Kamis, 29 Agustus 2013

MENJADI PENGIKUT KRISTUS YANG RENDAH HATI DAN RAMAH TAMAH


Ada seorang Profesor ternama, ia bersama isterinya sepakat untuk berlibur ke Karibia. Mereka naik kapal pesiar mewah. Liburan ini sudah lama menjadi angan-angan dan impian mereka berdua. Barulah setelah sang Profesor menjalani masa pensiun, impian itu dapat terlaksana.. Meskipun suami-isteri itu sangat gembira dan tidak sabar laigi untuk pergi berpesiar, dalam hati mereka tidak mudah melupakan pekerjaan yang sudah ditekuni sepanjang hayat. Sang Profesor mengingat kembali pada hari terakhirnya di kantor, waktu ia mengemasi kopernya dan berjalan meninggalkan universitasnya, ia ingat bagaimana dahulu ia berdiri di depan para mahasiswa, membuat mereka berdecak kagum dengan kedalaman dan keluasan pengetahuannya. Sesudah berpuluh tahun mengajar, kebanggaan itu tidak bisa dilupakan begitu saja dalam benaknya, meskipun pada saat menikmati liburan!



Kebanggaan itu yang membuat sikapnya selama ini selalu ingin menonjol di antara para pengajar lain di universitas itu. Dalam setiap kesempatan, selalu ia gunakan untuk menambah popularitas diri bahkan terkesan sombong dengan kepakarannya.



“Coba katakan kepadaku,” dia bertanya kepada pramukamarnya, ketika suami-isteri tersebut diantar ke kamar mereka di kapal pesiar itu, “pernahkah kamu belajar psikologi?” Ketika pramukamar itu menjawab “tidak”, Profesor itu bertanya, “Mana mungkin? Kamu bekerja di industri yang berhubungan dangan manusia. Kamu sudah tentu memerlukan ilmu tentang bagaimana manusia berpikir dan bertindak, tidak hanya asal melaksanakan pekerjaan, lebih dari itu kamu juga harus lebih mengerti tentang hidup. Aku benci mengatakannya, tetapi jika kamu belum pernah belajar psikologi, berarti separuh hidupmu sudah kausia-siakan.”



Di atas dek, sang Profesor mendekati seorang kelasi yang dengan riangnya bersiul sambil menggosok tiang kapal. “Pernahkah Anda belajar fisika?” tanya Profesor itu. “Tidak, Tuan,” kata kelasi itu dengan sopan. “Saya sudah merasa puas dengan pekerjaan saya. Saya bisa berkeliling dunia dengan gratis, digaji pula! Mengapa saya harus belajar....apa tadi....fisika?”



“Dengan belajar fisika,” jawab sang Profesor, “Anda akan mengerti dengan lebih mendalam pengalaman yang Anda dapatkan. Anda akan mampu berbicara dengan orang lain pada level intelektual yang lebih tinggi. Jika Anda tidak belajar fisika, berarti separuh hidup Anda telah Anda sia-siakan!”



Satu dua hari kemudian, sang Profesor bertemu dengan kelasi lain. Kelasi yang satu ini sedang asyik memancing di buritan kapal di pelabuhan tempat kapal mereka berlabuh. “Pernahkah anda belajar Antropologi?” dia bertanya kepada pria sederhana itu. Ketika pria itu menjawab “tidak”, Profesor itu menguliahinya bahwa pengetahuan akan orang dan budaya lain dapat memperkaya perjalanan dan kepergiannya ke pulau-pulau yang eksotis. “Jika Anda belajar tentang suku-suku di pulau yang Anda kunjungi, pengalaman Anda akan betambah kaya,” katanya. “Antropologi akan mengajari Anda tentang ritual, upacara tradisional, legenda, dan cerita rakyat dari pulau yang Anda kunjungi. Anda akan mampu berkomunikasi dengan mereka dengan lebih baik. Tanpa belajar Antropologi, separuh hidup Anda sudah Anda sia-siakan!”



Tidak mengherankan, reputasi Profesor itu dengan cepat menyebar ke seluruh kapal. Orang-orang seperti para kelasi dan kru kapal menjauh darinya karena ngeri dengan pertanyaan dan kuliah yang ia sampaikan. Lalu, pada suatu malam yang gelap-gulita di tengah laut yang seakan-akan tanpa batas, kapal tersebut dihantam badai. Karena diterpa angin ganas dan ombak yang menggila, lambung kapal tersebut berkeriut-keriut dan akhirnya pecah diterjang keganasan alam. Sang profesor dan istrinya mengenakan jaket penyelamat dan bergegas menuju ke perahu penyelamat. Di sana para kelasi sedang mengatur para penumpang yang bersiap-siap meninggalkan kapal dengan menggunakan perahu penyelamat. Salah satu kelasi, ketika melihat sang Profesor berjalan sempoyongan di tengah kegelapan dan hujan deras, bertanya kepada pria pintar tersebut, “Pak.Profesor pernahkah Anda belajar berenang?”



“Tidak!”, jawab Profesor yang ketakutan tersebut sambil memegang erat selusur kapal dan tangan yang satunya lagi merangkul istrinya. “Sayang sekali,” kata pelaut itu. “Jika kapal ini tenggelam, berarti Anda sudah menyia-nyiakan seluruh hidup Anda!” Profesor itu bungkam seribu basa.



Semakin hari semakin banyak orang seperti Profesor itu. Kita menyaksikan orang-orang yang berusaha “menjual diri” dengan apa yang dianggap ada pada dirinya. Apalagi di saat-saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum Legislatif atau Eksekutif. Semua calon berebut mencari popularitas dengan menunjukkan kepakaran dan pengalamannya bahwa ia sanggup menjadi seorang pemimpin ideal sehingga ia berani menjanjikan hal yang muluk-muluk bahkan di luar jangkauan kemampuannya bahkan mustahil untuk dilaksanakan. Coba bayangkan apa yang terjadi jika sosialisasi unjuk kebolehan dan janji-janjinya itu tidak terpenuhi? Malu! Tapi apa lacur di negeri ini banyak orang yang gak punya budaya dan rasa malu!



Tinggi hati, sombong atau suka pamer pada umumnya dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Yesus mengingatkan, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Lukas 14:11). Yesus menguraikan pernyataan-Nya ini dengan contoh kehidupan sehari-hari (Lukas 14:7-10) hal yang sama juga terdapat dalam Amsal 25:6.7. Jikalau seorang tamu yang kurang mempunyai kedudukan terhormat tiba pada permulaan pesta dan kemudian menduduki tempat yang terhormat, dan apabila orang yang terhormat itu tiba, dan orang yang sudah menduduki tempat terhormat itu diminta meninggalkan kursinya, maka kondisi seperti ini adalah situasi yang sangat memalukan. Tetapi pada pihak lain, jika seseorang dengan suka rela menduduki tempat rendah, dan kemudian diminta oleh tuan rumah untuk menduduki tempat yang lebih terhormat, maka kerendahan hati orang tersebut akan memberikan kepadanya penghormatan yang tinggi. Tentu, cerita ini adalah salah satu contoh sederhana dari sikap rendah hati. Sikap seperti ini mestinya berlaku di mana saja. Sikap rendah hati ini harus dipelihara. Bagaiamana kita dapat memelihara sikap itu? Ada dua hal menurut William Barclay:



1.   Sadarilah kenyataan-kenyataan yang ada. Sekalipun banyak yang telah kita  ketahui, tetaplah kita hanya mengetahui sedikit saja dari keseluruhan pengetahuan itu. Sekalipun banyak yang telah kita capai, kita tetap baru mencapai sedikit saja. Sadarilah bahwa ketika kematian menghampiri atau ketika kita menjalani pensiun, kehidupan dan karya di luar sana akan berjalan terus sama seperti sebelum kita terlibat di dalamnya.



2.   Bandingkanlah capaian kita dengan kesempurnaan sesungguhnya. Dengar dan lihatlah dari seorang yang benar-benar ahli maka kita akan menyadari betapa miskinnya kita. Banyak orang yang tadinya bangga dengan penampilannya, ia memutuskan untuk tidak lagi tampil sesudah menyaksikan pagelaran musik yang hebat. Banyak pengkhotbah yang kemudian menjadi rendah hati atau bahkan hampir-hampir takut ketika telah mendengarkan seorang suci yang sejati berkata-kata. Itu jika kita bandingkan dengan manusia yang dianggap telah paripurna dalam bidangnya. Apalagi jika kita menempatkannya di hadapan Tuhan. Adakah yang bisa kita sombongkan? Kebanggaan yang sempit kecongkakan yang kerdil itu akan mati dan kepuasan akan diri sendiri menjadi layu. Tidak ada yang dapat dibanggakan atau layak disombongkan di hadapan Tuhan!



Yesus mengingatkan kepada para pemingikut-Nya untuk tidak bersikap sombong atau tinggi hati, melainkan rendah hati dan ramah pada semua orang. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Rendah hati adalah lawan dari tinggi hati atau sombong. Rendah hati adalah sikap seseorang yang menyadari kekurangan dirinya tanpa menjadi rendah diri atau meinder dan mensyukuri kelebihan dirinya tanpa menjadi sombong. Orang yang rendah hati tidak akan “kecil hati” di antara orang-orang besar dan hebat. Di pihak lain ia tidak akan “besar kepala” ketika berada di antara orang-orang “kecil”. Sehingga, biasanya orang-orang yang rendah hati akan mempunyai sifat ramah. Ia bersedia menerima dan menyambut serta memperlakukan siapa saja termasuk orang yang dianggap sampah masyarakat.



Yesus mengingatkan bahwa sikap ramah itu harus disertai dengan ketulusan (ikhlas) sebab tanpa itu pastilah ada pamrih di dalamnya. Keramahan sering dipakai untuk “menanam budi” supaya orang lain membalasnya dengan tindakan serupa. Sekali lagi, Yesus memakai contoh perjamuan dalam menjelaskan sikap ramah yang tulus. Ia mengajarkan supaya para pengikut-Nya kalau mengadakan perjamuan jangan mengundang mereka yang kaya, karena mereka mampu membalas mengundang dan memberikan jamuan yang sama. Yesus mengatakan, “Tetapi apabila kamu mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”(Lukas 14:13,14) Inilah ajaran Yesus yang menguji diri kita dalam hal memberi. Dengan motif apa kita melakukan tindakan perbuatan baik itu? Betulkah kita memberi tanpa pamrih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar