Ada seorang Profesor ternama,
ia bersama isterinya sepakat untuk berlibur ke Karibia. Mereka naik kapal
pesiar mewah. Liburan ini sudah lama menjadi angan-angan dan impian mereka
berdua. Barulah setelah sang Profesor menjalani masa pensiun, impian itu dapat
terlaksana.. Meskipun suami-isteri itu sangat gembira dan tidak sabar laigi
untuk pergi berpesiar, dalam hati mereka tidak mudah melupakan pekerjaan yang
sudah ditekuni sepanjang hayat. Sang Profesor mengingat kembali pada hari terakhirnya
di kantor, waktu ia mengemasi kopernya dan berjalan meninggalkan universitasnya,
ia ingat bagaimana dahulu ia berdiri di depan para mahasiswa, membuat mereka
berdecak kagum dengan kedalaman dan keluasan pengetahuannya. Sesudah berpuluh
tahun mengajar, kebanggaan itu tidak bisa dilupakan begitu saja dalam benaknya,
meskipun pada saat menikmati liburan!
Kebanggaan itu yang membuat
sikapnya selama ini selalu ingin menonjol di antara para pengajar lain di
universitas itu. Dalam setiap kesempatan, selalu ia gunakan untuk menambah
popularitas diri bahkan terkesan sombong dengan kepakarannya.
“Coba katakan kepadaku,” dia
bertanya kepada pramukamarnya, ketika suami-isteri tersebut diantar ke kamar
mereka di kapal pesiar itu, “pernahkah kamu belajar psikologi?” Ketika
pramukamar itu menjawab “tidak”, Profesor itu bertanya, “Mana mungkin? Kamu
bekerja di industri yang berhubungan dangan manusia. Kamu sudah tentu
memerlukan ilmu tentang bagaimana manusia berpikir dan bertindak, tidak hanya
asal melaksanakan pekerjaan, lebih dari itu kamu juga harus lebih mengerti
tentang hidup. Aku benci mengatakannya, tetapi jika kamu belum pernah belajar
psikologi, berarti separuh hidupmu sudah kausia-siakan.”
Di atas dek, sang Profesor
mendekati seorang kelasi yang dengan riangnya bersiul sambil menggosok tiang
kapal. “Pernahkah Anda belajar fisika?” tanya Profesor itu. “Tidak, Tuan,” kata
kelasi itu dengan sopan. “Saya sudah merasa puas dengan pekerjaan saya. Saya bisa
berkeliling dunia dengan gratis, digaji pula! Mengapa saya harus belajar....apa
tadi....fisika?”
“Dengan belajar fisika,” jawab
sang Profesor, “Anda akan mengerti dengan lebih mendalam pengalaman yang Anda
dapatkan. Anda akan mampu berbicara dengan orang lain pada level intelektual
yang lebih tinggi. Jika Anda tidak belajar fisika, berarti separuh hidup Anda
telah Anda sia-siakan!”
Satu dua hari kemudian, sang Profesor
bertemu dengan kelasi lain. Kelasi yang satu ini sedang asyik memancing di
buritan kapal di pelabuhan tempat kapal mereka berlabuh. “Pernahkah anda
belajar Antropologi?” dia bertanya kepada pria sederhana itu. Ketika pria itu
menjawab “tidak”, Profesor itu menguliahinya bahwa pengetahuan akan orang dan
budaya lain dapat memperkaya perjalanan dan kepergiannya ke pulau-pulau yang
eksotis. “Jika Anda belajar tentang suku-suku di pulau yang Anda kunjungi, pengalaman
Anda akan betambah kaya,” katanya. “Antropologi akan mengajari Anda tentang
ritual, upacara tradisional, legenda, dan cerita rakyat dari pulau yang Anda
kunjungi. Anda akan mampu berkomunikasi dengan mereka dengan lebih baik. Tanpa belajar
Antropologi, separuh hidup Anda sudah Anda sia-siakan!”
Tidak mengherankan, reputasi Profesor
itu dengan cepat menyebar ke seluruh kapal. Orang-orang seperti para kelasi dan
kru kapal menjauh darinya karena ngeri dengan pertanyaan dan kuliah yang ia
sampaikan. Lalu, pada suatu malam yang gelap-gulita di tengah laut yang
seakan-akan tanpa batas, kapal tersebut dihantam badai. Karena diterpa angin
ganas dan ombak yang menggila, lambung kapal tersebut berkeriut-keriut dan
akhirnya pecah diterjang keganasan alam. Sang profesor dan istrinya mengenakan
jaket penyelamat dan bergegas menuju ke perahu penyelamat. Di sana para kelasi
sedang mengatur para penumpang yang bersiap-siap meninggalkan kapal dengan
menggunakan perahu penyelamat. Salah satu kelasi, ketika melihat sang Profesor
berjalan sempoyongan di tengah kegelapan dan hujan deras, bertanya kepada pria
pintar tersebut, “Pak.Profesor pernahkah Anda belajar berenang?”
“Tidak!”, jawab Profesor yang
ketakutan tersebut sambil memegang erat selusur kapal dan tangan yang satunya
lagi merangkul istrinya. “Sayang sekali,” kata pelaut itu. “Jika kapal ini
tenggelam, berarti Anda sudah menyia-nyiakan seluruh hidup Anda!” Profesor itu
bungkam seribu basa.
Semakin hari semakin banyak
orang seperti Profesor itu. Kita menyaksikan orang-orang yang berusaha “menjual
diri” dengan apa yang dianggap ada pada dirinya. Apalagi di saat-saat menjelang
Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum Legislatif atau Eksekutif. Semua
calon berebut mencari popularitas dengan menunjukkan kepakaran dan
pengalamannya bahwa ia sanggup menjadi seorang pemimpin ideal sehingga ia berani
menjanjikan hal yang muluk-muluk bahkan di luar jangkauan kemampuannya bahkan
mustahil untuk dilaksanakan. Coba bayangkan apa yang terjadi jika sosialisasi unjuk
kebolehan dan janji-janjinya itu tidak terpenuhi? Malu! Tapi apa lacur di
negeri ini banyak orang yang gak punya budaya dan rasa malu!
Tinggi hati, sombong atau suka
pamer pada umumnya dapat menjadi bumerang bagi diri sendiri. Yesus
mengingatkan, “Sebab barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan.” (Lukas 14:11). Yesus menguraikan pernyataan-Nya ini dengan contoh
kehidupan sehari-hari (Lukas 14:7-10) hal yang sama juga terdapat dalam Amsal
25:6.7. Jikalau seorang tamu yang kurang mempunyai kedudukan terhormat tiba
pada permulaan pesta dan kemudian menduduki tempat yang terhormat, dan apabila
orang yang terhormat itu tiba, dan orang yang sudah menduduki tempat terhormat
itu diminta meninggalkan kursinya, maka kondisi seperti ini adalah situasi yang
sangat memalukan. Tetapi pada pihak lain, jika seseorang dengan suka rela
menduduki tempat rendah, dan kemudian diminta oleh tuan rumah untuk menduduki
tempat yang lebih terhormat, maka kerendahan hati orang tersebut akan
memberikan kepadanya penghormatan yang tinggi. Tentu, cerita ini adalah salah
satu contoh sederhana dari sikap rendah hati. Sikap seperti ini mestinya
berlaku di mana saja. Sikap rendah hati ini harus dipelihara. Bagaiamana kita
dapat memelihara sikap itu? Ada dua hal menurut William Barclay:
1. Sadarilah
kenyataan-kenyataan yang ada. Sekalipun banyak yang telah kita ketahui, tetaplah kita hanya mengetahui
sedikit saja dari keseluruhan pengetahuan itu. Sekalipun banyak yang telah kita
capai, kita tetap baru mencapai sedikit saja. Sadarilah bahwa ketika kematian
menghampiri atau ketika kita menjalani pensiun, kehidupan dan karya di luar
sana akan berjalan terus sama seperti sebelum kita terlibat di dalamnya.
2. Bandingkanlah
capaian kita dengan kesempurnaan sesungguhnya. Dengar dan lihatlah dari seorang
yang benar-benar ahli maka kita akan menyadari betapa miskinnya kita. Banyak orang
yang tadinya bangga dengan penampilannya, ia memutuskan untuk tidak lagi tampil
sesudah menyaksikan pagelaran musik yang hebat. Banyak pengkhotbah yang
kemudian menjadi rendah hati atau bahkan hampir-hampir takut ketika telah
mendengarkan seorang suci yang sejati berkata-kata. Itu jika kita bandingkan
dengan manusia yang dianggap telah paripurna dalam bidangnya. Apalagi jika kita
menempatkannya di hadapan Tuhan. Adakah yang bisa kita sombongkan? Kebanggaan
yang sempit kecongkakan yang kerdil itu akan mati dan kepuasan akan diri
sendiri menjadi layu. Tidak ada yang dapat dibanggakan atau layak disombongkan
di hadapan Tuhan!
Yesus mengingatkan kepada para
pemingikut-Nya untuk tidak bersikap sombong atau tinggi hati, melainkan rendah
hati dan ramah pada semua orang. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri. Rendah
hati adalah lawan dari tinggi hati atau sombong. Rendah hati adalah sikap
seseorang yang menyadari kekurangan dirinya tanpa menjadi rendah diri atau
meinder dan mensyukuri kelebihan dirinya tanpa menjadi sombong. Orang yang
rendah hati tidak akan “kecil hati” di antara orang-orang besar dan hebat. Di pihak
lain ia tidak akan “besar kepala” ketika berada di antara orang-orang “kecil”. Sehingga,
biasanya orang-orang yang rendah hati akan mempunyai sifat ramah. Ia bersedia
menerima dan menyambut serta memperlakukan siapa saja termasuk orang yang
dianggap sampah masyarakat.
Yesus mengingatkan bahwa sikap ramah itu harus
disertai dengan ketulusan (ikhlas)
sebab tanpa itu pastilah ada pamrih di dalamnya. Keramahan sering dipakai untuk
“menanam budi” supaya orang lain membalasnya dengan tindakan serupa. Sekali
lagi, Yesus memakai contoh perjamuan dalam menjelaskan sikap ramah yang tulus.
Ia mengajarkan supaya para pengikut-Nya kalau mengadakan perjamuan jangan
mengundang mereka yang kaya, karena mereka mampu membalas mengundang dan
memberikan jamuan yang sama. Yesus mengatakan, “Tetapi apabila kamu mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin,
orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan
berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab
engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”(Lukas 14:13,14)
Inilah ajaran Yesus yang menguji diri kita dalam hal memberi. Dengan motif apa
kita melakukan tindakan perbuatan baik itu? Betulkah kita memberi tanpa pamrih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar