Kamis, 26 September 2013

MENJADI BIJAK, BUKAN TAMAK TERHADAP UANG

Terinspirasi oleh tulisan Agus Santosa, A Beautiful Heart, Gramedia 2013, yang mengajak kita bercermin dari pola makan kita sehari-hari, mari kita lihat prilaku sendiri. Banyak orang lebih memilih makanan yang enak ketimbang yang sehat. Tentu makanan yang enak sekaligus menyehatkan ada dan itu yang ideal. Tetapi umumnya kebanyakan orang tetap saja lebih memilih menyantap makanan enak sekalipun tahu tidak menyehatkan bagi tubuhnya. Selera terkadang mengalahkan apa yang rasional. Junk food rata-rata lezat dihidangkan, cepat disajikan, dan selalu siap santap mengatasi lapar. Junk food biasanya makanan yang dengan mudah diperoleh seperti kentang goreng, atau makanan-makanan fast food lainnya. Junk food sebenarnya miskin nutrisi, bejibun kolesterol, sarat gula, garam dan bumbu sintetik lainnya, jika sering-sering dikonsumsi sangat buruk dampaknya buat kesehatan: obesitas, penyakit jantung dan pembuluh darah, hiper tensi, gagal ginjal, kanker dan lain sebagainya. Para dokter dan pakar kesehatan telah banyak mengingatkan akan hal itu.

Kita makan junk food, mungkin karena terlalu sibuk atau mengikuti trend kuliner yang serba enak. Namun, sejatinya kita tidak ingin makanan buruk. Pastinya tidak ada orang yang rela sakit demi makanan, hanya karena kurang hati-hati, tergiur iklan, khilaf tanpa sadar, kita makan makanan yang tidak sehat. Kita seharusnya menjauhi junk food, makanan sampah itu! Makanan sampah dapat merusak keseluruhan tubuh kita. Metabolisme tubuh menjadi kacau, asupan gizi yang diperlukan tubuh berlebih, namun di sisi lain bagian-bagian tubuh menderita karena vitamin dan nutrisi yang diperlukan justeru tidak ada.

Gaya makan seseorang bisa menandakan spiritualitas yang terkandung dalam diri orang tersebut. Gaya makan seseorang yang hanya memuaskan dan memanjakan kenikmatan menandakan bahwa orang tersebut lebih mengutamakan kepuasan diri. Kita bisa melihat gaya makan kaum bangsawan Samaria yang dicatat Amos 6:4-7.  Pada mas itu, Samaria sedang berada dalam keadaan jaya. Mereka mampu menaklukkan beberapa wilayah di sekitarnya. Situasi ini membuat mereka mabuk dalam “rasa nyaman yang palsu”. Kini, sandaran hidup mereka adalah harta kekayaan karena dengan itu mereka bisa melampiaskan hasrat. Mereka terbiasa mengadakan pesta pora. Makan sambil berbaring dan duduk berjuntai, minum anggur dari bokor sambil bernyanyi-nyanyi dan berurap dengan minyak yang paling baik. Gaya seperti ini menandakan spiritualitas hedonisme. Spiritualitas yang memanjakan kenikmatan dan celakanya itu dilakukan di atas penderitaan sesamanya. Mereka tidak peduli lagi dengan si miskin yang menderita. Alih-alih peduli terhadap yang lemah dan miskin, justeru yang miskin dan lemah itu dijadikan “tumbal” untuk nafsu serah mereka. Amos menyampaikan bahwa gaya hidup seperti itu tidak disukai Allah dan Allah akan menghukum mereka melalui penaklukan dan pembuangan. Namun, secara logis juga dapat kita mengerti mengapa dalam kondisi seperti ini Samaria mudah jatuh. Ya, karena mereka lengah. Mereka mengandalkan rasa nyaman atas harta benda dan kenikmatan duniawi. Dan ternyata itu rapuh!

Rupa-rupanya apa yang terjadi pada abad ke-7 SM di zaman Amos terus berlangsung hingga kini. Lirik lagu Perahu Retak karya Franky Sahilatua, khususnya dalam bait terakhir,

aku heran, aku heran satu kenyang s’ribu kelaparan.
Aku heran, aku heran keserakahan diagungkan.

Syair ini melukiskan dengan baik prilaku orang-orang serakah yang mengorbankan sesamanya demi kenikmatan sendiri. Lalu dengan demikian merasa diri puas dan aman! Tengok saja kasus-kasus korupsi, pembalakan liar, pebisnis-pebisnis serakah yang tidak lagi peduli dengan kaum buruh dan lingkungan hidup, dan lain sebagainya hingga hari ini terus berlangsung.

Kembali ke pola makan. Kita seharusnya menjauhi makanan junk food bukan saja yang masuk melalui mulut tetapi tetapi semua “makanan sampah” yang bisa mengotori hidup kita. Apa yang setiap hari “dimakan” dan mengotori hati kita? Iri, dendam, kebencian, kemarahan, ketamakan dan keserakahan. Apa yang setiap hari “disantap” oleh pikiran kita? Kebajikan, hikmat atau kefasikan, kebenaran atau kesesatan, keadilan atau kemungkaran? Saat kita menikmati siaran televisi, video, film, internet, atau membaca koran dan majalah, kita sering disuguhi oleh berbagai “sampah”! Kejahatan ditayangkan sebagai tindakan hampa moral yang dikemas dalam “hiburan” teatrikal. Dan itu terasa biasa! Kebenaran dijadikan lelucon, dan keadilan diobral sebagai umpan suap. Sensualitas dipermak serba sopan, dan pornografi dikesankan “indah” semata.

Orang bijak tentu sadar bahwa dirinya tidak ingin dijejali oleh tumpukan sampah-sampah moral yang berpotensi mengotori hati dan pikirannya, dan terkadang menggiring atau menghanyutkannya pada pemikiran atau tindakan yang salah dan berdosa. Sama seperti kita mengonsumsi junk food, pasti akan berdampak buruk pada tubuh. Demikian juga “sampah-sampah” hati dan pikiran yang setiap hari membombardir, jika semuanya kita telan maka kita akan kehilangan kehidupan yang sehat: hidup yang sesungguhnya itu. “Metabolisme” kehidupan kita menjadi tidak seimbang. Kita menjadi monster yang siap melahap apa saja yang ada dalam jangkauan, kita akan menjadi manusia serakah tidak peduli pada penderitaan orang lain meskipun orang-orang yang menderita itu berseliweran di depan mata kita. Dampaknya sungguh berbahaya: penderitaan kekal! Itulah yang diingatkan Yesus melalui cerita “Orang kaya dan Lazarus yang miskin” (Lukas 16:19-31).

Tokoh orang kaya yang diceritan Yesus rupanya mengikuti gaya hidup dalam kekaisaran Romawi saat itu. Setiap hari orang kaya ini mengadakan pesta dalam kemewahan. Menyenggarakan pesta bagi para tamu undangan tentu tidak ada salahnya. Hal yang dikritik dalam kisah ini bukanlah penyenggaraan pesta itu, melainkan sikap tidak peduli orang kaya itu terhadap Lazarus yang badannya penuh dengan borok dan berbaring dekat pintu rumahnya. Lazarus ini setiap hari ada di sana. Namun, si orang kaya tidak mengusirnya, tetapi juga tidak sedikit pun memberi bantuan. Pastilah orang kaya itu mempunyai banyak makanan dan bisa saja ia memberikannya kepada Lazarus; tetapi itu tidak dilakukannya. Untuk menghilangkan rasa laparnya, Lazarus memungut remah-remah makanan yang jatuh dari meja orang kaya itu. Ia sendiri tidak mampu mengusir anjing-anjing yang menjilati boroknya. Kenyataan seperti ini benar-benar menunjukkan ketidakpedulian dari si kaya itu.

Dosa si kaya sehingga ia dihukum dalam keabadian bukanlah karena ia seorang pencuri, koruptor atau bisnis ilegal. Dosanya karena ia tidak peduli terhadap penderitaan orang lain bahkan melihatnya sebagai kewajaran. Orang kaya itu berdosa bukan karena ia berbuat ini dan itu sehingga membawanya ke neraka, tetapi justeru karena apa yang tidak ia lakukan. Dosa si kaya adalah ketika ia melihat segala penderitaan dan kebutuhan dunia, tetapi tidak memberikan jawaban terhadap semuanya itu. ia melihat sesamanya yang sedang berada dalam penderitaan dan kelaparan tetapi tidak berbuat apa-apa terhadap kondisi itu.

Sampah moral: sampah hati dan pikiran sama seperti kita mengkonsumsi junk food. Demi kenikmatan, kesehatan terabaikan. Demi hidup nikmat, kehidupan yang sesungguhnya tidak dipedulikan. Ketika kita terjebak dalam kenikmatan maka semua cara dilakukan untuk mendapatkannya. Kita tidak lagi memedulikan peringatan atau tanda bahaya atas kondisi itu. Kita akan lebih mencintai uang ketimbang Tuhan dan sesama. Paulus mengingatkan bahwa akar segala kejahatan adalah ketika manusia mencintai uang lebih dari semuanya (I Timotius 6:10). Orang kaya yang dihukum dalam neraka itu meminta kepada bapa Abraham supaya mengirimkan orang dari dunia baka itu untuk memperingatkan lima saudaranya yang masih hidup dengan cara yang sama. Abraham menjawabanya, bahwa peringatan itu lebih dari cukup. Kitab Musa dan para nabi telah banyak memberi kesaksian. Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian itu, mereka juga tidak akan mau diyakinkan, sekalipun oleh orang yang bangkit dari antara orang mati.  Saya kira peringatan ini berlaku juga buat kita.

Menjadi kaya tentu bukanlah dosa. Namun, akan menjadi dosa apabila dengan kekayaannya itu membuat seseorang tinggi hati dan menaruh pengharapan pada harta bendanya itu (bnd. 1 Timotius 6:17). Sebaliknya, kekayaan akan membuat seseorang terberkati jika saja orang tersebut menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi (1 Timotius 6:18).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar