Jumat, 20 September 2013

MENDIDIK DENGAN PRILAKU

Seorang petani kecil, miskin bernama Fleming. Ia dan keluarganya hidup di tanah tandus pinggiran desa Skotlandia. Suatu hari Fleming sedang menggarap tanahnya, ia dikejutkan dengan suara teriakan minta tolong. Segera Felming meninggalakan pekerjaannya lalu pergi menuju suara itu. Ternyata, ada seorang anak kecil yang jatuh ke dalam kubangan lumpur. Ia berteriak ketakutan dan putus asa, takut lumpur itu akan menelannya hidup-hidup. Fleming, tanpa menghiraukan keselamatannya segera berusaha menolong anak itu. Ia berhasil menyelamatkan anak itu, kemudian membawanya ke gubug tempat tinggalnya yang teramat sederhana. Di gubuk itu, Fleming dan isterinya menenangkan anak kecil yang sedang panik itu. Karena terlalu sibuk mengurus bocah kecil itu, Fleming dan isterinya lupa menanyakan nama bocah itu.

Keeseokan harinya keluarga petani miskin ini dibuat terkejut. Sebuah kereta kuda besar dan indah berhenti di depan gubuk itu. Kusir kereta membukakan pintu dan keluarlah seorang bangsawan dengan baju kebesarannya. Bangsawan itu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Fleming yang kasar dan kapalan. “Saya adalah ayah dari bocah yang Anda selamatkan kemarin,” jelas bangsawan itu. “Hanya mengucapkan terima kasih kepada Anda tampaknya kurang pantas karena tak ada yang lebih penting di dunia ini selain nyawa anak saya. Jadi bagaimana seharusnya membalas jasa Anda? Bagaimana sebaiknya saya mengganti kebaikan Anda?”

“Terima kasih,” sahut si petani. “Saya menghargai niat baik Tuan dengan berkunjung ke mari. Itu saja sudah merupakan balasan yang cukup. Saya tidak bisa menerima balasan lainnya. Saya hanya melakukan apa yang juga akan dilakukan oleh orang lain. Saya yakin Anda pun akan melakukan hal yang sama kepada anak saya jika berada dalam situasi yang sama.”

Pada saat itu, anak petani keluar dari pintu gubuk. Dia merasa heran melihat ada seorang bangsawan dengan kereta kudanya yang indah berkunjung ke pertanian mereka yang kecil. “Apakah ini anak Anda?” tanya bangsawan itu. Si petani berdiri di samping anaknya dan dengan bangga merangkul anak itu. “Ya!,” jawabnya.

“Anda telah menyelamatkan anak saya,” kata bangsawan itu. “Biarkan saya melakukan sesuatu bagi anak Anda. Saya bisa membawanya dan memberikan pendidikan yang baik. Jika dia memiliki keberanian dan kebaikan hati ayahnya, saya yakin dia akan tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang akan membuat Anda bangga.” Petani itu setuju, bukan karena dia ingin menerima balasan atas tindakannya, melainkan karena dia melihat secercah harapan yang tidak mungkin diberikan seorang petani kecil semacam dia untuk anaknya.

Anak lelaki Fleming ternyata tumbuh menjadi seorang pelajar yang rajin dan pandai. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, dia melanjutkan sekolah kedokteran, dan karena semangatnya untuk peduli pada orang lain, membuatnya tertarik pada bidang riset. Hal ini membawanya pada sebuah penemuan revolusioner dalam dunia obat-obatan. Anak petani kecil itu akhirnya diberi gelar bangsawan sebagai Sir Alexander Fleming atas jasanya menemukan penisil yang kelak akan menyelematkan juataan orang dari penyakit pneumonia.

Cerita ini belum berakhir. Anak bangsawan yang dulu terbenam dalam lumpur kembali diperhadapkan pada situasi antara hidup dan mati. Dia terserang penyakit pneumonia, sebuah kondidsi, yang pada waktu itu hampir selalu berakibat fatal. Penisilin akhirnya terbukti dapat menaklukkan penyakit itu dan membuat anak bangsawan itu terus hidup hingga akhirnya menjadi orang terkenal. Bangsawan yang menyekolahkan anak Fleming itu bernama Lord Randolph Churchill, sedangkan anak lelaki yang diselamatkan nyawanya oleh keluarga Fleming bernama Sir Winston Churchill, seorang perdana menteri Inggris pada masa perang dunia II. Ia adalah seorang penerima Nobel perdamaian.

Kisah ini mengajarkan peran keluarga, khususnya orang tua dalam mendidik anak. Karakter orang tua menjadi contoh bagi pembentukan karakter anak. Anak yang berhasil tentu bukan sekedar cerdas dalam nalar logika, tetapi juga punya karakter yang baik. Untuk menghasilkan manusia-manusia unggul tidaklah cukup menjejali anak hanya dengan ilmu pengetahuan dan logika saja, anak memerlukan contoh model yang dapat ditiru dan dikembangkan. Penulis Amsal mengingatkan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” (Amsal 22:6). Patut artinya layak, pantas, tepat, cocok atau sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. Tuhan menginginkan agar setiap anak tumbuh menjadi orang yang berhikmat, takut akan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Sudahkah keluarga kita menjadi tempat pendidikan yang “patut” bagi anak-anak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar