Seorang musafir dengan santai
menaiki untanya ketika ia bertemu dengan tiga orang kakak-beradik yang sedang
adu mulut dengan sengit. Dia berhenti, turun dari untanya, dan bertanya mengapa
mereka bertengkar. Saudara tertua menjelaskan bahwa, beberapa bulan sebelumnya,
ayah mereka meninggal dan mewariskan semua untanya kepada mereka bertiga. Wasiatnya
begitu jelas dan gamlang. Putra tertua berhak menerima separuh dari jumlah unta
seluruhnya. Anak kedua menerima sepertiganya dan anak ketiga menerima
sepersembilan. Mereka tidak mempertentangkan masalah itu. masalah dan alasan
mereka bertengkar muncul dari fakta bahwa ayah mereka meninggalkan tujuh belas
unta.
Hampir semua orang memahami
dilema yang dihadapi tiga bersaudara itu. Tujuh belas tidak bisa dibagi dengan
perbandingan seperti itu. “Kami sudah mencoba semua rumus matematika yang kami
tahu.” Mereka menjelaskannya kepada musafir itu. “Kami bahkan telah memutuskan
untuk membunuh dan membagi satu atau lebih unta untuk memastikan bahwa kami
semua menerima jumlah yang telah diwariskan. Akan tetapi, wasiat ayah kami
dalam masalah itu sudah sangat jelas: Unta-unta itu harus diserahkan dalam
keadaan hidup dan tidak boleh dibunuh.” Mereka semua setuju bahwa tidak ada
gunanya menerima satu atau dua potong badan binatang yang sudah mati.
Karena gagal menemukan solusi,
mereka menjadi frustasi dan berdebat seru. Separoh dari tujuh belas adalah
delapan setengah. Mereka tidak bisa membunuh satu ekor untuk kemudian diambil
separuh. Jadi, anak yang tertua menyarankan untuk mengambil sembilan ekor. Adik-adiknya
menolak dengan keras. Keserakahan kakaknya akan mengakibatkan warisan yang berhak
mereka miliki akan berkurang. Dia harus mengambil delapan saja, menurut mereka,
tetapi kaka teretua tidak bersedia menerima kurang dari jumlah yang sudah
ditentukan oleh ayah mereka. Pertengkaran mereka memuncak, kemarahan mereka
membara, dan...ketiga saudara itu bertengkar dengan sengit. Setiap orang ingin
mendapat jumlah yang menjadi hak mereka. Tidak ada yang bersedia kompromi
apalagi mengalah!
Aku faham dengan dilema yang
sedang kalian hadapi,” kata musafir itu. “Ayah kalian telah memberikan soal
yang sangat rumit. Kukira, aku tahu pemecahannya.” Dia tuntun untanya ke
lapangan tempat ketujuh belas unta warisan ayah ketiga bersaudara itu.
Disorongkannya selot pengunci pitu kandang, dia biarkan untanya masuk ke dalam
kelompok unta-unta itu, kemudia menutup pagar itu kembali. Sekarang, di dalam
kandang itu ada delapan belas unta.
“Nah,” katanya kepada si
sulung, “ambillah separuh dari jumlah unta yang ada di dalam kandang itu.”
Putra sulung menghitung separuh dari delapan belas adalah sembilan. Maka ia
mengambil sembilan unta sebagai miliknya tentu saja dengan perasaan senang. Dia
berterima kasih kepada musafir itu karena telah memberinya bagian yang menjadi
haknya.
Setelah membalikkan badannya
ke putra kedua, musafir itu berkata, “Sekarang ambilah sepertiga bagianmu!”
Dengan gembira putra kedua ini menbgambil enam ekor unta. Sebab sepertiga dari
delapan belas adalah enam dan itulah yang menjadi haknya. Akhirnya, kepada
putra bungsu, musafir itu berkata, “Nah, giliranmu, ambilah sepersembilan yang
menjadi bagianmu!” Dengan lega si bungsu mengambil dua ekor unta yang menjadi
bagiannya, sebab sepersembilan dari delapan belas adalah dua. Dengan demikian,
kini yang tertinggal adalah satu unta yang berpelana. Binatang yang ditunggani
oleh sang musafir itu!
“Ayah kalian telah mewariskan
lebih daripada sekedar unta.” Kata musafir itu. “Dia juga telah meninggalkan
kearifan yang dimilikinya. Ketika merencanakan tantangan ini, menurut kalian,
apa lagi yang diberikannya kepada kalian?”
“Saya rasa,” kata putra
sulung, “beliau mencoba mengajarkan kepada kami bahwa setiap masalah pasti ada
jalan keluarnya. Seberapa mustahil pun masalah, kita pasti bisa memecahkannya
dengan mencari prespektif lain.” Putra kedua menambahkan, “Saya rasa masalahnya
lebih dalam dari pada itu. sebagai keluarga, kita selalu bertengkar. Ayah selalu
menjadi penengah kita. Belian ingin agar kita sadar bahwa untuk bertahan hidup sebagai keluarga
tanpa beliau, kita harus menjalin hubungan yang konstruktif dan kooperatif. Beliau
meninggalkan kita sebuah tantangan yang berarti bahwa kita harus bekerja sama
untuk menemukan solusi. Jika ketamakan dan egoisme memecah belah kita, tidak
ada di antara kita yang merasa bahagia.”
“Saya percaya.” Kata si
bungsu, “beliau meungkin mengajari kita lebih dari pada itu. beliau ingin
mengatakan meskipun kita bertiga merasa benar, kita bisa jadi tidak menemukan
jawabannya. Kadang-kadang kita harus melihat keluar diri kita. Kadang-kadang
orang lain bisa memberikan perspektif yang berbeda dan oleh karenanya memungkinkan
kita mendapat pencerahan.” Musafir itu tersenyum melanjutkan perjalanan. “Mungkin
salah satu dari kalian benar,” katanya. “Mungkin juga pendapat kalian semuanya
benar. Jika demikian, ayah kalian mungkin mengajari kalian lebih dari semua
itu!”
Harta benda dan ketamakan
sudah jamak menjadi sumber pertengkaran, permusuhan bahkan pembunuhan. Manusia seringkali
tidak mampu melihat makna spiritulaitas di balik harta benda itu. Semestinya
harta benda adalah alat! Ya, alat untuk menunjang kehidupan, namun nyatanya
banyak orang telah menjadikannya sebagai tujuan yang harus dicapai!
Menarik kisah musafir di atas
tadi, hikmat seseorang sering kali tertutup oleh ketamakannya terhadap harta
benda. Ketika standar utama seseorang dalam hidup ini adalah keegoisan, maka
hikmat dan akal budi tidak dapat menolonnya untuk dapat menikmati hidup bahagia.
Akhirnya, seperti kata penulis kitab Pengkhotbah, yang walaupun terkenal dengan
hikmatnya, memandang kehidupan ini secara pesimistik. Baginya, kehidupan di
dunia ini adalah kesia-siaan:”...segala
seuatu adalah sia-sia” (1:2). Benar, semua akan menjadi sia-sia bila cara
pandang manusia terhadap materi duniawi bersifat egosentris dan pragmatis. Harta
yang diperoleh merasa menjadi milik diri sendiri akibatnya, jika semua itu
tidak dapat dinikmati oleh dirinya maka ia akan kecewa.
Salomo, yang diyakini sebagai
penulis Pengkhotbah kecewa dengan segala usaha yang dilakukannya dengan
berjerih payah di bawah matahari berdasarkan hikmanya (2:18). Mengapa? Karena semuanya
tidak akan dia nikmati sendiri. Ia akan meninggalkan semuanya itu, bahkan
menyerahkannya kepada mereka yang tidak berjerih payah untuk itu (2:21).
Benar, pengalaman Salomo!
Apabila harta kekayaan dicari dan didapatkan hanya untuk kesenangan sendiri
maka kekecewaanlah yang akan kita tuai karena sudah pasti itu semua tidak akan
dapat dipertahankan sampai selama-lamanya. Seperti pribahasa mengatakan, “Dalam
baju matimu tidak ada kantong!” Tidak ada satu pun harta yang dapat di bawa ke
alam kubur! Yesus mengingatkan kita melalui perumpamaan (“Orang kaya yang bodoh” :Lukas 12:13-21) agar kita tidak tamak.Ada yang jauh lebih
berharga ketimbang harta benda. Yesus menyebutnya, “jiwa!” Dalam kesimpulan
perumpamaan itu Yesus mengkritik orang yang mengumpulkan harta untuk dirinya
sendiri, artinya ia hidup seakan-akan semuanya itu sungguh-sungguh kepunyaannya
sendiri yang ada dalam genggaman kuasanya sendiri tanpa menginsafi bahwa semua
yang “dimilikinya” adalah betul-betul milik kepunyaan Allah yang telah
diperoleh sebagai pinjaman untuk sementara waktu. Siapa yang menyadari hal itu,
ia akan mampu melihat lebih jauh dari hanya sekedar alat untuk menyenagkan
dirinya. Orang yang dapat melihat ke kedalaman inilah yang disebutkan oleh
Yesus sebagai orang yang kaya di hadapan Allah!
Keinginan mendapat lebih
sering membuat orang tidak dapat merasa puas dan bersyukur. Lebih menyedihkan
lagi, meskipun menurut ukuran orang biasa ia telah berkecukupan, perasaan
kekurangan itu terus menghantui dirinya. Ketika manusia sudah terjebak dalam
keadaan seperti ini, ia tidak akan lagi peduli dengan cara bagaimana
mendapatkan harta benda itu yang penting baginya adalah menimbun harta
sebanyak-banyaknya!
Dalam Kolose 3:5, ketamakan
disamakan dengan penyembahan berhala: Hal yang dapat mendatangkan murka Tuhan.
Sikap waspada dan kritis adalah cara terbaik agar hati kita tidak melekat pada
harta benda itu. Hidup itu indah dan tidak sia-sia jika kita pandai menikmati
dan menyukurinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar