Banyak kalangan memuji Imam
Anshori Saleh. Wakil Ketua Komisi Yudisial setelah memaparkan kesaksian
mengejutkan. Kesaksiannya menyatakan bahwa ada anggota Komisi III DPR yang
menawarkan uang Rp. 1,4 Miliar agar dapat meloloskan seorang calon Hakim Agung
yang sedang mengikuti uji kelayakan di DPR. Imam, seperti yang diberitakan Kompas 20/9, berkomentar: “Andai saya
mau, uangnya bisa saya ambil semua. Namun, nurani saya tidak sampai hati. Selain
saya jadi berdosa, celaka pula bagi peradilan ke depan. Satu orang saja ada
yang seperti itu, peradilan bisa rusak.” Betpa tidak posisi hakim agung begitu
tinggi. Dia adalah pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi di negeri ini. Dia
adalah “wakil Tuhan” di bumi. Undang-undang memberi kewenangan kepada hakim
termasuk untuk mencabut nyawa manusia. Hakim punya kewenangan untuk menjatuhkan
hukuman mati. Begitu tingginya hakim agung, tetapi menjadi terasa ironis ketika
menyaksikan seleksi hakim agung yang penuh intrik suap untuk menduduki jabatan
itu.
Di samping apresiasi atas
penolakan suap, tidak sedikit orang yang mencibir pernyataan Wakil Ketua KY ini
dan menuduhnya mencari sensasi. Banyak anggota DPR marah-marah sambil membantah
bahwa pihaknya tidak sepicik itu. Mereka membantah pernyataan Imam itu. Dari
kasus di atas, nurani kita pasti merindukan setiap pejabat dapat menempati
posisi yang tepat bukan dengan cara menyuap atau atas kedekatan dengan
pihak-pihak yang dapat menentukan posisinya. Uang telah lama dipakai manusia
untuk melicinkan dan memuluskan apa yang diingininya. Dalam hal ini, uang
sebagai alat dan sekaligus tujuan. Ya, dengan uang pelicin maka kelak
diharapkan mendapatkan uang yang berlipat-lipat. Bukan hanya sekarang, uang
dapat membutakan nurani seseorang. Alkitab mencatat, pada zaman Nabi Amos (abad
8 SM) begitu gamblangnya manusia dibutakan oleh materi. Bacaan hari ini (Amos
8:4-7) menunjukkan betapa bobroknya umat Allah itu. Mereka yang mengaku percaya
dan beribadah kepada Tuhan ternyata bersikap tidak adil, memeras,
menginjak-injak orang miskin, berbuat curang dengan mengakali neraca, menjual
makanan (terigu) kadaluarsa. Selain itu, mereka tidak sungkan-sungkan menjual
orang miskin sebagai budak! Ritual ibadah dipelihara dengan cermat, tetapi hati
mereka tertuju kepada uang dan kekuasaan.
Bukankah hal ini terus
berluang sampai saat ini. Para pejabat dilantik dengan satu tangan terangkat,
simbol menunjuk kepada Tuhan dan tangan yang lain diletakkan di atas kitab suci,
simbol akan tunduk pada kitab suci itu. Demi Tuhannya masing-masing bersumpah
akan setia. Setiap hari-hari raya keagamaan selalu ada upacara ibadah. Ritual ibadah
dipelihara, jangan coba-coba menghina dan melecehkan ritual atau kultus ibadah
jika tidak ingin nyawa melayang. Ibadah kepada Allah seolah perkara berbeda dan
tidak ada kait-mengait dengan prilaku sosial. Pada kenyataannya bukan hanya para
pejabat yang mempunyai potensi untuk korupsi, memeras, menindas, berlaku curang
dan sewenang-wenang. Setiap orang punya potensi itu jika niat serakah ada di
dalam diri orang itu.
Nabi Amos mengecam keras umat
Tuhan. Ia menyuarakan bahwa Tuhan tidak menyukai cara mereka beribadah. Tuhan
membenci perayaan dan praktek ibadah yang memisahkan ritual dari rutinitas sehari-hari.
Praktek seperti ini merupakan gambaran kasat mata bahwa hati manusia tidak
sepenuhnya terpaut dan setia kepada Tuhan. Uang dan nafsu duniawi itulah yang
menjadi target utama sehingga nurani tidak lagi punya tempat terhadap suara
Tuhan itu.
Di sinilah kita bisa mengerti
perkataan Yesus yang mengingatkan bahwa seorang budak tidak bisa mengabdi
kepada dua tuan (Lukas 16:13). Bisa saja kita berpikir hal itu sangat mungki
terjadi, lihat saja banyak orang-orang yang bekerja sekarang ini, dengan mudah
dapat menekuni dua atau tiga pekerjaan sekaligus pada saat bersamaan karena
kesempatan dan teknologi mendukung itu. Waktu luang digunakan seoptimal
mungkin. Bahkan tidak sedikit orang yang mempunyai penghasilan lebih besar dari
“kerja sampingannya”. Lantas kita berpikir, sangat mungkin juga perkataan Yesus
kadaluarsa untuk konteks sekarang. Kita bisa melayani Tuhan dan dalam waktu
bersamaan kita dapat mengumbar kesenangan. Bukankah banyak orang-orang yang
berlaku seperti itu. Dalam kehidupan sehari-hari, entah itu bisnis, bekerja,
bergaul dan menikmati hiburan dapat dilakukan bersamaan dengan pengakuan diri
sebagai orang yang percaya dan beribadah kepada Tuhan. Bukankah dalam perangkat
teknologi kita juga bisa ada kompromi: bisa ada Alkitab tetapi juga bisa ada
perangkat-perangkat lain untuk memuaskan hedonisme kita?
Apa yang dikatakan Yesus
tidaklah sama dengan konteks kita bicara saat ini. Seorang hamba tidak
mempunyai waktu luang sedikit pun. Setiap saat hari-hari dan energi yang ada
dalam tubuhnya adalah milik tuannya. Ia tidak mempunyai waktu untuk dirinya
sendiri, bahkan ia tidak berhak atas nyawanya sendiri! Sekali seseorang telah
memilih untuk melayani Allah maka setiap saat dan waktunya, setiap energi yang
ada dalam dirinya menjadi milik Allah. Allah adalah Tuan yang paling eklusif
sehingga tidak memungkinkan bagi seseorang pada saat bersamaan melayani dan
beribadah kepada Allah, kemudian di sisi lain mengumbar kesenangannya sendiri!
Lantas, apakah orang Kristen
tidak boleh mencari uang, tidak boleh menjadi kaya, harus sedih dan menderita
melulu, tidak boleh senang-senang? Tentu tidak seperti itu juga percisnya. Mencari
uang, menjadi kaya dan bersukacita adalah hal yang berbeda dengan “mengabdi”
kepada uang, kekayaan dan kesenangan. Di sinilah kita harus dapat menempatkan
uang, kekayaan, kekuasaan dan kesenangan pada porsinya. Harta, kekuasaan dan
kesenangan bagi orang yang mengabdi kepada Tuhan bukanlah suatu tujuan. Itu
semua hanya alat atau sarana kita menjalani hidup di dunia ini. Namun, banyak
orang terjebak, alat atau sarana kini menjadi tujuan hidup. Tujuan hidup
manusia sejatinya bukanlah harta benda dan kekuasaan, sebab semua itu tidak
akan dibawa saat seseorang masuk liang lahat.
Sebelum Yesus menegaskan bahwa
seseorang harus memilih mengabdi kepada Allah atau Mamon (baca: harta benda,
kekayaan), Ia menyampaikan perumpamaan bendahara yang tidak jujur (Lukas
16:1-9). Singkatnya, ada seorang pengusaha yang mempercayakan bisnisnya kepada
sesesorang. Orang kepercayaan itu menyelewengkan uang tuannya. Bendahara
kepercayaan kini takut suatu ketika sang tuan mengetahui kejahatannya itu lalu
menghukumnya. Langkah yang dilakukannya adalah bekerjasama dengan para debitur
tuannya. Ia bermurah hati dengan memberikan diskon besar-besaran, asalkan para
debitur itu bersedia menandatangani surat hutang yang sudah direkayasa itu.
Para debitur tentu senang karena utang mereka kini dapat pengurangan. Sebaliknya,
si bendahara berpikir bahwa kemurahan yang dia lakukan itu toh bukan uang miliknya. Tidak ada yang dirugikan dari dirinya.
Dengan menggunakan perumpamaan
ini, Yesus menasihati para murid-Nya agar menggunakan harta benda/kekayaan itu
dengan cerdas. Harta itu seharusnya digunakan untuk memberdayakan mereka yang
membutuhkan, karena hakekatnya, harta benda itu bukanlah milik mereka sendiri. Seharusnya
anak-anak Tuhan tidak mengikatkan diri dan menjadi loba atas harta kekayaan
yang ada dalam gengemannya sebab, hakekatnya pemilik sejati harta benda itu
adalah Sang Tuan di atas segala tuan.
Bendahara yang tidak jujur itu
melakukan diskon besar-besaran dalam rangka menyelamatkan diri di masa depan. Betapa
lebihnya murid-murid Yesus seharusnya memakai harta bendanya untuk
memberdayakan orang lain: membuat orang lain sejahtera. Ketika kita
memberdayakan orang-orang yang berkekurangan, hakikatnya kita, menjadi
distributor kasih Allah bagi mereka yang berkekurangan. Yesus menginginkan para
pengikutnya cerdas, hal ini sejalan
dengan kebenaran yang pernah Ia ungkapkan, “Janganlah
kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan
pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah harta di sorga; di
sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta
mencurinya.” (Matius 6:19,20).
Lalu, bagaimana kalau ada orang mengatakan, “Jika
begitu, boleh dong aku korupsi atau bisnis ilegal, kemudian hasil dari itu aku persembahkan
untuk pekerjaan Tuhan dan juga aku sumbangkan untuk pemberdayaan orang-orang
miskin? Ya, mirip-mirip Robin Hood!” Perumpamaan ini tidak dimaksudkan untuk
hal seperti itu. Dalam hal ini, Yesus menyampaikan perumpamaan dalam bentuk
paradoks: kalau orang yang tidak mengenal Tuhan saja tahu bagaimana caranya
menghindar dari penghukuman, sehingga bendahara itu mengubah surat-surat hutang
para debitur, dan itu dilihat sebagai “kemurahan” oleh para debitur tuannya.
Mengapa anak-anak Tuhan tidak secerdas bendahara itu. Mengapa anak-anak Tuhan
suka pelit dan mendekap harta kekayaan itu untuk dirinya sendiri, tidak mau
berbagi dengan orang yang membutuhkannya. Seharusnya kita juga memperoleh hikmat
dari perumpamaan ini, bahwa untuk memperoleh harta di sorga mestinya kita tidak
pelit dan tidak pernah merasa rugi ketika mau berbagi kepada mereka yang
berkekurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar