Lembaga perlindungan satwa
ProFauna Indonesia memprotes pertunjukan atau sirkus lumba-lumba keliling. Berdasarkan
penelitian ProFauna pada 1998 menemukan pertunjukan lumba-lumba menggunakan
satwa ilegal serta proses pelatihan dengan kekerasan dan kekejaman. “Ada
lumba-lumba mati pada saat pelatihan dan penangkapan. Selama proses pelatihan
yang kejam, lumba-lumba dipaksa menahan lapar karena tidak diberi makan.
Lumba-lumba diberi makan setelah mereka menuruti perintah dari pelatih”, kata
ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, Selasa 7 Mei 2013, seperti yang
dirilis Tempo.Co.
Umumnya para penonton tidak
mengetahui proses di balik ketaatan lumba-lumba pada pelatihnya pada saat
pertunjukan. Mereka berdecak kagum terhadap lumba-lumba yang seolah mengerti
dan menuruti perintah sang pelatih. Setelah menyelesaikan perintah, sang
pelatih mengeluarkan seekor ikan kecil sebagai reward bagi lumba-lumba itu. Biasanya pengusaha pertunjukan
lumba-lumba keliling menggelar empat kali pertunjukan sehari. Bisa dibayangkan
betapa tersiksanya lumba-lumba yang diekspoitasi oleh “tuan”-nya dalam
menghasilkan uang.
Dalam beberapa penelitian
hewan, lumba-lumba digolongkan sebagai mamalia yang cerdas. Sehingga banyak
teknologi yang terinspirasi oleh hewan ini, misalnya teknologi baju berenang
dan kapal selam. Karena kecerdasannya juga, manusia terdorong untuk
mengekspoitasi mamalia ini. Lumba-lumba dalam batas tertentu dapat mengerti isyarat
komunikasi yang dilakukan manusia sehingga perintah manusia itu bisa
dilaksanakan. Namun, sayangnya ketaatan lumba-lumba ini termotivasi karena rasa
lapar dan setelah melakukan perintah mereka tahu akan mendapatkan hadiah berupa
makanan.
Banyak kehidupan pemeluk agama
bak lumba-lumba sirkus. Menjadi tontonan! Mau taat dan setia kepada Tuhan karena didorong
rasa lapar dan mengingini hadiah. Dalam tataran pemahaman ini, seseorang akan
melakukan segala ritual dan ibadah oleh karena dengan begitu ia akan mendapat
pujian dan imbalan. Pujian, karena orang lain melihatnya sebagai orang saleh
dan beriman. Imbalan sebagai upah dari ketaatannya itu berupa: kesehatan,
kemakmuran, status sosial terhormat, terlepas dari peliknya kehidupan dan di
atas semua itu ada sorga. Sebaliknya, ketika tidak melakukan ketaatan itu maka
sudah tersedia hukuman berupa kesulitan hidup, sakit penyakit, bencana, kebangkrutan
usaha dan ujungnya nanti sebagai penghuni neraka! Dalam pemahaman ini maka
seseorang akan merasa memiutangi Tuhan mana kala ia telah melakukan kewajiban
agamanya dengan baik. Ia merasa berhak mengklaim dan menagih Tuhan. Pemahaman
itulah yang dapat kita temukan dalam tulisan awal Nabi Habakuk yang
mempertanyakan keberadaan Tuhan mana kala orang-orang benar tertindas. Jika
memang Tuhan itu kudus, mengapa hal-hal yang bertolak belakang dengan
keberadaan-Nya tetap hadir secara kuat di bumi (Hab.1:12-17)? Di balik pertanyaan/
pemahaman ini, mestinya orang-orang benar/saleh mendapat ganjaran dari Tuhan
dan tidak boleh dibuat menderita.
Kisah berikut mirip-mirip
kondisi zaman Habakuk. Ada seorang datang kepada sang pertapa bijak. Ia sedang
putus asa melihat keadaan dunia yang semakin runyam karena ulah manusia. “Tuhan
mengajarkan kepada kami, Allah itu Mahakuasa, kenapa Ia tidak menciptakan
manusia yang baik-baik saja dan membuang manusia-manusia jahat? Rupanya orang
tersebut sedang dilanda duka dan pemberontakan dalam hati. Belum lama istrinya
diperkosa orang dan semua harta bendanya dirampok. Anak semata wayang dibunuh. “Andaikata
Allah itu menciptakan hanya yang baik, niscaya nasib kami tidak setragis ini!”
Pertapa itu menjawab, “Allah
Mahakuasa. Ia juga Mahacinta, Mahakasih. Begitu cintanya kepada manusia
ciptaan-Nya, Ia menciptakan manusia dengan kebebasan yang melekat kepadanya.
Kepada yang dicintai-Nya itu, Ia membisikkan kata, ‘Karena Aku sungguh
mencintaimu, maka Aku memberikan kebebasan kepadamu, untuk menjalin kasih
dengan-Ku, artinya engkau hidup dalam kehendak-Ku atau bahkan untuk
mengingkari-Ku dengan melakukan apa yang aku tidak sukai?” Kisah ini
mengingatkan kita bahwa seharusnya motivasi taat kepada Tuhan adalah karena
kita mencinta-Nya.
Jawaban Tuhan kepada Habakuk
adalah agar manusia bersabar. Tuhan pasti berkarya, tugas manusia adalah
manantikan jawaban Tuhan dengan sikap taat, tidak sombong dan tetap lurus
hatinya. Menarik, kalau kita telusuri terus kisah ini, akhirnya Habakuk
tercerahkan. Ia dapat berkata, “Sekalipun
pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun
mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing
domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku
akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan
aku.” (Hab.3:17-18)
Luar biasa! Itulah iman yang
membebaskan! Habakuk terbebas dari belenggu pemahaman bahwa melakukan segala
ketaan ritual dan ibadah itu dapat menghasilkan imbalan kenyamanan dan
kemakmuran. Habakuk berhasil mengganti motivasi beribadah dan taat kepada bukan
karena sesudah itu ia akan mendapat imbalan ini dan itu. Tetapi dia percaya bahwa
Tuhan telah menyelamatkannya dan itu sudah cukup baginya untuk bersyukur dan
memuliakan nama-Nya. Habakuk menjadi hamba yang setia dalam segala kondisi bahkan
kondisi terburuk sekalipun tidak menggoyahkannya untuk setia.
Tugas orang percaya mestinya
seperti Habakuk. Taat dan mencintai Tuhannya dalam pelbagai kondisi. Motivasi
ketaatan Habakuk jelas, ia yakin Allah menjadi penyelamatnya. Mestinya, kita
pun lebih dari Habakuk. Kasih Allah nyata dan terbukti di dalam Yesus Krsitus.
Dia menebus dosa-dosa kita dengan darah dan nyawa-Nya. Perjamuan Kudus yang
kita rayakan adalah simbol nyata dari kasih Allah yang mengorbankan anak-Nya. Kata
“menebus” erat kaitannya dengan status hamba. Seorang hamba disebut orang
merdeka jika saja ada yang mau membayar/menebusnya. Semula kita adalah
hamba-hamba dosa namun karena kasih karunia-Nya kita dibebaskan dari belenggu
itu, kini kita bukanlah hamba dosa lagi melainkan hamba-hamba Allah di dalam
Kristus.
Hidup sebagai hamba Allah,
mestinya tidak bertanya apalagi menuntut kepada Sang Tuan untuk memenuhi segala
keinginannya. Namun, seorang hamba akan melakukan segala tugasnya dengan
ungkapan syukur, tanpa bersungut-sungut. Jika kita mengaku diri sebagai “hamba”
maka sudah sewajarnya kita melakukan apa yang menjadi kewajiban kita dengan
setia dan sukacita. Kepuasan Sang Tuan harus menjadi ukuran utama atau norma,
bukan lagi kepuasan diri sendiri. Bukankah demikian juga ketika kita mencintai
seseorang? Selalu ada tuntutan dalam diri untuk menyenangkan kekasih kita.
Salah satu tugas seorang hamba adalah taat. Sayangnya,
inilah yang sering kali gagal kita lakukan. Ketaatan kita sama seperti
lumba-lumba sirkus, sebatas pertunjukan, supaya dapat dilihat orang bahwa kita
taat. Atau taat karena ada kepentingan yang sedang diperjuangkan. Cobalah ganti
motivasi taat kita, bukan karena takut lapar atau menginginkan imbalan,
melainkan karena cinta kepada Allah. Jika berhasil menukar motivasi itu maka kita
akan dapat taat meskipun harus menderita! Seberapa taat kita kepada Tuhan berbanding
lurus seberapa cintanya kita kepada Tuhan. Tanpa cinta yang tulus tidak ada
ketaatan yang tulus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar