Seorang petani kecil, miskin
bernama Fleming. Ia dan keluarganya hidup di tanah tandus pinggiran desa
Skotlandia. Suatu hari Fleming sedang menggarap tanahnya, ia dikejutkan dengan
suara teriakan minta tolong. Segera Felming meninggalakan pekerjaannya lalu
pergi menuju suara itu. Ternyata, ada seorang anak kecil yang jatuh ke dalam
kubangan lumpur. Ia berteriak ketakutan dan putus asa, takut lumpur itu akan
menelannya hidup-hidup. Fleming, tanpa menghiraukan keselamatannya segera
berusaha menolong anak itu. Ia berhasil menyelamatkan anak itu, kemudian
membawanya ke gubug tempat tinggalnya yang teramat sederhana. Di gubuk itu,
Fleming dan isterinya menenangkan anak kecil yang sedang panik itu. Karena
terlalu sibuk mengurus bocah kecil itu, Fleming dan isterinya lupa menanyakan
nama bocah itu.
Keeseokan harinya keluarga
petani miskin ini dibuat terkejut. Sebuah kereta kuda besar dan indah berhenti
di depan gubuk itu. Kusir kereta membukakan pintu dan keluarlah seorang
bangsawan dengan baju kebesarannya. Bangsawan itu mengulurkan tangan untuk
menjabat tangan Fleming yang kasar dan kapalan. “Saya adalah ayah dari bocah
yang Anda selamatkan kemarin,” jelas bangsawan itu. “Hanya mengucapkan terima kasih
kepada Anda tampaknya kurang pantas karena tak ada yang lebih penting di dunia
ini selain nyawa anak saya. Jadi bagaimana seharusnya membalas jasa Anda?
Bagaimana sebaiknya saya mengganti kebaikan Anda?”
“Terima kasih,” sahut si
petani. “Saya menghargai niat baik Tuan dengan berkunjung ke mari. Itu saja
sudah merupakan balasan yang cukup. Saya tidak bisa menerima balasan lainnya. Saya
hanya melakukan apa yang juga akan dilakukan oleh orang lain. Saya yakin Anda
pun akan melakukan hal yang sama kepada anak saya jika berada dalam situasi
yang sama.”
Pada saat itu, anak petani
keluar dari pintu gubuk. Dia merasa heran melihat ada seorang bangsawan dengan
kereta kudanya yang indah berkunjung ke pertanian mereka yang kecil. “Apakah
ini anak Anda?” tanya bangsawan itu. Si petani berdiri di samping anaknya dan
dengan bangga merangkul anak itu. “Ya!,” jawabnya.
“Anda telah menyelamatkan anak
saya,” kata bangsawan itu. “Biarkan saya melakukan sesuatu bagi anak Anda. Saya
bisa membawanya dan memberikan pendidikan yang baik. Jika dia memiliki
keberanian dan kebaikan hati ayahnya, saya yakin dia akan tumbuh menjadi
seorang anak lelaki yang akan membuat Anda bangga.” Petani itu setuju, bukan
karena dia ingin menerima balasan atas tindakannya, melainkan karena dia
melihat secercah harapan yang tidak mungkin diberikan seorang petani kecil
semacam dia untuk anaknya.
Anak lelaki Fleming ternyata
tumbuh menjadi seorang pelajar yang rajin dan pandai. Setelah menyelesaikan
pendidikan dasarnya, dia melanjutkan sekolah kedokteran, dan karena semangatnya
untuk peduli pada orang lain, membuatnya tertarik pada bidang riset. Hal ini
membawanya pada sebuah penemuan revolusioner dalam dunia obat-obatan. Anak petani
kecil itu akhirnya diberi gelar bangsawan sebagai Sir Alexander Fleming atas
jasanya menemukan penisil yang kelak akan menyelematkan juataan orang dari
penyakit pneumonia.
Cerita ini belum berakhir.
Anak bangsawan yang dulu terbenam dalam lumpur kembali diperhadapkan pada
situasi antara hidup dan mati. Dia terserang penyakit pneumonia, sebuah
kondidsi, yang pada waktu itu hampir selalu berakibat fatal. Penisilin akhirnya
terbukti dapat menaklukkan penyakit itu dan membuat anak bangsawan itu terus
hidup hingga akhirnya menjadi orang terkenal. Bangsawan yang menyekolahkan anak
Fleming itu bernama Lord Randolph Churchill, sedangkan anak lelaki yang
diselamatkan nyawanya oleh keluarga Fleming bernama Sir Winston Churchill, seorang
perdana menteri Inggris pada masa perang dunia II. Ia adalah seorang penerima Nobel
perdamaian.
Kisah ini mengajarkan peran keluarga, khususnya orang
tua dalam mendidik anak. Karakter orang tua menjadi contoh bagi pembentukan
karakter anak. Anak yang berhasil tentu bukan sekedar cerdas dalam nalar
logika, tetapi juga punya karakter yang baik. Untuk menghasilkan
manusia-manusia unggul tidaklah cukup menjejali anak hanya dengan ilmu
pengetahuan dan logika saja, anak memerlukan contoh model yang dapat ditiru dan
dikembangkan. Penulis Amsal mengingatkan, “Didiklah
orang muda menurut jalan yang patut
baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan
itu.” (Amsal 22:6). Patut artinya layak, pantas, tepat, cocok atau sesuai
dengan yang diinginkan Tuhan. Tuhan menginginkan agar setiap anak tumbuh
menjadi orang yang berhikmat, takut akan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Sudahkah
keluarga kita menjadi tempat pendidikan yang “patut” bagi anak-anak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar