Jumat, 13 September 2013

YANG HILANG, YANG DICARI, YANG DIKASIHI

Mereka datang berdua, sepasang muda-mudi yang sedang mempersiapkan diri menuju pelaminan. Pembicaraan pun dimulai. Sebagaimana layaknya percakapan pastoral pranikah, saya bertanya tentang motivasi dan pemahaman mereka memutuskan untuk menikah. Semua tampak baik-baik saja. Namun, ketika ditanya apakah selama ini tidak ada percekcokan serius. Segera disambut dengan jawaban si pemuda, “Justeru saat ini kami sedang ada masalah! Kami terlibat percekcokan. Coba Pak Pendeta pikir, saat ini kan kami sedang butuh biaya untuk mempersiapkan pernikahan kami. Eh...dia ini (sambil menunjuk calon pasangannya) memutuskan untuk mengoperasi kaki anjingnya yang patah karena tergilas mobil. Pak Pendeta tahu? Biaya untuk itu hampir sepuluh juta! Belum lagi obat dan perawatan setelah itu dan kami tidak tahu pasti apakah setelah tindakan oprasi anjing itu dapat kembali normal atau tidak?” Masih dengan nada kesal ia melanjutkan, “Saya mengerti dan rela, kalau dia melakukan itu untuk saudara atau orang tuanya. Nah, ini utuk anjing!”

“Saya tidak tega melihat penderitaan anjing itu!” Jawab si pemudi, “ia saya ambil ketika masih kecil, lucu dan menggemaskan, masakan sekarang ketika ia tak berdaya lalu kemudian saya mencampakkannya begitu saja. Bagaimana pun saya harus menolongnya!”

Saya penasaran anjing apa rupanya yang menjadi bahan percekcokan ini. Dalam benak saya sudah pasti anjing ras yang sangat mahal harganya. Saya bertanya, “Anjing apa sih yang kalian ributkan itu?” Si pria langsung menjawab dengan nada emosi, “Anjing kampung, Pak Pendeta! Nah, logikanya dengan uang sebanyak itu untuk oprasi, kan bisa beli anjing lain yang sehat, bukan hanya satu ekor. Uang itu bisa beli lusinan ekor anjing kampung yang sehat!”

Tidak logis! Mungkin itu juga kesan kita ketika membaca Perumpamaan domba yang hilang dalam Lukas 15:1-7. Ada seorang gembala mempunyai seratus ekor domba. Satu di antara domba-domba itu hilang. Ia meninggalkan yang sembilan puluh sembilan lalu pergi mencari satu yang hilang. Hitung-hitungan matematis, tindakan ini mengandung resiko besar. Bagaimana dengan keamanan domba-domba yang ditinggalakan itu? Masalah yang hendak disampaikan Yesus dalam perumpamaan ini tentu bukan melulu pada nalar logika. Bisa saja untuk menjawab itu, pastilah sang gembala telah mengamankan domba-dombanya terlebih dahulu sebelum mencari yang hilang. Namun demikian tetap saja tindakannya itu mempunyai resiko. Di mana, dalam kondisi apa dan berapa lama mencari domba yang hilang itu pastilah belum dapat diperkirakan dengan akurat.

Penekanan Yesus dalam perumpamaan ini lebih pada sikap hati. Sikap hati si gembala. Hatinya pasti ada pada domba yang hilang itu! Sikap hati ini saya bayangkan ketika masih kecil. Saya punya banyak kelereng, puluhan jumlahnya masing-masing mempunyai warna yang menarik dan saya tahu percis jumlah kelereng itu. Suatu hari saya sadar ada satu yang hilang. Saya gelisah lalu mencarinya. Terus mencari sampai malam. Papa menegur, “Sudahlah, besok lagi nyarinya, toh kamu masih punya banyak kelereng yang lain!” Pada waktu itu, rasanya perkataan Papa tidak bisa mengobati perasaan kehilangan itu, saya terus memikirkannya sampai larut malam. Saya yakin pastilah sang gembala juga gelisah memikirkan bagaimana keadaan domba itu, jangan-jangan dalam kondisi bahaya. Sehingga sikap hati ini memunculkan tindakan mengambil resiko itu. Ia mencari yang hilang!

Yesus mengajak para pendengar-Nya, yang kebanyakan adalah orang Farisi untuk melihat ke dalam sikap hati dan bukan sekedar rasionalitas. Ia mengajukan pertanyaan retoris, “Siapa di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba dan jika ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan mencari yang sesat itu sampai menemukannya?”(Lukas 15:4). Ketika seseorang dibawa ke dalam sikap hati, maka jawaban pertanyaan retorika Yesus ini pasti, “ya”! Inilah cara Yesus untuk menjelaskan bahwa setiap orang itu berharga di hadapan Allah termasuk –yang menurut pandangan Yahudi- orang-orang berdosa dan tidak pantas dikasihani.
Dengan perumpamaan ini, Yesus menganalogikan diri-Nya sebagai gembala itu. Gembala yang hatinya terpaut kepada domba yang hilang itu. Gembala yang mau mengambil resiko untuk menemukan kembali domba itu. Gembala yang tidak malu bergaul dengan orang berdosa. Gembala yang rela menderita, disalibkan dan mati untuk domba-domba-Nya!

Manusia sering lupa bahwa di atas hitung-hitungan rasional masih ada faktor lain yang menggerakan seseorang untuk melakukan tindakan  ekstrim. Cerita sepasang muda-mudi yang bertengkar karena anjing itu mengingatkan kita. Ada sikap hati yang tidak rela dari sang gadis ini melihat penderitaan anjingnya, sehingga ia mengambil resiko untuk memulihkan anjing itu. Nah, apalagi Tuhan! Di sini saya mengerti mengapa Allah mau mengorbankan Anak-Nya sendiri, Yesus Kristus sebagai Gembala untuk mencari mereka yang hilang; tersesat seperti domba nakal itu. Hitung-hitungan logika sebenarnya mudah saja. Allah itu Mahakuasa, bisa saja Dia menghukum orang-orang yang sesat itu dengan membinasakannya lalu kemudian Dia menciptakan lagi manusia yang lain yang bebas dari dosa. Nggak usah repot-repot mencari, menderita dan mati! Namun, Allah sama sekali membatalkan penghukuman itu. Allah pernah membatalkan rencana penghukuman atas umat-Nya oleh karena Musa memohon kepada-Nya (Keluaran 32:7-14). Allah tidak menginginkan kebinasaan orang berdosa, melainkan pertobatan. Sekali lagi, Allah tidak berhitung seperti logika manusia berhitung. Kasih-Nyalah yang membuat Dia mengambil jalan yang sulit; menjadi gembala dan rela menderita.

Sekarang saya mengajak kita berefleki sebentar. Kembali ke cerita anjing yang diperjuangkan oleh si gadis itu. Gadis itu mengambil resiko, ia mesti bertengkar dulu dengan pacarnya. Ia harus mencari dan mengumpulkan uang untuk membayar dokter dan biaya operasi, sesudah itu ia harus merawat untuk memulihkan anjing itu. Mengajari anjing itu supaya bisa berjalan lagi. Nah, sekarang sesudah anjing itu sehat; apa yang akan dilakukan anjing itu? Andaikan kita anjing itu. Ya, anjing kampung yang tidak berdaya, seperti Daud dalam keberdosaannya (Mazmur 52), lalu sekarang kita dipulihkan, apakah yang kita lakukan sesudah itu? Jika saya ditanya, maka jawaban saya tidak ada kata lain selain bersyukur dan tekad untuk membalas cinta kasih itu dengan apa pun yang mampu saya berikan.

Paulus, dalam reklefsi saya bagaikan anjing itu. Dia adalah seorang yang merasakan cinta kasih Tuhan itu, maka ia mengatakan, “...: Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,” dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justeru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian menjadi percaya kepada-Nya dan mendapatkan hidup yang kekal.” (1 Timotius 1:12-17). Paulus menyadari dirinya sebagai orang berdosa, ia merasakan kasih dan jamahan Tuhan itu, maka seluruh hidupnya merupakan ungkapan syukur; bersedia sukacita melayani-Nya agar banyak orang mengalami juga kasih yang dia rasakan.

Setiap orang yang menyadari dirinya berdosa dan menyambut kasih karunia Allah di dalam Kristus, maka ia bagaikan domba yang hilang dan ditemukan kembali. Ia sudah mati dan menjadi hidup kembali, maka selayaknyalah orang tersebut bersyukur dan menyerahkan hidupnya bagi kemuliaan Tuhan. Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar