Kamis, 03 Oktober 2013

KETAATAN: MELAKUKAN APA YANG HARUS DILAKUKAN

Lembaga perlindungan satwa ProFauna Indonesia memprotes pertunjukan atau sirkus lumba-lumba keliling. Berdasarkan penelitian ProFauna pada 1998 menemukan pertunjukan lumba-lumba menggunakan satwa ilegal serta proses pelatihan dengan kekerasan dan kekejaman. “Ada lumba-lumba mati pada saat pelatihan dan penangkapan. Selama proses pelatihan yang kejam, lumba-lumba dipaksa menahan lapar karena tidak diberi makan. Lumba-lumba diberi makan setelah mereka menuruti perintah dari pelatih”, kata ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, Selasa 7 Mei 2013, seperti yang dirilis Tempo.Co.

Umumnya para penonton tidak mengetahui proses di balik ketaatan lumba-lumba pada pelatihnya pada saat pertunjukan. Mereka berdecak kagum terhadap lumba-lumba yang seolah mengerti dan menuruti perintah sang pelatih. Setelah menyelesaikan perintah, sang pelatih mengeluarkan seekor ikan kecil sebagai reward bagi lumba-lumba itu. Biasanya pengusaha pertunjukan lumba-lumba keliling menggelar empat kali pertunjukan sehari. Bisa dibayangkan betapa tersiksanya lumba-lumba yang diekspoitasi oleh “tuan”-nya dalam menghasilkan uang.

Dalam beberapa penelitian hewan, lumba-lumba digolongkan sebagai mamalia yang cerdas. Sehingga banyak teknologi yang terinspirasi oleh hewan ini, misalnya teknologi baju berenang dan kapal selam. Karena kecerdasannya juga, manusia terdorong untuk mengekspoitasi mamalia ini. Lumba-lumba dalam batas tertentu dapat mengerti isyarat komunikasi yang dilakukan manusia sehingga perintah manusia itu bisa dilaksanakan. Namun, sayangnya ketaatan lumba-lumba ini termotivasi karena rasa lapar dan setelah melakukan perintah mereka tahu akan mendapatkan hadiah berupa makanan.

Banyak kehidupan pemeluk agama bak lumba-lumba sirkus. Menjadi tontonan!  Mau taat dan setia kepada Tuhan karena didorong rasa lapar dan mengingini hadiah. Dalam tataran pemahaman ini, seseorang akan melakukan segala ritual dan ibadah oleh karena dengan begitu ia akan mendapat pujian dan imbalan. Pujian, karena orang lain melihatnya sebagai orang saleh dan beriman. Imbalan sebagai upah dari ketaatannya itu berupa: kesehatan, kemakmuran, status sosial terhormat, terlepas dari peliknya kehidupan dan di atas semua itu ada sorga. Sebaliknya, ketika tidak melakukan ketaatan itu maka sudah tersedia hukuman berupa kesulitan hidup, sakit penyakit, bencana, kebangkrutan usaha dan ujungnya nanti sebagai penghuni neraka! Dalam pemahaman ini maka seseorang akan merasa memiutangi Tuhan mana kala ia telah melakukan kewajiban agamanya dengan baik. Ia merasa berhak mengklaim dan menagih Tuhan. Pemahaman itulah yang dapat kita temukan dalam tulisan awal Nabi Habakuk yang mempertanyakan keberadaan Tuhan mana kala orang-orang benar tertindas. Jika memang Tuhan itu kudus, mengapa hal-hal yang bertolak belakang dengan keberadaan-Nya tetap hadir secara kuat di bumi (Hab.1:12-17)? Di balik pertanyaan/ pemahaman ini, mestinya orang-orang benar/saleh mendapat ganjaran dari Tuhan dan tidak boleh dibuat menderita.

Kisah berikut mirip-mirip kondisi zaman Habakuk. Ada seorang datang kepada sang pertapa bijak. Ia sedang putus asa melihat keadaan dunia yang semakin runyam karena ulah manusia. “Tuhan mengajarkan kepada kami, Allah itu Mahakuasa, kenapa Ia tidak menciptakan manusia yang baik-baik saja dan membuang manusia-manusia jahat? Rupanya orang tersebut sedang dilanda duka dan pemberontakan dalam hati. Belum lama istrinya diperkosa orang dan semua harta bendanya dirampok. Anak semata wayang dibunuh. “Andaikata Allah itu menciptakan hanya yang baik, niscaya nasib kami tidak setragis ini!”

Pertapa itu menjawab, “Allah Mahakuasa. Ia juga Mahacinta, Mahakasih. Begitu cintanya kepada manusia ciptaan-Nya, Ia menciptakan manusia dengan kebebasan yang melekat kepadanya. Kepada yang dicintai-Nya itu, Ia membisikkan kata, ‘Karena Aku sungguh mencintaimu, maka Aku memberikan kebebasan kepadamu, untuk menjalin kasih dengan-Ku, artinya engkau hidup dalam kehendak-Ku atau bahkan untuk mengingkari-Ku dengan melakukan apa yang aku tidak sukai?” Kisah ini mengingatkan kita bahwa seharusnya motivasi taat kepada Tuhan adalah karena kita mencinta-Nya.

Jawaban Tuhan kepada Habakuk adalah agar manusia bersabar. Tuhan pasti berkarya, tugas manusia adalah manantikan jawaban Tuhan dengan sikap taat, tidak sombong dan tetap lurus hatinya. Menarik, kalau kita telusuri terus kisah ini, akhirnya Habakuk tercerahkan. Ia dapat berkata, “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Hab.3:17-18)

Luar biasa! Itulah iman yang membebaskan! Habakuk terbebas dari belenggu pemahaman bahwa melakukan segala ketaan ritual dan ibadah itu dapat menghasilkan imbalan kenyamanan dan kemakmuran. Habakuk berhasil mengganti motivasi beribadah dan taat kepada bukan karena sesudah itu ia akan mendapat imbalan ini dan itu. Tetapi dia percaya bahwa Tuhan telah menyelamatkannya dan itu sudah cukup baginya untuk bersyukur dan memuliakan nama-Nya. Habakuk menjadi hamba yang setia dalam segala kondisi bahkan kondisi terburuk sekalipun tidak menggoyahkannya untuk setia.

Tugas orang percaya mestinya seperti Habakuk. Taat dan mencintai Tuhannya dalam pelbagai kondisi. Motivasi ketaatan Habakuk jelas, ia yakin Allah menjadi penyelamatnya. Mestinya, kita pun lebih dari Habakuk. Kasih Allah nyata dan terbukti di dalam Yesus Krsitus. Dia menebus dosa-dosa kita dengan darah dan nyawa-Nya. Perjamuan Kudus yang kita rayakan adalah simbol nyata dari kasih Allah yang mengorbankan anak-Nya. Kata “menebus” erat kaitannya dengan status hamba. Seorang hamba disebut orang merdeka jika saja ada yang mau membayar/menebusnya. Semula kita adalah hamba-hamba dosa namun karena kasih karunia-Nya kita dibebaskan dari belenggu itu, kini kita bukanlah hamba dosa lagi melainkan hamba-hamba Allah di dalam Kristus.

Hidup sebagai hamba Allah, mestinya tidak bertanya apalagi menuntut kepada Sang Tuan untuk memenuhi segala keinginannya. Namun, seorang hamba akan melakukan segala tugasnya dengan ungkapan syukur, tanpa bersungut-sungut. Jika kita mengaku diri sebagai “hamba” maka sudah sewajarnya kita melakukan apa yang menjadi kewajiban kita dengan setia dan sukacita. Kepuasan Sang Tuan harus menjadi ukuran utama atau norma, bukan lagi kepuasan diri sendiri. Bukankah demikian juga ketika kita mencintai seseorang? Selalu ada tuntutan dalam diri untuk menyenangkan kekasih kita.

Salah satu tugas seorang hamba adalah taat. Sayangnya, inilah yang sering kali gagal kita lakukan. Ketaatan kita sama seperti lumba-lumba sirkus, sebatas pertunjukan, supaya dapat dilihat orang bahwa kita taat. Atau taat karena ada kepentingan yang sedang diperjuangkan. Cobalah ganti motivasi taat kita, bukan karena takut lapar atau menginginkan imbalan, melainkan karena cinta kepada Allah. Jika berhasil menukar motivasi itu maka kita akan dapat taat meskipun harus menderita! Seberapa taat kita kepada Tuhan berbanding lurus seberapa cintanya kita kepada Tuhan. Tanpa cinta yang tulus tidak ada ketaatan yang tulus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar