Ada perbedaan hakiki ketika kita
merayakan hari ulang tahun seorang anak manusia dan sebuah lembaga. Hampir
selalu saya mengucapkan, “Turut berduka cita atas berkurangnya kesempatan hidup
Anda setahun lagi.” Begitu kira-kira ucapan saya kepada teman kuliah di STT
dulu bahkan sampai sekarang ketika sang teman merayakan hari ulang tahunnya.
Ada yang keberatan dan bertanya, “Mengapa ucapanmu begitu? Tidak adakah kalimat
yang lebih baik?” Lalu biasanya saya menjelaskan sambil kelakar, “Lo, memang iya begitu kenyataannya. Bila kita
diberi jatah oleh Tuhan kehidupan
selama 80 tahun, maka bukankah setiap tahun jatah
itu akan berkurang? Jadi sebenarnya jika kita merayakan ulang tahun maka pada
hakekatnya umur kita berkurang, bukannya bertambah!”
Namun, berbeda ketika kita
menghayati dan merayakan ulang tahun sebuah lembaga, gereja misalnya, tentu
tidaklah tepat seperti kita merayakan ulang tahun seseorang. Gereja, dalam
pemahaman iman kita, bila mengerjakan tugas panggilannya dengan baik maka pasti
akan Tuhan pelihara. Ia akan terus ada
sampai akhir jaman. Setiap tahun, alih-alih berkurang kesempatan usianya,
mestinya gereja semakin besar berpeluang menyatakan tugas panggilannya.Mengerjakan
misi Allah di dunia ini. Dalam konteks GKI, tugas panggilan itu dirumuskan
melalui sebuah visi-misi: “Menjadi mitra
Allah dalam mewujudkan damai sejahtera di dunia.”
Tanggal 26 Agustus 1988 GKI
merayakan hari “ulang tahun”. Tanggal tersebut sebenarnya bukan mengacu kepada
hari lahirnya sebuah jemaat di lingkup GKI, atau pada peristiwa baptisan
pertama dalam sebuah jemaat, sebab jauh
sebelum 26 Agustus 1988, jemaat-jemaat yang sekarang berada dalam lingkup GKI
sudah ada. Contohnya, Ang Boen Sui sudah memulai misinya pada tahun tahun 1858
di daerah Inderamayu dan sekitarnya. Di kemudian hari berdiri GKI Inderamayu.
Dalam situs resmi Sinode GKI mengungkapkan
bahwa berdirinya GKI melewati sejarah yang panjang dimulai dengan bergabungnya
gereja-gereja etnis Tionghoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee) di pulau Jawa. Pada
tanggal 22 Februari 1934 berdiri gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Timur,
24 Maret 1940 berdiri gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Barat, dan 8
Agustus 1945 berdiri gereja yang kemudian disebut GKI Jawa Tengah. Perubahan
nama dari Tiong Hua Kie Tok Kauw Hwee
sendiri menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI) terjadi pada tahun 1950.
Penetapan nama menunjukkan kesadaran GKI untuk menjalankan misi dan
panggilannya secara nasional, tidak lagi terikat pada suku tertentu. Sejak
tanggal 27 Maret 1962 ketiga sinode GKI, yang kemudian menjadi Sinode Wilayah,
memulai upaya menggalang kebersamaan untuk mewujudkan penyatuan GKI dalam wadah
Sinode Am GKI. Barulah pada tanggal 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut
berikrar menjadi satu gereja yang utuh, yakni GKI. Dengan demikian tanggal
tersebut dirayakan sebagai hari Ulang Tahun GKI secara menyeluruh.
Nah, saat inilah merupakan
momen yang tepat untuk kita kembali mengkaji ulang kehadiran GKI sebagai sebuah
komunitas atau paguyuban kristiani di Indonesia. Tentu, kajian yang benar tidak
sekedar melihat masa lalu sebagai rentetan cerita yang harus diingat. Kalau hanya
berhenti di situ, kita terjebak dalam sentimentil nostalgia belaka. Harus ada
sikap dan komitmen bertindak ke depan atas kajian dan perenungan kembali jati
diri itu! Harus ada keberanian untuk mengambil resolusi (komitmen dan
ketegasan) dalam mewujudnyatakan tekad dan keyakinan iman kita. Dalam menjalani
panggilan ini, tentu tidak boleh seseorang mewakilkannya kepada yang lain. Panggilan ini berlaku bagi seluruh anggota,
jemaat dan organisasi di lingkup GKI sesuai dengan Mukadimah Tata Gereja GKI
alinea 3, “Dalam rangka berperanserta
mengerjakan misi Allah, gereja melaksanakan misinya. Misi gereja itu
dilaksanakan oleh seluruh anggota gereja dalam konteks masyarakat, bangsa dan
negara di mana gereja di tempatkan”.
Di sinilah betapa pentingnya
setiap anggota GKI menyadari bahwa dirinya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari paguyuban GKI. Paguyuban artinya perkumpulan yang bersifat
kekeluargaan, mempunyai ikatan batin, bersifat alamiah dan kekal, didirikan
oleh orang-orang sefaham untuk membina kerukunan di antara anggotanya. B.S.
Mardiatmadja, S.J. melihat komunitas umat beragama dengan istilah paguyuban umat beriman (puber). “Puber”
merupakan komunitas yang berangkat dari iman, diisi oleh iman, dikuatkan oleh
iman dan mendukung iman.
“Menjadi mitra Allah dalam
mewujudkan damai sejahtera di dunia”, konon itulah sampai saat ini tekad dan
panggilan kita bersama sebagai sebuah gereja. Pertanyaannya, “Apakah tekad
tersebut telah benar-benar dipahami oleh seluruh anggota paguyuban GKI, lantas
mendarah daging dalam tubuh setiap anggotanya itu sehingga tekad yang sering
disuarakan dalam ibadah-ibadah formal itu menjadi inspirator dalam bertindak dan
menjadi realita hidup sesungguhnya, tanpa topeng dan dibuat-buat?” Jangan-jangan
tekad itu hanya ada di atas kertas saja atau sebuah tempelan tema persidangan!
Jika ini yang terjadi maka kita sudah terjebak dalam formalitas kesalehan yang lebih mengedepankan
selogan atau jargon ketimbang makna esensial dari sebuah tekad atau dalam
bahasa Yesaya 58 disebut sebagai kesalehan palsu. Kesalehan palsu kerap kita
jumpai dalam banyak praktek ibadah dari dulu sampai sekarang. Kisah-kisah Injil
banyak menceritakan perjumpaan Yesus dengan kemunafikan hidup beragama. Yesus kerap berhadapan dengan orang-orang
Yahudi yang menjunjung tinggi hukum-hukum ibadah formal namun enggan menjadi
penolong bagi sesamanya. Di antaranya praktek Hukum Sabat. Begitu banyak aturan
di balik Hukum Sabat ini, termasuk di dalamnya tidak boleh menolong atau menyembuhkan
orang yang sedang menderita.
Namun, beberapa kali Yesus
memulihkan orang sakit bertepatan dengan hari Sabat. Bagaimana reaksi
orang-orang Yahudi? Alih-alih bersyukur atas pemulihan si sakit itu, mereka
keberatan. Protes! Mengapa pemulihan itu dilakukan pada hari Sabat? Mereka
menganggap pemulihan itu menodai kekudusan hari Sabat. Perhatikan apa yang terjadi
ketika Yesus memulihkan seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun sakit,
ia tidak dapat berdiri tegak. Kepala rumah ibadah itu keberatan, ia mengatakan,
“Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu
datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari
Sabat.”(Lukas 13:14). Tetapi Tuhan menjawab dia, kata-Nya: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap
orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari
kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah
delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu,
karena ia adalah keturunan Abraham?” (Lukas 13:15-16).
Sangat jelas dan tajam, Yesus
mengeritik praktek ibadah yang memisahkan ritual dari aksi nyata. Bila kepala
rumah ibadah yang keberatan itu hanya mengacu kepada Keluaran 20:8-11 yang
berisi sederet larangan melakukan tindakan pada hari Sabat, Yesus melihatnya
dengan cara berbeda. Sabat adalah hari pembebasan yang berujung pada tindakan
memuliakan Allah. Penghormatan Sabat versi Yesaya 58:13 adalah dengan
menjadikan Sabat itu sebagai “hari kenikmatan” dan hari kudus TUHAN “hari mulia”.
Tindakan penyembuhan Yesus terhadap perempuan yang menderita sakit selama
delapan belas tahun merupakan tindakan pembebasan. Di sinilah letak kunci
pemahaman hari Sabat atau hari untuk Tuhan, hari yang disebut mulia itu. Yesus
menyembuhkan si perempuan itu. Dampaknya, perempuan tersebut memuliakan Allah.
Oleh karena pekerjaan Yesus –yang bukan mementingkan diri sendiri- nama Allah
jadi mulia! Inilah cara Yesus memelihara Sabat.
Apa yang bisa kita pelajari
dari cerita penyembuhan di hari Sabat ini? Minimal saya melihat bahwa salah
satu fungsi ibadah atau orang memuliakan Allah adalah dengan menjadi penolong
ataupembebas bagi sesama yang sedang menderita. Ibadah adalah sarana manusia
mendekatkan diri dan mengenal Tuhannya dengan baik. Dengan pengenalan yang
baik, setiap umat Tuhan akan terpanggil mengerjakan apa yang Tuhan inginkan. Ia
akan melakukan seperti Allah melakukannya. Dalam konteks kita di Indonesia,
akan sangat mudah menemukan orang-orang yang tertindas, mereka yang
diperlakukan tidak adil bahkan tidak lagi dipandang sebagai manusia! Adakah
gereja berpihak bahkan berusaha membebaskan mereka? Ataukah gereja sibuk dengan
dirinya sendiri? Sibuk menegakan “syareat-syareat Sabat”. Atau berusaha
bersembunyi karena tahu bahwa dengan berpihak dan menjadi pembebas ada resiko
yang harus dibayar? Ataukah kini kita sedang berada dan ikut serta dalam arus
pemulihan bersama dengan Yesus dalam kancah dunia yang masih jauh dari damai
sejahtera itu? Semoga yang terakhir ini yang sedang kita lakukan. Selamat ulang
tahun GKI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar