Jumat, 02 Agustus 2013

MENJARING ANGIN : UPAYA MENEMUKAN HIKMAT DI TENGAH KEHIDUPAN


Seorang musafir dengan santai menaiki untanya ketika ia bertemu dengan tiga orang kakak-beradik yang sedang adu mulut dengan sengit. Dia berhenti, turun dari untanya, dan bertanya mengapa mereka bertengkar. Saudara tertua menjelaskan bahwa, beberapa bulan sebelumnya, ayah mereka meninggal dan mewariskan semua untanya kepada mereka bertiga. Wasiatnya begitu jelas dan gamlang. Putra tertua berhak menerima separuh dari jumlah unta seluruhnya. Anak kedua menerima sepertiganya dan anak ketiga menerima sepersembilan. Mereka tidak mempertentangkan masalah itu. masalah dan alasan mereka bertengkar muncul dari fakta bahwa ayah mereka meninggalkan tujuh belas unta.

Hampir semua orang memahami dilema yang dihadapi tiga bersaudara itu. Tujuh belas tidak bisa dibagi dengan perbandingan seperti itu. “Kami sudah mencoba semua rumus matematika yang kami tahu.” Mereka menjelaskannya kepada musafir itu. “Kami bahkan telah memutuskan untuk membunuh dan membagi satu atau lebih unta untuk memastikan bahwa kami semua menerima jumlah yang telah diwariskan. Akan tetapi, wasiat ayah kami dalam masalah itu sudah sangat jelas: Unta-unta itu harus diserahkan dalam keadaan hidup dan tidak boleh dibunuh.” Mereka semua setuju bahwa tidak ada gunanya menerima satu atau dua potong badan binatang yang sudah mati.

Karena gagal menemukan solusi, mereka menjadi frustasi dan berdebat seru. Separoh dari tujuh belas adalah delapan setengah. Mereka tidak bisa membunuh satu ekor untuk kemudian diambil separuh. Jadi, anak yang tertua menyarankan untuk mengambil sembilan ekor. Adik-adiknya menolak dengan keras. Keserakahan kakaknya akan mengakibatkan warisan yang berhak mereka miliki akan berkurang. Dia harus mengambil delapan saja, menurut mereka, tetapi kaka teretua tidak bersedia menerima kurang dari jumlah yang sudah ditentukan oleh ayah mereka. Pertengkaran mereka memuncak, kemarahan mereka membara, dan...ketiga saudara itu bertengkar dengan sengit. Setiap orang ingin mendapat jumlah yang menjadi hak mereka. Tidak ada yang bersedia kompromi apalagi mengalah!

Aku faham dengan dilema yang sedang kalian hadapi,” kata musafir itu. “Ayah kalian telah memberikan soal yang sangat rumit. Kukira, aku tahu pemecahannya.” Dia tuntun untanya ke lapangan tempat ketujuh belas unta warisan ayah ketiga bersaudara itu. Disorongkannya selot pengunci pitu kandang, dia biarkan untanya masuk ke dalam kelompok unta-unta itu, kemudia menutup pagar itu kembali. Sekarang, di dalam kandang itu ada delapan belas unta.

“Nah,” katanya kepada si sulung, “ambillah separuh dari jumlah unta yang ada di dalam kandang itu.” Putra sulung menghitung separuh dari delapan belas adalah sembilan. Maka ia mengambil sembilan unta sebagai miliknya tentu saja dengan perasaan senang. Dia berterima kasih kepada musafir itu karena telah memberinya bagian yang menjadi haknya.

Setelah membalikkan badannya ke putra kedua, musafir itu berkata, “Sekarang ambilah sepertiga bagianmu!” Dengan gembira putra kedua ini menbgambil enam ekor unta. Sebab sepertiga dari delapan belas adalah enam dan itulah yang menjadi haknya. Akhirnya, kepada putra bungsu, musafir itu berkata, “Nah, giliranmu, ambilah sepersembilan yang menjadi bagianmu!” Dengan lega si bungsu mengambil dua ekor unta yang menjadi bagiannya, sebab sepersembilan dari delapan belas adalah dua. Dengan demikian, kini yang tertinggal adalah satu unta yang berpelana. Binatang yang ditunggani oleh sang musafir itu!

“Ayah kalian telah mewariskan lebih daripada sekedar unta.” Kata musafir itu. “Dia juga telah meninggalkan kearifan yang dimilikinya. Ketika merencanakan tantangan ini, menurut kalian, apa lagi yang diberikannya kepada kalian?”

“Saya rasa,” kata putra sulung, “beliau mencoba mengajarkan kepada kami bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Seberapa mustahil pun masalah, kita pasti bisa memecahkannya dengan mencari prespektif lain.” Putra kedua menambahkan, “Saya rasa masalahnya lebih dalam dari pada itu. sebagai keluarga, kita selalu bertengkar. Ayah selalu menjadi penengah kita. Belian ingin agar kita sadar  bahwa untuk bertahan hidup sebagai keluarga tanpa beliau, kita harus menjalin hubungan yang konstruktif dan kooperatif. Beliau meninggalkan kita sebuah tantangan yang berarti bahwa kita harus bekerja sama untuk menemukan solusi. Jika ketamakan dan egoisme memecah belah kita, tidak ada di antara kita yang merasa bahagia.”

“Saya percaya.” Kata si bungsu, “beliau meungkin mengajari kita lebih dari pada itu. beliau ingin mengatakan meskipun kita bertiga merasa benar, kita bisa jadi tidak menemukan jawabannya. Kadang-kadang kita harus melihat keluar diri kita. Kadang-kadang orang lain bisa memberikan perspektif yang berbeda dan oleh karenanya memungkinkan kita mendapat pencerahan.” Musafir itu tersenyum melanjutkan perjalanan. “Mungkin salah satu dari kalian benar,” katanya. “Mungkin juga pendapat kalian semuanya benar. Jika demikian, ayah kalian mungkin mengajari kalian lebih dari semua itu!”

Harta benda dan ketamakan sudah jamak menjadi sumber pertengkaran, permusuhan bahkan pembunuhan. Manusia seringkali tidak mampu melihat makna spiritulaitas di balik harta benda itu. Semestinya harta benda adalah alat! Ya, alat untuk menunjang kehidupan, namun nyatanya banyak orang telah menjadikannya sebagai tujuan yang harus dicapai!

Menarik kisah musafir di atas tadi, hikmat seseorang sering kali tertutup oleh ketamakannya terhadap harta benda. Ketika standar utama seseorang dalam hidup ini adalah keegoisan, maka hikmat dan akal budi tidak dapat menolonnya untuk dapat menikmati hidup bahagia. Akhirnya, seperti kata penulis kitab Pengkhotbah, yang walaupun terkenal dengan hikmatnya, memandang kehidupan ini secara pesimistik. Baginya, kehidupan di dunia ini adalah kesia-siaan:”...segala seuatu adalah sia-sia” (1:2). Benar, semua akan menjadi sia-sia bila cara pandang manusia terhadap materi duniawi bersifat egosentris dan pragmatis. Harta yang diperoleh merasa menjadi milik diri sendiri akibatnya, jika semua itu tidak dapat dinikmati oleh dirinya maka ia akan kecewa.

Salomo, yang diyakini sebagai penulis Pengkhotbah kecewa dengan segala usaha yang dilakukannya dengan berjerih payah di bawah matahari berdasarkan hikmanya (2:18). Mengapa? Karena semuanya tidak akan dia nikmati sendiri. Ia akan meninggalkan semuanya itu, bahkan menyerahkannya kepada mereka yang tidak berjerih payah untuk itu (2:21).

Benar, pengalaman Salomo! Apabila harta kekayaan dicari dan didapatkan hanya untuk kesenangan sendiri maka kekecewaanlah yang akan kita tuai karena sudah pasti itu semua tidak akan dapat dipertahankan sampai selama-lamanya. Seperti pribahasa mengatakan, “Dalam baju matimu tidak ada kantong!” Tidak ada satu pun harta yang dapat di bawa ke alam kubur! Yesus mengingatkan kita melalui perumpamaan (“Orang kaya yang bodoh” :Lukas 12:13-21)  agar kita tidak tamak.Ada yang jauh lebih berharga ketimbang harta benda. Yesus menyebutnya, “jiwa!” Dalam kesimpulan perumpamaan itu Yesus mengkritik orang yang mengumpulkan harta untuk dirinya sendiri, artinya ia hidup seakan-akan semuanya itu sungguh-sungguh kepunyaannya sendiri yang ada dalam genggaman kuasanya sendiri tanpa menginsafi bahwa semua yang “dimilikinya” adalah betul-betul milik kepunyaan Allah yang telah diperoleh sebagai pinjaman untuk sementara waktu. Siapa yang menyadari hal itu, ia akan mampu melihat lebih jauh dari hanya sekedar alat untuk menyenagkan dirinya. Orang yang dapat melihat ke kedalaman inilah yang disebutkan oleh Yesus sebagai orang yang kaya di hadapan Allah!

Keinginan mendapat lebih sering membuat orang tidak dapat merasa puas dan bersyukur. Lebih menyedihkan lagi, meskipun menurut ukuran orang biasa ia telah berkecukupan, perasaan kekurangan itu terus menghantui dirinya. Ketika manusia sudah terjebak dalam keadaan seperti ini, ia tidak akan lagi peduli dengan cara bagaimana mendapatkan harta benda itu yang penting baginya adalah menimbun harta sebanyak-banyaknya!

Dalam Kolose 3:5, ketamakan disamakan dengan penyembahan berhala: Hal yang dapat mendatangkan murka Tuhan. Sikap waspada dan kritis adalah cara terbaik agar hati kita tidak melekat pada harta benda itu. Hidup itu indah dan tidak sia-sia jika kita pandai menikmati dan menyukurinya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar