Jumat, 23 Agustus 2013

ULANG TAHUN: RESOLUSI, “PUBER” DAN PEMBEBASAN

Ada perbedaan hakiki ketika kita merayakan hari ulang tahun seorang anak manusia dan sebuah lembaga. Hampir selalu saya mengucapkan, “Turut berduka cita atas berkurangnya kesempatan hidup Anda setahun lagi.” Begitu kira-kira ucapan saya kepada teman kuliah di STT dulu bahkan sampai sekarang ketika sang teman merayakan hari ulang tahunnya. Ada yang keberatan dan bertanya, “Mengapa ucapanmu begitu? Tidak adakah kalimat yang lebih baik?” Lalu biasanya saya menjelaskan sambil kelakar, “Lo, memang iya begitu kenyataannya. Bila kita diberi jatah oleh Tuhan kehidupan selama 80 tahun, maka bukankah setiap tahun jatah itu akan berkurang? Jadi sebenarnya jika kita merayakan ulang tahun maka pada hakekatnya umur kita berkurang, bukannya bertambah!”

Namun, berbeda ketika kita menghayati dan merayakan ulang tahun sebuah lembaga, gereja misalnya, tentu tidaklah tepat seperti kita merayakan ulang tahun seseorang. Gereja, dalam pemahaman iman kita, bila mengerjakan tugas panggilannya dengan baik maka pasti akan Tuhan pelihara. Ia  akan terus ada sampai akhir jaman. Setiap tahun, alih-alih berkurang kesempatan usianya, mestinya gereja semakin besar berpeluang menyatakan tugas panggilannya.Mengerjakan misi Allah di dunia ini. Dalam konteks GKI, tugas panggilan itu dirumuskan melalui sebuah visi-misi: “Menjadi mitra Allah dalam mewujudkan damai sejahtera di dunia.”

Tanggal 26 Agustus 1988 GKI merayakan hari “ulang tahun”. Tanggal tersebut sebenarnya bukan mengacu kepada hari lahirnya sebuah jemaat di lingkup GKI, atau pada peristiwa baptisan pertama dalam sebuah jemaat,  sebab jauh sebelum 26 Agustus 1988, jemaat-jemaat yang sekarang berada dalam lingkup GKI sudah ada. Contohnya, Ang Boen Sui sudah memulai misinya pada tahun tahun 1858 di daerah Inderamayu dan sekitarnya. Di kemudian hari berdiri GKI Inderamayu. Dalam situs resmi Sinode GKI mengungkapkan bahwa berdirinya GKI melewati sejarah yang panjang dimulai dengan bergabungnya gereja-gereja etnis Tionghoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee) di pulau Jawa. Pada tanggal 22 Februari 1934 berdiri gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Timur, 24 Maret 1940 berdiri gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Barat, dan 8 Agustus 1945 berdiri gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Tengah. Perubahan nama dari  Tiong Hua Kie Tok Kauw Hwee sendiri menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI) terjadi pada tahun 1950. Penetapan nama menunjukkan kesadaran GKI untuk menjalankan misi dan panggilannya secara nasional, tidak lagi terikat pada suku tertentu. Sejak tanggal 27 Maret 1962 ketiga sinode GKI, yang kemudian menjadi Sinode Wilayah, memulai upaya menggalang kebersamaan untuk mewujudkan penyatuan GKI dalam wadah Sinode Am GKI. Barulah pada tanggal 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut berikrar menjadi satu gereja yang utuh, yakni GKI. Dengan demikian tanggal tersebut dirayakan sebagai hari Ulang Tahun GKI secara menyeluruh.

Nah, saat inilah merupakan momen yang tepat untuk kita kembali mengkaji ulang kehadiran GKI sebagai sebuah komunitas atau paguyuban kristiani di Indonesia. Tentu, kajian yang benar tidak sekedar melihat masa lalu sebagai rentetan cerita yang harus diingat. Kalau hanya berhenti di situ, kita terjebak dalam sentimentil nostalgia belaka. Harus ada sikap dan komitmen bertindak ke depan atas kajian dan perenungan kembali jati diri itu! Harus ada keberanian untuk mengambil resolusi (komitmen dan ketegasan) dalam mewujudnyatakan tekad dan keyakinan iman kita. Dalam menjalani panggilan ini, tentu tidak boleh seseorang mewakilkannya kepada yang lain.  Panggilan ini berlaku bagi seluruh anggota, jemaat dan organisasi di lingkup GKI sesuai dengan Mukadimah Tata Gereja GKI alinea 3, “Dalam rangka berperanserta mengerjakan misi Allah, gereja melaksanakan misinya. Misi gereja itu dilaksanakan oleh seluruh anggota gereja dalam konteks masyarakat, bangsa dan negara di mana gereja di tempatkan”.

Di sinilah betapa pentingnya setiap anggota GKI menyadari bahwa dirinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari paguyuban GKI. Paguyuban artinya perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, mempunyai ikatan batin, bersifat alamiah dan kekal, didirikan oleh orang-orang sefaham untuk membina kerukunan di antara anggotanya. B.S. Mardiatmadja, S.J. melihat komunitas umat beragama dengan istilah paguyuban umat beriman (puber). “Puber” merupakan komunitas yang berangkat dari iman, diisi oleh iman, dikuatkan oleh iman dan mendukung iman.

“Menjadi mitra Allah dalam mewujudkan damai sejahtera di dunia”, konon itulah sampai saat ini tekad dan panggilan kita bersama sebagai sebuah gereja. Pertanyaannya, “Apakah tekad tersebut telah benar-benar dipahami oleh seluruh anggota paguyuban GKI, lantas mendarah daging dalam tubuh setiap anggotanya itu sehingga tekad yang sering disuarakan dalam ibadah-ibadah formal itu menjadi inspirator dalam bertindak dan menjadi realita hidup sesungguhnya, tanpa topeng dan dibuat-buat?” Jangan-jangan tekad itu hanya ada di atas kertas saja atau sebuah tempelan tema persidangan! Jika ini yang terjadi maka kita sudah terjebak dalam  formalitas kesalehan yang lebih mengedepankan selogan atau jargon ketimbang makna esensial dari sebuah tekad atau dalam bahasa Yesaya 58 disebut sebagai kesalehan palsu. Kesalehan palsu kerap kita jumpai dalam banyak praktek ibadah dari dulu sampai sekarang. Kisah-kisah Injil banyak menceritakan perjumpaan Yesus dengan kemunafikan hidup beragama.  Yesus kerap berhadapan dengan orang-orang Yahudi yang menjunjung tinggi hukum-hukum ibadah formal namun enggan menjadi penolong bagi sesamanya. Di antaranya praktek Hukum Sabat. Begitu banyak aturan di balik Hukum Sabat ini, termasuk di dalamnya tidak boleh menolong atau menyembuhkan orang yang sedang menderita. 

Namun, beberapa kali Yesus memulihkan orang sakit bertepatan dengan hari Sabat. Bagaimana reaksi orang-orang Yahudi? Alih-alih bersyukur atas pemulihan si sakit itu, mereka keberatan. Protes! Mengapa pemulihan itu dilakukan pada hari Sabat? Mereka menganggap pemulihan itu menodai kekudusan hari Sabat. Perhatikan apa yang terjadi ketika Yesus memulihkan seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun sakit, ia tidak dapat berdiri tegak. Kepala rumah ibadah itu keberatan, ia mengatakan, “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.”(Lukas 13:14). Tetapi Tuhan menjawab dia, kata-Nya: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” (Lukas 13:15-16).

Sangat jelas dan tajam, Yesus mengeritik praktek ibadah yang memisahkan ritual dari aksi nyata. Bila kepala rumah ibadah yang keberatan itu hanya mengacu kepada Keluaran 20:8-11 yang berisi sederet larangan melakukan tindakan pada hari Sabat, Yesus melihatnya dengan cara berbeda. Sabat adalah hari pembebasan yang berujung pada tindakan memuliakan Allah. Penghormatan Sabat versi Yesaya 58:13 adalah dengan menjadikan Sabat itu sebagai “hari kenikmatan” dan hari kudus TUHAN “hari mulia”. Tindakan penyembuhan Yesus terhadap perempuan yang menderita sakit selama delapan belas tahun merupakan tindakan pembebasan. Di sinilah letak kunci pemahaman hari Sabat atau hari untuk Tuhan, hari yang disebut mulia itu. Yesus menyembuhkan si perempuan itu. Dampaknya, perempuan tersebut memuliakan Allah. Oleh karena pekerjaan Yesus –yang bukan mementingkan diri sendiri- nama Allah jadi mulia! Inilah cara Yesus memelihara Sabat.

Apa yang bisa kita pelajari dari cerita penyembuhan di hari Sabat ini? Minimal saya melihat bahwa salah satu fungsi ibadah atau orang memuliakan Allah adalah dengan menjadi penolong ataupembebas bagi sesama yang sedang menderita. Ibadah adalah sarana manusia mendekatkan diri dan mengenal Tuhannya dengan baik. Dengan pengenalan yang baik, setiap umat Tuhan akan terpanggil mengerjakan apa yang Tuhan inginkan. Ia akan melakukan seperti Allah melakukannya. Dalam konteks kita di Indonesia, akan sangat mudah menemukan orang-orang yang tertindas, mereka yang diperlakukan tidak adil bahkan tidak lagi dipandang sebagai manusia! Adakah gereja berpihak bahkan berusaha membebaskan mereka? Ataukah gereja sibuk dengan dirinya sendiri? Sibuk menegakan “syareat-syareat Sabat”. Atau berusaha bersembunyi karena tahu bahwa dengan berpihak dan menjadi pembebas ada resiko yang harus dibayar? Ataukah kini kita sedang berada dan ikut serta dalam arus pemulihan bersama dengan Yesus dalam kancah dunia yang masih jauh dari damai sejahtera itu? Semoga yang terakhir ini yang sedang kita lakukan. Selamat ulang tahun GKI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar