Terdapat banyak aliran sungai
di Yongzhou, Propinsi Hunan China. Karena itu orang-orang Yongzhou sangat ahli
berenang. Anak kecil berusia 5-6 tahun sudah bisa berenang dan menagkap ikan,
orang dewasanya lebih luar biasa lagi.
Suatu hari, ada beberapa orang
Yongzhou besama-sama naik kapal menyeberangi sungai. Dalam perjalanan semua
bersenda gurau. Ada seorang yang bercerita bagaimana dulu ia pernah pergi dari
rumah untuk berdagang dan sekarang pulang kampung untuk melihat keluarga. Dia
memanggul sebuah bungkusan, setiap saat terus dibawanya.
Sampai di tengah sungai,
terjadilah hal yang tidak diinginkan. Rupanya selama beberapa hari ini, daerah
itu diguyur hujan badai. Hal ini menyebabkan air sungai pasang, sekarang
tiba-tiba bertiup angin kencang dan menimbulkan ombak besar. Ombak besar itu
menerjang kapal. Kapal kecil itu tidak bisa menahannya, menyebabkan muncul
lubang besar di bagian belakang kapal. Air sungai masuk dengan cepat,
kelihatannya tidak lama lagi kapal akan tenggelam. Para penumpang kapal
menyadari kini mereka dalam situasi bahaya. Langsung mereka menyelamatkan diri
dengan melompat ke dalam air berenang menuju tepi sungai.
Orang yang membawa bungkusan
tadi pun ikut nyebur, napasnya tersengal-sengal. Kedua tangannya naik-turun
berenang, tetapi seolah berjalan di tempat, kalaupun maju hanya sedikit sekali.
Sahabat-sahabat yang melihatnya merasa heran. Salah seorang di antaranya
berteriak, “Hei, bukankah kamu orang Yongzhou yang terkenal sangat pandai
berenang, kenapa sekarang walaupun tampaknya engkau mengerahkan seluruh
tenagamu, justeru tertinggal di belakang?”
Dengan napas tersengal-sengal,
ia menjawab, “Sebelum melompat, saya mengikatkan seribu tael uang yang ada
dibungkusan ke pinggang saya, sangat berat! Itu sebabnya saya mengeluarkan
banyak tenaga.” Tak lama kemudian orang ini makin tidak bisa menggerakkan
tangannya, kelihatannya sebentar lagi akan tenggelam. Sahabatnya sangat tegang,
berusaha mengingatkan dia, “Buang saja uang itu dari pinggangmu!” Tetapi orang
itu sudah tidak lagi kuat bersuara. Ia hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.
Orang itu kemudian sudah tidak
bisa berenang lagi. Dia hampir tenggelam, sedangkan sahabat-sahabatnya sudah
berada di tepi sungai. Melihat dia, semua orang menjadi tegang. Sambil melompat,
mereka berkata kepadanya, “Mengapa kamu begitu dungu? Jika kamu mati apa
gunanya uang? Buang saja sekarang mumpung masih sempat! Buang uang itu, cepat
buang!”
Orang itu menggeleng-gelengkan
kepala, bagaimanapun tetap tidak mau melepaskan uang dari pinggangnya. Akhirnya,
dia benar-benar kehabisan tenaga. Bersama uangnya, dia tenggelam ke dasar
sungai!
Banyak manusia yang hidupnya
seperti orang yang tenggelam dengan uangnya. Melekatkan diri pada apa yang
dianggapnya berharga. Uang! Bukankah demi uang, orang rela melakukan apa saja
termasuk melukai, mengorbankan, membunuh dan akhirnya membungkam nurani yang
senantiasa menyuarakan kebenaran. Lihat saja berita-berita belakangan ini, KPK
sibuk menangkap, memeriksa, mengadili dan menjebloskan para pejabat. Orang-orang
yang dulunya kita harapkan dapat menjadi pemimpin yang amanah.
Bukan hanya uang yang bisa
membuat seseorang terpasung dan tidak dapat melihat kebenaran. Masih ada
ikatan-ikatan lain yang lebih kuat ketimbang uang, yakni orang-orang yang kita
cintai: Keluarga dan mereka yang terdekat dalam hidup kita! Mereka berpotensi
mengikat kita begitu rupa sehingga dapat membungkam suara kebenaran. Ada banyak
contoh kasus mengenai hal ini. Seorang suami karena begitu menyayangi
isterinya, ia tidak ingin melihat isterinya sengsara. Apa saja keinginan
isterinya ia turuti. Akibatnya, ia berusaha memenuhinya meskipun dengan jalan
yang tidak disukai Tuhan. Bukankah banyak di antara pasangan suami-isteri atas
nama cinta dan tidak ingin menyakiti kemudian memilih berbohong? Seorang ibu demi
sayang kepada anaknya, ia membela membabi-buta. Ia tidak lagi bisa melihat
kebenaran dengan obyektif! Semua orang yang menentang keinginan anaknya segera
menjadi lawannya. Hanya anaknya yang benar, yang lain tidak! Kasus-kasus
nepotisme dalam instansi swasta maupun pemerintahan menunjukkan bahwa
keberpihakan dan kelekatan keluarga dapat mengalahkan kebenaran objektif.
Yesus tidak menginginkan seseorang terbelenggu
dengan apa pun sehingga membutakan mata rohaninya untuk menyambut Kerajaan
Allah. Maka dengan keras dan mengejutkan, Ia berkata: “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya,
ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan,
bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Lukas 14:26).
Inilah obat ampuh yang diresepkan Yesus agar seseorang dapat melepaskan
ikatan-ikatan itu dan tidak tenggelam dalam dunia yang fana ini. Namun,
pertanyaanya: Apakah sebegitu kerasnya? Apakah benar Yesus meminta untuk
membenci orang-orang yang terdekat dalam kehidupan kita?
Tidak mudah untuk memahami
ucapan Yesus ini. Ucapan ini harus difahami dengan benar dan bukan secara
harafiah. Dalam konteks semula, pernyataan keras ini ada dalam situasi
mirip-mirip dengan orang yang tenggelam bersama dengan uangnya. Orang tersebut
berada dalam pilihan hidup atau mati. Sahabat-sahabatnya meminta supaya ia
melepaskan uang yang diikatkan dipinggangnya agar selamat. Pada saat normal
tentu tidak mungkin sahabat-sahabat orang itu menyuruhnya untuk membuang uang
itu ke dalam sungai. Uang pastilah banyak gunanya. Namun, ketika seseorang
melekatkan diri kepada uang, mencintai uang lebih dari segalanya maka uang
dapat mencelakakan. Pilihan melepaskan uang tentu merupakan pilihan cerdas dan logis!
Ketika Yesus mengucapkan
perkataan ini, Ia sedang berada dalam perjalanan menuju Yerusalem. Ia menyadari
bahwa diri-Nya sedang berjalan menuju salib. Orang banyak yang bersama-sama
dengan-Nya berpikir bahwa Ia sedang menuju kepada Kerajaan-Nya. Mereka memahami
bahwa mengikut Yesus berarti akan segera menikmati kekuasaan dan kemuliaan.
Cara berpikir seperti ini berarti melekatkan diri bukan kepada Yesus sebagai
perwujudan Kerajaan Allah di dunia ini, melainkan kepada kuasa dan kemuliaan
duniawi itu yang akhirnya dapat membawa dampak kepada kematian kekal. Yesus
mengingatkan kepada mereka ini, bahwa seseorang yang sedang mengikuti Dia
tidaklah sedang berjalan kepada kekuasaan dan kemuliaan duniawi itu, melainkan
kepada Kerajaan Allah; di mana Allahlah yang menjadi Raja dan hukum-hukum-Nya yang
harus ditaati. Dalam menaati perintah Allah, manusia akan diperhadapkan kepada
pilihan yang tegas: memilih dan melekatkan diri kepada Allah atau memilih dan
melekatkan diri pada pihak-pihak lain. Tidak bisa mengambil keduanya. Sama
seperti orang yang tenggelam bersama dengan uangnya. Tidak bisa ia mau
dua-duanya: selamat dengan uang dalam pelukannya.
Sejak umat Allah keluar dari
Mesir menuju tanah perjanjian. Mereka diperhadapkan kepada pilihan serius.
Ulangan 30: 11-20, mencatat dengan lugas tentang sikap Musa yang dengan tegas
meminta umat Tuhan untuk memilih: mengasihi Allah atau berpaling dari pada-Nya.
Jika mereka memilih mengasihi Allah, itu berarti memilih hidup menurut jalan
yang ditunjukkan dan berpegang pada perintah-peritah-Nya konsekwensi dari
pilihan itu mereka mendapatkan hidup dan diberkati. Sebaliknya, berpaling
dari-Nya maka kebinasaan yang akan mereka dapati.
Pertanyaannya kembali muncul,
apakah dengan mengasihi Allah, pada pihak lain harus benar-benar membenci
orang-orang yang terdekat dalam hidup kita? Bukankah kasih merupakan inti sari
iman Kristen. Bagaimana mungkin Yesus yang memerintahkan untuk mengasihi sesama
manusia seperti dirinya sendiri bahkan musuh sekali pun harus dikasihi,
sekarang Ia memerintahkan untuk membenci orang tua dan sanak keluarga sendiri?
Hampir pasti, kita menempatkan
kata “benci” dalam konotasi negatif. Kata itu sejajar dengan perasaan sangat
tidak suka. Kata “benci” yang dipakai Yesus dalam Lukas 14:26 menggunakan kata μίσέί (misei) dari kata μίσέω (miseo), sedangkan kata μίσέω sendiri berasal dari kata μίσος (misos). Leksikon Yunani menerangkan bahwa kata ini bermakna to love less. Kata miseo dapat berarti “kurang mengasihi” orang tuanya, keluarganya,
bahkan dirinya sendiri jika dibandingkan dengan mengasihi Allah. Atau dalam
kalimat lain misalnya, “Kasih saya kepada Allah adalah segalanya, sehingga
mengalahkan kasih saya kepada orang tua, sanak keluarga, bahkan diri saya
sendiri.” Mengapa Yesus membuat pernyataan demikian? Ya, karena seringkali
keluarga dan orang-orang terdekat dalam hidup kita justeru menjadi penghalang
untuk Kerajaan Allah. Orang dapat saja terbelenggu dengan urusan keluarga
sehingga mengabaikan apa yang lebih besar. Dan menurut Yesus tidak ada hal yang
lebih besar daripada Kerajaan Allah.
Jadi konteks “membenci” di sini adalah tentang “kemelekatan”. Manusia
memiliki sifat dasar yang melekat atau terikat pada hal-hal yang berhubungan
erat dengan dirinya. Orang-orang terdekat dan juga materi sangat potensial
membuat manusia melekat dan terbelenggu sehingga tidak berdaya. Yesus menginginkan
manusia tidak melekat pada hal-hal tersebut supaya tidak kehilangan bagian
hidup kekal. Lantas, apakah dengan melepaskan ikatan-ikatan tersebut kita
begitu saja mengabaikan mereka?
Kita
harus menyadari bahwa “melepaskan kemelekatan” sama sekali berbeda dengan “melepaskan
tanggung jawab”. Kita dapat bersikap tidak melekat pada materi, tetapi bukan
berarti kita membuang semua harta benda yang Tuhan percayakan pada kita lalu
berhenti bekerja sama sekali. Bukan! Bukan seperti itu, ketidakmelekatan dapat
diwujudkan dengan sikap tulus iklas, tidak bergantung dan tidak terobsesi. Hal ini
merupakan modal bagi manusia untuk tidak diperbudak oleh egoisme, walau sering
dibungkus dengan ungkapan luhur yaitu mementingkan keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar