Mereka datang berdua, sepasang
muda-mudi yang sedang mempersiapkan diri menuju pelaminan. Pembicaraan pun
dimulai. Sebagaimana layaknya percakapan pastoral pranikah, saya bertanya
tentang motivasi dan pemahaman mereka memutuskan untuk menikah. Semua tampak
baik-baik saja. Namun, ketika ditanya apakah selama ini tidak ada percekcokan
serius. Segera disambut dengan jawaban si pemuda, “Justeru saat ini kami sedang
ada masalah! Kami terlibat percekcokan. Coba Pak Pendeta pikir, saat ini kan
kami sedang butuh biaya untuk mempersiapkan pernikahan kami. Eh...dia ini
(sambil menunjuk calon pasangannya) memutuskan untuk mengoperasi kaki anjingnya
yang patah karena tergilas mobil. Pak Pendeta tahu? Biaya untuk itu hampir
sepuluh juta! Belum lagi obat dan perawatan setelah itu dan kami tidak tahu
pasti apakah setelah tindakan oprasi anjing itu dapat kembali normal atau
tidak?” Masih dengan nada kesal ia melanjutkan, “Saya mengerti dan rela, kalau
dia melakukan itu untuk saudara atau orang tuanya. Nah, ini utuk anjing!”
“Saya tidak tega melihat
penderitaan anjing itu!” Jawab si pemudi, “ia saya ambil ketika masih kecil,
lucu dan menggemaskan, masakan sekarang ketika ia tak berdaya lalu kemudian
saya mencampakkannya begitu saja. Bagaimana pun saya harus menolongnya!”
Saya penasaran anjing apa
rupanya yang menjadi bahan percekcokan ini. Dalam benak saya sudah pasti anjing
ras yang sangat mahal harganya. Saya bertanya, “Anjing apa sih yang kalian
ributkan itu?” Si pria langsung menjawab dengan nada emosi, “Anjing kampung,
Pak Pendeta! Nah, logikanya dengan uang sebanyak itu untuk oprasi, kan bisa beli anjing lain yang sehat,
bukan hanya satu ekor. Uang itu bisa beli lusinan ekor anjing kampung yang
sehat!”
Tidak logis! Mungkin itu juga
kesan kita ketika membaca Perumpamaan
domba yang hilang dalam Lukas 15:1-7. Ada seorang gembala mempunyai seratus
ekor domba. Satu di antara domba-domba itu hilang. Ia meninggalkan yang
sembilan puluh sembilan lalu pergi mencari satu yang hilang. Hitung-hitungan
matematis, tindakan ini mengandung resiko besar. Bagaimana dengan keamanan
domba-domba yang ditinggalakan itu? Masalah yang hendak disampaikan Yesus dalam
perumpamaan ini tentu bukan melulu pada nalar logika. Bisa saja untuk menjawab
itu, pastilah sang gembala telah mengamankan domba-dombanya terlebih dahulu
sebelum mencari yang hilang. Namun demikian tetap saja tindakannya itu mempunyai
resiko. Di mana, dalam kondisi apa dan berapa lama mencari domba yang hilang
itu pastilah belum dapat diperkirakan dengan akurat.
Penekanan Yesus dalam
perumpamaan ini lebih pada sikap hati. Sikap hati si gembala. Hatinya pasti ada
pada domba yang hilang itu! Sikap hati ini saya bayangkan ketika masih kecil.
Saya punya banyak kelereng, puluhan jumlahnya masing-masing mempunyai warna
yang menarik dan saya tahu percis jumlah kelereng itu. Suatu hari saya sadar
ada satu yang hilang. Saya gelisah lalu mencarinya. Terus mencari sampai malam.
Papa menegur, “Sudahlah, besok lagi nyarinya, toh kamu masih punya banyak kelereng yang lain!” Pada waktu itu,
rasanya perkataan Papa tidak bisa mengobati perasaan kehilangan itu, saya terus
memikirkannya sampai larut malam. Saya yakin pastilah sang gembala juga gelisah
memikirkan bagaimana keadaan domba itu, jangan-jangan dalam kondisi bahaya. Sehingga
sikap hati ini memunculkan tindakan mengambil resiko itu. Ia mencari yang
hilang!
Yesus mengajak para
pendengar-Nya, yang kebanyakan adalah orang Farisi untuk melihat ke dalam sikap
hati dan bukan sekedar rasionalitas. Ia mengajukan pertanyaan retoris, “Siapa di antara kamu yang mempunyai seratus
ekor domba dan jika ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang
sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan mencari yang sesat itu sampai
menemukannya?”(Lukas 15:4). Ketika
seseorang dibawa ke dalam sikap hati, maka jawaban pertanyaan retorika Yesus
ini pasti, “ya”! Inilah cara Yesus untuk menjelaskan bahwa setiap orang itu
berharga di hadapan Allah termasuk –yang menurut pandangan Yahudi- orang-orang
berdosa dan tidak pantas dikasihani.
Dengan perumpamaan ini, Yesus
menganalogikan diri-Nya sebagai gembala itu. Gembala yang hatinya terpaut
kepada domba yang hilang itu. Gembala yang mau mengambil resiko untuk menemukan
kembali domba itu. Gembala yang tidak malu bergaul dengan orang berdosa. Gembala
yang rela menderita, disalibkan dan mati untuk domba-domba-Nya!
Manusia sering lupa bahwa di
atas hitung-hitungan rasional masih ada faktor lain yang menggerakan seseorang
untuk melakukan tindakan ekstrim. Cerita
sepasang muda-mudi yang bertengkar karena anjing itu mengingatkan kita. Ada
sikap hati yang tidak rela dari sang gadis ini melihat penderitaan anjingnya,
sehingga ia mengambil resiko untuk memulihkan anjing itu. Nah, apalagi Tuhan!
Di sini saya mengerti mengapa Allah mau mengorbankan Anak-Nya sendiri, Yesus
Kristus sebagai Gembala untuk mencari mereka yang hilang; tersesat seperti
domba nakal itu. Hitung-hitungan logika sebenarnya mudah saja. Allah itu
Mahakuasa, bisa saja Dia menghukum orang-orang yang sesat itu dengan
membinasakannya lalu kemudian Dia menciptakan lagi manusia yang lain yang bebas
dari dosa. Nggak usah repot-repot mencari, menderita dan mati! Namun, Allah
sama sekali membatalkan penghukuman itu. Allah pernah membatalkan rencana
penghukuman atas umat-Nya oleh karena Musa memohon kepada-Nya (Keluaran
32:7-14). Allah tidak menginginkan kebinasaan orang berdosa, melainkan
pertobatan. Sekali lagi, Allah tidak berhitung seperti logika manusia berhitung.
Kasih-Nyalah yang membuat Dia mengambil jalan yang sulit; menjadi gembala dan
rela menderita.
Sekarang saya mengajak kita
berefleki sebentar. Kembali ke cerita anjing yang diperjuangkan oleh si gadis
itu. Gadis itu mengambil resiko, ia mesti bertengkar dulu dengan pacarnya. Ia
harus mencari dan mengumpulkan uang untuk membayar dokter dan biaya operasi,
sesudah itu ia harus merawat untuk memulihkan anjing itu. Mengajari anjing itu
supaya bisa berjalan lagi. Nah, sekarang sesudah anjing itu sehat; apa yang
akan dilakukan anjing itu? Andaikan kita anjing itu. Ya, anjing kampung yang
tidak berdaya, seperti Daud dalam keberdosaannya (Mazmur 52), lalu sekarang
kita dipulihkan, apakah yang kita lakukan sesudah itu? Jika saya ditanya, maka
jawaban saya tidak ada kata lain selain bersyukur dan tekad untuk membalas
cinta kasih itu dengan apa pun yang mampu saya berikan.
Paulus, dalam reklefsi saya
bagaikan anjing itu. Dia adalah seorang yang merasakan cinta kasih Tuhan itu,
maka ia mengatakan, “...: Kristus Yesus
datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,” dan di antara mereka akulah
yang paling berdosa. Tetapi justeru karena itu aku dikasihani, agar dalam
diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan
kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian
menjadi percaya kepada-Nya dan mendapatkan hidup yang kekal.” (1 Timotius
1:12-17). Paulus menyadari dirinya sebagai orang berdosa, ia merasakan kasih
dan jamahan Tuhan itu, maka seluruh hidupnya merupakan ungkapan syukur;
bersedia sukacita melayani-Nya agar banyak orang mengalami juga kasih yang dia
rasakan.
Setiap orang yang menyadari
dirinya berdosa dan menyambut kasih karunia Allah di dalam Kristus, maka ia
bagaikan domba yang hilang dan ditemukan kembali. Ia sudah mati dan menjadi
hidup kembali, maka selayaknyalah orang tersebut bersyukur dan menyerahkan
hidupnya bagi kemuliaan Tuhan. Bagaimana dengan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar