru ini dihantam topan Fitow
dasyat. Serangantopan tersebut menyebabkan banjir dan porak-poranda
infrasruktur kota itu. Dilaporkan puluhan orang meninggal dan ribuan penduduk
kota itu harus dievakuasi. Di tengah bencana, ada kejadian unik. Selasa, 15
Oktober 2013, Wang, seorang pejabat melakukan peninjauan ke lokasi bencana. Karena
takut sepatu mahalnya rusak, ia minta digendong. Kantor berita China, Xinhua
menulis keterangan bahwa pejabat itu minta digendong lantaran tidak ingin
sepatu mahalnya yang terbuat dari kain lecet. Salah seorang warga merelakan
diri untuk menggendong sang pejabat itu. Rupanya adegan ini menarik perhatian
salah seorang warga. Lalu, dengan kameranya ia membidik dan mengambil gambar
momen langka ini. Tidak hanya berhenti di situ, warga usil ini kemudian mengunggah
hasil jepretannya itu ke website Shina Weibo. Bagaimana reaksi masyarakat
China? Dasyat! Ya, lebih dasyat dari topan Fitow.
Buktinya, berita ulah sang pejabat menjadi lebih populer ketimbang topan itu.
Terkait berita yang memalukan
ini, pemerintah kota Sangishi, tempat Wang berkantor mengklaim sebenarnya Wang
tidak bermaksud minta digendong. Saat itu Wang ingin melepas sepatunya dan
berjalan di air. Namun, ada seorang warga yang menawarkan diri untuk menggendongnya.
Wang tidak kuasa menolaknya. Terlepas benar tidaknya klaim dari pihak Wang,
gelombang dasyat kemarahan warga tidak dapat dibendung dan akhirnya Wang
dicopot dari jabatannya.
Secara hukum, tidak ada satu
pasal pun yang dilanggar oleh Wang. Wang bukan seorang penjahat. Ia bukan
pencuri atau koruptor, bukan juga pembunuh, penzinah atau perampok. Bisa saja
apa yang dilangsir kantor tempat Wang bekerja adalah pernyataan yang benar,
bahwa ada seorang warga yang dengan suka rela mau menggendongnya. Namun,
mengapa masyarakat China yang melihat gambar adegan Wang itu menjadi murka?
Perkaranya, dalam hal ini bukanlah Wang itu benar atau salah! Namun, pantas
atau tidak! Apakah seorang pejabat, meskipun mungkin oleh rakyaknya diberikan
kemudahan lalu melupakan apa yang disebut kepantasan atau kepatutan! Wang tidak
pantas, kalau tidak mau dikatakan tidak punya etika, ketika ia berkunjung ke
daerah bencana namun masih menginginkan kenyamanan dan mempertahankan statusnya
sebagai pejabat atau penguasa!
Yesus pernah mengingatkan
kepada para pengikut-Nya, “...Sebab
barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan
diri akan ditinggikan.” (Lukas 18:14b). Banyak orang tidak menyadari bahwa
sikap arogan, sombong dan membanggakan diri sendiri merupakan karakter yang
tidak disukai Allah. Arogan bisa menghinggapi siapa saja termasuk orang “saleh”
sekali pun. Yesus mencontohkan kesombongan orang saleh pada zaman-Nya. Orang
saleh dalam konteks Yahudi itu melakukan sembahyang tiga kali dalam sehari,
yaitu pada pukul 9 pagi, 12 siang dan 3 sore. Menurut keyakinan mereka, pahala
dari sembahyang itu akan berlipat-lipat apabila dilakukan di rumah ibadah. Dengan
alasan itu maka pada jam-jam tersebut rumah ibadah banyak dikunjungi oleh umat
yang hendak bersembahyang. Lalu Yesus bercerita tentang dua orang yang datang
ke rumah ibadah itu.
Orang pertama, disebut sebagai
orang Farisi dan yang lainnya seorang pemungut cukai. Dua kontras bagai langit
dan bumi. Farisi simbol kesalehan sedangkan pemungut cukai lambang orang
berdosa. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya: “Ya, Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu,
karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang
lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa
dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.”(Lukas
18:11,12)
Hal ini sangat bertolak belakang
dengan si pemungut cukai. Pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak
berani menegadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: “Ya, Allah kasihanilah aku orang berdosa ini
(Lukas 18:13). Sangat mungkin kedua orang ini menyampaikan perkataan mereka
kepada Allah dengan jujur. Si Farisi mengungkapkan apa yang selama ini
dilakukannya. Benar bahwa ia melakukan ibadah ini dan itu sesuai dengan aturan
Taurat yang dipeganginya. Jika ditilik dari kacamata Taurat, apa yang
dikerjakan orang Farisi ini adalah tindakan yang benar dan terpuji. Sebaliknya,
apa yang dilakukan oleh si pemungut cukai adalah tindakan tercela menurut
ukuran orang Yahudi pada zaman itu. mengapa? Pemungut cukai adalah kaki tangan penjajah
Romawi. Mereka memungut pajak atas bangsanya sendiri lalu kemudian diserahkan
kepada kekaisaran Roma, di samping itu para pemungut cukai ini terbiasa
memperkaya diri dengan memungut lebih dari apa yang sudah ditetapkan. Ya,
mirip-mirip dengan kebanyakan pegawai pajak yang tertangkap KPK di negeri ini.
Maka tidaklah mengherankan kalau kebanyakan orang Yahudi mencibir dan
mengelompokkan pemungut cukai ini pada kelompok orang berdosa.
Namun, mengapa Yesus
membenarkan si pemungut cukai itu? Hari ini kita belajar bahwa Tuhan lebih
menghargai motivasi dan spiritualitas manusia yang beribadah kepada-Nya
ketimbang tindakan ibadah itu sendiri. Melalu kisah perumpamaan orang Farisi
dan pemungut cukai, kita belajar bukan hanya sekedar melakukan kehendak dan
perintah-Nya namun bagimana bersikap pantas di hadapan-Nya. Mengapa orang
Farisi itu tidak dibenarkan Allah? Jawabnya karena sikapnya yang tidak pantas
di hadapan Allah! Orang Farisi yang datang ke rumah ibadah itu, “berdoa”. Dalam
doanya ia membeberkan prestasi ibadahnya. Tidak dapat diragukan lagi bahwa
segala sesuatu yang dikatakan orang Farisi itu adalah benar: Ia berpuasa, ia
memberikan perpuluhan, ia tidak sama dengan orang-orang lainnya, ia tidak sama
dengan pemungut cukai itu. Maka dengan demikian ia merasa telah memiutangi
Allah. Si Farisi ini sekarang berhak mengklaim dan menagih Allah. Allah harus
membayar kesalehan-kesalehan yang sudah ia kerjakan. Dalam hal ini, sebenarnya
orang Farisi itu tidak lagi membutuhkan pertolongan Allah. Mengapa? Sebab ia
merasa dengan semua kebaikan yang dikerjakan menurut syareat Taurat, ia berhak
atas semua anugerah Allah. Ternyata keliru! Allah tidak pernah berhutang apa
pun, kepada siapa pun! Jika manusia beribadah kepada-Nya, bukan berarti manusia
itu sedang memiutangi Allah dan kemudian merasa diri sudah layak mengatur
Allah. Sudah selayaknyalah manusia beribadah kepada-Nya. Bukankah semua manusia
pernah berdosa? Ingatlah bahwa upah dosa itu adalah maut.
Manusia datang kepada Allah di
dalam ibadah adalah untuk memohon belas kasihan-Nya. Allah tidak membutuhkan
laporan yang berisi pamer kesalehan; sudah melakukan ini dan itu. Tidak usah
dilaporkan, Allah sudah tahu, bahkan dengan motivasi apa kita melakukan tindakan
kesalehan, Ia sudah tahu. Yang Dia inginkan adalah sikap merendahkan diri dan
berharap belas kasihan dari-Nya. Hal inilah justeru diperlihatkan oleh si
pendosa; pemungut cukai itu. Memang benar apa yang dilakukan oleh si pemungut
cukai itu bukanlah hal yang baik. Tindakannya sebagai pemungut cukai tidak dapat
dibenarkan menurut kaidah Taurat dan nasionalisme Yahudi. Namun, sikapnya
ketika berhadapan dengan Allah merupakan cerminan spiritualitasnya. Pemungut
cukai itu tahu dirinya berdosa. Dosa itu pasti mendatangkan hukuman dan ia tahu
satu-satunya yang dapat menyelematkan dari hukuman itu adalah belas kasihan
Allah, tidak bisa dibeli dengan harta benda atau kesalehan dalam bentuk apa
pun! Sebab kalau pun dapat dibeli oleh harta benda dan dengan bentuk-bentuk
kesalehan lainnya, mungkin sudah lama si pemungut cukai ini menjual harta
bendanya dan menggunakannya untuk kebajikan agar dapat “membayar” hutang
dosanya itu. Namun, ia tidak melakukannya! Kini, ia datang bersimpuh dengan
penyesalan dan berharap belas kasih itu. Itulah sebabnya ia dibenarkan!
Sekarang mari kita tilik diri sendiri. Dengan motivasi
atau spiritualitas yang bagaimana ketika kita melakukan segala tindakan ibadah
kita? Apakah seperti orang Farisi itu? Merasa sudah melakukan ibadah dan
pelayanan ini dan itu lalu menggugat Tuhan untuk membayarnya dengan
berkat-berkat yang selama ini kita harapkan. Ataukah kita datang kepada-Nya
seperti si pemungut cukai yang semata-mata mengharapkan belas kasihan Allah.
Ingatlah tidak ada orang yang bangga dengan dirinya sendiri dapat berharap
belas kasihan dari Allah. William Barclay pernah mengatakan, “Pintu surga
begitu rendah sehingga tidak ada seorang pun yang dapat memasukinya tanpa
merendahkan dirinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar