Kamis, 05 September 2013

MELEPASKAN MILIK UNTUK MENGIKUT TUHAN

Terdapat banyak aliran sungai di Yongzhou, Propinsi Hunan China. Karena itu orang-orang Yongzhou sangat ahli berenang. Anak kecil berusia 5-6 tahun sudah bisa berenang dan menagkap ikan, orang dewasanya lebih luar biasa lagi.

Suatu hari, ada beberapa orang Yongzhou besama-sama naik kapal menyeberangi sungai. Dalam perjalanan semua bersenda gurau. Ada seorang yang bercerita bagaimana dulu ia pernah pergi dari rumah untuk berdagang dan sekarang pulang kampung untuk melihat keluarga. Dia memanggul sebuah bungkusan, setiap saat terus dibawanya.

Sampai di tengah sungai, terjadilah hal yang tidak diinginkan. Rupanya selama beberapa hari ini, daerah itu diguyur hujan badai. Hal ini menyebabkan air sungai pasang, sekarang tiba-tiba bertiup angin kencang dan menimbulkan ombak besar. Ombak besar itu menerjang kapal. Kapal kecil itu tidak bisa menahannya, menyebabkan muncul lubang besar di bagian belakang kapal. Air sungai masuk dengan cepat, kelihatannya tidak lama lagi kapal akan tenggelam. Para penumpang kapal menyadari kini mereka dalam situasi bahaya. Langsung mereka menyelamatkan diri dengan melompat ke dalam air berenang menuju tepi sungai.

Orang yang membawa bungkusan tadi pun ikut nyebur, napasnya tersengal-sengal. Kedua tangannya naik-turun berenang, tetapi seolah berjalan di tempat, kalaupun maju hanya sedikit sekali. Sahabat-sahabat yang melihatnya merasa heran. Salah seorang di antaranya berteriak, “Hei, bukankah kamu orang Yongzhou yang terkenal sangat pandai berenang, kenapa sekarang walaupun tampaknya engkau mengerahkan seluruh tenagamu, justeru tertinggal di belakang?”

Dengan napas tersengal-sengal, ia menjawab, “Sebelum melompat, saya mengikatkan seribu tael uang yang ada dibungkusan ke pinggang saya, sangat berat! Itu sebabnya saya mengeluarkan banyak tenaga.” Tak lama kemudian orang ini makin tidak bisa menggerakkan tangannya, kelihatannya sebentar lagi akan tenggelam. Sahabatnya sangat tegang, berusaha mengingatkan dia, “Buang saja uang itu dari pinggangmu!” Tetapi orang itu sudah tidak lagi kuat bersuara. Ia hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.

Orang itu kemudian sudah tidak bisa berenang lagi. Dia hampir tenggelam, sedangkan sahabat-sahabatnya sudah berada di tepi sungai. Melihat dia, semua orang menjadi tegang. Sambil melompat, mereka berkata kepadanya, “Mengapa kamu begitu dungu? Jika kamu mati apa gunanya uang? Buang saja sekarang mumpung masih sempat! Buang uang itu, cepat buang!”

Orang itu menggeleng-gelengkan kepala, bagaimanapun tetap tidak mau melepaskan uang dari pinggangnya. Akhirnya, dia benar-benar kehabisan tenaga. Bersama uangnya, dia tenggelam ke dasar sungai!

Banyak manusia yang hidupnya seperti orang yang tenggelam dengan uangnya. Melekatkan diri pada apa yang dianggapnya berharga. Uang! Bukankah demi uang, orang rela melakukan apa saja termasuk melukai, mengorbankan, membunuh dan akhirnya membungkam nurani yang senantiasa menyuarakan kebenaran. Lihat saja berita-berita belakangan ini, KPK sibuk menangkap, memeriksa, mengadili dan menjebloskan para pejabat. Orang-orang yang dulunya kita harapkan dapat menjadi pemimpin yang amanah.

Bukan hanya uang yang bisa membuat seseorang terpasung dan tidak dapat melihat kebenaran. Masih ada ikatan-ikatan lain yang lebih kuat ketimbang uang, yakni orang-orang yang kita cintai: Keluarga dan mereka yang terdekat dalam hidup kita! Mereka berpotensi mengikat kita begitu rupa sehingga dapat membungkam suara kebenaran. Ada banyak contoh kasus mengenai hal ini. Seorang suami karena begitu menyayangi isterinya, ia tidak ingin melihat isterinya sengsara. Apa saja keinginan isterinya ia turuti. Akibatnya, ia berusaha memenuhinya meskipun dengan jalan yang tidak disukai Tuhan. Bukankah banyak di antara pasangan suami-isteri atas nama cinta dan tidak ingin menyakiti kemudian memilih berbohong? Seorang ibu demi sayang kepada anaknya, ia membela membabi-buta. Ia tidak lagi bisa melihat kebenaran dengan obyektif! Semua orang yang menentang keinginan anaknya segera menjadi lawannya. Hanya anaknya yang benar, yang lain tidak! Kasus-kasus nepotisme dalam instansi swasta maupun pemerintahan menunjukkan bahwa keberpihakan dan kelekatan keluarga dapat mengalahkan kebenaran objektif.

 Yesus tidak menginginkan seseorang terbelenggu dengan apa pun sehingga membutakan mata rohaninya untuk menyambut Kerajaan Allah. Maka dengan keras dan mengejutkan, Ia berkata: “Jikalau seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Lukas 14:26). Inilah obat ampuh yang diresepkan Yesus agar seseorang dapat melepaskan ikatan-ikatan itu dan tidak tenggelam dalam dunia yang fana ini. Namun, pertanyaanya: Apakah sebegitu kerasnya? Apakah benar Yesus meminta untuk membenci orang-orang yang terdekat dalam kehidupan kita?

Tidak mudah untuk memahami ucapan Yesus ini. Ucapan ini harus difahami dengan benar dan bukan secara harafiah. Dalam konteks semula, pernyataan keras ini ada dalam situasi mirip-mirip dengan orang yang tenggelam bersama dengan uangnya. Orang tersebut berada dalam pilihan hidup atau mati. Sahabat-sahabatnya meminta supaya ia melepaskan uang yang diikatkan dipinggangnya agar selamat. Pada saat normal tentu tidak mungkin sahabat-sahabat orang itu menyuruhnya untuk membuang uang itu ke dalam sungai. Uang pastilah banyak gunanya. Namun, ketika seseorang melekatkan diri kepada uang, mencintai uang lebih dari segalanya maka uang dapat mencelakakan. Pilihan melepaskan uang tentu merupakan pilihan cerdas dan logis!

Ketika Yesus mengucapkan perkataan ini, Ia sedang berada dalam perjalanan menuju Yerusalem. Ia menyadari bahwa diri-Nya sedang berjalan menuju salib. Orang banyak yang bersama-sama dengan-Nya berpikir bahwa Ia sedang menuju kepada Kerajaan-Nya. Mereka memahami bahwa mengikut Yesus berarti akan segera menikmati kekuasaan dan kemuliaan. Cara berpikir seperti ini berarti melekatkan diri bukan kepada Yesus sebagai perwujudan Kerajaan Allah di dunia ini, melainkan kepada kuasa dan kemuliaan duniawi itu yang akhirnya dapat membawa dampak kepada kematian kekal. Yesus mengingatkan kepada mereka ini, bahwa seseorang yang sedang mengikuti Dia tidaklah sedang berjalan kepada kekuasaan dan kemuliaan duniawi itu, melainkan kepada Kerajaan Allah; di mana Allahlah yang menjadi Raja dan hukum-hukum-Nya yang harus ditaati. Dalam menaati perintah Allah, manusia akan diperhadapkan kepada pilihan yang tegas: memilih dan melekatkan diri kepada Allah atau memilih dan melekatkan diri pada pihak-pihak lain. Tidak bisa mengambil keduanya. Sama seperti orang yang tenggelam bersama dengan uangnya. Tidak bisa ia mau dua-duanya: selamat dengan uang dalam pelukannya.

Sejak umat Allah keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian. Mereka diperhadapkan kepada pilihan serius. Ulangan 30: 11-20, mencatat dengan lugas tentang sikap Musa yang dengan tegas meminta umat Tuhan untuk memilih: mengasihi Allah atau berpaling dari pada-Nya. Jika mereka memilih mengasihi Allah, itu berarti memilih hidup menurut jalan yang ditunjukkan dan berpegang pada perintah-peritah-Nya konsekwensi dari pilihan itu mereka mendapatkan hidup dan diberkati. Sebaliknya, berpaling dari-Nya maka kebinasaan yang akan mereka dapati.

Pertanyaannya kembali muncul, apakah dengan mengasihi Allah, pada pihak lain harus benar-benar membenci orang-orang yang terdekat dalam hidup kita? Bukankah kasih merupakan inti sari iman Kristen. Bagaimana mungkin Yesus yang memerintahkan untuk mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri bahkan musuh sekali pun harus dikasihi, sekarang Ia memerintahkan untuk membenci orang tua dan sanak keluarga sendiri?

Hampir pasti, kita menempatkan kata “benci” dalam konotasi negatif. Kata itu sejajar dengan perasaan sangat tidak suka. Kata “benci” yang dipakai Yesus dalam Lukas 14:26 menggunakan kata μίσέί (misei) dari kata μίσέω (miseo), sedangkan kata μίσέω sendiri berasal dari kata μίσος (misos). Leksikon Yunani menerangkan bahwa kata ini bermakna to love less. Kata miseo dapat berarti “kurang mengasihi” orang tuanya, keluarganya, bahkan dirinya sendiri jika dibandingkan dengan mengasihi Allah. Atau dalam kalimat lain misalnya, “Kasih saya kepada Allah adalah segalanya, sehingga mengalahkan kasih saya kepada orang tua, sanak keluarga, bahkan diri saya sendiri.” Mengapa Yesus membuat pernyataan demikian? Ya, karena seringkali keluarga dan orang-orang terdekat dalam hidup kita justeru menjadi penghalang untuk Kerajaan Allah. Orang dapat saja terbelenggu dengan urusan keluarga sehingga mengabaikan apa yang lebih besar. Dan menurut Yesus tidak ada hal yang lebih besar daripada Kerajaan Allah.

Jadi konteks “membenci” di sini adalah tentang “kemelekatan”. Manusia memiliki sifat dasar yang melekat atau terikat pada hal-hal yang berhubungan erat dengan dirinya. Orang-orang terdekat dan juga materi sangat potensial membuat manusia melekat dan terbelenggu sehingga tidak berdaya. Yesus menginginkan manusia tidak melekat pada hal-hal tersebut supaya tidak kehilangan bagian hidup kekal. Lantas, apakah dengan melepaskan ikatan-ikatan tersebut kita begitu saja mengabaikan mereka?

Kita harus menyadari bahwa “melepaskan kemelekatan” sama sekali berbeda dengan “melepaskan tanggung jawab”. Kita dapat bersikap tidak melekat pada materi, tetapi bukan berarti kita membuang semua harta benda yang Tuhan percayakan pada kita lalu berhenti bekerja sama sekali. Bukan! Bukan seperti itu, ketidakmelekatan dapat diwujudkan dengan sikap tulus iklas, tidak bergantung dan tidak terobsesi. Hal ini merupakan modal bagi manusia untuk tidak diperbudak oleh egoisme, walau sering dibungkus dengan ungkapan luhur yaitu mementingkan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar