Jumat, 20 September 2013

YANG SETIA, YANG DIPUJI

Banyak kalangan memuji Imam Anshori Saleh. Wakil Ketua Komisi Yudisial setelah memaparkan kesaksian mengejutkan. Kesaksiannya menyatakan bahwa ada anggota Komisi III DPR yang menawarkan uang Rp. 1,4 Miliar agar dapat meloloskan seorang calon Hakim Agung yang sedang mengikuti uji kelayakan di DPR. Imam, seperti yang diberitakan Kompas 20/9, berkomentar: “Andai saya mau, uangnya bisa saya ambil semua. Namun, nurani saya tidak sampai hati. Selain saya jadi berdosa, celaka pula bagi peradilan ke depan. Satu orang saja ada yang seperti itu, peradilan bisa rusak.” Betpa tidak posisi hakim agung begitu tinggi. Dia adalah pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi di negeri ini. Dia adalah “wakil Tuhan” di bumi. Undang-undang memberi kewenangan kepada hakim termasuk untuk mencabut nyawa manusia. Hakim punya kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati. Begitu tingginya hakim agung, tetapi menjadi terasa ironis ketika menyaksikan seleksi hakim agung yang penuh intrik suap untuk menduduki jabatan itu.

Di samping apresiasi atas penolakan suap, tidak sedikit orang yang mencibir pernyataan Wakil Ketua KY ini dan menuduhnya mencari sensasi. Banyak anggota DPR marah-marah sambil membantah bahwa pihaknya tidak sepicik itu. Mereka membantah pernyataan Imam itu. Dari kasus di atas, nurani kita pasti merindukan setiap pejabat dapat menempati posisi yang tepat bukan dengan cara menyuap atau atas kedekatan dengan pihak-pihak yang dapat menentukan posisinya. Uang telah lama dipakai manusia untuk melicinkan dan memuluskan apa yang diingininya. Dalam hal ini, uang sebagai alat dan sekaligus tujuan. Ya, dengan uang pelicin maka kelak diharapkan mendapatkan uang yang berlipat-lipat. Bukan hanya sekarang, uang dapat membutakan nurani seseorang. Alkitab mencatat, pada zaman Nabi Amos (abad 8 SM) begitu gamblangnya manusia dibutakan oleh materi. Bacaan hari ini (Amos 8:4-7) menunjukkan betapa bobroknya umat Allah itu. Mereka yang mengaku percaya dan beribadah kepada Tuhan ternyata bersikap tidak adil, memeras, menginjak-injak orang miskin, berbuat curang dengan mengakali neraca, menjual makanan (terigu) kadaluarsa. Selain itu, mereka tidak sungkan-sungkan menjual orang miskin sebagai budak! Ritual ibadah dipelihara dengan cermat, tetapi hati mereka tertuju kepada uang dan kekuasaan.

Bukankah hal ini terus berluang sampai saat ini. Para pejabat dilantik dengan satu tangan terangkat, simbol menunjuk kepada Tuhan dan tangan yang lain diletakkan di atas kitab suci, simbol akan tunduk pada kitab suci itu. Demi Tuhannya masing-masing bersumpah akan setia. Setiap hari-hari raya keagamaan selalu ada upacara ibadah. Ritual ibadah dipelihara, jangan coba-coba menghina dan melecehkan ritual atau kultus ibadah jika tidak ingin nyawa melayang. Ibadah kepada Allah seolah perkara berbeda dan tidak ada kait-mengait dengan prilaku sosial. Pada kenyataannya bukan hanya para pejabat yang mempunyai potensi untuk korupsi, memeras, menindas, berlaku curang dan sewenang-wenang. Setiap orang punya potensi itu jika niat serakah ada di dalam diri orang itu.

Nabi Amos mengecam keras umat Tuhan. Ia menyuarakan bahwa Tuhan tidak menyukai cara mereka beribadah. Tuhan membenci perayaan dan praktek ibadah yang memisahkan ritual dari rutinitas sehari-hari. Praktek seperti ini merupakan gambaran kasat mata bahwa hati manusia tidak sepenuhnya terpaut dan setia kepada Tuhan. Uang dan nafsu duniawi itulah yang menjadi target utama sehingga nurani tidak lagi punya tempat terhadap suara Tuhan itu.

Di sinilah kita bisa mengerti perkataan Yesus yang mengingatkan bahwa seorang budak tidak bisa mengabdi kepada dua tuan (Lukas 16:13). Bisa saja kita berpikir hal itu sangat mungki terjadi, lihat saja banyak orang-orang yang bekerja sekarang ini, dengan mudah dapat menekuni dua atau tiga pekerjaan sekaligus pada saat bersamaan karena kesempatan dan teknologi mendukung itu. Waktu luang digunakan seoptimal mungkin. Bahkan tidak sedikit orang yang mempunyai penghasilan lebih besar dari “kerja sampingannya”. Lantas kita berpikir, sangat mungkin juga perkataan Yesus kadaluarsa untuk konteks sekarang. Kita bisa melayani Tuhan dan dalam waktu bersamaan kita dapat mengumbar kesenangan. Bukankah banyak orang-orang yang berlaku seperti itu. Dalam kehidupan sehari-hari, entah itu bisnis, bekerja, bergaul dan menikmati hiburan dapat dilakukan bersamaan dengan pengakuan diri sebagai orang yang percaya dan beribadah kepada Tuhan. Bukankah dalam perangkat teknologi kita juga bisa ada kompromi: bisa ada Alkitab tetapi juga bisa ada perangkat-perangkat lain untuk memuaskan hedonisme kita?

Apa yang dikatakan Yesus tidaklah sama dengan konteks kita bicara saat ini. Seorang hamba tidak mempunyai waktu luang sedikit pun. Setiap saat hari-hari dan energi yang ada dalam tubuhnya adalah milik tuannya. Ia tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, bahkan ia tidak berhak atas nyawanya sendiri! Sekali seseorang telah memilih untuk melayani Allah maka setiap saat dan waktunya, setiap energi yang ada dalam dirinya menjadi milik Allah. Allah adalah Tuan yang paling eklusif sehingga tidak memungkinkan bagi seseorang pada saat bersamaan melayani dan beribadah kepada Allah, kemudian di sisi lain mengumbar kesenangannya sendiri!

Lantas, apakah orang Kristen tidak boleh mencari uang, tidak boleh menjadi kaya, harus sedih dan menderita melulu, tidak boleh senang-senang? Tentu tidak seperti itu juga percisnya. Mencari uang, menjadi kaya dan bersukacita adalah hal yang berbeda dengan “mengabdi” kepada uang, kekayaan dan kesenangan. Di sinilah kita harus dapat menempatkan uang, kekayaan, kekuasaan dan kesenangan pada porsinya. Harta, kekuasaan dan kesenangan bagi orang yang mengabdi kepada Tuhan bukanlah suatu tujuan. Itu semua hanya alat atau sarana kita menjalani hidup di dunia ini. Namun, banyak orang terjebak, alat atau sarana kini menjadi tujuan hidup. Tujuan hidup manusia sejatinya bukanlah harta benda dan kekuasaan, sebab semua itu tidak akan dibawa saat seseorang masuk liang lahat.

Sebelum Yesus menegaskan bahwa seseorang harus memilih mengabdi kepada Allah atau Mamon (baca: harta benda, kekayaan), Ia menyampaikan perumpamaan bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-9). Singkatnya, ada seorang pengusaha yang mempercayakan bisnisnya kepada sesesorang. Orang kepercayaan itu menyelewengkan uang tuannya. Bendahara kepercayaan kini takut suatu ketika sang tuan mengetahui kejahatannya itu lalu menghukumnya. Langkah yang dilakukannya adalah bekerjasama dengan para debitur tuannya. Ia bermurah hati dengan memberikan diskon besar-besaran, asalkan para debitur itu bersedia menandatangani surat hutang yang sudah direkayasa itu. Para debitur tentu senang karena utang mereka kini dapat pengurangan. Sebaliknya, si bendahara berpikir bahwa kemurahan yang dia lakukan itu toh bukan uang miliknya. Tidak ada yang dirugikan dari dirinya.

Dengan menggunakan perumpamaan ini, Yesus menasihati para murid-Nya agar menggunakan harta benda/kekayaan itu dengan cerdas. Harta itu seharusnya digunakan untuk memberdayakan mereka yang membutuhkan, karena hakekatnya, harta benda itu bukanlah milik mereka sendiri. Seharusnya anak-anak Tuhan tidak mengikatkan diri dan menjadi loba atas harta kekayaan yang ada dalam gengemannya sebab, hakekatnya pemilik sejati harta benda itu adalah Sang Tuan di atas segala tuan.

Bendahara yang tidak jujur itu melakukan diskon besar-besaran dalam rangka menyelamatkan diri di masa depan. Betapa lebihnya murid-murid Yesus seharusnya memakai harta bendanya untuk memberdayakan orang lain: membuat orang lain sejahtera. Ketika kita memberdayakan orang-orang yang berkekurangan, hakikatnya kita, menjadi distributor kasih Allah bagi mereka yang berkekurangan. Yesus menginginkan para pengikutnya cerdas, hal ini sejalan dengan kebenaran yang pernah Ia ungkapkan, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:19,20).

Lalu, bagaimana kalau ada orang mengatakan, “Jika begitu, boleh dong aku korupsi atau bisnis ilegal, kemudian hasil dari itu aku persembahkan untuk pekerjaan Tuhan dan juga aku sumbangkan untuk pemberdayaan orang-orang miskin? Ya, mirip-mirip Robin Hood!” Perumpamaan ini tidak dimaksudkan untuk hal seperti itu. Dalam hal ini, Yesus menyampaikan perumpamaan dalam bentuk paradoks: kalau orang yang tidak mengenal Tuhan saja tahu bagaimana caranya menghindar dari penghukuman, sehingga bendahara itu mengubah surat-surat hutang para debitur, dan itu dilihat sebagai “kemurahan” oleh para debitur tuannya. Mengapa anak-anak Tuhan tidak secerdas bendahara itu. Mengapa anak-anak Tuhan suka pelit dan mendekap harta kekayaan itu untuk dirinya sendiri, tidak mau berbagi dengan orang yang membutuhkannya. Seharusnya kita juga memperoleh hikmat dari perumpamaan ini, bahwa untuk memperoleh harta di sorga mestinya kita tidak pelit dan tidak pernah merasa rugi ketika mau berbagi kepada mereka yang berkekurangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar