Kamis, 24 Oktober 2013

SPIRITUALITAS YANG MENGGUGAH HATI ALLAH

Kota Yoyao, provinsi Zheijang, China baru-baru ini dihantam topan Fitow dasyat. Serangantopan tersebut menyebabkan banjir dan porak-poranda infrasruktur kota itu. Dilaporkan puluhan orang meninggal dan ribuan penduduk kota itu harus dievakuasi. Di tengah bencana, ada kejadian unik. Selasa, 15 Oktober 2013, Wang, seorang pejabat melakukan peninjauan ke lokasi bencana. Karena takut sepatu mahalnya rusak, ia minta digendong. Kantor berita China, Xinhua menulis keterangan bahwa pejabat itu minta digendong lantaran tidak ingin sepatu mahalnya yang terbuat dari kain lecet. Salah seorang warga merelakan diri untuk menggendong sang pejabat itu. Rupanya adegan ini menarik perhatian salah seorang warga. Lalu, dengan kameranya ia membidik dan mengambil gambar momen langka ini. Tidak hanya berhenti di situ, warga usil ini kemudian mengunggah hasil jepretannya itu ke website Shina Weibo. Bagaimana reaksi masyarakat China? Dasyat! Ya, lebih dasyat dari topan Fitow. Buktinya, berita ulah sang pejabat menjadi lebih populer ketimbang topan itu.

Terkait berita yang memalukan ini, pemerintah kota Sangishi, tempat Wang berkantor mengklaim sebenarnya Wang tidak bermaksud minta digendong. Saat itu Wang ingin melepas sepatunya dan berjalan di air. Namun, ada seorang warga yang menawarkan diri untuk menggendongnya. Wang tidak kuasa menolaknya. Terlepas benar tidaknya klaim dari pihak Wang, gelombang dasyat kemarahan warga tidak dapat dibendung dan akhirnya Wang dicopot dari jabatannya.

Secara hukum, tidak ada satu pasal pun yang dilanggar oleh Wang. Wang bukan seorang penjahat. Ia bukan pencuri atau koruptor, bukan juga pembunuh, penzinah atau perampok. Bisa saja apa yang dilangsir kantor tempat Wang bekerja adalah pernyataan yang benar, bahwa ada seorang warga yang dengan suka rela mau menggendongnya. Namun, mengapa masyarakat China yang melihat gambar adegan Wang itu menjadi murka? Perkaranya, dalam hal ini bukanlah Wang itu benar atau salah! Namun, pantas atau tidak! Apakah seorang pejabat, meskipun mungkin oleh rakyaknya diberikan kemudahan lalu melupakan apa yang disebut kepantasan atau kepatutan! Wang tidak pantas, kalau tidak mau dikatakan tidak punya etika, ketika ia berkunjung ke daerah bencana namun masih menginginkan kenyamanan dan mempertahankan statusnya sebagai pejabat atau penguasa!

Yesus pernah mengingatkan kepada para pengikut-Nya, “...Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.” (Lukas 18:14b). Banyak orang tidak menyadari bahwa sikap arogan, sombong dan membanggakan diri sendiri merupakan karakter yang tidak disukai Allah. Arogan bisa menghinggapi siapa saja termasuk orang “saleh” sekali pun. Yesus mencontohkan kesombongan orang saleh pada zaman-Nya. Orang saleh dalam konteks Yahudi itu melakukan sembahyang tiga kali dalam sehari, yaitu pada pukul 9 pagi, 12 siang dan 3 sore. Menurut keyakinan mereka, pahala dari sembahyang itu akan berlipat-lipat apabila dilakukan di rumah ibadah. Dengan alasan itu maka pada jam-jam tersebut rumah ibadah banyak dikunjungi oleh umat yang hendak bersembahyang. Lalu Yesus bercerita tentang dua orang yang datang ke rumah ibadah itu.

Orang pertama, disebut sebagai orang Farisi dan yang lainnya seorang pemungut cukai. Dua kontras bagai langit dan bumi. Farisi simbol kesalehan sedangkan pemungut cukai lambang orang berdosa. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya: “Ya, Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.”(Lukas 18:11,12)

Hal ini sangat bertolak belakang dengan si pemungut cukai. Pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menegadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: “Ya, Allah kasihanilah aku orang berdosa ini (Lukas 18:13). Sangat mungkin kedua orang ini menyampaikan perkataan mereka kepada Allah dengan jujur. Si Farisi mengungkapkan apa yang selama ini dilakukannya. Benar bahwa ia melakukan ibadah ini dan itu sesuai dengan aturan Taurat yang dipeganginya. Jika ditilik dari kacamata Taurat, apa yang dikerjakan orang Farisi ini adalah tindakan yang benar dan terpuji. Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh si pemungut cukai adalah tindakan tercela menurut ukuran orang Yahudi pada zaman itu. mengapa? Pemungut cukai adalah kaki tangan penjajah Romawi. Mereka memungut pajak atas bangsanya sendiri lalu kemudian diserahkan kepada kekaisaran Roma, di samping itu para pemungut cukai ini terbiasa memperkaya diri dengan memungut lebih dari apa yang sudah ditetapkan. Ya, mirip-mirip dengan kebanyakan pegawai pajak yang tertangkap KPK di negeri ini. Maka tidaklah mengherankan kalau kebanyakan orang Yahudi mencibir dan mengelompokkan pemungut cukai ini pada kelompok orang berdosa.

Namun, mengapa Yesus membenarkan si pemungut cukai itu? Hari ini kita belajar bahwa Tuhan lebih menghargai motivasi dan spiritualitas manusia yang beribadah kepada-Nya ketimbang tindakan ibadah itu sendiri. Melalu kisah perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai, kita belajar bukan hanya sekedar melakukan kehendak dan perintah-Nya namun bagimana bersikap pantas di hadapan-Nya. Mengapa orang Farisi itu tidak dibenarkan Allah? Jawabnya karena sikapnya yang tidak pantas di hadapan Allah! Orang Farisi yang datang ke rumah ibadah itu, “berdoa”. Dalam doanya ia membeberkan prestasi ibadahnya. Tidak dapat diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang dikatakan orang Farisi itu adalah benar: Ia berpuasa, ia memberikan perpuluhan, ia tidak sama dengan orang-orang lainnya, ia tidak sama dengan pemungut cukai itu. Maka dengan demikian ia merasa telah memiutangi Allah. Si Farisi ini sekarang berhak mengklaim dan menagih Allah. Allah harus membayar kesalehan-kesalehan yang sudah ia kerjakan. Dalam hal ini, sebenarnya orang Farisi itu tidak lagi membutuhkan pertolongan Allah. Mengapa? Sebab ia merasa dengan semua kebaikan yang dikerjakan menurut syareat Taurat, ia berhak atas semua anugerah Allah. Ternyata keliru! Allah tidak pernah berhutang apa pun, kepada siapa pun! Jika manusia beribadah kepada-Nya, bukan berarti manusia itu sedang memiutangi Allah dan kemudian merasa diri sudah layak mengatur Allah. Sudah selayaknyalah manusia beribadah kepada-Nya. Bukankah semua manusia pernah berdosa? Ingatlah bahwa upah dosa itu adalah maut.

Manusia datang kepada Allah di dalam ibadah adalah untuk memohon belas kasihan-Nya. Allah tidak membutuhkan laporan yang berisi pamer kesalehan; sudah melakukan ini dan itu. Tidak usah dilaporkan, Allah sudah tahu, bahkan dengan motivasi apa kita melakukan tindakan kesalehan, Ia sudah tahu. Yang Dia inginkan adalah sikap merendahkan diri dan berharap belas kasihan dari-Nya. Hal inilah justeru diperlihatkan oleh si pendosa; pemungut cukai itu. Memang benar apa yang dilakukan oleh si pemungut cukai itu bukanlah hal yang baik. Tindakannya sebagai pemungut cukai tidak dapat dibenarkan menurut kaidah Taurat dan nasionalisme Yahudi. Namun, sikapnya ketika berhadapan dengan Allah merupakan cerminan spiritualitasnya. Pemungut cukai itu tahu dirinya berdosa. Dosa itu pasti mendatangkan hukuman dan ia tahu satu-satunya yang dapat menyelematkan dari hukuman itu adalah belas kasihan Allah, tidak bisa dibeli dengan harta benda atau kesalehan dalam bentuk apa pun! Sebab kalau pun dapat dibeli oleh harta benda dan dengan bentuk-bentuk kesalehan lainnya, mungkin sudah lama si pemungut cukai ini menjual harta bendanya dan menggunakannya untuk kebajikan agar dapat “membayar” hutang dosanya itu. Namun, ia tidak melakukannya! Kini, ia datang bersimpuh dengan penyesalan dan berharap belas kasih itu.  Itulah sebabnya ia dibenarkan!

Sekarang mari kita tilik diri sendiri. Dengan motivasi atau spiritualitas yang bagaimana ketika kita melakukan segala tindakan ibadah kita? Apakah seperti orang Farisi itu? Merasa sudah melakukan ibadah dan pelayanan ini dan itu lalu menggugat Tuhan untuk membayarnya dengan berkat-berkat yang selama ini kita harapkan. Ataukah kita datang kepada-Nya seperti si pemungut cukai yang semata-mata mengharapkan belas kasihan Allah. Ingatlah tidak ada orang yang bangga dengan dirinya sendiri dapat berharap belas kasihan dari Allah. William Barclay pernah mengatakan, “Pintu surga begitu rendah sehingga tidak ada seorang pun yang dapat memasukinya tanpa merendahkan dirinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar