Terinspirasi oleh tulisan Agus
Santosa, A Beautiful Heart, Gramedia
2013, yang mengajak kita bercermin dari pola makan kita sehari-hari, mari kita
lihat prilaku sendiri. Banyak orang lebih memilih makanan yang enak ketimbang
yang sehat. Tentu makanan yang enak sekaligus menyehatkan ada dan itu yang
ideal. Tetapi umumnya kebanyakan orang tetap saja lebih memilih menyantap
makanan enak sekalipun tahu tidak menyehatkan bagi tubuhnya. Selera terkadang
mengalahkan apa yang rasional. Junk food rata-rata
lezat dihidangkan, cepat disajikan, dan selalu siap santap mengatasi lapar. Junk food biasanya makanan yang dengan
mudah diperoleh seperti kentang goreng, atau makanan-makanan fast food lainnya. Junk food sebenarnya miskin nutrisi, bejibun kolesterol, sarat
gula, garam dan bumbu sintetik lainnya, jika sering-sering dikonsumsi sangat
buruk dampaknya buat kesehatan: obesitas, penyakit jantung dan pembuluh darah,
hiper tensi, gagal ginjal, kanker dan lain sebagainya. Para dokter dan pakar
kesehatan telah banyak mengingatkan akan hal itu.
Kita makan junk food, mungkin karena terlalu sibuk
atau mengikuti trend kuliner yang
serba enak. Namun, sejatinya kita tidak ingin makanan buruk. Pastinya tidak ada
orang yang rela sakit demi makanan, hanya karena kurang hati-hati, tergiur
iklan, khilaf tanpa sadar, kita makan makanan yang tidak sehat. Kita seharusnya
menjauhi junk food, makanan sampah
itu! Makanan sampah dapat merusak keseluruhan tubuh kita. Metabolisme tubuh
menjadi kacau, asupan gizi yang diperlukan tubuh berlebih, namun di sisi lain
bagian-bagian tubuh menderita karena vitamin dan nutrisi yang diperlukan
justeru tidak ada.
Gaya makan seseorang bisa
menandakan spiritualitas yang terkandung dalam diri orang tersebut. Gaya makan
seseorang yang hanya memuaskan dan memanjakan kenikmatan menandakan bahwa orang
tersebut lebih mengutamakan kepuasan diri. Kita bisa melihat gaya makan kaum
bangsawan Samaria yang dicatat Amos 6:4-7. Pada mas itu, Samaria sedang berada dalam
keadaan jaya. Mereka mampu menaklukkan beberapa wilayah di sekitarnya. Situasi
ini membuat mereka mabuk dalam “rasa nyaman yang palsu”. Kini, sandaran hidup
mereka adalah harta kekayaan karena dengan itu mereka bisa melampiaskan hasrat.
Mereka terbiasa mengadakan pesta pora. Makan sambil berbaring dan duduk
berjuntai, minum anggur dari bokor sambil bernyanyi-nyanyi dan berurap dengan
minyak yang paling baik. Gaya seperti ini menandakan spiritualitas hedonisme. Spiritualitas
yang memanjakan kenikmatan dan celakanya itu dilakukan di atas penderitaan
sesamanya. Mereka tidak peduli lagi dengan si miskin yang menderita. Alih-alih
peduli terhadap yang lemah dan miskin, justeru yang miskin dan lemah itu dijadikan
“tumbal” untuk nafsu serah mereka. Amos menyampaikan bahwa gaya hidup seperti
itu tidak disukai Allah dan Allah akan menghukum mereka melalui penaklukan dan
pembuangan. Namun, secara logis juga dapat kita mengerti mengapa dalam kondisi
seperti ini Samaria mudah jatuh. Ya, karena mereka lengah. Mereka mengandalkan
rasa nyaman atas harta benda dan kenikmatan duniawi. Dan ternyata itu rapuh!
Rupa-rupanya apa yang terjadi
pada abad ke-7 SM di zaman Amos terus berlangsung hingga kini. Lirik lagu Perahu Retak karya Franky Sahilatua,
khususnya dalam bait terakhir,
“aku heran, aku heran satu kenyang s’ribu kelaparan.
Aku heran, aku heran keserakahan diagungkan.
Syair ini melukiskan dengan
baik prilaku orang-orang serakah yang mengorbankan sesamanya demi kenikmatan
sendiri. Lalu dengan demikian merasa diri puas dan aman! Tengok saja
kasus-kasus korupsi, pembalakan liar, pebisnis-pebisnis serakah yang tidak lagi
peduli dengan kaum buruh dan lingkungan hidup, dan lain sebagainya hingga hari
ini terus berlangsung.
Kembali ke pola makan. Kita
seharusnya menjauhi makanan junk food
bukan saja yang masuk melalui mulut tetapi tetapi semua “makanan sampah” yang
bisa mengotori hidup kita. Apa yang setiap hari “dimakan” dan mengotori hati
kita? Iri, dendam, kebencian, kemarahan, ketamakan dan keserakahan. Apa yang
setiap hari “disantap” oleh pikiran kita? Kebajikan, hikmat atau kefasikan,
kebenaran atau kesesatan, keadilan atau kemungkaran? Saat kita menikmati siaran
televisi, video, film, internet, atau membaca koran dan majalah, kita sering
disuguhi oleh berbagai “sampah”! Kejahatan ditayangkan sebagai tindakan hampa
moral yang dikemas dalam “hiburan” teatrikal. Dan itu terasa biasa! Kebenaran dijadikan
lelucon, dan keadilan diobral sebagai umpan suap. Sensualitas dipermak serba
sopan, dan pornografi dikesankan “indah” semata.
Orang bijak tentu sadar bahwa
dirinya tidak ingin dijejali oleh tumpukan sampah-sampah moral yang berpotensi
mengotori hati dan pikirannya, dan terkadang menggiring atau menghanyutkannya
pada pemikiran atau tindakan yang salah dan berdosa. Sama seperti kita
mengonsumsi junk food, pasti akan
berdampak buruk pada tubuh. Demikian juga “sampah-sampah” hati dan pikiran yang
setiap hari membombardir, jika semuanya kita telan maka kita akan kehilangan
kehidupan yang sehat: hidup yang sesungguhnya itu. “Metabolisme” kehidupan kita
menjadi tidak seimbang. Kita menjadi monster yang siap melahap apa saja yang
ada dalam jangkauan, kita akan menjadi manusia serakah tidak peduli pada
penderitaan orang lain meskipun orang-orang yang menderita itu berseliweran di
depan mata kita. Dampaknya sungguh berbahaya: penderitaan kekal! Itulah yang
diingatkan Yesus melalui cerita “Orang kaya dan Lazarus yang miskin” (Lukas
16:19-31).
Tokoh orang kaya yang
diceritan Yesus rupanya mengikuti gaya hidup dalam kekaisaran Romawi saat itu.
Setiap hari orang kaya ini mengadakan pesta dalam kemewahan. Menyenggarakan pesta
bagi para tamu undangan tentu tidak ada salahnya. Hal yang dikritik dalam kisah
ini bukanlah penyenggaraan pesta itu, melainkan sikap tidak peduli orang kaya
itu terhadap Lazarus yang badannya penuh dengan borok dan berbaring dekat pintu
rumahnya. Lazarus ini setiap hari ada di sana. Namun, si orang kaya tidak
mengusirnya, tetapi juga tidak sedikit pun memberi bantuan. Pastilah orang kaya
itu mempunyai banyak makanan dan bisa saja ia memberikannya kepada Lazarus;
tetapi itu tidak dilakukannya. Untuk menghilangkan rasa laparnya, Lazarus
memungut remah-remah makanan yang jatuh dari meja orang kaya itu. Ia sendiri
tidak mampu mengusir anjing-anjing yang menjilati boroknya. Kenyataan seperti
ini benar-benar menunjukkan ketidakpedulian dari si kaya itu.
Dosa si kaya sehingga ia
dihukum dalam keabadian bukanlah karena ia seorang pencuri, koruptor atau
bisnis ilegal. Dosanya karena ia tidak peduli terhadap penderitaan orang lain
bahkan melihatnya sebagai kewajaran. Orang kaya itu berdosa bukan karena ia
berbuat ini dan itu sehingga membawanya ke neraka, tetapi justeru karena apa
yang tidak ia lakukan. Dosa si kaya adalah ketika ia melihat segala penderitaan
dan kebutuhan dunia, tetapi tidak memberikan jawaban terhadap semuanya itu. ia
melihat sesamanya yang sedang berada dalam penderitaan dan kelaparan tetapi
tidak berbuat apa-apa terhadap kondisi itu.
Sampah moral: sampah hati dan
pikiran sama seperti kita mengkonsumsi junk
food. Demi kenikmatan, kesehatan terabaikan. Demi hidup nikmat, kehidupan
yang sesungguhnya tidak dipedulikan. Ketika kita terjebak dalam kenikmatan maka
semua cara dilakukan untuk mendapatkannya. Kita tidak lagi memedulikan
peringatan atau tanda bahaya atas kondisi itu. Kita akan lebih mencintai uang
ketimbang Tuhan dan sesama. Paulus mengingatkan bahwa akar segala kejahatan
adalah ketika manusia mencintai uang lebih dari semuanya (I Timotius 6:10).
Orang kaya yang dihukum dalam neraka itu meminta kepada bapa Abraham supaya
mengirimkan orang dari dunia baka itu untuk memperingatkan lima saudaranya yang
masih hidup dengan cara yang sama. Abraham menjawabanya, bahwa peringatan itu
lebih dari cukup. Kitab Musa dan para nabi telah banyak memberi kesaksian. Jika
mereka tidak mendengarkan kesaksian itu, mereka juga tidak akan mau diyakinkan,
sekalipun oleh orang yang bangkit dari antara orang mati. Saya kira peringatan ini berlaku juga buat
kita.
Menjadi kaya tentu bukanlah dosa. Namun, akan menjadi
dosa apabila dengan kekayaannya itu membuat seseorang tinggi hati dan menaruh
pengharapan pada harta bendanya itu (bnd. 1 Timotius 6:17). Sebaliknya,
kekayaan akan membuat seseorang terberkati jika saja orang tersebut menjadi
kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi (1 Timotius 6:18).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar